Rabu, 27 Juli 2011

SEMINAR NASIONAL IJ KASIMO


Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon Foenay, M.Si membuka Seminar Nasional bertajuk Politik Bermartabat, Kajian Tentang Perjuangan dan Pengabdian IJ Kasimo di Aula A-300 Lantai III Kampus Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang, Rabu (27/7/2011). Sebelah kiri, saya Alfons Nedabang selaku panitia penyelenggara seminar dan Rektor Unwira Kupang, P. Yulius Yasinto, SVD. Selanjutnya...

Kasimo Selevel dengan Leimena


MANTAN Ketua Partai Katolik Indonesia IJ Kasimo sudah sepantasnya mendapat predikat pahlawan nasional sebagaimana telah diberikan kepada rekan seperjuanganya, DR J Leimena. Semasa hidup, kedua orang itu punya visi dan cita-cita untuk mengintegrasikan nilai-nilai Kristiani dan menerapkan nilai-nilai itu dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Demikian dikemukakan Pendeta Dr Niko Walle (seorang pakar etika) dalam dialog publik bertajuk "IJ Kasimo Politisi Bermartabat" yang diselenggarakan Forum Komunikasi Alumni (Forkoma) PMKRI NTT di aula Unika Widya Mandira Kupang, Rabu 27 Juli 2011, sebagaimana dinyatakan dalam siaran pers Forkoma PMKRI NTT yang diterima Kompas.com, Rabu (27/7/2011). Dialog tersebut dibuka Wagub NTT Eston Funai. Selain Pendeta Niko, tampil juga sebagai pembicara adalah JB Sudarmanto (penulis buku biografi Kasimo), Dr Daniel Dakhidae, serta Pater Julius Jasinto, SVD (rektor Unika Widya Mandira).

Menurut Niko, pemerintah pusat yang telah menetapkan rekan seperjuangan Kasimo, Dr J Leimena, yang juga mantan Ketua Partai Kristen Indonesia (Parkindo) sebagai Pahlawan Nasional, mestinya memberi Kasimo gelar yang sama untuk Kasimo. Karena kedua orang, demikian Niko, memiliki visi dan cita-cita perjuangan yang sama yakni mengintegrasikan umat Kristen kedalam rumah besar Republik Indonesia. Mereka berupaya untuk memadukan nilai-nilai Kristiani dan cinta kasih dalam pergaulan politik nasional yang bermartabat.

Pandangan yang juga mengemuka dalam dialog itu antara lain adalah bahwa nilai-nilai kejuangan Kasimo yang telah ia baktikan, baik pada masa merebut kemerdekaan maupun pada era kemerdekaan, merupakan satu rangkuman nilai yang sangat relevan untuk diteladani dalam rangka membangun Indonesia yang maju, pluralis dan bebas korupsi. Karena itu usaha-usaha untuk menempatkan Kasimo sebagai pahlawan nasional harus diapresiasi sebagai bentuk komitmen untuk menjadikan nilai kejuangan para pemimpin bangsa sebagai “blue print moral” dan etika berpolitik yang bermartabat,"

Terkait usulan agar IJ Kasimo menjadi pahlawan nasional, Ketua Badan Pekerja Nasional (BPN) Forkoma PMKRI Hermawi Taslim mengatakan, seluruh persyaratan dan proses pengajuan Kasimo sebagai pahlawan nasional telah disampaikan kepada instansi berwenang. Pihak kini mengharapkan adanya respon positif.

Dialog publik hari ini, kata Hermawi Taslim, merupakan rangkaian dari empat kegiatan serupa yang dilakukan empat lokasi berbeda. Yang pertama telah diselenggarakan di Surabaya hari Minggu lalu. Dua lainnya akan diselenggarakan di Pontianak pada tanggal 29 Juli dan terakhir di Medan pada tanggal 31 Juli.

Sumber : Kompas.Com Selanjutnya...

IJ Kasimo Layak Digelari Pahlawan Nasional


IGNATIUS Joseph (IJ) Kasimo (1900-1986) layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia. Selain andil dalam memperjuangkan kemerdekaan, Kasimo memiliki sikap yang patut diteladani, yakni dalam berpolitik selalu beretika dan bermartabat.

Hal ini mengemuka dalam Seminar Nasional bertajuk Politik Bermartabat, Kajian Tentang Perjuangan dan Pengabdian IJ Kasimo yang digelar di Aula A-300 Lantai III Kampus Unika Kupang, Rabu (27/7/2011). Kegiatan berkaitan dengan pengajuan gelar pahlawan nasional bagi IJ Kasimo ini dibuka Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon Foenay, M.Si, dihadiri juga Rektor Unika Kupang, P. Yulius Yasinto, SVD.

Seminar menampilkan narasumber, JB Sudarmanto (penulis buku biografi IJ Kasimo), Dr. Daniel Dakhidae dan Pdt. Dr. Nico Wolly. Bertindak sebagai moderator Drs. Urbanus Ola Hurek, M.Si.

IJ Kasimo adalah tokoh pendiri sekaligus pemimpin Partai Katolik. "Kasimo terjun ke politik bukan untuk mencari uang dan pangkat, melainkan didasarkan pada tanggung jawab kemanusiaan. Kasimo memiliki etika, jujur dan bermartabat. Ia sangat sederhana, dan itu tampak dalam dalam kehidupan sehari-harinya. Ia memberi tanpa menerima, selalu berkorban dan berpihak kepada masyarakat. Kasimo pantas jadi pahlawan nasional," kata Sudarmanto.

Daniel Dakhidae juga mengatakan, IJ Kasimo layak mendapat gelar pahlawan nasional. Mengapa perlu sekarang? Karena ini, inilah momen paling mengenaskan dimana telah terjadi kehilangan moral responsibility.

"Kehidupan politik masa kini sudah begitu tanpa karakter. Politik sekarang menganggap prinsip sebagai ketololan. Sekarang otak sudah tidak ada hubungan dengan raga. Tangan bergerak sendiri tanpa komando. Bicara martabat sekarang adalah sesuatu yang mewah. Telah terjadi the sick body politics yang sangat memerlukan role mode. Kondisi ini diperlukan tokoh seperti Kasimo," kata Dakhidae.

Menurutnya, Kasimo tokoh minoritas. Namun dalam berpolitik, di kepala Kasimo tidak ada minoritas dalam konsep kewarganegaraan atau cisizenship. Minoritas dan mayoritas adalah konsep stastitik bukan konsep kewarganegaraan. Kasimo dengan politics of dignity memenuhi kehausan masyarakat. Ia membuktikan dalam sejarah hidupnya bahwa ketegasan menghormati masyarakat. "Tokoh seperti Kasimo sangat dirindukan semua orang," katanya.

Pendeta Nico Wolly yang berbicara dari perspektif etika politik kristen mengatakan, politik sebagai proyeksi iman yang bertanggun jawab. Politik bermartabat, politik yang lahir dari kesadaran iman. Politik proyeksi iman hanya dapat diperoleh dengan keterkaitan dengan institusi gereja. Artinya, politik etis dilakukan oleh orang yang bergereja dan menggereja. Oleh karena itu, kita perlu belajar dari Kasimo.

Mantan anggota DPRD Propinsi NTT ini mengungkapkan, selain IJ Kasimo, ada tokoh Dr. Johannes Leimene, pendiri Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Leimena lahir di Ambon, 6 Maret 1905 dan meninggal 29 Maret 1977. Sebagai penghargaan kepada jasa-jasanya, pemerintah Indonesia pada November 2010 memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Leimena. Artinya, sudah 25 tahun baru Johanes Leimene dianugerahi pahlawan nasional.

Sementara, IJ Kasimo yang lahir tahun 1900 dan meninggal tahun 1986, baru diusulkan dianugerahi pahlawan nasional pada tahun 2011. "Ditinjau dari aspek tingkah laku, apakah ini normal?" tanya Nico Wolly.

Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon Foenay mengatakan, IJ Kasimo sebagai tokoh pendiri sekaligus pemimpin Partai katolik yang beretika dan bermartabat. Nilai-nilai yang diajarkan IJ Kasimo sangat relevan dengan kondisi sekarang. Oleh karena itu, perlu terus ditumbuhkan. (aca)

Kasimo Istimewa

Gaspar P Ehok (Mantan Bupati Manggarai)

UPAYA untuk menjadikan IJ Kasimo pahlawan nasional, saya kira baik. Hak kita untuk memperjuangkannya tapi belum diberikan kepada pihak yang berhak, apalagi menginginkan pada sebuah resim yang tidak bermartabat. Kasimo sudah mendapat legalitas formal pahlawan nasional. Konkritkan nilai-nilai perjuangannya. Kasimo orang istimewa. Saya kenal banyak politisi sekelas IJ Kasimo di waktu itu, tapi dia sangat istimewa.
Saat ini ada politisi Katolik di Jakarta tapi tidak banyak yang bermartabat seperti IJ Kasimo. (aca)

Frans Skera (Pensiunan PNS)

KEPAHLAWANAN IJ Kasimo tantangan orang kristen. Nilai kesederhanaan, pamrih, memberi tanpa menerima adalah nilai-nilai yang menjadi barang langkah di era sekarang ini. Kasimo tidak butuh pahlawan, demikian juga keluarganya. Yang butuh pahlawan kita-kita ini. Orang kristen harus berdiri di depan. (aca)

Rufus Pati Wutun (Dosen Undana)

KASIMO hebat, cukup layak diberi anugerah sebagai pahlawan nasional. Nilai-nilai perjuangannya diadopsi oleh kita untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari. (aca)

Frans Kape (Pensiunan PNS)

DIA (Kasimo) negarawan. Saat fusi partai Katolik, Kasimo menyatukan semua kader Katolik dan berpesan menjadi garam di partai mana saja. Kasimo negarawan, dia pantas jadi pahlawan nasional. Benang merahnya, kita berada di mana-mana dengan latar belakang masing-masing dan dengan ideologi masing-masing. (aca)

Donatus (Staf Dinas PPO Kota Kupang)

KASIMO personifikasi dari nilai-nilai kristiani. Dia berani berkoban dan membela kepentingan masyarakat. (aca)

John Dekrasano (Ketua PPDI NTT)

KASINO layak menjadi pahlawan nasional. Hal besar yang dilakukan, yakni menjaga keberlangsungan bangsa dan negara serta memperjuangkan nilai-nilai Pancasila. (aca)

Sumber : Pos Kupang Selanjutnya...

Minggu, 12 Juni 2011

"The Musalman", Koran yang Ditulis Tangan



KETIKA banyak surat kabar gulung tikar diterjang media online, surat kabar The Musalman bertahan dengan caranya sendiri. Koran sore yang terbit di Chennai, Tamil Nadu, India, itu ditulis tangan.

Terbit empat halaman setiap hari, koran berbahasa Urdu itu bertiras 21.000. Dibutuhkan waktu tiga jam bagi tiga "katib" reporter dan kaligrafer untuk menulis berita di setiap halaman.

Terbit empat halaman setiap hari, koran berbahasa Urdu tersebut bertiras 21.000, yang semuanya pelanggan. Dibutuhkan waktu tiga jam bagi tiga katib (reporter dan kaligrafer) untuk menulis berita di setiap halaman, sebelum diproses hingga menjadi koran yang siap dikirim ke pelanggan.

Jika ada breaking news, seluruh halaman itu harus ditulis ulang. Namun, kini mereka sudah menyediakan sebuah kolom kecil di halaman muka untuk berjaga-jaga apabila ada berita baru.

Lain lagi yang terjadi apabila ada kesalahan tulis. Satu halaman tersebut harus diganti dan ditulis ulang.

Dengan ditulis tangan, surat kabar ini sekaligus melestarikan tradisi kaligrafi rakyat India. Bagi Pemimpin Redaksi The Musalman Syed Arifullah, mempertahankan tradisi adalah urusan hidup atau mati.

"Kami mempertahankan tradisi ini selama 84 tahun dan setelah tahun ketiga tahun pertama memimpin koran ini, saya memutuskan untuk mendedikasikan hidup saya untuk Musalman," kata Arifullah yang memimpin surat kabar itu sejak ayahnya meninggal.

"The Musalman adalah tentang kaligrafi, dan setiap orang tertarik pada kaligrafi. Jika Anda menyalakan komputer, ada perbedaan antara kami dan koran lain. Kaligrafi adalah jantung Musalman. Jika Anda mengeluarkan jantung itu, tidak ada lagi yang tersisa," ujar Arifullah.

Surat kabar itu diterbitkan pertama kali pada 1927 oleh kakek Arifullah, Syed Azmatullah, yang kemudian mewariskannya kepada Syed Faizullah. Ayah Arifullah itu meninggal pada usia 76 tahun akibat infeksi paru-paru. Sejak itu Arifullah menjadi penanggung jawab surat kabar ini.

Bagi para karyawannya, The Musalman menjadi simbol seni yang hampir punah. Dengan bekerja di koran tersebut, mereka tidak hanya melestarikan tradisi kuno, tetapi juga bahasa Urdu.

Karyawan Musalman tergolong setia. Salah satu reporternya, Rehman Hussain, kini berusia 50 tahun dan sudah bekerja di situ selama lebih dari 30 tahun. "Karena bisa berbahasa Urdu, kami dihormati. Dan saya akan bekerja bersama Musalman sampai napas penghabisan," kata Hussain.

Kantor The Musalman sangat sederhana, bahkan cukup tidak nyaman untuk bekerja. Kantor itu suram karena penerangan yang buruk. Suasananya juga bising karena mesin cetak berada di kantor yang sama.

Belum lagi gaji mereka yang sangat kecil. Koran itu hampir tidak menghasilkan laba karena biaya produksi yang cukup tinggi. Namun, bagi para kaligrafer Musalman, bekerja di situ merupakan dedikasi.

