Selasa, 02 September 2008

Berpolitik dengan Perspektif Gender


PADA Tahun 2009 mendatang, masa tugas Inche DP Sayuna, S.H, M.Hum sebagai anggota DPRD NTT akan berakhir. Hingga waktu itu, sepuluh tahun sudah ia mengabdi untuk masyarakat dan daerah. Ia pun menegaskan bahwa tidak mau berhenti berkiblat di dunia politik.

"Saya menikmati politik," ujar Inche Sayuna.

Ditemui di kediamannya di Liliba, Kota Kupang, beberapa waktu lalu, istri dari Hengki Famdale dan ibu dari Grace Natalia Putri Hengki Famdale ini banyak berceritra tentang dunia akademik yang sudah ia tinggalkan, awal mula meniti karier politik, kehidupan keluarganya, tentang predikat barunya sebagai Miss Gender dan obsesinya. Berikut petikan wawancara wartawan Pos Kupang, Alfons Nedabang, dengan wanita pengagum Margareth Teacher ini.


Bisa ceritrakan awal mulanya Anda berpolitik?

Saya tidak pernah punya cita-cita sebagai anggota DPRD. Awalnya saya seorang akademisi, dosen di Unkris (Universitas Kristen Arta Wacana Kupang). Setelah lulus dari Unkris, saya angkatan pertama, langsung mengajar. Mengajar selama 1989 - 1996. Selama kuliah saya pernah menjadi mahasiswa teladan. Lalu diutus sekolah di Universitas Gajah Mada. Kami ada tiga orang ikut tes rebut satu beasiswa, dan saya yang dapat. Beasiswa sampai S3, karena saya punya cita-cita menjadi dosen yang terkenal. Tahun 1999 gelombang reformasi, ada tawaran dari Partai Golkar untuk menjadi anggota DPRD NTT mewakili Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Pada saat itu saya masih mengikuti pendadaran tesis di Gajah Mada. Saya bingung karena cita-cita jadi dosen terkenal belum tercapai. Namun karena saya ingin mencoba sesuatu yang baru maka saya putuskan untuk menerima tawaran itu. Saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kampus. Selesai pendidikan di Gajah Mada saya terjun politik. Pada pemilu 1999, saya menjadi anggota Dewan. Pada Pemilu 2004, saya kembali terpilih menjadi anggota Dewan.

Kenapa tertarik pada politik?

Waktu disuruh pilih untuk terjun ke politik, saya melihat bahwa saya punya minat ke politik ada. Sebelum ngajar di Unkris, saya sangat aktif di organisasi dari tahun 1985. Masuk AMPI (Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia), di HWK (Himpunan Wanita Karya), KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia). Tahun 1999 masuk menjadi pengurus Partai Golkar. Aktif di organisasi ini membuat saya mengenal banyak hal, termasuk politik. Saya juga aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Karena itu ketika ada tawaran saya coba dulu sesuatu yang baru. Saya sudah sepuluh tahun jadi akademisi, karena itu memulai sesuatu yang baru, dunia baru. Ternyata di politik, tidak saja berpikir tentang pendidikan tapi tentang semua hal. Saya berpikir harus berada dalam sistim agar bisa membantu pemerintah dan masyarakat yang lebih luas.

Bukan karena penghasilan seorang dosen swasta saat itu masih minim?

Dunia kampus menarik buat saya. Sudah sangat saya suka. Penghasilan bukan jadi alasan karena menjadi dosen adalah cita- cita saya. Pertimbangan paling utama waktu itu ketika mereka hubungi saya, mereka bilang tidak ada kader perempuan yang mau direkomendasikan untuk duduk di DPRD. Semua kader perempuan waktu itu ada di lembaga eksekutif, menjadi pegawai negeri sipil. Sehingga tawaran itu saya terima.

Pandangan Anda tentang politik?

Kalau kita omong soal politik, sesuatu yang berkaitan dengan kekuasan, pengambilan keputusan, dalam pengertian yang formal. Karena itu, bagi saya politik itu adalah suatu seni untuk mengelola kekuasaan dan bagaimana mengelola strategi mengambil keputusan yang berdampak pada orang banyak. Ini yang membuat saya berpikir lebih luas lagi dan bisa menjangkau orang lebih banyak lagi. Bagaimana pergunakan potensi yang saya punya, tidak saja berpikir tentang dunia pendidikan tapi dalam berbagai aspek merambah ke situ. Selama ini praktek politik yang dimainkan pelaku-pelaku politik, baik dalam parpol maupun struktural birokrasi memberi kesan kepada publik bahwa politik itu sesuatu yang kotor, saling sikut menyikut, penuh intrik dan orang bisa menghalalkan segala cara untuk mengambil keputusan, orang bisa menghalalkan cara untuk mencapai kekuasaan.

