Jumat, 03 Oktober 2008

Di Ende, Anjing Menyusui Anak Kucing


MENYUSUI -- Seekor anak kucing sedang menyusu pada seekor anjing bernama Dogi di rumah Daniel Ola warga Lorong Dewata RT 03/RW O6 Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah-Kota Ende, Senin (29/9/2008).

Oleh Maxi Marho

DI dunia ini tidak ada yang serba kebetulan. Semua bisa saja terjadi jika ada kemauan dan jika ada relasi. Itu bukan cuma terjadi pada manusia, tapi juga terjadi pada binatang. Pepatah yang mengatakan hidup seperti anjing dengan kucing yang mengumpamakan hidup seseorang selalu bermusuhan dengan orang lain ternyata tidak semuanya tepat.

Buktinya, di wilayah RT 03/RW O6, Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah, Kabupaten Ende, seekor anjing betina dewasa setiap hari menyusui seekor anak kucing. Keunikan itu sudah berlangsung selama dua bulan lebih.

Apakah ini sebuah tanda zaman? Ataukah anjing salah mengenal anak kucing sehingga mengira anak kucing yang disusui dan dirawatnya adalah seekor anak anjing? Adakah pesan yang terkandung dalam perilaku hidup anjing dan kucing kepada manusia? Semua orang bisa berpendapat tentang perilaku induk anjing yang menyusui anak kucing tersebut.

Daniel Ola dan Wiwit, istrinya saat ditemui wartawan di kediaman mereka di Lorong Dewata, RT 03/RW O6, Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah-Kota Ende, Senin (29/9/2008) sore, menceritakan, mereka memiliki seekor anjing betina yang diberi nama Dogi.

Anjing tersebut mereka pelihara sejak dua tahun lalu, dan pernah sekali beranak tapi ketika mengandung ang kedua kalinya tiga bulan lalu, anjing bernama itu mengalami keguguran.
Sebulan kemudian, anjing Dogi secara tak sengaja bertemu dua ekor anak kucing di sebuah got, atau saluran drainase di depan Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Kabupaten Ende, di Jalan El Tari-Ende, sekitar 100 meter dari rumah Daniel Ola.

Dua anak kucing itu sedang mengeong mencari induknya. Mungkin karena merasa kasihan, Dogi mengambil seekor anak kucing berwarna putih lalu membawa anak kucing itu ke rumah Daniel Ola, majikannya.

Sejak saat itu, anak kucing berwarna putih itu dirawat, dijaga dan disusui anjing Dogi seperti anaknya sendiri. "Melihat perilaku Dogi yang menyusui anak kucing ini, kami membiarkannya. Bagi kami, kenyataan ini merupakan hal yang menarik. Seekor anjing menyusui seekor anak kucing dan kenyataan ini sudah berlangsung dua bulan lebih. Kami tidak tahu, apakah sampai kucing dewasa antara anjing dan kucing ini akan terus saling menyayangi seperti saat ini, ataukah hanya terjadi saat kucing masih anak-anak. Yang pasti untuk saat ini ada fakta anjing dan kucing bisa saling menyayangi dan tidak selalu bermusuhan," kata Daniel.

Dia mengaku biasanya anjing Dogi menyusui anak kucing pada pukul 07.00 Wita, pukul 13.00 Wita dan pukul 17.00 Wita. Seperti yang terjadi pada, Senin (29/9/2008) sore, ketika lapar, anak kucing yang diberi nama Putih ini menghampiri anjing Dogi sambil berteriak 'meong meong'. Mengetahui anak kucing sedang lapar, anjing Dogi membaringkan tubuhnya di halaman rumah Daniel Ola untuk memberi kesempatan anak kucing menyusui.

Saat anjing Dogi berbaring, anak kucing mendekat lalu menyusui hingga anak kucing tertidur di perut Dogi. Sesekali kepala dan tubuh anak kucing dijilat atau dibelai anjing Dogi menggunakan lidahnya. Sebuah pemandangan yang menunjukan perilaku yang unik antara anjing dengan kucing.

Untuk membuktikan apakah benar anjing masih memiliki air susu, Wiwit, istri dari Daniel Ola mencoba memegang puting susu Dogi lalu memerasnya. Ternyata, dari puting susu Dogi keluar percikan air susu. "Kucing ini belum bisa makan jadi hanya hidup dari air susu Dogi. Begitulah kejadiannya setiap pagi, siang dan sore.

Beberapa warga sekitar sudah ada yang tahu kalau anjing Dogi milik kami menyusui anak kucing. "Bagi kami, ini bukan hal yang berhubungan dengan tanda keanehan apalagi berhubungan dengan kepercayaan akan terjadi sesuatu jika anjing berperilaku seperti ini.