"Kecintaan kami terhadap pekerjaan inilah yang membuat saya terikat kepada Musalman," kata Usman Gani, salah satu editor.

Sumber : dailymail.co.uk, dikutip dari kompas.com Selanjutnya...

Minggu, 06 Maret 2011

Dari Workshop Akuntabilitas Anggaran (1)


Terjebak Permainan Eksekutif

BERTEMPAT di ruang Bengawan Solo 2, Hotel Sahid Jaya Makasar, Sabtu-Senin (8-10/1/2011), berlangsung Workshop Nasional bertajuk Peranan CSO (Civil Society Organisation) dan Media dalam Monitoring Akuntabilitas Anggaran. Kegiatan yang diselenggarakan Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi itu, diikuti juga wartawan Pos Kupang, Alfons Nedabang. Berikut laporannya.

Indonesia tidak dikategorikan sebagai negara miskin. Indonesia dikategorikan sebagai negara yang salah urus. Demikian Winarso dari KOPEL Sulawesi, di awal pertemuan workhsop.

Salah urus, menurut Winarso, diantaranya tercermin dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap daerah. "Pemerintah gagal membuat skala proritas," cetus Winarso.

KOPEL Sulawasi punya alasan. Dari sisi kapasitas anggaran, KOPEL menemukan permasalahan yang sama di sebagian besar kabupaten kota di Sulawesi Selatan. Pada tahun 2007 misalnya, struktur APBD menunjukkan masih dominan pemanfaatan belanja daerah untuk kepentingan aparatur. Rata-rata 63-67 persen belanja daerah dialokasikan untuk gaji, honorarium, dan pengadaan sarana prasarana aparatur. Sementara untuk alokasi anggaran bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, banyak ditemukan tidak lebih dari 35 persen belanja daerah. Kenaikan belanja langsung yang terkait dengan anggaran pelayanan publik selalu kecil setiap tahun. Hal ini umumnya disebabkan oleh karena tingginya kenaikan belanja pegawai (gaji dan tunjangan serta tambahan penghasilan bagi PNS).

Struktur APBD propinsi, kabupaten/kota di NTT juga tidak jauh berbeda dengan hasil temuan KOPEL di kabupaten kota di Sulawesi Selatan. Komposisi terbesar ada pada belanja aparatur. Beberapa kepala daerah di NTT bertekad membalikan komposisi anggaran, belanja langsung lebih besar dari belanja aparatur, namun masih sebatas retorika.

Bagaimana konten anggaran? Menurut Winarso, eksekutif hebat buat judul program, sementara sub anggaran lain lagi. Ia mencontohkan, dalam rencana kerja anggaran (RKA), meliputi kelompok belanja, jenis belanja, objek belanja dan rincian belanja. Namun, pada saat pembahasan di DPRD, eksekutif hanya menyodorkan kepada legislatif dokumen anggaran yang hanya tertera kelompok belanja dan jenis belanja. Sedangkan objek dan rincian belanja dirahasiakan eksekutif.

"Saat pembahasan anggaran, dewan hanya melihat judul dan angkanya saja. Semestinya, dalam konteks penyusunan anggaran, dewan harus tahu objek dan rinciaannya. Selama ini, kita sering terjebak dengan permainan dan kepintaran eksekutif," katanya.

Soal jebakan eksekutif, KOPEL Sulawesi punya temuan. Di Dinas Kesehatan Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ada program dengan judul mentereng pemberantasan penyakit menular dengan alokasi anggaran Rp 48.199.994. Sasaran pemanfaat kegiatan ini adalah calon jamaah haji. Namun, ternyata hanya 1 persen atau Rp 250.000 dari total anggaran yang dibelanjakan untuk pemberantasan penyakit menular, yaitu berupa belanja bahan kimia (pleno test). Selebihnya, untuk keperluan administratif berupa alat tulis kantor, foto copy, makan dan minum. Lebih parahnya lagi, sebanyak 94 persen atau Rp 45.029.994, dari total anggaran tersebut digunakan alokasi anggaran perjalanan dinas.

Rinciannya, alat tulis kantor Rp 320.000; foto copy Rp 200.000; bahan kimia (pleno test) Rp 250.000; makan minum Rp 2.400.000 dan perjalanan dinas Rp 45.029.994.

Dari judul programnya, nampak kegiatan itu memiliki maksud dan tujuan mulia. Namun, pengalokasian anggaran tidak berpihak. Anggaran yang diperuntukan untuk kegiatan itu dipandang sangat minim, dan ternyata lebih banyak digunakan untuk keperluan administratif, makan minum dan perjalanan dinas. Hal yang seperti ini kemudian oleh anggota dewan mengabaikannya. Dewan juga tidak melakukan kajian yang ditindaklanjuti dengan mengambil langkah-langkah untuk melakukan relokasi anggaran. Sudah tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan.

Apa yang terjadi di Kabupaten Luwu Timur, adalah salah satu contoh. Ini baru satu kegiatan dari sekian banyak kegiatan di dinas kesehatan. Belum lagi program dan kegiatan di dinas lain yang formulasinya kurang lebih sama. Kasus ini hanyalah fenomena gunung es. Banyak yang belum terungkap.

Kasus seperti ini, juga bukan hanya terjadi di Luwu Timur. Saya yakin, terjadi juga di NTT. Jika kita mencermati setiap program/kegiatan setiap SKPD dengan baik, maka pasti menemukannya. Beberapa waktu lalu di Kota Kupang, misalnya, kalangan dewan mempersoalkan pengalokasian anggaran untuk honor kepala daerah dan wakil kepala daerah, sekda serta panitia kegiatan/program. Hal itu tertera di dalam RKA, setiap panitia kegiatan dari SKPD ada ada honor untuk pelindung, penasehat yang adalah pejabat. Kalau setiap program ada honor untuk kepala daerah dan pejabat lainnya, sudah tentu anggaran belanja publik yang sudah sedikit, ikut tersedot lagi. Belum lagi untuk biaya administrasi, pejalanan dinas dan biaya makan minum. Eksekutif berlindung dibalik aturan yang memperbolehkan.

Secara proses, penganggaran pada dasarnya melibatkan legislatif, eksekutif dan masyarakat. Ketiga komponen ini secara berjenjang terlibat melakukan penyusunan anggaran mulai dari proses perencanaan hingga penetapan anggaran di DPRD.

Masyarakat, dewan dan eksekutif bersama-sama merumuskan kegiatan dan program-program yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat melalui musrenbang.

Pelaksanaan musrenbang dimulai dari tahapan di tingkat desa/kelurahan. Setelah itu, musrenbang kecamatan, forum SKPD, hingga musrenbang tingkat kabupaten. Selanjutnya, musrenbang tingkat propinsi dan musrenbang nasional.

Dalam pelaksanaannnya, dari setiap tahap, masih ditemukan berbagai permasalahan yang kemudian mengurangi kualitas prencanaan pembangunan. Beberapa permasalahan Musrenbang yang masih dipandang serius, antara lain tingkat partisipasi masyarakat masih rendah, keterwakilan kelompok-kelompok kepentingan yang strategis belum banyak terakomodir. Teknis persiapan seringkali mendadak dan pelaksanaan kegiatan seringkali mengesampingkan prinsip-prinsip musyawarah sekedar formalitas. Proses fasilitasi untuk menentukan program prioritas masih sering didominasi oleh aspirasi aparat pemerintah. Berikutnya adalah, banyak usulan dari bawah tidak terkover. Ada usulan hilang dalam perjalanan.

Bagaimana dengan anggota legislatif? Dalam menjalankan tupoksinya, anggota dewan juga terjebak pada prosedural yang sangat mekanistik dalam setiap proses-proses pengambilan kebijakan. Dewan cendrung mengabaikan aspek-aspek moralitas atau nilai yang harus diemban sebagai wakil rakyat.

Sebagai contoh dalam pembahasan RAPBD, anggota dewan melakukan pembahasan sesuai dengan proses yang harus dilakukan, mereka tidak satupan melanggar ketentuan dan peraturan yang ada. Namun, APBD yang mereka bahas tidak mencerminkan keberpihakan bagi masyarakat, tidak tepat sasaran untuk peruntukkannya dalam setiap program di SKPD, mengabaikan aspirasi masyarakat dan sebagainya. Apa yang menjadi usulan eksekutif yang tertuang dalam dokumen RAPBD tidak sepenuhnya dikiritisi oleh dewan. Harus jujur mengatakan bahwa, hal ini karena masih kurangnya pengetahuan wakil rakyat. Apalagi, saat ini legislatif didominasi wajah baru, belum bernah mendapatkan pengalaman kelegislatifan menambah problem baru di DPRD. Keterbatasan yang dimiliki dewan, tentu saja berimpilikasi pada produk kebijakan yang akan dilahirkan. Belum lagi kepentingan masing-masing partai politik yang dititipkan kepada mereka. Ada juga anggota dewan yang lebih senang urusan proyek dan terlibat kasus hukum.

Jika faktor-faktor yang dikemukakan di atas, tidak dibenahi maka perumusan APBD yang berpihak kepada rakyat tidak akan terwujud. Kelompok-kelompok rentan yang selama ini kurang memiliki akses terhadap penerimaan manfaat dari anggaran pembangunan, sudah pasti tetap tidak tersentuh. Masalah-masalah yang dihadapi kelompok rentan, seperti rendahnya kualitas kesehatan, rendahnya akses dan kualitas pendidikan, kurangnya perlindungan secara hukum, dan rendahnya perlindungan ekonomi, tidak terselesaikan dengan baik karena pemerintah tidak menjadikan mereka sebagai skala proritas.(Pos Kupang edisi 24 Januari 2011) Selanjutnya...

Dari Workshop Akuntabilitas Anggaran (2)

Perlu Poster dan Baliho APBD

DIBANDINGKAN dengan Sulawesi Selatan, NTT masih tertinggal dalam hal akuntabilitas anggaran. Jangankan mengetahui isinya, melihat dan memperoleh dokumen APBD propinsi dan kabupaten/kota di NTT, dirasakan sulit bukan main oleh masyarakat.

Di Kota Makasar, publikasi APBD dengan menggunakan poster dan kalender. Hal ini dilakukan sejak tahun 2009. Kepala Bappeda Kota Makasar, M. Idris Patarai, ketika memaparkan materi Akuntabilitas dan Pelayanan Publik Kota Makasar, mengatakan, publikasi APBD dengan poster dan kalander bertujuan mendorong transparansi anggaran pada tubuh pemerintah daerah.

Poster disebar ke seluruh masyarakat. Selain itu, dipasang di tempat-tempat terbuka dan strategis seperti kantor-kantor lurah, rumah-rumah tokoh masyarakat dan juga pada setiap instansi pemerintah pemberi layanan kepada masyarakat.

Publikasi dalam bentuk poster merupakan ringkasan APBD 2009 menurut SKPD dan nama-nama penanggungjawab anggaran. Dalam poster dimuat total pendapatan dan belanja daerah, serta anggaran belanja yang ada di setiap SKPD. Pada poster juga tercantum alamat dan nomor telepon dari SKPD yang merupakan instansi pengguna anggaran APBD.

Menurut Idris Patarai, pencantuman alamat dan nomor telepon dengan tujuan untuk memberikan informasi bagi warga yang punya keperluan dan pengaduan terkait dengan realisasi anggaran yang dilakukan oleh setiap SKPD.

Kota Makasar bukan satu-satunya daerah di Sulawesi Selatan yang melakukan publikasi APBD. Menurut data KOPEL Sulawesi, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Luwu Timur juga mempublikasi APBD.

Di Kabupaten Bantaeng, selain menggunakan poster, sosialisasi APBD juga menggunakan kalender. Antusiasme pemerintah daerah Bantaeng terhadap adanya transparansi anggaran lebih banyak didorong dari elit-elit pemerintahan, termasuk Bupati Bantaeng.

Di Kabupaten Tana Toraja, publikasi APBD juga lewat poster, dan mulai dilaksanakan tahun 2009. Kalau pada tahun pertama pemerintah yang lebih berperan. Sedangkan pada tahun 2010 inisiasi datang dari sejumlah anggota dewan.

Di Kabupaten Luwu Timur, awalnya publikasi APBD melalui website pemerintah daerah setempat. Karena kurang efektif bagi masyarakat yang ada di kecamatan dan desa karena tidak dapat mengakses internet, maka pada tahun 2010, pemerintah daerah Luwu Timur melakukan publikasi APBD lewat baliho, dipajang di seluruh kecamatan. Menurut KOPEL Sulawesi, baliho APBD versi pemerintah daerah Luwu Timur merupakan hal pertama kali dilakukan di Sulawesi Selatan.

Pilihan menggunakan poster, kalander dan baliho untuk mempublikasi APBD, dapat dipahami karena secara teknis, media-media itu yang cukup praktis memberikan informasi anggaran bagi masyarakat. Poster, kalander dan baliho memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Dengan begitu, masyarakat tertarik untuk mengetahui secara pasti berapa jumlah pendapatan dan belanja yang selama ini diterima dan dikeluarkan oleh pemerintah.

Pemakaian poster, kalander dan baliho adalah bentuk respon baik dari pemerintah daerah di Sulawesi Selatan untuk mendoring adanya transparansi anggaran.

Di NTT, masih jauh dari jangkauan pemikiran pejabat-pejabat untuk mempublikasi APBD. Jangankan mempublikasi, mengakses APBD masih sulit. Tabu bagi pejabat kita untuk menginformasikan anggaran kepada masyarakat. Takut ketahuan, alokasi anggaran buat pejabat lebih besar ketimbang untuk masyarakat. Tapi kalau omong akuntabilitas anggaran, pejabat-pejabat di NTT nomor satu. Pada setiap kesempatan selalu menekankan pentingnya akuntabilitas anggaran. Ternyata, hanya retorika. Yang terjadi selama ini, pemerintah daerah hanya mempublikasi lewat media massa, itupun hanya berupa informasi laporan pertanggungjawaban kepala daerah.

