Minggu, 18 Januari 2009

Narsisisme Politik

MENJELANG Pemilihan Umum 2009, para elite politik mulai sibuk.

Mereka menyiapkan kampanye, mengadakan konsolidasi, mengunjungi tempat-tempat umum, menemui rakyat, membagi pamflet dan kartu nama, memasang foto diri di jalanan, mengirim pesan singkat ke masyarakat, mengaktifkan website, berbicara di radio-radio, serta memasang iklan diri di media elektronik.

Dalam politik abad informasi, citra politik seorang tokoh, yang dibangun melalui aneka media cetak dan elektronik—terlepas dari kecakapan, kepemimpinan, dan prestasi politik yang dimiliki—seolah menjadi ”mantra” yang menentukan pilihan politik. Melalui ”mantra elektronik” itu, persepsi, pandangan, dan sikap politik masyarakat dibentuk, bahkan dimanipulasi. Politik menjadi ”politik pencitraan” yang merayakan citra ketimbang kompetensi politik—the politics of image.

Citra narsistik

Kekuatan ”mantra elektronik” telah menghanyutkan para elite politik dalam gairah mengonstruksi citra diri, tanpa peduli relasi citra itu dengan realitas sebenarnya. Beberapa citra itu tak saja berbeda, tetapi juga bertolak belakang dengan realitas sesungguhnya. Citra terputus dari realitas yang dilukiskan. Kesenangan melihat citra diri menggiring pada ”narsisisme politik” (political narcissism).

”Narsisisme” tidak hanya diartikan sebagai kecenderungan pencarian kepuasan seksual melalui tubuh sendiri (Freud), tetapi juga segala bentuk ”penyanjungan diri” (self-admiration), ”pemuasan diri” (self-satisfaction), atau ”pemujaan diri” (self-glorification) (Erich Fromm), atau segala kecenderungan melihat dunia sebagai cermin atau proyeksi dari ketakutan dan hasrat seseorang (Christopher Lasch, The Culture of Narcissism, 1985).

”Narsisisme politik” adalah kecenderungan ”pemujaan diri” berlebihan para elite politik, yang membangun citra diri meski itu bukan realitas diri sebenarnya: ”dekat dengan petani”, ”pembela wong cilik”, ”akrab dengan pedagang pasar”, ”pemimpin bertakwa”, ”penjaga kesatuan bangsa”, ”pemberantas praktik korupsi”, atau ”pembela nurani bangsa”.

”Narsisisme politik” adalah cermin ”artifisialisme politik” (political artificialism), melalui konstruksi citra diri yang sebaik, secerdas, seintelek, sesempurna, dan seideal mungkin, tanpa menghiraukan pandangan umum terhadap realitas diri sebenarnya. Melalui politik pertandaan (politics of signification), berbagai tanda palsu (pseudo sign) tentang tokoh, figur, dan partai diciptakan untuk mengelabui persepsi dan pandangan publik.

”Narsisisme politik” adalah bentuk ”keseketikaan politik” (political instantaneous) yang merayakan citra instan dan efek segera, tetapi tak menghargai ”proses politik”. Aneka citra politik : ”jujur”, ”cerdas”, ”bersih”, atau ”nasionalis” adalah citra yang seharusnya dibangun secara alami melalui akumulasi karya, pemikiran, tindakan, dan prestasi politik. Namun, mentalitas ”menerabas” telah mendorong tokoh miskin prestasi mengambil jalan pintas manipulasi citra instan.

”Narsisisme politik” adalah cermin ”politik seduksi” (politics of seduction), yaitu aneka trik bujuk rayu, persuasi, dan retorika komunikasi politik, yang bertujuan meyakinkan tiap orang bahwa citra yang ditampilkan adalah kebenaran. Padahal, citra-citra itu tak lebih dari wajah penuh make up dan topeng politik yang menutupi wajah asli—political camouflage.

Simplisitas politik

Wacana komunikasi politik abad informasi menggantungkan diri pada citra visual (visual images), seperti citra televisi, kini menyerahkan diri pada ”logika media” (logic of media) berwatak kapitalistik, yang merayakan logika ”popularitas”, ”rayuan”, ”pengelabuan”, ”kesenangan”; bukan ”substansi”, ”pengetahuan”, ”kebenaran”, dan ”pencerdasan” politik.

Seperti dikatakan Jeffrey Scheuer, dalam The Sound Bite Society: Television and the American Dream (1999), televisi berwatak kapitalistik cenderung menolak segala bentuk ”kompleksitas” demi merayakan ”simplisitas” (simplicity). Ia merayakan segala yang mudah, instan, segera, provokatif, menggoda, dan menolak yang rumit, berbelit-belit, akademik, ilmiah, dan terlalu serius. Politik yang terjebak di dalamnya menghasilkan simplifikasi politik (political simplification).