Namun fakta ini hal yang menarik karena pepatah lama mengatakan, orang selalu bermusuhan sering disebut hidup seperti anjing dengan kucing. Dengan adanya kejadian seperti ini memberi pesan bahwa semua permusuhan bisa berbalik menjadi saling kasih sayang jika ada kemauan untuk hidup bersama. Binatang saja bisa seperti ini apalagi manusia," kata Daniel.

Itulah sebabnya, lanjut Daniel, dalam kehidupan rumah tangganya ia selalu berusaha hidup rukun dengan istri dan anak-anaknya. "Melihat anjing Dogi menyusui anak kucing, saya membiarkan hal itu terjadi karena memberi pesan kepada keluarga saya bahwa jika ada kemauan untuk saling menyayangi mengapa harus bermusuhan," kata Daniel. (mar/PK edisi Sabtu 4 Oktober 2008 hal 18)
Selanjutnya...

Rumah Dua Air

Oleh Paul Burin

SAYA tak tahu apakah kampung lain punya tradisi yang sama seperti di kampung saya, Puor, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata. Di sana, pada tiap hari Minggu, usai misa, seluruh warga desa masih mendengar "perintah" kepala desa di halaman gereja.

Biasanya forum ini mengevaluasi kegiatan di desa pekan lalu, menyepakati target pekerjaan seminggu ke depan dan hal-hal lain yang dianggap penting untuk dibicarakan. Waktunya tak menyita, sekitar tiga puluh menit sampai satu jam. Pertimbangannya, masyarakat butuh waktu untuk istirahat karena hari bae, hari Minggu.

Forum ini demokratis. Usai kepala desa "bertuah" warga boleh menyampaikan komentar, pendapat, kritik atau masukan-masukan konstruktif. Dan, pada kesempatan itu selalu ada kesimpulan maupun kesepakatan-kesepakatan.

Tetapi ini pengalaman saya sekitar 25 tahun lalu. Entalah, apakah nilai-nilai yang lahir dari karsa masyarakat masih ada atau tidak. Mungkin saat ini sudah banyak perubahan. Entahlah!

Ada beberapa nilai positif lain yang saya tangkap dan masih saya ingat. Pertama, ketika itu semua rumah penduduk sudah permanen. Kalaupun semi permanen bisa dihitung dengan jari tangan. Modalnya karena kegotongroyongan. Semua warga di desa tanpa kecuali membuat arisan "tenaga" membangun rumah.

Saya tak membantah peran orang dari perantauan yang tak kecil membangun kampung itu. Hanya yang ingin saya kemukakan di sini ialah nilai-nilai positif yang dikembangkan saat itu dan ia seakan menjadi panglima. Menjadi kekuatan utama.

Kepala desa saat itu, Bapak Yosef Nusa Wuwur disusul Bapak Petrus Sari Liman, Bapak Viktor Bunga Kobun (alm) dan kepala desa lainnya boleh dibilang sukses membawa warganya maju. Mereka sukses membangun kemandirian, membangun jati diri serta mengangkat martabat warganya. Sesuatu yang positif jika saya bandingkan dengan kondisi desa tetangga lainnya. Mungkin juga penilaian ini sangat subyektif karena berangkat dari pengalaman batin yang tentu saja berbeda dengan pengalaman batin orang lain.

Karena kesuksesan membangun kampungnya itu, Majalah Dian dan saya ingat Pak Thom Wignyata (alm) datang ke kampung saya. Ia menulis khusus tentang kisah Kades Pak Yoseph Nusa Wuwur ini. Dian menulis secara lugas strategi yang dilakukan Pak Yos ini. Betapa Dian menggunakan diksi "kekuatan yang tak tertandingi." Sebuah kampung yang letaknya jauh di pedalaman namun sudah mempraktikkan banyak hal positif.

Namun Dian mengkritik bahwa konstruksi semua bangunan rumah di sana dua air, ventilasi pintu dan jendela yang kecil sehingga dari segi kesehatan kurang bagus. Pada malam hari warga masih menggunakan lampu pelita dan petromaks. Sekarang sebagian sudah memiliki genset.
Untuk memperkuat tulisan itu, Dian menurunkan foto salah satu rumah penduduk meski berdinding tembok, berseng namun kontruksinya masih dinilai sederhana. Obyek fotonya adalah salah satu rumah di Dusun Mikel.

Kedua, saat itu ada kebun desa dan lumbung desa. Ada juga kuda milik desa yang digunakan kades dan siapa saja untuk kepentingan "dinas" desa. Lumbung desa itu ditempatkan di kantor desa saat ini. Produksi pertanian ketika itu limpah ruah. Siapa pun yang mengalami "paceklik" pangan dapat membelinya dengan harga yang relatif murah.