Apa yang terjadi di Sulawesi Selatan, patut diapresiasi. Perubahan sikap pemerintah daerah dari sebelumnya tidak mau menjadi mau mempublikasi APBD, tidak terlepas dari peranan civil society organisation (CSO) dan media massa.

Di Sulawesi Selatan, selain ada KOPEL, ada juga parlemen group alias paslemen jalanan yang mengorganisir diri secara solid. KOPEL dan Parlemen group mendesain posko aspirasi, baik ditingkat desa/kelurahan maupun ditingkat kecamatan. Sasaran pembbentukan posku ini adalah untuk mengakomodir kepentignan kaum marginal (tani, nelayan) yang selama ini terpinggirkan. Mereka bekerja menyerap aspirasi kebutuhan masyarakat lokal.

"Ini menjadi model pembelajaran kepada masyarakat bahwa gedung DPRD bukan satu-satunya tempat untuk memasukan aspirasi. Karena, selama ini dikesankan seolah-olah kantor DPRD adalah harga mati untuk pemyampaikan aspirasi," ujar Syamsuddin Alimsyah dari KOPEL Sulawesi.

Menurut Syamsuddin, kehadiran posko aspirasi menarik anggota dewan mendekati masyarakat. Sebaliknya, masyarakat juga bisa menilai, siapa yang lebih rajin mendatangi dan mendengarkan aspriasi mereka.

Syamsuddin mengatakan, posko aspirasi ini juga merupakan respon atas berbagai keluhan masyarakat, diantaranya masih banyak anggota dewan yang pintar menggombal. Padahal, pada waktu kampanye calon anggota dewan mengumpulkan masyarakat, memberi makan, bahkan sedikit mengemis minta kasihan agar masyarakat memilihnya. Tapi setelah terpilih, jangankan menyapa, membuka kaca mobilnya saja enggan.

Kehadiran posko aspirasi diharapkan antara rakyat dan wakilnya akan terbangun komunikasi yang efektif. Dengan komunikasi yang efektif, segala sekat dan hambatan yang selama ini terjadi, bisa dihilangkan.

Sony Wakyono, pemimpin redaksi harian Pos Kota di Makasar, mengatakan, media massa juga memiliki andil dalam mendorong publikasi APBD di Sulawesi Selatan. "Perjuangan untuk perubahan ini membutuhkan waktu yang sangat panjang. CSO dan media harus bersinergi," kata Wakyono.

Dalam konteks NTT, harus diakui bahwa CSO dan media massa belum mampu mendorong pemerintah daerah melakukan publikasi APBD. Tidak ada CSO yang mengusung isu advokasi APBD. Boleh jadi, isu APBD belum dianggap sebagai isu seksi oleh CSO. Faktor lainnya, kemesraan antara CSO dengan pemerintah daerah. Banyak CSO yang 'bermitra' dengan pemerintah sehingga sungkan untuk mengkritisi APBD. Adanya ikatan emosional antara orang-orang CSO dengan elit-elit pemerintah, hubungan kekerabatan, pertemanan dan keluarga, juga menjadi faktor yang ikut menentukan sikap CSO.

Olkes dari CIS Timor yang juga menjadi peserta workshop, mengakui, belum punya pengalaman melakukan advokasi isu APBD kepada masyarakat. Menurutnya, CIS Timor hanya baru melakukan advokasi terhadap perempuan di tingkat desa di Kabupaten Kupang untuk memantau perancanaan dan penggunaan dana alokasi desa (ADD). "Kita memang perlu mengakrabkan APBD dengan masyarakat," katanya.

Peran media massa di NTT juga belum nampak dalam mendorong publikasi APBD. Hal ini diduga karena media 'mesrah' dengan pemerintah sehingga tidak mencermati lebih jauh tentang APBD, selain faktor keterbatasan kemampuan wartawan dalam membaca angka-angka.

Oleh karena itu, perlu peningkatan kapasitas CSO dan media massa serta masyarakat sipil untuk mendorong akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran daerah. Sinergisitas antara CSO, media massa dan masyarakat juga dibutuhkan. Hanya dengan begitu, anggaran yang lebih berpihak kepada masyarakat, bisa terwujud. Keberpihakan ini tercermin dalam kebijakan program serta proyek-proyek yang disusun dan dilaksanakan. Apakah kita mau mencontohi Sulawesi Selatan? (Pos Kupang, 25 Januari 2011) Selanjutnya...

Basira di Pusaran Ketertinggalan


BAYANGKAN Pulau Flores. Abaikan bagian tengah dan baratnya. Arahkan pikiran ke ujung timur. Pada 'kepala burung' yang kerap disebut Tanjung Kopong Dei, nah disitulah desa Patisira Walang.

Patirisa Walang lebih dikenal dengan Basira. Menjadi desa definitif tahun 1995, setelah tiga tahun melakukan persiapan. Basira berada di Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. Sebelumnya, Basira yang saat ini didiami sekitar 250 kepala keluarga, dalam pelukan Desa Latonliwo.

Mendatangi Basira, so pasti tidak segampang membayangkannya. Pasalnya, infrastruktur sangat tidak layak. Jalan rusak parah. Angkutan umum pedesaan tidak ada. Perjalanan menghabiskan waktu yang lama, melelahkan, dan nyawa taruhannya.

Saya berkesempatan mengunjungi Basira pada akhir Juli 2010. Terlibat dalam kegiatan Kemah Kerja Kitab Suci (K3S) Aktivitas Pendalaman Iman (API) Renha Rosari Mahasiswa Katholik Dioses Larantuka-Kupang.

Bersama tiga teman, Kris Hayon, Alo Lebuan dan Feris Koten, menjajal perjalanan darat dengan menunggang sepeda motor. Perjalanan dimulai dari Larantuka, melewati Waiklibang, ibu kota Kecamatan Tanjung Bunga. Larantuka-Waiklibang ditempuh dengan 45 menit, sedikit lebih cepat jika dibandingkan dengan menumpang angkutan pedesaan.

Sekitar satu kilometer selepas Waiklibang, tepatnya di Riangpigang, belok kanan menuju Basira. Kondisi jalan Waiklibang-Basira, memang tidak semua rusak. Satu dua kilometer pertama, jalan masih bagus. Rabat beton masih utuh. Setelah itu, jalan rusak parah. Ada ruas jalan yang sudah diaspal, namun aspal terkelupas sehingga meninggalkan lubang di sana sini. Ada juga ruas jalan rabat beton, namun kondisinya sama parah dengan ruas jalan tanah. Selain karena konstruksinya kurang bagus, diduga karena pada saat campuran semen masih basah, sudah dilewati kendaraan. Jejak kendaraan terlihat jelas pada rabat beton.

Selain rusak, umumnya jalan sempit, berkelok-kelok, mendaki dan menurun. Kerikir berserakan. Melintasinya, membutuhkan kehati-hatian. Jika tidak, terpeleset dan jatuh, sebagaimana dialami Kris Hayon dan Alo Lebuan. Motor lecet, badan luka-luka. "Ini resiko perjalanan," celetuk Feris Koten, sambil tertawa.

Memasuki Basira, mulai dari Koten, Desa Latonliwo, jalan baru dikerjakan, memotong bukit dan gunung. Jalan tanah dengan lebar empat meter, sepanjang tiga kilometer. Jalan tembus Basira pada tanggal 27 Juli 2010. Pengerjaan jalan berhenti persis di tengah desa.

Dengan dibukanya jalan, memudahkan kendaraan mencapai Basira. Jauh sebelumnya, kendaraan dari Waiklibang berhenti di Latonliwo. Selanjutnya, warga berjalan kaki. Sekarang, untuk bepergian, warga bisa menggunakan sepeda motor ojek. Ongkos ojek Waiklibang-Basira Rp 50.000, belum termasuk ongkos barang bawaan. Waiklibang-Basira berjarak sekitar 30 kilometer, ditempuh 1,5 jam.

"Indonesia sudah lama merdeka tapi Basira belum merdeka. Jalan baru saja dibuka, belum diaspal. Kalau musim hujan, sangat parah karena berlumpur," ujar Simon Suda Soge (50), tokoh masyarakat Basira.

Jalur darat bukan satu-satunya pilihan ke Basira. Basira bisa juga diakses lewat jalur laut. Moda transportasi yang menjadi andalan adalah perahu motor. Hanya ada dua perahu motor, itu pun tidak setiap hari beroperasi. Adapun jadwalnya, Senin dan Kamis berangkat dari Basira, sedangkan dari Larantuka setiap hari Selasa dan Jumat, naik di Lewerang, dekat pelabuhan pendaratan ikan. Tarif Rp 20.000 per penumpang, belum termasuk barang bawaan. Kalau membawa semen atau beras, setiap satuannya dikenai ongkos angkut Rp 5.000. Untuk seng, ongkos angkutnya Rp 2.500 per lembar. Ongkos angkut ini berlaku juga saat tiba di Basira, dari pelabuhan ke rumah warga. Jalan mendaki dan jaraknya sedikit jauh, menjadi alasan warga meminta bayaran kepada pemilik barang. Ongkos pikul satu sak semen Rp 5.000, seng Rp 2.500 per lembar.

Selain jalan yang rusak dan sarana transportasi yang tidak memadai, masalah listrik turut mempertegas kondisi memprihatinkan Basira. Saat ini, menggunakan listrik tenaga surya atau solar raise, bantuan pemerintah Propinsi NTT. Tidak semua rumah tangga menikmatinya, karena solar raise hanya 31 paket. Satu paket dipasang di kantor desa dan 30 paket lainnya di rumah warga. Pemasangan dilakukan Oktober 2009.

Arus listriknya yang terbatas, membuat setiap rumah tangga yang memiliki solar raise, hanya bisa menyalakan lampu berdaya 10 Watt. Meski dengan tiga lampu, tidak cukup untuk membaca buka karena cahanya suram. Menyalakan televisi, sudah tentu tidak mungkin.

Sektor pendidikan Basira juga pincang. Ada satu taman kanak-kanak dan dua sekolah dasar, yaitu SD Negeri Tone dan SD Inpres Lantoliwo. Kondisi SD Negeri Tone sangat memprihatinkan. Dindingnya dari keneka, bambu yang dicincang dan dibelah. Murid dan guru bisa diliat dari luar lewat celah keneka. Lantai tanah. Bangku meja apa adanya, dan terbatas. Satu bangku dan meja yang seharusnya digunakan dua murid, dimanfaatkan empat orang. Duduknya berdesakan. SD Negeri Tone dibangun pasca gempa tahun 1992 pasca gempa, namun sampai saat ini tidak diperbaiki.

Jumlah guru juga masih kurang. SD Negeri Tone, misalnya, hanya ada empat guru PNS dan empat guru honorer. Jangan tanya soal fasilitas lainnya, seperti komputer karena memang tidak ada. Anak-anak yang tamat SD, melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Tanjung Bunga di Koten, Desa Latonliwo. Pergi pulang dengan berjalan kaki. Jauh sebelumnya, banyak anak dari Basira dan desa tetangga lainnya sekolah di SMP Negeri Tanjung Bunga di Waiklibang.

Sektor kesehatan juga bermasalah. Satu-satunya sarana kesehatan yang ada di Basira adalah poliklinik, dengan satu bidan. Jika warga sakit berat, maka berobat ke puskesmas pembantu di Desa Latonliwo dan ke puskesmas Waiklibang. Banyak juga yang berobat ke Larantuka. Anda bayangkan bagaimana jika seorang ibu hamil nifas membutuhkan pertolongan segera. "Idealnya ada puskesmas di Basira," ujar Damianus Bading Kesin (29).

Ketertinggalan Basira turut berpengaruh pada perekonomian dan pembangunan. Warga sulit membangun rumah permanen karena sulit memperoleh bahan bangunan. Pasir, misalnya, harus diangkut dengan menggunakan motor laut dari Tana Belen, Aransina dan Lewotutu, sekitar 10 kilometer dari Basira. Satu kubik pasir setara dengan 52 blek Khongguan besar, seharga Rp 200.000. Ongkos angkut dengan perahu Rp 300.000. Ongkos pikul dari pantai ke rumah warga Rp 5.000 per blek Khongguan.

"Saat membangun kantor desa tahun 2007, warga merasakan susah mengangkut material bangunan. Sekarang, warga yang adalah umat juga keberatan pembangunan gereja permanen karena khawatir gereja belum selesai umat sudah mati karena pikul barang," ujar Simon Soge.

Umumnya, masyarakat Basira hidup dari bercocok tanam. Hasil pertanian yang menonjol dan menjadi andalan adalah kacang tanah, jagung, padi serta jambu mete. Kacang tanah polong dijual Rp 50.000 per blek Khongguan. Gaplek atau ubi kayu kering dijual Rp 13.000 per blek Khongguan, dan jambu mente Rp 8.000 per kg. Basira juga sebagai daerah penghasil ikan. Selain untuk makan, hasil pertanian dan laut dijual tapi tidak seberapa banyak karena terkendala pasar. Untuk berjualan, harus ke Waiklibang dan Larantuka. Jarak yang jauh serta sarana yang terbatas, membuat jumlah barang yang dibawa juga terbatas. Ikan dan hasil pertanian lainnya seperti buah-buahan berpotensi rusak di perjalanan, sebelum dijual.