Kondisi itu Anda rasakan?

Saat pertama itu penuh dengan keterkejutan. Saya orang akademisi, apa yang ada dalam benak saya adalah sebuah idealisme yang lurus. Ketika ada di dalam itu ternyata apa yang saya pikirkan sendiri belum tentu bisa diterima orang lain. Saya berupaya mengkolaborasi pikiran saya dengan pikiran orang lain. Saya menyadari bahwa tidak ada orang yang sekolah khusus menjadi anggota DPRD. Saya dulu ngajar di Fakultas Hukum, tentu saya lebih banyak tahu tentang hukum. Persoalan kemasyarakatan hanya sedikit saya tahu, itu pun ketika berada dalam organisasi kemasyarakatan. Saya dituntut mengetahui banyak hal, misalnya belajar tentang menyusun pemandangan umum. Belajar membaca anggaran. Tahun pertama di DPRD saya pake belajar untuk memperdalam keterampilan- keterampilan yang dibutuhkan dalam lembaga. Saya tidak mau berada dalam lembaga hanya untuk dipakai pada saat voting dan minta baca pemandangan. Saya ingin memperjuangan misi perempuan. Kehadiran saya memberi warna untuk melakukan sebuah perubahan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih ramah terhadap perempuan. Kebijakan yang responsif gender. Saya tidak ingin negara bayar saya dengan fasilitas yang luar biasa, lalu saya hanya duduk diam dan tidak berfungsi di lembaga itu.

Bagaimana Anda mengkolaborasikan pikiran?

Memang tidak mudah bagi perempuan untuk diterima dengan baik dalam lembaga itu. Karena sistim yang dibentuk sudah sangat patriarkat. Pola pikir juga sangat patriarkat sehingga semua proses dan pengambilan keputusan itu juga sangat patriakat. Dan karena itu, perlu membangun sinergi dengan sesama teman-teman agar memberi ruang kepada perempuan untuk berekspresi sesuai dengan kapasitas yang dia punya. Tidak semua laki-laki menerima itu dengan positif. Jadi, sesuatu yang tidak mudah. Saya punya prinsip adalah saya harus berfungsi dengan baik, jaga moral saya supaya jangan bersentuhan dengan hal-hal yang dapat mencederai karya politik saya. Saya berusaha untuk menjaga sikap agar bisa diterima baik oleh orang lain. Jujur saja, setiap orang ingin menonjol. Saya berusaha untuk menempatkan diri saya dalam kapasitas yang baik, saya juga tidak ingin memaksa orang untuk memberi penilaian yang baik atau tidak baik kepada saya. Saya berusaha untuk melakukan tugas dan tanggung jawab secara baik. Membangun relasi positif dengan sesama teman-teman, saya berusaha untuk positive thingking, dan menganggap semua orang baik. Itu yang kemudian tidak ada beban bagi saya untuk berinteraksi dengan orang lain.

Anda berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah yang responsif gender. Apa yang Anda lakukan?

Sebelum saya, sudah ada juga perempuan yang melakukan perjuangan yang sama. Artinya, ketika saya masuk, perjuangan saya sudah tidak seberat seperti apa yang dilakukan sebelumnya. Harus diakui bahwa tidak semua anggota Dewan paham dan sensitif gender. Oleh karena itu saya berusaha untuk berjejaring dengan teman anggota Dewan - laki dan perempuan. Juga berjejaring dengan orang-orang di luar DPRD, di eksekutif dan yudikatif. Semua organisasi perempuan yang konsen terhadap isu perempuan dan anak, kami berjejaring dalam sebuah jaringan yang difasilitasi oleh Biro Pemberdayaan Perempuan. Mereka menjadi sumber informasi dan motivator, membantu saya untuk berjuang di DPRD. Saya membangun komunikasi agar teman-teman Dewan bisa membantu minimal tidak menolak ketika menawarkan kebijakan. Yang belum paham tentang gender, kita undang sebagai narasumber dalam kegiatan. Dengan begitu mereka kita ikat secara moral. Di setiap kesempatan, saya juga mensosialisasi gender. Setiap percakapan, apa yang saya ungkapkan pasti bertolak dari isu gender, seperti susun pendapat komisi, pemandangan fraksi, bicara dalam forum diskusi dan seminar. Bagi saya itu media kampanye yang positif. Karena selalu sering omong tentang gender, teman-teman memanggil saya Miss Gender. Ibu gender, ha....ha...ha. Akhirnya, teman-teman komisi, fraksi memperhatikan hal ini. Saya senang karena sudah mulai berperspektif gender. Walaupun masih dalam tanda petik, karena ini juga jualan politik. Apakah komitmen itu diberikan secara jujur atau tidak, pasti dapat terlihat.