Kini, rasanya sedih ketika mendengar kabar bahkan membaca berita koran yang menyebutkan penduduk di sana mengalami kurang pangan. Apakah benar mereka lapar atau karena faktor politis semata? Bila di kampung saya warganya sudah lapar, bagaimana dengan desa lainnya? Mungkin jauh lebih parah. Saya punya alasan rasional. Kampung itu letaknya di bawah kaki Gunung Labalekan. Daerahnya sejuk dan tanaman apa saja bisa hidup. Lantas didera kelaparan? Sungguh mati menjadi bahan pertanyaan yang tak pernah habis.

Saya juga mencatat karena kemajuan dan kekompakan yang baik, desa itu beberapa kali keluar sebagai juara kebersihan tingkat Kabupaten Flores Timur (ketika itu masih bergabung, Red). Hadiahnya pun tak seberapa, sebuah tape recorder dan bola voli.

Ketiga, kegiatan olahraga begitu hidup. Di kampung, ada sebuah klub bola kaki, Spirit namanya. Kebetulan Bapa Stanis Deri-- bapa saya-- sebagai instrukturnya. Klub itu berkembang sangat bagus. Kelebihan klub ini adalah selalu fair dalam setiap pertandingan bola kaki meski masih dalam skop antardesa. Saya sering mengikuti bapa ketika memberi latihan bolakaki. Kepada para pemain beliau selalu menekankan sportivitas dalam permainan. Dan, ia juga mengajarkan kepada para pemain bola soal teknik-teknik bermain bola modern. Distribusi bola menjadi tekanan beliau. Mengapa? Karena di sana kerja sama tim belum terbina baik. Dan, begitu banyak perubahan dalam klub Spirit ini.

Saya mencatat, ketika klub ini berhadapan dengan klub lain, seperti POL (Persatuan Sepakbola Labalimut), Gempa, Kerikil Tajam dan Bintang Pagi jarang terjadi pertengkaran di tengah lapangan, apalagi sampai kekerasan fisik. Saya menangkap pesan bahwa nilai-nilai solidaritas, persabahabatan dan saling menghargai menjadi tekanan.

Yang ditekankan adalah permainan dan bukan pertandingan. "Pertandingan" lebih pada konteks meraih kemenangan dengan berbagai cara, halal dan tidak halal. Sedangkan "bermain" adalah sebuah proses melatih mental untuk fair, menekankan sportivitas dan seni bermain yang pada akhirnya bisa meraih kemenangan. Dan, menurut saya, di sanalah semangat ini dikembangkan pada klub bola ini.

Saya mendengar kini perkembangan olahraga semakin pudar bahkan tak ada lagi yang menaruh minat untuk mengembangkan olahraga ini seiring bapa saya "pensiun" sebagai pelatih. Pertanyaan lainnya apakah lumbung desa masih ada, apakah masih ada kerja kelompok di kebun/desa atau membangun rumah secara bersama-sama?

Bagi saya, kepemimpinan menjadi roh atau kekuatan untuk menggerakkan masyarakat. Ketika roh kepemimpinan pudar, ketika tak ada lagi kewibawaan, ketika pemimpin tak punya jiwa kepamongan, dan ketika semuanya sudah tak ada lagi, maka kita akan sampai pada titik nadir. Kehidupan organisasi seakan tak ada lagi. Sama dengan hidup tanpa pemimpin meski di desa sekalipun. (PK edisi Sabtu 3 Oktober 2008 hal 10)
Selanjutnya...

Tenun Ikat, Aset Budaya Bernilai Ekonomis

Oleh Alfred Dama

SUATU hari di bulan Maret 2008. Dalam sebuah acara di Desa Ipir, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, berkumpul ratusan warga desa setempat. Warga dari beberapa tetangga di Kecamatan Bola dan sekitarnya juga hadir. Sekelompok anak muda, pria dan wanita, juga tampak. Mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok menyaksikan kampanye salah satu pasangan Bupati dan Wakil Bupati Sikka periode 2008-2013.

Yang menarik, meskipun Desa Ipir berada jauh dan terpencil dari Maumere, Ibu kota Kabupaten Sikka, jarak itu tidak mengurangi niat anak muda di desa ini untuk tampil modis dan dendi. Para remaja datang mengenakan jelana jeans berbaju keluaran dan model terbaru dari toko. Gaya mereka pun mengikuti tren yang sedang berkembang. Sementara itu pada kelompok lainnya, sekelompok wanita juga datang ke tempat itu. Mereka hanya mengenakan kain sarung. Sekilas tampak kuat perbedaan penampilan antara yang kelompok orangtua dan anak muda.

Anak muda memilih pakaian-pakaian jadi yang modis, sementara orangtua masih mempertahankan tradisi dengan busana tradisional daerah setempat. Meski tampak sepele, ini sekaligus menunjukkan pergeseran budaya, dari budaya tradisional ke budaya modern dalam urusan memakai pakaian.