Kadang, ada pembeli datang di Basira. Umumnya, berasal dari Bugis/Makasar (Selawesi Selatan) dan Maumere, Kabupaten Sikka. Meski satu sisi menguntungkan, namun di sisi lain, kehadiran pembeli di Basira melemahkan posisi tawar petani/nelayan. Tidak sedikit petani/nelayan terjebak sistim ijon.

Kondisi Basira yang tertinggal khusus merupakan potret kesenjangan pembangunan desa dan kota. Selama ini pembangunan masih berorientasi kota, sementara desa semakin terabaikan. Tengok saja di kota, segala sesuatu menumpuk di sana. Aparatur pemerintah juga semuanya terkonsentrasi di kota. Jika hal ini terus dibiarkan maka pembangunan antara desa dan kota menjadi gap yang kian lebar. Kota semakin maju sementara desa kian tertinggal. Dikotomi desa dan kota semakin menguat. Sudah pasti, menimbulkan kecemburan dan menyuburkan benih-benih disintegrasi.

Keberadaannya jauh dari pusat pemerintahan, bukan menjadi alasan pemerintah daerah untuk tidak memperhatikan Basira atau desa lainnya. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah Kabupaten Flores Timur dan pemerintah Propinsi NTT bersinergi memprakarsai pengembangan desa dengan berbagai bentuk intervensi program pembangunan, dengan mengoptimalkan sumber daya serta kearifan lokal yang dimiliki, agar kondisi Basira dan atau desa lain, kedepannya lebih baik. Pada aras ini, dibutuhkan political will, yang diikuti dengan kebijakan pengalokasian anggaran pembangunan desa yang lebih banyak. Mari membangun dari desa, demikian koor yang harus terus dinyanyikan bersama. Hanya dengan begitu, Basira atau desa lain, bisa keluar dari pusaran ketertinggalannya. (diturunkan di Pos Kupang, 20 Januari 2011) Selanjutnya...

Perspektif Pemerintahan Sony Libing


ZET Sony Libing meraih gelar doktor ilmu pemerintahan di Universitas Padjajaran Bandung, pada usia 39 tahun. Ia merupakan satu dari sedikit putra-putri NTT yang menggapai doktor pada usia yang masih tergolong muda. Disertasinya tentang perilaku pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di NTT, studi kasus di beberapa kabupaten, diantaranya Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), Alor dan Kabupaten Rote Ndao.

"Waktu kecil saya hanya bermimpi menjadi sarjana. Namun, Tuhan menuntun saya sampai doktor. Menjadi doktor adalah berkat Tuhan. Oleh karena itu, harus menjadi saluran bagi sesama," ujarnya.

Saat ditemui di rumahnya di Kelurahan Liliba, Kota Kupang, pekan lalu, Sony menjelaskan tentang perilaku pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tentang aktivitasnya sebagai PNS, konsultan pemerintah daerah dan dosen. Ia menceritrakan mengenai keluarganya serta kegemarannya, membaca dan joging. Selain itu, ia juga mengutarakan tentang obsesinya. Berikut ini petikan wawancara wartawan Pos Kupang, Alfons Nedabang dengan DR. Zet Sony Libing, M.Si.


Mengapa tertarik dengan ilmu pemerintahan?

Pemerintahan itu suatu organisasi formal yang punya visi mulia. Ia satu-satunya organisasi yang diserahi kewenangan oleh negara untuk mengelolah negara, sambil membangun kerja sama dengan komponen lain. Ia variabel determinan dari negara, dan mendapat kepercayaan menjalankan tugas negara. Kedua, banyak orang yang bekerja dalam lapangan pemerintahan tetapi terlalu sedikit yang mengerti pemerintahan. Karena visi mulia pemerintahan dan juga karena praktek-praktek pemerintahan itu banyak terjadi pengingkaran terhadap visi mulia itu. Maka, saya merasa tertarik untuk melakukan studi ilmu kepemerintahan.
Selain itu, ayah saya seorang kepala kampung. Setelah itu menjadi kepala desa hampir 30 tahun. Kakek saya, juga kepala desa. Mungkin itu yang mengalir dalam diri saya.

Dari studi mengenai praktek penyelenggaraan pemerintah daerah, apa yang Anda temukan?

Ada tiga persoalan besar. Pertama, birokrasi pemerintahan yang punya peran yang begitu besar dalam menjalankan kebijakan pembangunan itu, masih pada posisi dimana kemampuan untuk mengidetifikasi masalah yang tepat tentang kebutuhan dan permasalahan rakyat, belum sempurna. Kedua, kemampuan merumuskan kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan yang berkaitan dengan masalah riil rakyat, belum optimal. Hal ketiga, kemampuan untuk menjalankan program-program, juga belum optimal di lapangan. Sebenarnya, ada satu hal lagi, yaitu jiwa besar dalam melakukan asesmen atau penilaian terhadap program yang dijalankan, itu pun belum profesional. Tidak punya jiwa besar untuk mengatakan kinerjanya rendah atau belum optimal.

Apa penyebabnya?

Good will dan political will serta komitmen dari disesenmaker untuk menempatkan birokrat tepat pada tempatnya. Artinya, profesionalitas birokrasi pemerintrahan ditempatkan pada posisi yang tepat sesuai kealihannya, kadang terabaikan. Pada saat yang bersamaan, pada tataran birokrasi pemerintah itu sendiri, menemukan persoalan profesionalitas, komitment, perilaku, mentalitas, mid zet, mengapa dia menjadi biokrat, apa tugasnya dan bagaimana dia mengerjakan tugasnya. Tetapi, pada saat yang bersaman juga pemerintah itu tidak bisa berubah sendirinya jikalau tanpa ada sosial control dari rakyat, dari civil society, pers, LSM berkewajiban mengontrol sehingga pemerintah bekerja sesuai aturan dan mekanisme yang ada, dan sesuai dengan visi pemerintahan itu sendiri.

Itu artinya, reformasi pemerintahan belum berjalan. Pendapat Anda?

Menurut saya, dalam kapasitas orang yang melakukan studi kepemerintahan, sebenarnya bukan reformasi birokrasi yang dilakukan menjadi tren perubahan tetapi reformasi pemerintahan. Ia berkaitan reformasi dengan lembaga legislatif dan eksekutif, kepala daerah di dalamnya juga berkaitan dengan birokrasi. Sebab, birokrasi kepemerintahan itu bukan disesten maker, dia menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang ditetapkan oleh kepala daerah dan juga DPRD. Jadi menurut saya, birokrasi yang kita anut di Indonesia, belum dapat ditempatkan untuk secara profesional sebab ia dibawah sub ordinat politik. Undang-undang mengatakan netralitas PNS tapi pada saat yang bersamaan pembina PNS adalah kepala daerah yang adalah pejabat politik sehingga sulit untuk ia dapat bertindak profesional kecuali komitmen dan good will serta political will kepala daerah untuk melakukan restrukturisasi birokrasi, penempatan profesional birokrat pada tempat dan menilai kinerja birokrat.

Upaya mewujudkan good goverment dan good governance dapat terwujud?

Saya melihat bahwa ada semangat untuk melakukan pembaharuan. Spirit ke arah menciptakan pemerintahan yang baik sehingga menjalankan tugas dengan baik, sehingga bisa memberikan kebaghagian dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Semangat ke arah itu ada. Ada perbaikan-perbaikan. Bagaimana pemerintah mengajak perbagai komeponen yang lain untuk bersama-sama merumuskan menjalankan kebijakan publik. Jadi, ada semangat ke arah itu untuk menjalankan program yang baik untuk masyarakat. Demikan juga dalam hal bagaimana meningkatan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Sudah dilaksanakan anggaran berbasis kinerja. Itu program pusat tapi dijalankan pemerintah daerah. Saya melihat upaya itu sudah dan sedang dilakukan ke arah perbaikan. Bahwa dalam pelaksanaannya, ada problem yang menyertainya, itu wajar. Kata orang, tidak ada satu pelayaran itu aman. Aman jika dia sudah sampai di pelabuhan/dermaga.

Kerap terdengar masyarakat mengeluh tentang praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pencermatan Anda?

Itu memang nyata terjadi. Pada tataran publik itu, birokrasi pemerintahan belum memberi pelayanan yang baik. Ada satu hal penting yang kadang terabaikan dalam pelayanan pemerintahan yaitu, soal pengendalian program dan pengawasan terhadap pelaksanaan program oleh pimpinan, kadang terabaikan. Itu yang saya melihat. Saya melihat sangat jarang, birokrasi pemerintah turun ke rakyat untuk melihat dari dekat pelayanan publik yang diberikan oleh staf. Mungkin ini otokritik. Dahulu, kepala daerah turun ke masyarakat, berdiskusi dan lego-lego (tarian adat Alor). Mereka berhari-hari dengan rakyat di desa.
Dalam teori pemerintahan, apapun persoalan yang dihadapi masyarakat, jika pemerintah mampu menjelaskan mengapa persoalan itu terjadi dan mengapa pemerintah harus mengambil kebijakan itu, rakyat bisa menerima.
Persoalan yang kita hadapi terkadang kita tidak mampu merasionalisasikan persoalan dan kebijakan yang diambil dihadapan rakyat. Padahal, pemerintah bekerja untuk rakyat. Andai dijelaskan secara rasional kepada rakyat, rakyat bisa menerimanya walau kebijakan itu merugikan rakyat.

Berarti, komunikasi kepala daerah dengan rakyat sangat formal?

Iya. Kemampuan untuk melakukan komunikasi dengan rakyat, belum berjalan baik, yang terjadi sangat formal. Misalnya, kalau rakyat mengundang untuk turun meresmikan gereja, masjid dan jembatan. Jika tidak diundang maka tidak hadir.
Sesungguhnya, 80 persen keberadaan kepala daerah di tengah rakyat. Sisanya, 20 persen untuk kegiatan administrasi di kantor. Karena tugas administrasi kepemerintahan itu sebagian besar sudah dilaksanakan oleh kepala administrasi kepemerintahan yaitu, sekda. Terkadang, tugas-tugas administrasi pemerintahan diambil alih oleh kepala daerah. Tugas kepala daerah sesungguhnya adalah turun untuk hidup bersama rakyat. Jadi, 80 persen harus bersama rakyat. Untuk melihat program, apakah bermasalah, bermanfaat bagi rakyat atau tidak. Sekaligus memberi dan mendengar masukan dari rakyat. Seorang kepala daerah, walaupun dia memiliki legitimasi politik yang tinggi oleh rakyat dalam proses politik, belum memberi jaminan baginya untuk menjalankan tugas-tugas pemerintah secara tepat.
Kepala daerah memiliki good will, political will dan komitmet yang kuat untuk melakukan restrukturisasi organisasi sehingga organisasi itu ramping. Kemudian, memiliki good will, political will dan komitmen untuk menempatkan orang di bidangnya. Memiliki good will, political will dan komitmen melalukan reward dan punishment secara tegas. Kemudian, melakukan evaluasi kinerja. Melakukan pengendalian program dan juga kontrol yang ketat terhadap pelaksanan program di tingkat rakyat, setiap saat.

Apa kendalanya?

Pertama, soal pengetahuan berpemerintahan. Kedua, soal good will, political will dan juga soal komitmen untuk berkarya bagi rakyat. Menjadi kepala daerah bukan tujuan. Ia hanya sarana untuk memenuhi tujuan utama yakni kesejahteraan rakyat. Ada beberapa kepala daerah yang mungkin alpa dalam memandang bahwa tujuan politik sebenarnya adalah kesejahteraan rakyat. Kadang, ada yang saya lihat bersyukur kepada Tuhan karena saya telah menjadi kepala daerah. Tujuan sudah tercapai, karena saya sudah menjadi kepala daerah. Menurut saya, bersyukur kepada Tuhan itu pada akhir masa jabatan. Terima kasih kepada Tuhan karena Tuhan telah memberi hikmat akal budi sehingga saya bisa memimpin rakyat dengan baik. Pengucapan syukur dilakukan pada akhir masa jabatan. Kalau tidak mencapainya maka berdoa kepada Tuhan mohon ampun karena saya tidak bisa menjalankannya dengan baik.

Indikasi rendahnya pengetahuan berpemerintahan?

Tidak demikian. Tidak semua kepala daerah datang dengan latar belakang pemerintahan. Walapun ia memiliki legitimasi rakyat yang tinggi tapi ia memiliki good will, political will, meski ia tidak bisa belajar tentang pemerintahan, bisa saja.
Sekarang, dengan sistim politik yang terbuka, siapa saja bisa dipilih rakyat. Kalau saja seorang kepala daerah itu baru saja menduduki jabatan, ia sendiri datang dari latar belakang yang sangat berbeda dengan pemerintahan, ia bisa menggunakan staf ahli. Ia bisa menggunakan orang-orang yang pintar dalam bidangnya, untuk memberikan advis dalam berbagai bidang. Ahli dalam bidang pemerintahan, ahli dalam bidang ekonomi, ahli dalam bidang hukum. Ahli dalam bidang tata kota. Menggunakan ahli-ahli itu memberi masukan setiap saat. Jadi, staf ahli yang saya maksud itu adalah di luar dari staf ahli dalam struktur pemerintah. Bisa diambil dari perguruan tinggi. Sebenarnya, ahli-ahli di perguruan tinggi itu bisa diminta untuk duduk dalam jabatan struktural. Fadel Mohammad sewaktu menjadi gubernur Gorontalo, menggunakan profesor dari Universitas Hasanuddin. Aturan memungkinkan untuk itu.

Apakah ada teori pemerintahan yang menginspirasi Anda?