Simplifikasi politik adalah politik ”antinalar” yang mengabaikan kompleksitas konteks, logika formal, atau hukum kausal persoalan. Ia sebaliknya merayakan logika informal (informal logics), yang menoleransi aneka sesat pikir, kedangkalan, jalan pintas, pernyataan tanpa argumen, penjelasan tanpa bukti, pembicaraan lepas konteks, dan cara pikir tak logis. Inilah wajah simplisitas politik bangsa dewasa ini.

Simbiosis budaya politik dan budaya media kapitalistik menciptakan budaya yang dilandasi hasrat ”keuntungan cepat”, ”personalitas artifisial”, dan ”popularitas prematur”. Politik yang tunduk pada logika media melakukan aneka pembesaran efek (amplifying effect) terhadap segala yang mediocre. Politik macam itu memanipulasi emosi, mematikan rasa, memasung daya kritis, dan membuat pikiran kenyang dengan aneka stereotip sosial yang banal.

Media politik berkembang ke arah ”anti-kedalaman” (depthlessness), dengan memuja gaya ketimbang substansi, citra ketimbang realitas, retorika ketimbang intelektualitas, efek ketimbang proses, emosi ketimbang nalar. Ia menghindar dari relasi abstrak, argumen konseptual, pikiran logis, hukum kausal, karena dianggap tak menarik. Godaan menciptakan komunikasi politik yang menarik telah mengubur tugas pencerahan politik.

Nihilisme demokrasi

Apakah segala banalitas, kedangkalan, bahkan tipu daya komunikasi politik merupakan buah demokrasi? Bila demokrasi dipahami sebagai sistem politik yang mempunyai spirit pencerdasan dan pemberdayaan individu dan warga, untuk menciptakan masyarakat demokratis sejati, maka apa yang berlangsung di atas panggung politik telah ”melampaui” ideal demokrasi itu sendiri.

Cornel West dalam Democracy Matters: Winning the Fight Against Imperrialism (2004) mengatakan, demokrasi berlebihan menciptakan ”nihilisme demokratik” (democratic nihilism), yaitu praktik demokrasi yang diwarnai strategi kebohongan, manipulasi, dan kepalsuan. Demokrasi lebih merayakan trik-trik mengangkat emosi, perasaan dan kesenangan, dengan mengabaikan substansi politik.

Memang, politik pencitraan amat penting dalam demokrasi abad informasi, karena melaluinya aneka kepentingan, ideologi, dan pesan politik dapat dikomunikasikan. Namun, ia harus dilandasi etika politik karena tugas politik tidak hanya menghimpun konstituen sebanyak mungkin—melalui persuasi, retorika, dan seduksi politik—tetapi lebih penting lagi membangun masyarakat politik yang sehat, cerdas, dan berkelanjutan.

Yasraf Amir Piliang Pemikir di Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD-ITB. Diturunkan Kompas edisi 17 januari 2009.
Selanjutnya...

DPRD NTT Setuju Pergeseran Waktu Pemilu

DEWAN Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi NTT menyetujui pergeseran waktu pelaksanaan pemilu legislatif karena pada tanggal 9 April 2009 bertepatan dengan hari Kamis Putih yang dirayakan umat Katolik di NTT. Sikap DPRD NTT ini dinyatakan dalam surat yang akan dikirim ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta.

Ketua DPRD NTT, Drs. Mell Adoe menjelaskan hal ini kepada wartawan seusai memimpin rapat gabungan komisi dengan Komisi Pemilihan Umum Propinsi NTT di ruang sidang DPRD NTT, Kamis (15/1/2009). Saat itu Mell Adoe didampingi anggota Dewan, Adrianus Ndu Ufi dan Sekretaris DPRD, Dra. Sisilia Sona.

Mell Adoe mengatakan, selain sebagai warga negara, setiap orang juga pemeluk agama, diantaranya adalah warga gereja. Oleh karena waktu pelaksanaan pemilu bertepatan dengan hari keagamaan ,maka harus secara bijak mengemasnya agar tak ada satu pun yang dikorbankan.

Dikatakannya, pemerintah pusat dan KPU pusat perlu memberi ruang khusus mengingat NTT merupakan daerah mayoritas Kristen. Jika tidak, diprediksikan golput akan meningkat. "Kami akan surati KPU dan pemerintah pusat. Sikap ini untuk menindaklanjuti begitu banyaknya aspirasi," katanya.

Dalam acara jumpa pers itu, sejumlah wartawan mengungkapkan kekecewaannya terhadap anggota DPR RI asal daerah pemilihan NTT yang tidak peka dengan kondisi-kondisi lokal di NTT.