Jejaring perempuan, seperti apa itu?

Bentuk organisasinya macam-macam. Ada jaringan perempuan yang konsern dengan isu politik, yang dinamakan Jaringan Perempuan dan Politik. Tugasnya bagaimana membuat perempuan memahami hak dan kewajibannya dalam politik. Ada jaringan yang bekerja di sektor kesehatan. Ada jaringan yang konsern dengan isu ekonomi. Ada juga jaringan yang konsern dengan isu agama. Semua jaringan yang bekerja itu kita himpun dalam satu wadah dan selalu berdiskusi. Saat bertemu itu kita omong tentang agenda bersama, yang disesuaikan dengan kebijakan pembangunan daerah..

Dalam perjuangan gender itu, adakah hal yang dirasakan membanggakan? Dan, apa yang mengecewakan?

Oh...banyak hal. Yang membanggakan, pertama, kehadiran saya di DPRD, menjadi Ibu gender itu juga sebuah reward untuk saya. Lepas dari mereka suka atau tidak suka, itu sebuah pengakuan. Bahwa ketika bicara tentang isu gender, ada orang yang vokal membicarakannya di Dewan. Kedua, dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah isu itu sudah menjadi komitmen. Itu tidak terlepas dari perjuangan saya dan teman-teman. Ketiga, bagi saya adalah berhasil membangun sebuah jaringan yang kuat di antara sesama organisasi perempuan. Lepas dari solidaritas itu masih belepotan, bagi saya NTT sebagai contoh di mana perempuan-perempuan NTT bersatu dalam sebuah jaringan untuk mem-back up yang satu dengan yang lain dalam langkah perjuangan. Sebelum membahas anggaran, saya sudah kumpul teman-teman jaringan, membicarakan apa agenda kita tahun depan. Lalu bagaimana kebutuhan dana? Kami bagi peran, saya punya tugas adalah memperjuangkan agar kebijakan ini masuk dan anggaran ada. Ini pembagian peran yang sangat bagus, antara saya dan jaringan perempuan. Saya kira ini sebuah prestasi yang membanggakan. Sedangkan yang mengecewakan, saya lihat parpol belum mempersiapkan kadernya secara optimal untuk duduk di DPRD. Dan karena itu saya bilang teman-teman, bicara tentang hak, perempuan harus dipersiapkan secara baik untuk masuk dalam sistim. Jadi kita perlu dorong parpol untuk mempersiapkan kader perempuannya dengan baik. Kekecewaan dalam pengertian lain, saya berpikir begini, mengubah sesuatu yang tidak biasa menjadi biasa itu butuh proses dan membutuhkan waktu. Kami berjuang dengan sebuah paradigma berpikir, membutuhkan waktu untuk bisa berubah dan diterima dengan baik. Hal lainnya adalah banyak hal baik yang sudah dibuat oleh lembaga Dewan, dalam bentuk kebijakan dan rekomendasi pikiran, cuma eksekusi kebijakan di tingkat pemerintah itu yang lambat. Banyak pikiran-pikiran baik yang ternyata hanya sampai pada tataran konsep, sedangkan implementasi kecil sekali.

Berdasarkan pencermatan Anda, apa letak persoalan gender?

Pola pikir patriarkat masih sangat dominan. Karena itu, walaupun sekarang ini begitu banyak organisasi perempuan yang turun melakukan sosialisasi, walaupun begitu banyak aturan yang sudah dihasilkan baik pada tataran nasional dan lokal yang memungkinkan untuk membuka isolasi itu, bagi saya sampai dengan saat ini, perjuangan untuk mengubah pola pikir itu masih cukup panjang. Tetapi kita bersyukur karena dari waktu ke waktu, isolasi itu makin tipis. Sekat itu makin tipis. Adanya aturan yang repsonsif gender, itu juga sebuah indikasi yang baik. Sehingga banyak orang mulai bicara tentang gender, termasuk media. Walaupun masih panjang untuk sampai pada titik yang setara, tetapi kemajuan yang dicapai sampai dengan saat ini, itu sesuatu yang menggembirakan. Bukan angin surga tapi angin segar. Perjuangan kita kan untuk mencapai kesetaraan, bagaimana laki-laki dan perempuan secara berimbang setara memiliki pengakuan terhadap hak masing- masing yang sama. Berjalan secara bersama-sama bergandengan tangan dalam kesetaraan untuk mengisi pembangunan.

Faktor utama yang menghambat?