Iya, saya terinspirasi pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel bagimana menempatkan birokrasi pemerintahan yang bekerja profesional bagi rakyat. Saya juga terinspirasi dengan teori Ryaas Rasyid, yang memandang pemerintah itu adalah amanah bagi rakyat. Pemeritntah bertugas untuk melayani supaya rakyat mendapat keadilan. Pemerintah bertugas memberdayakan rakyatnya, supaya rakyat mandiri. Pemerintah menjalankan program pembangunan supaya rakyat sejahtera. Saya juga terinspirasi dengan teorinya John Stuart Mill Jr tentang goverment repsentatif. Suatu pemerintahan yang di dalam struktur pemerintahan itu tergambar berbagai etnis. Representatif etnis dan golongan ada di dalam pemerintahan sehingga rakyat merasa sense of belonging terhadap pemerintahan, karena semua kepentingannya itu tergambar dalam struktur pemerintahan. Kata kunci di dalam itu, profesional. Teori-teori itu sangat luar biasa.

Selain sebagai PNS, punya aktivitas lain?

Saya mengajar di Fisip Unwira, ilmu pemerintahan sejak tahun 2009. Kemudian di Fisip Undana, mata kuliah pengantar ilmu politik, ilmu pemerintahan, politik lokal dan otonomi daerah, juga sejak 2009. Saya mengajar setiap hari Kamis dan Sabtu. Saya meminta jadwal pas jam istirahat kantor. Satu jam untuk mengajar.
Saya juga konsultan pemerintahan Kabupaten Teluk Bindama, Kabupaten Teluk Bitumi dan Kabupaten Sorong Selatan, Propinsi Papua Barat. Tiga kabupaten itu merupakan daerah pemekaran. Jika ada waktu, saya terbang ke sana.

Bisa ceritrakan awal mula menjadi konsultan?

Ketika saya studi di Jakarta, punya teman-teman orang Papua. Pulang ke sana, dan mereka menceritrakan kepada bupati mereka. Setelah itu, bupati mereka menghubungi saya, kami berkomunikasi. Saat diminta, saya menyatakan siap memberikan pikiran-pikiran tentang bagaimana membangun daerah yang baru terbentuk. Saya beri pemikiran tentang bagaimana mengelola pemerintahan yang baik, bagimaana menjalankan pemerintahan itu sehingga memberikan manfat bagi masyarakat. Dan, saya melihat, ketiga kabupaten itu berkembang dengna baik.
Saya senjadi konsultan sejak tahun 2005, saat saya studi doktor. Jadi, sambil saya studi sampai dengan sekarang ini, saya diminta memberi pikiran.

Seberapa intens advis yang Anda berikan?

Kalau saya punya waktu, saya ke sana (Papua). Kalau tidak, kami bertemu di Jakarta. Sekarang jaman teknologi, jadi komunikasi juga bisa lewat e-mail dan telepon. Terakhir kami komunikasi tentang penanganan banjir Wasior, Kabupaten Teluk Mindana.

Terhadap semua pencapaian yang diraih, apa maknanya bagi Anda?

Inilah jalan Tuhan yang terindah dalam hidup saya. Sebab apa yang saya capai sekarang ini, walaupun belum sempurna, bagi saya sangat luar biasa jika dibandingkan dengan saya hanya seorang anak petani. Saya sekolah dengan susah payah, tinggal dengan orang, mencari kayu api, mencuci dan menyapu halaman, ternyata saya mencapai hal seperti ini, yang tidak pernah terlintas dalam pikiran saya jauh sebelumnya. Waktu itu, saya bercita-cita sebagai seorang sarjana, ternyata Tuhan memberi berkat bagi saya sebagai seorang doktor. Ini suatu berkat Tuhan yang terindah dalam hidup saya. Dan tugas saya membagi berkat bagi sesama.

Apa obsesi Anda?

Ya, cita-cita saya bagaimana menjadi saluran berkat bagi sesama. Saya menerapkan ilmu saya, supaya menjadi kemaslahatan bagi umat. Ilmu itu bukan untuk diri tapi harus bermanfaat bagi orang lain. Karena studi saya adalah studi pemerintahan maka saya juga berkeinginan, jika suatu saat nanti, rakyat di suatu tempat mempercayakan dalam jabatan pemerintahan dalam posisi top manjemen maka saya siap melaksanakan/menjalani. Kalau rakyat menghendaki dan Tuhan berkehendak, maka dengan ilmu yang saya miliki ini saya bersedia membagikannya. Bagaimana mengelola pemerintahan secara profesional sehingga bermanfaat bagi rakyat. Kehadiran pemerintah sebagai solusi bagi masalahnya rakyat. (*)


Bergumul Mencari Pendamping

SONY Libing berasal dari keluarga petani. Ia anak kedelapan dari 13 bersaudara. Setelah tamat SD GMIT Pantar pada tahun 1982, ia hengkang ke Kabupaten Sikka mengikuti kakaknya, dan sekolah di SMP Renya Rosari Kewapante dan SMA Negeri Maumere. Setelah tamat, ia melanjutkan studi ke Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Kupang, dan selesai tahun 1990. Selanjutnya, diangkat menjadi pegawai negeri dan memulai karier bekerja di Wolojita, Kabupaten Ende.

Dalam perjalanan, Sony ditarik menjadi instruktur pada Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Bandung, kemudian menyelesaikan pendidikan S1 pada Institut Ilmu Pemerintahan di Jakarta. Pada tahun 1999, ia melanjutkan studi S2 Ilmu Pemerintahan di Universitas Padjajaran, Bandung, selesai tahun 2001. Tahun 2003, ia studi doktor, juga di Universitas Padjajaran.

"Saya mendapat beasiswa pemda, mulai dari APDN sampai studi doktor. Saya berhutang kepada daerah. Saya berhutang kepada masyarakat karena dari hasil jual sirih pinang dan jagung, membiayai saya sekolah. Saya memiliki tanggung jawab untuk daerah dan masyarakat," ujar Sony yang mengidolakan Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI Jakarta), Jack Jobo (mantan Bupati Alor) dan Piet A Tallo, SH (mantan Gubernur NTT) ini.

"Saya berhutang kepada daerah dan rakyat. Saya harus membagi berkat yang saya miliki untuk NTT. Salah satu bentuknya, saya membagi ilmu setelah menjadi konsultan. Saya membagi ilmu kepada mahasiswa saya di Fisip Unwira dan Fisip Undana, sehingga suatu saat mereka menjadi birokrat, mereka menerapkan ilmu yang saya berikan," tutur Sony.

Sony menikah dengan pujaan hatinya, Yanti Lisda Silfana Libing Manafe pada tahun 1999. Namun, pada Maret 2009, istrinya meninggal, beberapa saat setelah ia menyelesaikan studi doktor.

Sony menyadari bahwa kesibukannya semakin tinggi. Oleh karena itu, ia harus mencari pendamping agar bisa mengatur dan memperhatikan dirinya, termasuk mengurus rumahnya yang tergolong luas, dibangun di atas lahan berukuran 40 x 60 meter. Ia juga memiliki dua mobil, jenis Nissan Terano dan sedan Corona.

"Saya sedang bergumul, bisa mendapatkan pengganti seperti almarhumah. Saya berdoa memohon kepada Tuhan mengganti istri saya," ujar pria yang suka joging ini.

Sony gemar membaca. "Saya dosen, jadi harus membaca. Kalau tidak di rumah, saya baca di kantor. Saya suka buku pemerintahan dan juga buku-buku praktis kepemimpinan. Sekarang membaca buku Barack Obama," tutur Sony.

Ia mengaku punya perpustakaan pribadi, dengan 750 buku. Buku-buku itu ia beli sendiri, sejak masih sekolah di APDN. "Setiap saya pergi tugas saya harus membeli buku, minimal dua buku," katanya.

Sony juga sering diundang untuk berdiskusi dan berceramah. Topik diskusi seputar permasalahan pemerintahan. Beberapa waktu lalu, ia menghadiri diskusi di Jakarta, diselenggarakan UNDP, tentang apakah gubernur dipilih rakyat atau DPRD atau ditunjuk oleh pusat. (aca)

Biodata

Nama : DR. Zet Sony Libing, M.Si
TTL : Alor, 13 Juli 1968
Istri : Yanti Lisda Silfana Libing Manafe, SH (almh)

Pendidikan
- SD GMIT Pantar (1982)
- SMP Renya Rosari Kewapante, Sikka
- SMA Negeri Maumare (1988)
- APDN Kupang (1990)
- Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Jakarta (1997)
- S2 Universitas Padjajaran, Bandung (2001)
- S3 Universitas Padjajaran, Bandung (2009)

Orang tua
Ayah : Petrus Masi Libing (alm)
Ibu : Mariam Blegur (almh)

Krier/Pekerjaan
- Pegawai di Wolojita, Kabupaten Ende (1990-1993)
- Instruktur pada STPDNBandung (1993-1995)
- Staf Biro Pemerintahan Setda NTT (1997-1999)
- Staf Biro Organisasi dan Penyusunan Program Setda NTT (2001-2003)
- Kepala Sub Bidang Data dan Analisis Perencanaan Pembangunan Daerah pada Bappeda Propinsi NTT
- Kepala Bidang Pengembangan Investasi pada BPMD NTT
- Konsultan pemerintahan daerah di Papua Barat
- Dosen Fisip Undana
- Dosen Fisip Unwira Selanjutnya...

Rabu, 16 Desember 2009

Media Massa, Pertanian dan Isu Seksi

BERBICARA mengenai pers atau media massa, NTT boleh dibilang 'gudangnya'. Gairah masyarakat untuk mendirikan pers terlihat jelas setelah berakhirnya Orde Baru yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998. Semua ketentuan era Orde Baru yang menghambat pers, dicabut dan disahkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Meskipun sedang dilanda krisis ekonomi, gairah masyarakat tidak surut. Beberapa yang bisa kita sebut, adalah Harian Umum Surya Timor. Tidak bertahan lama, akhirnya orang yang hengkang dari Surya Timor kemudian ada yang mendirikan Harian Independen NTT Ekspres. Ada juga yang mendirikan harian Suara Timor dan Metro Kupang. Lahir juga harian Sasando Pos.

Pada tahun 2000, terbit Harian Umum Radar Timor. Lahir juga harian Kupang News (akhir 2003). Tahun 2001/2002, terbit pula Harian Cendana Pos dan Harian Suara Masyarakat.

Ketika Harian NTT Ekpres menghilang pada akhir tahun 2002 atau awal tahun 2003, lahir Harian Kursor. Selanjutnya, pada pertengahan tahun 2003 terbit Harian Pagi Timor Express.

Masih banyak lagi media yang terbit pada masa reformasi. Selain harian, banyak juga terbit mingguan dan bulanan, baik di Kupang maupun di daerah-daerah di NTT. Contohnya, Mingguan Berita Rote Ndao Pos, Swara Lembata, Viesta Nusa yang kemudian berganti nama menjadi Vista, Aktualita NTT.



Media cetak lainnya adalah Flotim Pos/Asas, mingguan Suara Flobamora (Kupang), Duta Flobamora (Waingapu), Sinar Alor Pos (Kalabahi), Ngada Pos, Udik (Kupang), Duta Flobamor (Kupang), Alor Pos (Kalabahi), Media Entete, Sabana (Waikabubak), Global (Atambua), Buser Timur, Expo Lamaholot (Kupang), Belu Pos (Atambua), Bentara (Kupang), Gelora Info (SoE), Talenta (Kupang), Solusi (Kefamenanu), Lontar (Kupang), Delegasi (Lewoleba), Media Info (Larantuka), Biinmaffo (Kefamenanu), Media Rakyat (Ruteng), Tamsis (Kupang) dan Spirit NTT. Jauh sebelum media-media ini ada, NTT sudah punya Surat Khabar Harian (Skh) Pos Kupang.

 Tabloid yang terbit mingguan, umumnya berumur pendek. Selain karena tidak didukung modal yang kuat, media-media ini umumnya kalah bersaing atau kurang diminati pembaca. Setelah satu media berhenti terbit, personelnya menerbitkan media baru dengan pemodal yang baru pula. Dengan demikian, meski jumlah media banyak, tidak diikuti dengan semakin banyak jumlah wartawan. 

Satu hal positif yang bisa diambil dari muncul tenggelamnya usaha media cetak di NTT, bahwa ternyata orang memiliki jiwa perintis dan minat besar dalam bidang pers. Semangat ini bukan hal baru dalam lintasan sejarah NTT. Hanya di masa lalu, para perintis itu terbentur dengan keterbatasan fasilitas dan rezim.

Tidak hanya di NTT, wartawan NTT juga banyak merintis penerbitan pers nasional. Kita kenal Gerson Poyk sebagai perintis berdirinya Harian Sinar Harapan pada tahun 1960-an sekaligus menjadi wartawan andalan. Frans Seda adalah orang yang berada dibalik berdirinya Harian Umum Kompas. Aco Manafe, selain menjadi wartawan Sinar Harapan sejak tahun 1968, juga menjadi peirntis berdirinya Harian Sore Suara Pembaruan tahun 1989.

NTT juga masih punya nama-nama seperti Petrus Kanisius Pari (Indonesia Raya, Penabur), Hendrik Ola Handjon (Asas, terbit di Surabaya), regy Weking (Antara), Pius Karo (Kompas), Damyan Godho (Kompas), Louis Taolin (Suara Karya), Marcel Weter Gobang (Suara Karya, Surya, Pos Kupang), Cypri Aoer (Suara Pembaruan).

Saat ini pun sejumlah orang NTT tampil sebagai pemimpin media-media terkemuka di Jakarta, seperti Rikard Bagun (Kompas), Piter Gero (Kompas), Cyrilus Kerong (Bisnis Indonesia), Laurens Tato, Kleden Suban (Media Indonesia), Hermin Kleden (Tempo), Claudius Boekan (Metro TV), dan masih banyak lagi.