"Dulu waktu undang-undang pornografi ditetapkan, tidak ada satu pun anggota DPR RI asal daerah pemilihan NTT yang menolak. Padahal, masyarakat NTT secara tegas menyatakan menolak UU Pornografi. Aspirasi masyarakat dan daerah tidak diperjuangkan. Sekarang sama, penetapan waktu pemilu legislatif yang bertabrakan dengan hari Kamis Putih juga tidak ada satu anggota DPR RI yang menolaknya. Kami sangat sesalkan ini," kata Hiro Bifel, wartawan Fajar Bali.

Sebelumnya, dalam rapat gabungan komisi yang juga dipimpin Mell Adoe, sejumlah anggota Dewan mengusulkan agar usulan pergeseran waktu pemilu dipertimbangkan untuk diperjuangkan. Rapat gabungan komisi dengan agenda mendengar penjelasan KPU NTT tentang persiapan pelaksanaan pemilu legislatif di NTT.

Anggota Fraksi Gabungan dari PPP, Drs. Yahidin Umar menegaskan, permintaan Pemda serta aspirasi masyarakat Flores Timur agar menggeser pemilu lelgislatif ke tanggal 15 April harus disikapi secara baik.

Menurutnya, jika pemilu tetap dilaksanakan pada 9 April, tingkat partisipasi masyarakat di Flotim pasti berkurang.

Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Ir. Yucundianus Lepa mengatakan, perayaan Kamis Putih bukan saja dilaksanakan di Flotim, tapi semua daerah di NTT. Selama satu minggu (pekan suci, 6 - 12 April) umat Katolik mempersiapkan batin.

"Dalam waktu itu, pusat paroki menjadi tempat berkumpul umat. Di Flotim dengan perayaan Semana Santa. Oleh karena itu, DPRD dan Pemda ambil inisiatif ke pusat meminta KPU menggeser waktu pelaksanaan. Tunggu selesai perayaan Paskah baru pemilu legislatif dilaksanakan," kata Yucun.

Dia juga mengharapkan, setiap pimpinan parpol mengambil sikap tegas memperjuangkan pergeseran waktu pemilu.

Anggota Dewan dari PKPI, Pius Rengka mempertanyakan keterlibatan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dalam penyusunan jadwal pemilu yang tidak mengantisipasi hari keagamaan.

Anggota DPRD dari PPDI, Daniel Taolin, SE, M.Si juga meminta agar ada pergeseran waktu pemilu. "Kenapa di Aceh ada perlakuan khusus. Di Bali juga begitu. Kenapa di NTT tidak bisa," katanya retoris.

Penegasan yang sama disampaikan anggota Dewan, Frans Dima Lendes dan Alo Asan. "Hari besar orang Kristen itu Paskah. Jadi, DPRD dan KPU NTT ke Jakarta untuk meminta KPU pusat menggeser waktu pemilu," kata Alo Asan. (aca/poskpg edisi 16 januari 2009 hal 8)
Selanjutnya...

Pemda Flotim Usul Pemilu Legislatif 15 April

PEMERINTAH Kabupaten Flores Timur (Flotim) mengusulkan waktu pelaksanaan pemilu legislatif, khususnya di Flotim, bergeser dari tanggal 9 April ke tanggal 15 April 2009. Adapun alasannya, pada tanggal 9 April, umat Katolik mengikuti misa Kamis Putih, rangkaian perayaan Semana Santa.

Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Flotim, dr. Valens Sili Tupen, M.KM mengatakan hal ini saat ditemui di Kantor Gubernur NTT, Rabu (14/1/2009). Valens Tupen hendak bertemu Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya untuk melaporkan sikap Pemda Flotim terkait pelaksanaan pemilu legislatif. Sebelumnya, usulan tentang pergeseran waktu pemilu juga disampaikan secara tertulis kepada KPU dan KPUD NTT, Gubernur NTT, DPR dan DPRD NTT.

"Kalau tetap dilaksanakan tanggal 9 April, akan banyak menganggu. Kesuksesan pemilu juga diragukan. Karena, mulai hari Rabu (8 April) umat Katolik sudah sibuk dengan perayaan Semana Santa. Jumat (10 April) prosesi. Saat itu orang kesulitan mendatangi TPS," kata Valens Tupen.

Hari Kamis Putih dalam pekan suci (6-12 April), diyakini umat Kristiani di seluruh dunia sebagai perjamuan malam terakhir antara Yesus Kristus dengan murid-murid-Nya sebelum wafat dan bangkit pada hari Minggu Paskah yang jatuh pada 12 April.