Yang utama itu budaya. Saya punya orang Timor. Walaupun kami sudah omong soal perempuan jadi pemimpin, bagi mereka itu sesuatu yang aneh. Ketika ada perempuan yang berani menyampaikan secara terbuka menjadi bupati, bagi dia ini sesuatu yang menakjubkan. Mereka yang di kampung-kampung sulit terima. Agak berbeda dengan perempuan kota, sudah tidak sulit untuk membicarakan tentang kesetaraan. Walaupun tidak semua orang tulus memberi pengakuan seperti itu. Saya akan merasa sangat bahagia kalau antara masyarakat kota dan akar rumput sudah memiliki pemahaman yang benar.

Salah satu indikasi kebijakan yang responsif gender adalah penetapan 30 persen kuota perempuan. Menurut Anda, apa pesan dari aturan itu?

Kuota 30 persen adalah kebijakan sementara yang diberi pengakuan dan dilegitimasi oleh undang-undang pemilu. Dan parpol diminta untuk mengimplementasikan kebijakan itu dalam internal parpol. Memang tidak mudah. Partai Golkar juga sebagai penggagas aturan itu dan dalam aturan organisasi juga memberi ruang kepada perempuan. Tapi dalam implementasinya, sangat tergantung pada political will pimpinan parpol. Walaupun ada aspirasi dari bawah, tapi dalam rapat pimpinan parpol untuk menentukan rekruitmen kader dalam jabatan itu dalam rapat pimpinan khusus. Dan itu terbatas. Kuota 30 persen ini kebijakan yang menggembirakan perempuan. Tetapi karena kuota tidak memuat sanksi yang tegas bagi parpol, maka itu akan sangat bergantung pada kemauan baik pimpinan parpol dalam merekrut kader-kader perempuan untuk jabatan politik. Karena itu maka yang dilakukan Jaringan Perempuan dan Politik adalah membangun relasi lobi dengan pimpinan parpol supaya kader perempuan yang diinventarisir, sesuai pilihan politik perempuan itu sendiri. Kita serahkan kepada parpol dan parpol merekrut mereka dengan menggunakan aturan internalnya. Bagi saya sebuah upaya positif untuk kontrol yang dibangun Jaringan Perempuan terhadap parpol supaya parpol komit dengan undang-undang. Mudah-mudahan, dengan cara ini, bisa membantu menambah jumlah perempuan yang berpolitik. Agar kuota 30 persen terwujud, Jaringan Perempuan akan sebagai kekuatan penekan. Kita harapkan juga KPU melakukan sebuah imbauan yang bersifat menekan sehingga parpol bisa memberi peluang kepada perempuan. Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan Jaringan Perempuan, sejak tahun 1999 dan sampai dengan saat ini, ternyata banyak perempuan yang sudah mempersiapkan diri untuk terjun dalam politik.

Dalam kaitannya dengan mempersiapkan diri, apa yang Anda lakukan?

Saya banyak membaca. Banyak permintaan seminar, dialog dan diskusi itu membuat saya harus terus membaca. Itu sangat menolong menjaga kapasitas diri. Selain itu mengikuti berbagai pelatihan-pelatihan yang menurut saya baik untuk peningkatan diri. Rata-rata semua pelatihan dan kursus-kursus di tingkat nasional. Saya juga berlangganan media cetak dan majalah, cukup banyak.

Berpolitik banyak menguras waktu dan energi. Bagaimana Anda menjaga harmonisasi keluarga?

Saya punya suami yang sangat memberi dukungan buat saya. Dia sangat mensuport saya untuk optimal di bidang saya. Kami dikaruniai satu anak. Karena itu yang dikembangkan untuk menjaga keharmonisan keluarga adalah pertama, komunikasi yang sehat. Kedua itu, kepercayaan. Suami memberi kepercayaan kepada saya dan saya sangat menjaga kepercayaan itu. Sebaliknya suami pun seperti itu. Kepercayaan itu harus ditumbuhkembangkan secara baik dalam kehidupan keluarga. Jika tidak maka akan menjadi ancaman.

Meski sibuk Anda masih terlihat energik. Apa rahasianya?

Saya paling malas olahraga. Cuma saya bantu dengan suplemen. Macam-macam suplemen. Ada suplemen yang membantu aktivitas. Setiap bulan juga saya doping dengan vitamin C. Dan, minum air putih.

Obsesi Anda?