Tidak hanya di media cetak, orang NTT pun harus mulai melirik media elektronik, seperti radio, televisi dan terlebih internet (media online).

Kehadiran media di NTT akan terus dibutuhkan untuk mendorong pembangunan. Ini berkaitan dengan fungsinya, yakni informasi, edukasi, koreksi, rekreasi dan mediasi. 

a. Informasi : Pers menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat seluas-luasnya. Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar, aktual, akurat, faktual, menarik atau penting, benar, lengkap, utuh, jelas-jernih, jujur-adil, berimabng, elvean, bermanfaat, etis.

b. Edukasi : Apapun informasi yang disebarluaskan pers hendaknya dalam kerangka mendidik. Inilah antara lain yang membedakan pers sebagai lembaga kemasyarakatan dengan lembaga kemasyarakatan yang lain. Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersial untuk memperoleh keunguntan finansial. Namun orientasi dan misi komersial itu, sama sekali tidak boleh mengurangi, apalagi meniadakan fungsi dan tanggungjawab sosial pers. Dalam istilah sekarang, pers harus mau dan mampu memerankan dirinya sebagai guru bangsa.

c. Koreksi : Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam kerangka ini, kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif agar kekuasaan mereka tidka menjadi korup dan absolut. Seperti ditegaskan Lord Acton, pujanggan Inggris abad 18, kekuasaan cendrung disalahgunakan dan kekuasaan yang bersifat obsolut cendrung disalahgunakan secara absolut.

Untuk itulah, dalam negara demokrasi, pers mengembang fungsi sebagai pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan senantiasa menyalak ketika melihat berbagai penyimpangan dan ketidakadilan dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan fungsi kontrol sosial yang dimilikinya itu, pers bisa disebut sebagai institusi sosial yang tidak pernah tidur. Ia juga senantiasa bersikap independen atau menjaga jarak yang sama terhadap semua kelompok dan organisasi yang ada.

d. Rekreasi : Fungsi keempat pers adalah menghibur. Pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat. Artinya, apapun pesan rekreatif yang disajikan mulai dari ceritra pendek, sampai kepada teka-teki silang dan anekdot, tidak boleh bersifat negatif apalagi destrutif.

e. Mediasi : Mediasi atrinya penghubung. Bisa juga disebut sebagai mediator. Setiap hari pers melaporkabn berbagai peritiwa yang terjadi. Dengan kemampuan yang dimiliki,nya, pers telah menghubungkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi dengan kita ayng sedang duduk di ruang tamu, atau sedang bersantai di sofa. Karena perslah, kita mengetahui aneka peristiwa lokal, nasional, regional dan mondial dalam waktu singkat dan bersamaan.

Apakah pers atau media massa di NTT, sudah optimal menjalankan fungsinya? Anda sebagai pembaca yang lebih pantas menilai.


'Mirip'

Meski banyak media massa, namun tidak ada satupun media di NTT yang punya segmen pemberitaan khusus pertanian. Sosok media massa di NTT mirip alias nyaris sama. Untuk media cetak, umumnya memilih hal-hal umum. Media berusaha menyajikan hampir semua informasi yang dibutuhkan publik, mulai dari masalah politik ekonomi hingga entertain (hiburan). Dari kasus perkosaan hingga konsultasi kesehatan, juga ada ruang puisi dan cerpen. Hal yang membedakan hanya soal sebaran, jangkauan pelayanan terhadap masyarakat sesuai kemampuan media masing-masing.

Bahwa ada rubrikasi yang 'khas' degan ketersediaan ruang yang berbeda-besa, substansi sajiannya belum sungguh-sungguh memperlihatkan perbedaan. Pernah ada media yang memilih segmen sebagai koran ekonomi (Sasando Pos), tetapi media tersebut tidak bertahan lama. 

Menyimak program-programnya, media eletronik (radio) di NTT pun hampir sama. Program utamanya adalah hiburan dan berita dengan porsi bervariasi. Ada yang mengutamakan segmen kalangan muda (remaja), ada yang memilih kelompok dewasa (usia produktif) dan manula.

Mengapa media masa cetak dan elektronik di NTT cendrung media umum? Jawabannya memerlukan penelitian mendalam. Sejauh pengalaman saya, mungkin memang demikianlah yang dapat dikerjakan atau kemampuan praktisi media di NTT baru sebatas itu. Praktisi pers di daerah ini belum melihat sisi lain yang lebih spesifik untuk digarap, termasuk hal-hal pertanian. Belum menemukan kebutuhan publik yang seharusnya mendapat ruang yang layak.


Doyan Politik?

Dari media cetak harian, mingguan dan media elektornik yang ada, dapat disimpulkan bahwa kurang bahkan tidak ada orientasi media terhadap isu-isu pertanian. Sektor pertanian masih kurang mendapat ruang di halaman surat kabar dan media elektronik. Setiap halaman koran dan program siaran didominasi berita-berita pemerintahan, suksesi kepala daerah, kenaikan pangkat, pelantikan kepala dinas, kunjungan gubernur, hingga dugaan korupsi. Tidak cukup banyak petani atau lembaga pertanian yang memperoleh liputan dari media.

Jika pun ada berita mengenai pertanian (petani), sebagian besar bersumber dari pemerintah dan bersifat seremonial. Selain itu, pemberitaan pertanian ada karena terjadi kasus, misalnya, hama menyerang padi, atau tender proyek pertanian yang bermasalah. Jarang ada berita tentang kesuksesan seorang petani, serta tidak ada berita tentang bagaimana menanam singkong, jagung dan padi yang baik. Jarang sekali kita temukan.

Media massa di NTT lebih doyan berita politik! Itu tampak jelas dalam rubrikasi koran, majalah maupun program acara radio. Laporan media tentang masalah politik rata-rata mencapai 60 persen. Sisanya mengenai sosial lainnya seperti hukum dan kriminalitas, ekonomi, budaya, olahraga, hiburan. Berita pertanian mendapat porsi yang masih sangat sedikit. 

Informasi soal mutasi pejabat menjadi headline koran-koran dan jadi laporan utama majalah/tabloid di Kupang. Bagi media lain di luar NTT (Jawa), berita mutasi PNS itu mungkin sekedar info sekilas atau maslah tidak diberitakan sama sekali.

Mengapa demikian? Jawabannya simpel. Media massa menulis atau melaporkan suatu kejadian/peristiwa sesuai kebutuhan pembaca/pendengar/pemirsanya. Media tidak menulis untuk dirinya sendiri. Media massa di NTT menyajikan berita untuk pembacanya. Siapakah pembaca/pendengarnya? NTT propinsi PNS bung! Jadi, dapat dimengerti bila kasak-kusuk, rumor atau informasi tentang birokrasi pasti menarik dan penting (punya nilai berita).

Pelanggan koran, majalah atau pendengar radio di daerah ini umumnya masyarakat perkotaan. Kota kabupaten dan kecamatan. Tidak lebih dari itu. Dan, PNS adalah elit perkotaan. Maaf saja, petani dan praktisi pertanian masih merupakan warga 'kelas dua'.

Survai untuk kebutuhan intern Redaksi Pos Kupang pada tahun 2004 dan kembali dilakukan pada periode Juni - Agustus 2009, membuktikan bahwa pembaca Pos Kupang doyan berita politik. Berita politik menempati tangga teratas disusul berita hukum dan kriminalitas, olahraga, bisnis (ekonomi), hiburan, budaya.

Agar tetap bertahan, media massa tidak bisa berpaling. Berita politik menjadi garapan utama karena itulah yang dibutuhkan sebagian besar pembaca. Maka, lihatlah isi koran atau siaran berita radio. Tema Pilkada, misalnya, mendapat porsi besar. Dikupas tuntas dari berbagai sudut pandang (angle). Disajikan pada tempat utama.


Kurang Seksi

Sekitar tahun 2007, Yayasan Pantau bekerjasama dengan Swisscontact melakukan penelitian tentang media massa dan UKM (termasuk sektor pertanian). Pantau- Swisscontact menemukan kenyataan sektor UKM dipandang media sebagai berita yang kurang seksi. Demikianlah yang terjadi di NTT. Begitulah adanya.

Kondisi yang sama tidak jauh berbeda dengan sektor pertanian. Praktisi media di daerah ini tidak bisa menyangkalinya. Media di NTT sangat sedikit memberi ruang untuk perluasan informasi mengenai isu-isu pertanian. Padahal, jujur harus diakui, NTT adalah adaerah agraris, sekitar 80 persen dari 4 juta jiwa penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. 
 
Selain menganggap berita pertanian kurang seksi, media punya kendala internal, sumber daya manusia dan manajemen. Jumlah wartawan sedikit, itupun dengan mutu dan kemampuan yang rendah. Sebagian besar wartawan bekerja secara otodidak. 

Pengetahuan wartawan tentang isu pertanian pun tidak memadai. Media di NTT kesulitan meliput soal-soal pertanian karena tidak punya wartawan pertanian. Persoalan kualitas wartawan yang tidak memahami isu pertanian menjadi kendala minimnya berita tentang pertanian.

Persoalan lain adalah hubungan media dan mereka yang terliibat dalam sektor pertanian terlihat canggung. Wartawan mengeluhkan susahnya akses untuk mempeorleh informasi tentang pertanian, baik dari petani maupun lembaga dan praktisi pertanian. Di sisi lain, wartawan juga seringkali tidak memahami secara utuh isu-isu pertanian, sehingga menyulitkan mereka untuk menulis.

Sementara petani, praktisi pertanian kurang membangun komunikasi saling menguntungkan dengan media. Tidak sedikit forum formal maupun informal - termasuk diselenggarakan pemerintah - yang membicarakan persoalan pertanian tapi lembaga-lembaga ini tidak memanfaatkan media sebagai sarana sosialisasi, promosi dan komunikasi. Interaksi yang kaku itu disebabkan asummsi bawah media-media lebih cocok untuk iklan, tidak untuk pemberitaan. Kalau mau diberitakan maka harus membayar. Padahal, tidak semestinya demikian. 

Media tampaknya butuh peningkatan kapasitas awak redaksi, sempentara praktisi pertanian dan petani memelrukan informasi yang memadai dan ditulis dengan benas. Di sini perlu inisiatif untuk menjembatani komunikasi antara media dan petani dan praktisi pertanian. Antara lain, dengan membentuk tim kecil untuk menggerakkan dan menfasilitasi komunikasi tersebut, mengidentifikasi apa saja yang diperlukan petani dan praktisi pertanian. Bisa juga memaksimalkan lembaga-lembaga setempat sebagai medium komunikasi dan sosialisasi.

Demikian beberapa hal yang dapat disampaikan. Sebagamana potret yang tak utuh menampilkan kondisi seseorang atau suatu obyek, catatan ini masih jauh dari yang diharapkan panitia. Sekadar pengantar untuk dikusi kita lebih lanjut, untuk sharing pengetahuan dan pengalaman agar kita saling melengkapi untuk tujuan sama.


* Disampaikan dalam seminar bertajuk Pertanian dan Masa Depan NTT, di Aula Undana Kupang, Sabtu (12/12/2009). Kegiatan ini diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Katholik (KMK) St. Arnoldus Jansen Faperta Undana.
Selanjutnya...

Petani Masih Jadi Objek Perencanaan


POS KUPANG/HERMINA PELLO
SEMINAR PERTANIAN
--Dari kiri ke kanan, P. Yulius Yasinto, SVD (Rektor Unwira Kupang), Alfons Nedabang (Wartawan Pos Kupang), Ir. Yohanes Tay Ruba, (Kepala Bidang Produksi Tanaman pada Distambun Propinsi NTT) sebagai pemateri dan Pius Rengka, S.H (moderator) dalam acara seminar bertajuk Pertanian dan Masa Depan NTT, di Aula Undana Penfui, Sabtu (12/12/2009).


PETANI di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menjadi obyek perencanaan pembangunan pertanian. Seharusnya, petani menjadi aktor atau pelaku utama perencanaan.

Demikian dikatakan Rektor Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, P. Yulius Yasinto, SVD dalam seminar bertajuk Pertanian dan Masa Depan NTT di Aula Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Sabtu (12/12/2009). Pater Yulius berbicara tentang pengembangan sektor pertanian dalam kerangka dasar perencanaan pembangunan di NTT.

Pemateri lainnya, Kepala Bidang Produksi Tanaman pada Distambun Propinsi NTT, Ir. Yohanes Tay Ruba, berbicara tentang Strategi Pembangunan Pertanian NTT, dan Alfons Nedabang (wartawan Pos Kupang) dengan topik Peran Media Massa dalam Pembangunan Pertanian NTT. Bertindak sebagai moderator, Pius Rengka, S.H. Kegiatan ini diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) St. Arnoldus Janssen Faperta Undana.

Pater Yasinto menjelaskan, tiga hal yang diperhatikan untuk mencapai keberhasilan, yaitu perencanaan, implementasi dan ketersediaan sumber daya.

Menurut Pater Yasinto, petani harus menjadi pusat atau aktor utama dalam perencanaan pembangunan pertanian. Penghargaan terhadap cara pandang dan teknologi lokal juga penting dilakukan. Berikutnya, adalah peluang untuk menggunakan pengetahuan dan metode dan ruang secukupnya untuk mengelola sistem pertanian.

"Di NTT, petani jadi obyek perencanaan dan bukan pelaku perencanaan karena keterbatasan waktu, dana dan kemauan pemerintah untuk mereduksi. Perencanaan di NTT seringkali tidak fokus karena terlibatnya berbagai kepentingan yang bertentangan serta seringkali terciptanya kebijaksanaan yang reaktif. Begitu ada masalah, langsung menganjurkan tindakan yang harus diambil tanpa analisis yang mendalam," katanya.