"Semana Santa bukan peristiwa insidentil, tapi tradisi yang sudah dilaksanakan turun-temurun. Umat tidak bisa menunda urusan iman ini. Dari sudut kepentingan negara, pemilu penting. Tapi kepentingan negara bisa tunda. Di tempat lain bisa dapat dispensasi, kenapa Flotim tidak bisa?" katanya.

Valens Tupen menjelaskan, sikap Pemda Flotim berdasarkan aspirasi berbagai elemen yang ada di Flotim. Sikap Pemda Flotim sejalan juga dengan sikap Keuskupan Larantuka. "Sikap Keuskupan juga sudah disampaikan ke KPU," katanya.

Valens Tupen mengatakan, jika KPU mengkhawatirkan pergeseran waktu pemilu berimplikasi pada bertambahnya biaya, maka hal itu mestinya dikomunikasikan secara baik. "Kalau pergeseran waktu berkonsekuensi pada biaya, dan butuh partisipasi daerah, maka perlu dibicarakan. Biaya tidak besar, sekarang dibutuhikan kemauan politik untuk menggeser waktu pelaksanaan," ujar Valens Tupen.

Dia mengkiritik usulan KPUD NTT untuk memperbanyak TPS dalam pemilu legislatif. "Ini bukan persoalan agar pemilu cepat selesai. Substansinya lain," ujarnya.

Valen Tupen mengatakan, Pemda Flotim mengharapkan dukungan berbagai pihak, termasuk parpol dan anggota DPR (D) untuk berjuang pergeseran waktu pemilu legislatif di Flotim. (aca/poskpg edisi 15 januari 2009 hal 8)
Selanjutnya...

Perbanyak TPS Bukan Solusi yang Tepat

ALIANSI Mahasiswa Pro Pluralisme NTT menilai usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi NTT memperbanyak tempat pemungutan suara (TPS) dalam pemilu legislatif, 9 April 2009, bukan solusi yang tepat karena akan tetap mengganggu kekhusukan umat Katolik merayakan ibadah Kamis Putih.

Dalam pernyataan tertulisnya yang ditandatangani Kasmir Kopong (Ketua) dan Gusti Nagi (Sekretaris), yang diterima Pos Kupang, Senin (12/1/2009), Aliansi Mahasiswa Pro Pluralisme NTT menyatakan, karena umat Kristiani di NTT sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, maka negara harus menghargai dan menjamin serta menciptakan ketenangan lahir dan batin umat Katolik dalam merayakan pekan suci. KPU dan pemerintah jangan enggan menggeser jadwal hanya karena alasan biaya.

"Kami melihat adanya keengganan pemerintah dan KPU dalam menggeser jadwal pemilu legislatif dengan dalih akan berdampak pada bertambahnya biaya pemilu. Pemerintah dan KPU tidak mempertimbangkan ketenangan lahir batin umat Kristiani dalam merayakan pekan suci merupakan bentuk pemasungan terhadap nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945," demikian Aliansi Mahasiswa Pro Pluralisme NTT.

Aliansi Mahasiswa menguraikan, Pancasila sebagai ideologi bangsa menjadi ideologi tengah atau penyeimbang yang menengahi ideologi kapitalis yang mengutamakan kapital, biaya pemilu legislatif (uang) sehingga mengabaikan aspek sakral kehidupan umat dan mengutamakan yang sekuler dengan ideologi sosialis yang mengutamakan lebih banyak orang dan mengabaikan perorangan, dan sedikit orang.

"Oleh karena itu diperlukan kebijakan pemerintah melalui KPU pusat untuk menggeser pelaksanaan pemilu legislatif 9 April 2009 sebagai sebuah upaya jalan tengah yang mencerminkan penerapan ideologi Pancasila," demikian pernyataan Aliansi Mahasiswa.

Menurut mereka, rencana KPUD NTT memperbanyak TPS bukan solusi yang tepat, damai dan tentram dalam konsentrasi memaknai momentum pekan suci tersebut. Rencana kebijakan tersebut terjebak dalam pola kepemimpinan kapitalis yang mengutamakan kapital, uang (biaya pemilu) sehingga mengabaikan aspek kerohanian dan kesakralan hidup umat.

"Pemerintah dan KPU harus menggeser jadwal pemilu legislatif sesudah berlangsungnya pekan suci umat Kristiani. Kebijakan menggeser jadwal pemilu legislatif tidak hanya sekadar menjadi tuntutan untuk toleransi negara terhadap kehidupan rohani umat, tetapi juga menjadi pencitraan secara internasional bagi bangsa Indonesia di mata dunia bahwa terjadi toleransi yang tinggi dalam pelaksanaan kehidupan umat beragama dengan praktik kenegaraan di Indonesia," tulis Aliansi Mahasiswa. (aca/poskpg edisi 14 januari 2009 hal 8)
Selanjutnya...