Saya sudah sepuluh tahun di DPRD. Saya punya mimpi untuk kalau mungkin sudah tidak lagi di DPRD NTT. Bagi saya waktu sepuluh tahun itu sudah cukup lama. Saya ingin mengenal waktu yang baru lagi dan juga tidak menutup pintu bagi kader- kader yang lain. Saya punya cita-cita, kalau tidak masuk ke eksekutif maka masuk ke lembaga legislatif yang jenjangnya lebih tinggi. Saya punya mimpi ke DPR RI. Saya sadar itu sesuatu yang sangat tidak mudah, karena banyak orang yang mau. Dan, keputusan untuk berada di sana itu sangat tergantung pada DPP (Partai Golkar). Kalau memang tidak bisa masuk ke DPR RI, maka ke mana saja kaki melangkah ya itu. Saya punya prinsip, setiap langkahku diatur oleh Tuhan. Dan karena itu, saya punya keiginan besar tapi tentu keinginan saya belum tentu direstui Tuhan. Saya berdoa, serahkan. Yang jelas saya tetap berada di jalur politik. Saya belum mau berhenti berpolitik. * (Pos Kupang Minggu, 27 Juli 2008, halaman 03)


BIODATA

Nama : Inche DP Sayuna, SH, M.Hum
Lahir : 11 Desember 1966
Suami : Hengki Famdale (Notaris PPAT/pengusaha)
Anak : Grace Natalia Putri Hengki Famdale (Kelas 4 SD)
Hobi : Membaca
Tokoh idola : Margareth Teacher

Pendidikan :
- Menyelesaikan SD
- SMA di SoE
- S1 Fakultas Hukum UKAW Kupang 1989
- S2 Hukum Agraria Universitas Gajah Mada Yogyakarta 1999

Pengalaman Kerja :
- Dosen Fakultas Hukum UKAW Hukum (1989 - 1999)
- Anggota DPRD NTT (1999 - 2004)
- Anggota DPRD NTT (2004 - 2009)
- Wakil Ketua Fraksi Golkar DPRD NTT
- Mantan Ketua Komisi C DPRD NTT
- Menjadi narasumber/fasilitator berbagai seminar nasional dan daerah. Selanjutnya...

Perubahan Paket UU Politik

Partai lokal, pentingkah? (1)

PARTNERSHIP dan Koalisi NGO (Non Goverment Organisation) bekerja sama dengan Sloka Institute menggelar kegiatan bertajuk Konsultasi Publik tentang Gagasan Perubahan Paket Undang-undang Politik 2007, di Nusa Penida Room, Santika Resort, Kuta, Bali, Sabtu - Minggu (19-20/5/2007). Paket UU Politik 2007 yang direvisi itu terdiri dari UU Partai Politik, UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan UU Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD dan DPRD. Kegiatan ini diikuti 30 peserta yang berasal dari Bali dan NTT. Latar belakang peserta beragam, aktivis LSM, politisi, KPUD, mantan anggota Panwas Pemilu, anggota Panwas Pilkada, akademisi dan wartawan. Berikut catatan wartawan Pos Kupang, Alfons Nedabang yang mengikuti kegiatan itu.


PEMILU 2009, tinggal dua tahun lagi. Kemunculan partai politik (parpol) baru menjelang Pemilu 2009 kian marak. Hingga awal Mei 2007, jumlah partai baru yang terdaftar di Departemen Hukum dan HAM sudah mencapai 52 partai. Di luar daftar itu, masih banyak parpol yang menunggu, tercermin dari deklarasi dan konsolidasi yang tidak kunjung surut.

Di antara parpol yang sudah mendeklarasikan diri, ada yang benar-benar baru walau dengan orang-orang lama. Ada parpol baru dengan tokoh yang juga belum dikenal publik secara luas. Ada juga parpol gabungan dari sejumlah parpol yang tidak lolos dalam pemilu sebelumnya. Dari ketiga kategori ini, beberapadiantaranya sudah mendeklarasikan kehadirannya di NTT, seperti adalah Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Perubahan Nasional (Papernas), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Demokrasi Indonesia Pembaharuan (PDI Pembaharuan) dan Partai Republiku.

Kemunculan partai menjelang Pemilu 2009, bukanlah fenomena baru. Pada Pemilu 1955, parpol membiak sedemikian banyak, tercatat 178 parpol sebagai peserta pemilu, termasuk calon perorangan. Jumlah itu kemudian menyusut (disusutkan) pada Pemilu 1977, tinggal dua parpol (PDI dan PPP) dan Golongan Karya (Golkar).

Era reformasi membuka kembali kesempatan bagi siapa pun untuk mengartikulasikan kepentingannya lewat parpol. Jadilah kemudian, parpol terus bertumbuh sampai sekarang, bak jamur di musim hujan. Pada Pemilu 1999 sebanyak 48 parpol. Sedangkan Pemilu 2004, diikuti 24 parpol. Maka, lahirlah sistem multipartai!

Dalam perjalanan, sistem multipartai dianggap membawa masalah. Sistem kenegaraan menjadi tidak stabil. Sistem presidensil yang diamanatkan konstitusi cenderung bergeser ke sistem parlementer. Tidak mengherankan jika jagat perpolitikan kita, dari pusat sampai daerah, hingar bingar dan kacau balau.