Masalah lainnya adalah koordinasi. Menurutnya, salah satu penyebab utama rendahnya mutu perencanaan adalah koordinasi.

Yohanis Tay Ruba mengatakan, pemerintah bertekad mewujudkan NTT sebagai propinsi jagung, ternak sapi, koperasi dan cendana.

Mengenai jagung, dijelaskan, pemerintah mengambil komoditas jagung karena jagung sudah biasa ditanam oleh masyarakat sehingga tinggal dipoles dan diperbaiki. Dikatakan, petani di NTT masih banyak yang menggunakan jagung lokal, padahal produksinya rendah, yaitu hanya 1,6 ton/ha.

"Kalau menggunakan jagung hibrida bisa mencapai tujuh sampai delapan ton/ha. Saat ini, sedang digalakan gerakan masyarakat agribisnis jagung. Musim tahun 2009 ini adalah start awal menuju keberhasilan tahun 2010," katanya.

Alfons Nedabang mengatakan, berita-berita tentang pertanian masih sangat kurang dalam media massa. Media massa di NTT, baik cetak maupun elektronik, juga tidak ada yang secara khusus dengan segmen pemberitaan pertanian. "Media massa lebih doyan berita politik ketimbang berita pertanian. Isu-isu pertanian masih dianggap 'kurang seksi' oleh media," kata Nedabang.

Selain itu, lanjut Nedabang, media punya kendala internal, di antaranya sumber daya manusia (wartawan). Pengetahuan wartawan tentang isu-isu pertanian yang tidak memadai menjadi kendala dalam meliput soal-soal pertanian. (ira/pos kupang edisi senin, 14 Desember 2009).
Selanjutnya...

Kamis, 19 November 2009

Urgensi Nama Sebuah Jalan

HARIAN Pos Kupang edisi Rabu, 19 November 2009, memberitakan, masih banyak jalan lingkungan di Kota Kupang belum memiliki nama. Hal itu diakui sejumlah lurah dan masyarakat. Ada beragam alasan dikemukakan, di antaranya karena jalan baru dibuka serta belum ada kesepakatan antarmasyarakat soal nama jalan.

Ketiadaan nama jalan menyulitkan siapa saja untuk mencari rumah keluarga atau kerabat kenalan. Bayangkan bagaimana caranya kalau mencari rumah yang berada di jalan kecil atau gang tanpa nama? Pasti sulit dan ada yang nyasar. Dampak lanjutnya, waktu terbuang banyak. Energi pun terkuras. Syukur-syukur kalau dapat. Jika tidak, maka perasaan kecewa yang muncul.

Nama suatu jalan diberikan untuk mengidentifikasi suatu jalan, sehingga dapat dengan mudah dikenali. Bahkan dicantumkan dalam peta jalan. Untuk lebih mempermudah identifikasi rumah, gedung atau kantor diberi nomor. Nama jalan juga merupakan identifikasi informasi yang penting dalam penulisan alamat surat, pada kartu tanda penduduk, kartu identifikasi lainnya.

Dalam pemberian nama suatu ruas jalan maupun gang, diperlukan mekanisme secara terperinci seperti konsultasi dengan warga masyarakat. Diperlukan persetujuan dari berbagai pihak seperti masyarakat sekitar. Setelah urung rembuk masyarakat, diusulkan ke pemerintah untuk disahkan. Selanjutnya, pemasangan plang nama jalan.

Sejauh ini, dasar penamaan jalan adalah nama yang umum diberikan. Pemberian nama jalan tergantung pada pendekatan yang digunakan, kadang tidak gampang sehingga sering dikombinasi dengan nomor jalan. Umumnya nama jalan yang biasa digunakan yaitu nama pahlawan, biasanya ditetapkan pada jalan-jalan utama kota. Ada juga nama hewan, nama bunga, nama tanaman, nama tempat kalau jalan tersebut menuju tempat/daerah yang bersangkutan dan nama tokoh yang tinggal di kawasan yang bersangkutan.

Pemakaian nama pahlawan karena disadari betapa pentingnya membangkitkan dan menghargai jasa para pahlawan, termasuk sebagai tokoh perintis daerah ini. Pemberian nama jalan juga mesti menghindari agar tidak terjadi duplikasi nama jalan yang sering terjadi di daerah lainnya. Kalau perlu, untuk memperjelas alamat biasanya ditambahkan kode pos ataupun nama kelurahan. Pada nama jalan sering diberi informasi tambahan untuk menjelaskan secara lebih rinci informasi lain yang diperlukan oleh masyarakat.

Secara jujur kita akui bahwa, kondisi-kondisi ini belum semuanya kita temukan pada jalan-jalan di Kota Kupang. Bahkan, ada nama ruas jalan masih menggunakan nama lama waktu Kota Kupang masih bestatus kota madya, bahkan jauh sebelumnya masih bergabung dengan Kabupaten Kupang. Mestinya, setelah dimekarkan diharapkan dapat memiliki nama ruas jalan sendiri. Begitupun dampak dari pemekaran kecamatan dan kelurahan juga tidak diikuti dengan perubahan nama ruas jalan dalam wilayah pemerintahan itu.

Bahkan ada nama ruas jalan yang masih simpang siur namanya sehingga diharapkan dengan penetapan, nama ruas jalan dapat dibakukan sehingga tidak membingungkan.
Salah satu kelemahan kita sendiri adalah tidak populernya nama-nama jalan, meski keberadaannya sudah bertahun-tahun lamanya. Justru yang paling populer atau terkenal adalah nama daerah atau kompleks perumahan seperti BTN, Liliba, Baumata, Alak, dan lain-lain.

Hal ini dikarenakan kurang atau minimnya informasi mengenai nama jalan itu sendiri. Pihak pemerintah sudah mensosialisasikan lewat pemasangan plang nama yang cukup bagus di awal maupun di akhir ruas jalan, tetapi sosialisasi ini tidak didukung oleh bangunan-bangunan atau toko-toko, kantor-kantor yang berada di ruas jalan tersebut. Hendaknya pemerintah bisa mengimbau toko-toko atau bangunan mencantumkan nama jalan dan diikuti nama kompleks dan seterusnya.

Di mana-mana, letak suatu bangunan, baik bank, hotel, toko atau tempat-tempat umum lainnya tak lepas dari jalan. Karena jalan inilah nanti menjadi jalur menuju tempat yang dituju. Di mana-mana jalan haruslah diberi nama. Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Bagaimana kita mau cinta dengan Kota Kupang sementara kita sendiri tak kenal dengan nama-nama jalan?

Pada aras ini, Pemerintah Kota Kupang melalui Dinas Perhubungan perlu melakukan survai pemberian nama ruas jalan dan gang yang selama ini tanpa nama. Harus diingat, nama adalah penanda. Dengan penanda yang jelas, setiap orang dapat menjangkau tempat yang diinginkan dengan mudah. Sebagai penanda suatu tempat, nama jalan harus dibuat sistematis dan teratur. Pemerintah Kota Kupang harus mempunyai pedoman dalam mengatur nama jalan.*
Selanjutnya...

Jumat, 13 November 2009

Jurnalisme, Gender dan Trauma

BIRO Pemberdayaan Perempuan (PP) Propinsi NTT bekerjasama dengan The United Population Fund (UNFPA) menyelenggarakan pelatihan jurnalisme gender dan trauma bagi wartawan media cetak dan elektronik di Kupang.

Kegiatan ini berlangsung di Hotel Kristal Kupang mulai Kamis - Jumat (12-13/11/2009). Kegiatan ini diikuti 20 orang wartawan media cetak dan elektronik yang tergabung dalam Forum Wartawan Peduli Gender.

Kepala Biro PP Setda NTT, Yovita Mitak mengatakan, pemahaman akan konsep kesetaraan dan kehadiran gender masih sangat terbatas di semua kalangan, termasuk kalangan perencana dan pelaksana pembangunan.

"Hal inilah yang memperlambat upaya mengintegrasikan konsep tersebut ke dalam berbagai kebijakan, strategi, program dan kegiatan dalam pelaksanaan pembangunan," ujar Mitak.

Persoalan lain, katanya, masih banyaknya produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminasi terhadap perempuan, dan belum peduli anak.

Di samping itu, perundangan yang ada belum dilaksanakan secara konsekwen untuk menjamin dan melindungi termasuk memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak dari tindak kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi.

"Kekerasan ini dapat kita temui dimana saja tanpa dibatasi oleh status sosial, baik itu berupa kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga baik oleh perorangan, keluarga atau kelompok yang ada dalam rumah tangga," katanya.

Untuk melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan, katanya, sejumlah undang-undang dan peraturan telah dibuat pemerintah, antara lain UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Mitak menambahkan, untuk menanggulangi, mengurangi dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk tindak kekerasan, dibutuhkan peran serta seluruh komponen masyarakat, lembaga organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, swasta, pegiat massa, forum wartawan dan organisasi peduli perempuan dan anak.

"Peran yang dilakukan, yakni memberikan sosialisasi, edukasi dan advokasi tentang keutamaan gender, perlindungan perempuan dan anak," katanya.

Selain Yivita Mitak, tampil sebagai pembicara adalah Pius Rengka yang berbicara tentang etika profesi wartawan. Sedadangkan Farida dan Mario dari Yayasan Pulih Indonesia berbicara mengenai pemberitaan yang berperspektif gender serta pemberitaan yang meminimalisir trauma bagi korban. *
Selanjutnya...

Adu Konsep Desain Alun-Alun Kota Kupang


LIMA tim dari empat Badan Pekerja Rayon (BPR) saling adu konsep dan hasil desain di hadapan dewan juri lomba desain alun-alun Kota Kupang yang digelar di Kampus Fakultas Teknik Unwira Kupang, Senin (19/10/2009).

Keempat BPR itu diantaranya BPR I Jakarta yang diwakili oleh Universitas Indonesia, Rayon II Jawa Barat diwakilkan oleh Universitas Pendidikan Indonesia, dan Institut Teknologi Bandung, BPR V Jawa Timur yang diwakili oleh ITS Surabaya dan Universitas Brawijaya Malang, serta BPR 16 NTT diwakili dua tim dari Unwira Kupang.

Dihadapan dewan juri yang terdiri dari Ir. Benyamin. S. D. Pandie, IAI (anggota Ikatan Arsitek Indonesia Daerah NTT), Jhon Bell, ST, MT (Dinas Perumahan Rakyat dan Tata Kota), Ir. Robert M. Rayawulan, MT (Fakultas Teknik Unwira), Alfons Nedabang (Pos Kupang) dan Stenly Boimau (Timor Expres), para peserta menawarkan aneka konsep desain yang dituangkan dalam rancangan alun-alun Kota Kupang yang green and clean.


Ketua dewan juri Ir. Benyamin. S. D. Pandie, IAI kepada wartawan usai memberikan penilaian mengatakan, kriteria yang menjadi faktor penilai adalah konsep desain, aplikasi konsep dalam desain alun-alun kota, juga yang terpenting adalah kemampuan berkomunikasi dalam mempresentasikan hasil desainnya.

Dikatakannya, kemampuan peserta dari seluruh tim menampilkann konsep yang berbeda. "Masing-masing mereka dengan ide yang berbeda, ini sangat kuat mereka tampilkan, cuma yang menjadi kelemahan ketika mengaplikasikan konsep dalam bentuk desain itu menurut kami masih kurang. Soal prsentase gambar semua cukup bagus," katanya.

Benyamin Pandie yang adalah bendahara IAI NTT ini mengatakan, dari hasil lomba desain itu dan jika disepakati untuk dijadikan desain alun-alun kota yang siap dibangun, maka IAI Daerah NTT secara lembaga akan memberikan masukan untuk melengkapi hasil yang telah ada.

"Hasil saat ini kan belum 100 persen memenuhi kriteria, sehingga kita beri masukan supaya apa yang diinginkan pemerintah kota Kupang bisa terakomdir dalam desain yang dibuat ini," ujarnya.

Ia menambahkan, dari hasil penilaian dewan juri, ada tiga besar yang punya nilai yang tidak bedah jauh, dan akan diumumkan pada acara penutupan yang sekaligus dilakukan penyerahan hadia oleh walikota Kupang.

Dihubungi terpisah, Katua Jurusan Arsitektur Unwira, Ir. Ricahrdus Daton, MT menilai, pemerintah Kota Kupang sangat tanggap terhadap rencana kegiatan TKI MAI XXV ini sehingga produk yang dihasilkan ini betul-betul dimanfaatkan oleh pemerintah kota.

"Itu saya lihat kesiapan pemerintah dalam menanggapi rencana kegiatan ini. Ini juga menjadi salah satu usaha, memadukan semua konsep pemikiran dari berbagai daerah untuk menjadi satu out put baik konsep maupun desain yang optimal untuk dipersembahkan bagi pemerintah," katanya.

Ditambahkannya, tidak mungkin satu produk digunakan secara utuh tetapi akan ada perpaduan dari semua desain yang masuk dalam kategori penilaian juri untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Daton menjelaskan, selanjutnya, jurusan Arsitektur Unwira akan menyerahkan hasil desain itu kepada pemerintah Kota Kupang dan yang terbaik akan menjadi master dan dilegkapi dengan konsep perencana bersama pemenang-pemenang lain.

Peserta Lomba Desain dari Rayon I, Universitas Indonesia: Robin Hartanto, Andro Kaliandi, dan Rangga Suryadi
"Yang terpenting bukan menang atau kalah tetapi ini menjadi ajang pembelajaran bagi kami dan menjadi masukan. Kami tidak kejar menang, tapi kami optimis bahwa apa yang kami tawarkan ini menjadi kebanggan warga Kota Kupang. Wujudnya, kalau kita pindahkan alun-alun ini ke tempat lain maka tidak cocok tetapi kalau di Kupang akan menjadi ciri khas Kota Kupang. Konsep yang kami tawarkan adalah lil au nol dael banan (Bangun Aku Dengan Hati Yang Tulus) yang menjadi semboyan Kota Kupang, dan sebenarnya kami dapat inspirasi dari visi misi walikota Kupang Drs. Daniel Adoe dalam membangun kota Kupang yang harus punya komitmen, ini yang kami tawarkan dalam desain bahwa alaun-alun ini menjadi milik aku orang Kota Kupang.