Menyadari itu, pemerintah berkeinginan "menyederhanakan" sistem dimaksud. Tujuannya untuk memperkuat sistem presidensil yang kita anut. Selain itu untuk mempermudah teknis penyelenggaraan pemilu. Pengetatan syarat pembentukan parpol, adalah salah satu solusi. Jumlah pendiri, jumlah pengurus dan sebarannya dibatasi.

Syarat pembentukan parpol memang telah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Parpol. Diantaranya, parpoldidirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris. Parpol mempunyai kepengurusan sekurang-kurang 50 persen dari jumlah propinsi, 50 persen dari jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi dan 25 persen dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota.

Meski demikian, syarat ini dinilai terlalu mudah. Maka, dibuat syarat lain. Dalam draf RUU Partai Politik yang dibuat Depdagri, dinyatakan, pendiri parpol berjumlah 50 sampai 100 orang, kepengurusan parpol 50 sampai 66,6 persen di tingkat provinsi, 75 persen ditingkat kabupaten/kota, 25 sampai 50 persen ditingkat kecamatan. Namun, syarat ini dinilai sangat berat dan dipandangan sudah mengebiri hak politik warga untuk mendirikan parpol. Karenanya, disepakati pembentukan parpol tetap mengacu pada syarat dalam UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Parpol.

Gagasan lainnya adalah tentang keterwakilan perempuan. Diusulkan, perlu ditetapkan kuota 30 persen untuk perempuan dalam komposisi kepengurusan parpol di semua tingkatan. Upaya ini untuk memberi akses dan ruang politik kepada perempuan, terlepas dari ada tidaknya kemauan dan kemampuan kaum perempuan.

Hal lain yang disoroti adalah tentang keuangan parpol. Selama ini yang kita tahu, sumber keuangan parpol dari iuran anggota dan bantuan pemerintah. Iuran anggota tetap dianjurkan sementara bantuan dari pemerintah diminta untuk dihentikan. Alasannya, laporan pertanggungjawaban parpol tentang keuangan itu sangat tidak jelas. Padahal, dana bantuan itu dihitung berdasarkan banyaknya suara pemilih dan diberikan kepada parpol yang mempunyai wakil di DPR (D). Dengan demikian, dana tersebut harus dimanfaatkan untuk masyarakat,misalnya pendidikan politik. Tapi fungsi ini tidak dilaksanakan parpol. Sebaliknya, dana itu justru dinikmati elite-elite parpol. Di beberapa daerah, dana bantuan pemerintah menjadi sumber persoalan karena pengurus saling rebutan.

Alasan lain penghapusan adalah untuk menciptakan kemandirian partai. Logika politik, membangun partai untuk mengabdi kepada rakyat, bangsa dan negara. Karenanya, pemberian bantuan sebagai bentuk pemanjaan pemerintah terhadap parpol.

"Adanya bantuan itu sebagai upaya pemanjaan pemerintah terhadap parpol. Apakah parpol tidak mau melakukan usaha yang lain? Rata-rata partai tidak melakukan hal itu. Jika partai bisa empati kepada rakyat, justru rakyat siap membantu partai," kata I Wayan ‘Gendo’ Suardana dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia Wilayah Bali.

Penghapusan bantuan pemerintah, diharapkan membuka peluang bagi partai untuk bebas berusaha, diantaranya dengan mendirikan Badan Usaha Milik Partai (BUMP). Sayangnya, dalam draf Depdagri, BUMP sudah dihilangkan karena untuk konteks Indonesia dianggap belum cocok.

Berikutnya, adalah gagasan tentang partai lokal. Tentunya, kita belajar dari kasus Aceh. "Ketimbang ketidakpuasan disalurkan dengan kekerasan lebih baik dengan partai politik, energi untuk memberontak dialihkan ke ruang-ruang politik," kata Bivitri Susanti, fasilitator PSHK.

Peran partai lokal tentunya terbatas, hanya untuk masalah lokal, misalnya pemilihan gubernur, bupati/walikota dan DPRD. Meski demikian, partai lokal boleh berafiliasi dengan partai nasional asal "nyaman" dalam hal ideologis. Secara individual, pengurus/anggota partai lokal juga diperbolehkan menjadianggota partai nasional. Lebih dari itu, kehadiran partai lokal dianggap sebagai faktor pendorong agar partai nasional bisa berbenah diri.

Dari sisi lain, partai lokal dianggap sebagai bibit separatisme. Partai lokal melemahkan semangat nasionalisme. "Kita ini negara kesatuan. Jika ada partai lokal maka mereka yang tidak mampu berbicara di tingkat nasional akan membentuk partai lokal. Dan, ini bibit separatisme. Kalau diberikan ruang, akan ada berapa partai lokal? Isu SARA akan mengemuka. Saya kuatirkan, munculnya partikel-partikel kecil contohnya di Bali akan muncul partai pasek/soroh yang dapat memecah belah negara," kata Drs. Made Suantina, M.Si dari Partai Golkar Bali.

Gagasan partai lokal memang belum masuk dalam draf RUU Parpol yang dibuat Depdagri. Namun, wacana partai lokal terus dikembangkan. Partai lokal, pentingkah? (bersambung)

Proporsional terbuka lebih afdol (2)

KEJADIAN pada Pemilu 2004 sulit dilupakan YL. Mimpi duduk di kursi DPRD Sikka harusnya menjadi kenyataan setelah tahu perolehan suara untuknya terbanyak. Tapi lantaran berada di nomor buntut, kursi pun melayang ke orang lain.

Singkat cerita, YL adalah calon legislatif dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada daerah pemilihan (DP) IV Kabupaten Sikka. DP IV Sikka meliputi kecamatan Talibura, Waigete dan Kecamatan Bola. Dalam daftar calon tetap, dia berada di nomor urut dua. Nomor urut pertama ditempati PNT, Ketua DPC PKS Kabupaten Sikka. Benih percekcokan muncul tatkala hasil penghitungan suara diumumkan. Satu dari delapan kursi yang diperebutkan di DP IV diperoleh PKS. Kontribusi terbesar suara PKS (1.000 lebih) dari YL.

Menyadari mendapat suara terbanyak, YL tidak tinggal diam. Kepada PNT, diminta dibuat kesepakatan win-win solution. Membagi masa tugas: fifity-fifity. PNT bertugas 2,5 tahun pertama dan 2,5 tahun kedua untuk dirinya. Upaya ini gagal. Selanjutnya, YL menggugat PNT ke pengadilan. Sayang, hasil yang didapat tetap nihil. PNT melenggang di DPRD Sikka.

Kasus yang dialami YL hanya sekadar contoh. Diyakini, kasus serupa dialami calon legislatif lainnya, hampir di semua daerah. Karenanya, tidak ada niat sedikit pun untuk mempertentangkan kedua belah pihak.

Secara jujur harus diakui, kasus YL merupakan dampak dari penerapan sistem proporsional dengan daftar calon tertutup pada Pemilu 2004. Sistem yang menonjolkan hegemoni parpol ini memunculkan kekecewaan dan rasa sakit hati calon legislatifyang mendapat suara terbanyak, tapi duduk di nomor urut buntut. Tentunya, kondisi ini tidak sejalan dengan semangat menumbuhkan iklim demokrasi. Karenanya, sistem proporsional dengan daftar calon tertutup perlu diganti.

Sebagai pengganti, diterapkan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Sistem ini dianggap paling afdol. Tanpa mengutamakan nomor urut dalam pencalonan anggota legislatif. Anggota legislatif ditetapkan berdasarkan ranking perolehan suara. Sistem ini juga akan memacu partai mengubah manajemen. Sistem ini sejalan dengan keinginan untuk membangun kesadaran politik masyarakat. Selain itu, juga mengatasi permasalahan perdagangan nomor urut, sebagaimana yang dipraktekan elite parpol. Ide sistem proporsional dengan daftar calon terbuka ini diusulkan untuk menjadi konten UU Pemilu.

Berikutnya tentang peserta pemilu. UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD mengatur, untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, partai politik peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3 persen jumlah kursi DPR. Atau, memperoleh sekurang-kurangnya 4 persen jumlah kursi DPRD propinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah propinsi seluruh Indonesia atau memperoleh sekurang-kurangnya 4 persen jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar di 1/2 jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Dengan merujuk pada regulasi ini, artinya dari 24 parpol peserta pemilu 2004 yang berhak mengikuti pemilu 2009 sekitar tujuh partai karena memenuhi ketentuan pencapaian ambang batas minimal atau electoral threshold (ET).

Sementara parpol peserta pemilu yang tidak memenuhi ETdapat mengikuti pemilu apabila bergabung dengan parpol peserta pemilu yang memenuhi ET. Juga, bisa bergabung dengan parpol yang tidak memenuhi ET dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu parpol yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi, atau bergabung dengan parpol yang tidak memenuhi ET dengan membentuk parpol baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.

Selanjutnya, untuk menjadi peserta pemilu, parpol harus memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari seluruh jumlah propinsi. Selain itu, memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di setiap propinsi dan memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau sekurang-kurangnya 1/1.000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik.