Elemen yang menarik dalam desain kita adalah dalam alaun-alun itu ada 49 pohon flamboyan yang akan disumbangkan oleh 49 Kelurahan di Kota Kupang. Pohonya dari kecil dan tumbuh dan tiap keluarahn bisa lihat dari tumbuhnya pohon tersebut. Selain itu, pola tapaknya kami mengambil konsep dari kain tentun motif NTT dari Sabu.***

Rayon II Jawa Barat: Dimas Agung Kurnia (Universitas Pendidikan Indonesia)
Optimisme kami Rayon II sangat tinggi karena kami melakukan pendekatan desain sesuai dengan kearifan lokal. Lokalitasnya itu ada di kerajinan tradisioal yang ada di Kota Kupang, yang kami soroti yaitu sasando, tii langga dan tenun ikat. Bentuk yang ada di tiga kerajinan itu kami transformasikan dalam bentuk desain sehingga secara makna filosofis bentukan desain kami memiliki pendekatan lokalitas Kota Kupang. Besar harapan kami agar masyarakat Kota Kupang merasa memiliki alun-alun Kota Kupang yang kedepannya akan dibangun oleh Pemkot Kupang. Satu yang jadi landasan kami, bahwa alun-alun dikatakan menjadi baik apapabila masyarakatnya merasa memiliki secara penuh melalui kegiatan-kegiatan baik temporer atau berkesinambungan yang dilakukan di alun-alun tersebut. Secara global, dalam konsep desain, kami menggunakan sebuah bentukan plasa sebagai area penangkap massa, secara tersirat, bentukan dari plasa itu mengambil bentuk dasar dari sasando. Kami juga membuat sebuah ram, yang mengambil bentukan dasar dari tii langga, juga kain tentunya kami terapkan pada pola penggunaan material dari plasa itu. Ketiga aspek ini sengaja kami letakan secara resirat supaya ada sebuah keingin tahuan yang besar dari masyarakat untuk memaknai arti dari alun-alun yang kami desain.

Rayon V Jawa Timur: ITS Surabaya: Fadila Ayu, Yusuf Ariyanto, Universitas Brawijaya Malang: Vembi Fernando. Kami sangat optimis, karena berangkat dari Jawa Timur, kami sudah persiapkan segala sesuatunya mengenai lomba ini, tetapi karena ada perubahan teknis dari pantia, kami coba desain ulang, dan kami bekerja sama dengan semua di rayon V untuk mengahsilkan rancangan desain itu.

Konsep yang kami tawarkan adalah hyper green karena alun-alun yang kami rancang menunjang segala kegiatan masyarakat mulai dari kumpul-kumpul sampai mengadakan acara-acara kesenian adat atau pagelaran acara lainnya. Namun, kami juga berpedoman dari tema panitia TKI MAI, alun-alun Kota yang green and clean. Juga desain kami yang Respect to site, artinya site yang ada sekarang sedapat mungkin kami tidak rubah, tetapi dieksplor serta dikembangkan dengan tambahan pohon-pohon agar alun-alun menjadi hijau.

Folosofi desainnya dari bentuk ume kebubu (Arsitektur atoni/dawan) yang kami terapkan di gasebo taman dan pos satpam. Kami juga mengambil bentukan ume kebubu itu dalam bentuk gerabang utama pada laun-alun Kota Kupang itu. Selain itu kami juga mengambil bentukan sasando, pada bentuk scklupture.

Rayon 16 NTT, Unwira Kupang: Johan Nggebu : dari hasil desain itu, secara konsep, kami optimis bahwa Unwira Kupang bisa menjadi yang terbaik. Tetapi secara desain, kami menyadari bahwa kami masih belum optimal. Itu terlihat dan kami rasakan sendiri dari penyajian gabar.
Konsep yang kami tawarkan itu adalah pengawinan dari berbagai arsitektur tradisional NTT diantaranya Dawan, Rote, Alor, dan Manggarai. Arsitektur Manggarai kami hadirkan dalam desain agora, sedangkan arsitektur Rote kami hadirkan bentuk sasando di tugu yang kami hadirkan dalam bentuk sasando berada di atas moko. Juga ada land mark komodo yang dihadirkan diatas ketinggian site.* Selanjutnya...

Jumat, 05 Juni 2009

Rengkahan Mencapai 12 KM


MENGKHAWATIRKAN -- Lebar, dalam dan luar rengkahan tanah di Desa Tolnaku, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang semakin mengkhawatirkan. Warga setempat sudah mengungsi di rumah darurat. Gambar diambil Jumat (5/6/2009).


RENGKAHAN tanah akibat pergeseran kulit bumi yang terjadi di wilayah Kecamatan Fatuleu- Kabupaten Kupang, sudah mencapai sekitar 12 kilometer mulai dari Desa Oebola Dalam sampai ke wilayah Bipolo.

Bergesernya tanah sejak Februari 2009 itu, sejauh ini sudah menimbulkan longsor di beberapa tempat, termasuk Desa Tolnaku yang merusak rumah-rumah penduduk dan memaksa warga setempat mengungsi.

Pantauan Jumat (5/6/2009) di Dusun I Pua'ana, terlihat rengkahan yang memanjang dari utara ke selatan. Menurut warga setempat, tanah dengan kemiringan sekitar 10-15 derajat itu terus bergerak. Awalnya menimbulkan retakan kecil namun makin lama makin lebar dan dalam membentuk rengkahan. Lempengan wilayah yang bergerak turun itu membuat batu-batu berpindah tempat, pohon-pohon mulai miring dan ada yang sudah tumbang. Di beberapa titik terlihat seperti longsor.

Kerusakan paling parah terjadi pada pemukiman warga. Di Dusun Pua'ana itu terdapat 26 rumah warga yang hancur akibat longsoran, satu di antaranya tertimbun tanah. Gedung Gereja Kemah Injil Koinonia Pua'ana bahkan bergeser dari tempatnya semula, sejauh sekitar 100 meter dan ambruk rata tanah. Warga setempat sudah mendapat bantuan tenda guna membangun tempat darurat untuk ibadah.

Bentangan longsor yang memanjang dari utara ke selatan nampak berada persis di tengah-tengah tiga batuan besar masing-masing batu Nekon, Bolbesi dan Fatumonas. Di kaki batu-batu ini merupakan hulu dari longsoran itu. Longsoran ini bisa mengancam warga hingga wilayah Bipolo dan sekitarnya.

Di Desa Tolnaku, luas wilayah longsoran mencapai sekitar 400 meter persegi dan tidak lama lagi lokasi pemukiman itu hanya tinggal kenangan. Tidak bisa dihuni lagi karena porak poranda. Sejauh mata memandang, kampung yang yang dulunya dipenuhi rumah warga dan tanaman pekarangan maupun perkebunan lainnya, kini tersisa puing-puing.

Sementara di Desa Oebola Dalam, rengkahan tanah dan longsor di beberapa titik sudah "mengobrak-abrik" ratusan pohon jati milik warga. Longsor dan rengkahan tanah sudah membentuk genangan air seluas 50-60 meter persegi. Air yang tergenang dalam longsoran itu tetap keruh meski tidak ada hujan.

Belahan-belahan tanah yang pecah itu tidak beraturan dengan lebar pecahan atau keretakan mencapai 1-2 meter dan dalam 1,5 meter. Tepat di antara longsoran itu terdapat sebuah sungai yakni Sungai Fatutasu. Alur sungai ini sebagian sudah tertimbun bongkahan tanah yang runtuh.
Pergerakan tanah itu pun mengakibatkan dataran di bawahnya yang selama ini dipakai untuk areal persawahan, muncul gundukan tanah baru.

Warga sudah mengungsi dari rumah mereka yang sudah rusak dan kini mereka membuat rumah darurat berdinding bebak dan atap daun lontar dengan ukuran 5 x 4 meter persegi.
Camat Fatuleu, Batarudin Rosna yang ditemui terpisah meminta warga tetap waspada. "Pantauan kami terakhir, longsor sudah mencapai 10 sampai 12 kilometer," kata Rosna. (yel)


Sehari Bergeser 1 Meter

DUSUN Puaana di Desa Tolnaku dihuni 117 warga. Wilayah dusun itu, mungkin akan tinggal nama. Rumah-rumah tinggal puing. Pepohonan pada miring sana-sini di sela-sela bebatuan dan bongkahan tanah yang longsor.

Kini semua warga sudah pindah. Dalam trauma dan was-was mereka memetik hikmah bencana itu. Bahkan warga menyatakan syukur karena longsor tidak terjadi sekejab. Mereka yakin itu adalah campur tangan Tuhan.

"Kalau Tuhan tidak tolong kami maka saat kejadian itu kami semua pasti meninggal, namun rencana Tuhan begitu indah sehingga kami bisa luput dari bencana itu," kata
Fredik Mau kepada Pos Kupang di lokasi pemukiman baru. Di sana, warga secara gotong royong membuat rumah sangat sederhana untuk tinggal. "Kalau saat itu longsor datang satu kali dengan cepat maka tidak tahu apakah kita masih bertemu atau tidak," katanya.

Karena tanah yang tadinya hanya retak kemudian timbul rengkahan, katanya, maka warga berkesempatan mengevakuasi barang-barang mereka dari dalam rumah untuk dipindahkan ke tempat yang aman.

Longsor pertama kali terjadi pada hari Kamis 12 Juni 2009. Longsor terjadi pada malam hari dan tidak disadari warga. Keesokan pagi sampai siang, warga terperangah karena tanah semakin bergerak turun, bergeser dan mulai timbul rengkahan. Pohon-pohon mulai terlihat miring, tanah mulai runtuh. Warga bergegas memindahkan barang-barangnya, termasuk ternak.

"Saya akhirnya membuat tanda dengan menancap batang kayu di sekat bibir retakan tanah. Satu hari saya lihat retakan makin mendekati kayu dan dua hari kemudian sudah mencapai kayu yang saya tanam itu. Akhirnya saya tempatkan patok lagi dengan jarak enam meter dan pada hari keenam pergeseran lempengan tanah yang longsor itu sudah mencapai patok tersebut sehingga saya perkirakan dalam satu hari pergeseran itu mencapai satu meter," jelasnya.
Benyamin Kono dan Gabriel Kase, dua warga setempat, menuturkan, warga bersyukur kepada Tuhan
karena bencana yang menimpa mereka tidak sama seperti tanah longsor di tempat lain yang terjadi begitu mendadak dan singkat sampai menelan banyak korban jiwa. Keduanya mengatakan, kejadian yang sama pernah dialami tahun 1975 silam namun itu akibat gempa bumi.

Sungai Bawah Tanah

Longsoran yang terjadi di Desa Oebola dalam dan Dusun Nunpisa Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang karena adanya pergeseran kulit bumi. Pergeseran itu, menurut data base yang ada di Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) Jakarta, akibat kondisi tanah yang pada lapisan atasnya berupa batu kapur dan di bagian bawahnya terdapat tanah lempung yang berupa rongga-rongga.
Melalui rongga-rongga tanah itu ada aliran air atau sungai di bawah tanah. Kemungkinan longsoran terjadi karena adanya amblasan pergeseran bebatuan disebabkan karena ada sungai di bawah tanah.

Demikian Kepala Bagian Sosial Kabupaten Kupang, Dominggus Bulla, kemarin, mengutip penjelasan tim peneliti dari Badan Geologi Nasional Bandung yang telah meneliti wilayah yang saat ini terkena longsor. Bulla mendampingi tim peneliti itu saat berada di lokasi penelitian di daerah block sistim atau daerah patahan, termasuk di Desa Oebola dan Dusun Nunpisa Kecamatan Fatuleu.

Bulla menjelaskan, longsor di Oebola dan Dusun Nunpisa itu tidak ada korban jiwa. Warga mengalami kerugian antara lain rusaknya rumah dan harta benda lainnya. "Saat ini semua warga telah di pindahkan ke tempat pengungsian," katanya.

Panjang longsoran, katanya, diperkirakan mencapai 10 - 14 km. Sedangkan panjang patahan bisa mencapai puluhan kilometer.

Sesuai penjelasan tim peneliti, katanya, tanah akan terus bergerak dan diikuti longsoran. Bila longsoran terus terjadi maka, 63 KK atau 240 jiwa yang tinggal di Dusun IV Kiusak, Desa Oelatimo Kecamatan Kupang Timur, juga akan terancam. "Saat ini lokasi bencana tanah longsor sudah sampai di perbatasan antara Kecamatan Fatuleu dan Kecamatan Kupang Timur dan kecamatan Amfoang Tengah," katanya.

Ditanya tentang bantuan yang sudah diberikan Bulla mengatakan, Pemkab telah memberikan bantuan yang sifatnya darurat yakni 500 kg beras 300 kg kacang hijo. Sedangkan, bantuan jangka panjang yang sangat dibutuhkan yakni sarana dan prasarana, relokasi serta sarana air bersih.

Bulla mengimbau kepada warga di sekitar daerah bencana agar tidak membaut pemukiman baru di sekitar wilayah longsoran. Apabila hujan, warga dilarang melintas di kawasan yang labil karena sesewaktu akan runtuh. (yel/den/pk edisi sabtu 6 juni 2009 hal 1)

Selanjutnya...