Syarat ini dinilai masih mampu menumbuhkan parpol dalam jumlah banyak. Makanya ditingkatkan, misalnya jumlah pengurus 2/3 sampai 100 persen di propinsi; 2/3 sampai 75 persen di kabupaten/kota dan jumlah anggota 1/1.000 penduduk. Untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, ET parpol dinaikkan lebih dari 3 persen, merujuk pada pemilu 2004 hanya dengan 2 persen, telah menurunkan jumlah peserta pemilu. Lebih dari itu, juga diwacanakan penerapan sistem parliamentarian threshold (PT) 1 persen. Apa PT diterapkan di tingkat nasional atau lokal? Belum jelas! Tapi harus disadari bahwa sebuah partai tidak mencapai PT di semua tingkatan. Ada banyak partai berbasis lokal. Jika diterapkan seragam, maka akan memunculkan pertentangan dari parpol berbasis lokal. Syarat lainnya adalah setiap parpol punya deposito senilai Rp 5 miliar. Berat nian meski ide ini dianggap melukai prinsipdemokrasi, yakni kebebasan.

Gagasan lain yang dimasukkan untuk revisi UU Pemilu adalah menerapkan 25 - 50 persen BPP dari daerah pemilihan (DP). Untuk tingkat propinsi 30-40 persen BPP, sedangkan kabupaten/kota sekitar 60 persen.

Alokasi kursi dewan juga mau direvisi. Ada gagasan untuk meningkatkan jumlah DPR, dari 550 sampai 600 kursi. Alasan penambahan adalah karena terjadi pemekaran wilayah propinsi dan kabupaten/kota. Padahal, konsep pemekaran wilayah dilakukan bukan atas dasar jumlah penduduk, tetapi pendekatan pelayanan kepada masyarakat. Lebih dari itu, gagasan penambahan kursi tidak sejalan dengan semangat efisiensi. Di sisi lain, ada upaya untuk menurunkan jumlah kursi DPRD. Di propinsi, semula berkisar 35 - 100 diturunkan berkisar 30 sampai 90 kursi. Sedangkan tingkat kabupaten/kota dari semula 20 - 45 diturunkan menjadi 15 sampai 40 kursi.

"Ada dua pola pengaturan terkait alokasi kursi dewan. Pertama, jumlah kursi ditambahkan dengan propinsi pemekaran. Artinya, dengan adanya pemekaraan, maka propinsi baru itu akan mendapat tambahan kursi. Kedua, terkait dengan alokasi kursi DPRD, terkait dengan jumlah DP. Dari segi representasi penambahan ini akan cukup terbantu, tapi dari segi teknis akan menimbulkan masalah baru dalam penyelenggaraan," kata Yohanes Depa, anggota KPU Propinsi NTT.

Guna meminimalisir persoalan, maka untuk kursi DPR menggunakan pendekatan DP propinsi atau bagian dari propinsi. Sedangkan untuk DPRD propinsi/kabupaten mengunakan rasio jumlah penduduk.

Bicara jumlah kursi erat kaitannya dengan daerah pemilihan. Dan, DP erat kaitannya dengan jumlah propinsi, kabupaten,kota dan kecamatan. Ada gagasan untuk memperbanyak DP dengan memperkecil magnitudo atau besaran DP. Selain itu, pemerintah juga menggagas DP DPRD dibagi berdasarkan kab/kota dan kecamatan-kecamatan, tanpa penggabungan-

penggabungan. Setiap kab/kota/kec dialokasikan 1 kursi, kemudian sisa kursi didistribusikan secara proporsional berdasarkan kepadatan penduduk.

Logikanya, semakin kecil DP maka tingkat keterwakilan akan semakin riil. Dari segi politik akan semakin menguntungkan partai yang mengakar untuk mendapatkan kursi. Dampak lainnya adalah dekatnya wakil rakyat dengan konstituen sehingga memudahkan komunikasi politik. Artinya, keuntungan politik terpenuhi. Sebaliknya, semakin kecil DP, teknis penyelenggaraan pemilu akan semakin ruwet, misalnya dalam hal pencetakan surat suara dan pendistribusiannya.

Karenanya, model pertama lebih cocok untuk tingkat pusat, sedangkan pola kedua untuk DPRD propinsi dan kabupaten/kota.

Lebih dari itu, keterwakilan perempuan juga diatur dalam UU Pemilu. Gagasan pencalonan minimal 30 persen perempuan per DP tetap dipertahankan. UU Pemilu juga diharapkan mengatur lebih tegas tentang keuangan kampanye. Besaran sumbangan dana kampanye individu tidak boleh melebihi 100 juta dan badan hukum swasta tidak boleh lebih dari 750 juta. Jumlah sumbangan perorangan lebih dari lima juta wajib dilaporkan. Dana kampanye harus dilaporkan kepada publik setelah parpol menerima hasil audit.

Sementara mengenai penyelesaian sengketa dan pelanggaran, menjadi otoritas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan tingkat di bawahnya, sebagaimana yang telah diatur dalam UUNomor 22 Tahun 2007. Selanjutnya...