Pemandangan di Desa Ipir sebenarnya juga terjadi desa-desa lain di NTT. Para pemuda dan gadis desa zaman sekarang sudah mulai enggan mengenakan kain tenun ikat. Mereka lebih memilih busana jadi buatan pabrik dari bahan dan model yang trendi. Bila ini berlangsung terus, bukan tidak mungkin suatu saat tidak ada lagi yang mencintai dan karena itu mengenakan pakaian berbahan dasar tenun ikat.

Di tengah-tengah serbuan pakaian jadi buatan pabrik ke NTT, tenun ikat sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan. Bahkan, perancang busana kenamaan, Ramli, pernah memamerkan busana rancangannya berbahan tenun ikat NTT dalam acara peragaan busana di Jakarta dengan melibatkan para peragawati dan peragawan kenamaan di Jakarta. Jelas, tenun ikat juga bisa dijadikan tren mode busana di tingkat nasional. Hanya saja, menurut Ramli, bahan tenun ikat NTT, perlu diperhalus lagi.

Di dunia internasional, tenun ikat NTT khususnya para penenun tradisional dari Kecamatan Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara pernah meraih Penghargaan Pangeran Claus (Prince Claus Award) dari Pemerintah Belanda tahun 2004.

Di tingkat propinsi, warga NTT mesti berterima kasih kepada Herman Musakabe. Adalah Musakabe, yang ketika menjadi Gubernur NTT, menjadikan tenun ikat pakaian seragam para PNS. Gebrakan Musakabe ini terus bertahan hingga sekarang. Hasilnya, tenun ikat melambung pasarnya. Ibu-ibu di desa-desa menjadikan tenun ikat lebih dari sekadar keterampilan. Tenun ikat meningkat menjadi home industry.

Seperti diungkapkan penulis buku Pesona Tenun Flobamora, Erny Tallo, masing-masing daerah di NTT memiliki motif dan teknik menenun sendiri-sendiri. Teknik menenun itu bisa digolongkan ke dalam tiga cara, yaitu tenun ikat, tenun buna, dan tenun lotis. Ketiga teknik yang diwariskan secara turun-temurun ini menghasilkan jenis kain yang berbeda-beda dengan beragam motif, sesuai dengan yang berkembang di daerah asalnya.

Sayang, potensi budaya tenun ikat ini berangsur hilang. Lihat saja di desa-desa dan kampung-kampung kita. Jarang terlihat anak muda tekun menenun. Yang sibuk menenun adalah generasi senja, sementara yang muda-muda tak terlihat menenun. Mereka lebih sibuk dengan HP di tangan, ber-SMS ria, tertawa dan senyum sendiri di depan HP.

Kita butuh terobosan. Kita butuh langkah berani, terutama dari pemerintah, bagaimana menunjukkan kepada anak muda sekarang bahwa tenun ikat punya nilai ekonomis tinggi. Bagaimana caranya? Herman Musakabe sudah membuka jalan dan menetapkan hari Kamis setiap minggu menjadi hari tenun ikat untuk PNS. Sekarang era otonomi daerah. Mestinya para kepala daerah lebih leluasa mengatur ihwal pemerintahan, termasuk dalam urusan pakaian seragam. Kalau Herman Musakabe sudah berhasil dengan PNS pada hari Kamis, mengapa tidak ada kepala daerah yang mewajibkan anak sekolah tidak mengenakan seragam tenun ikat?

Tak sulit membayangkan berapa rupiah yang dapat dituai para pengrajin tenun ikat jika saja para PNS dan anak sekolah di seluruh NTT sekali seminggu mengenakan motif tenun ikat sebagai seragam. Mari kita menghitung. Saat ini jumlah PNS di NTT sekitar 22 ribu orang.

Jumlah ini belum termasuk karyawan honorer, bank dan lembaga keuangan non bank yang juga wajib mengenakan busana motif daerah NTT. Lalu, jumlah anak sekolah, dari TK hingga SLTA 250 ribu. Andaikata satu lembar kain tenun ikat harganya Rp 350 ribu. berapa duit yang dibelanjakan untuk tenun ikat? Puluhan miliar rupiah duit akan masuk ke rumah-rumah pengrajin di desa-desa dan kampung-kampung.

Bila saja pemerintah juga mencoba menambah frekuensi pemakaian motif tenun ikat dari satu hari menjadi dua hari seminggu, maka dana yang mengalir ke desa dan kampung itu menjadi berlipat-lipat. Dan, itu adalah dana riil, bukan dana proyek ini dan itu yang kadang-kadang cuma telihat plang nama proyek sementara hasil proyeknya suram-suram.

Sesama warga dari Jawa begitu fanatik dengan batik. Banyak dari kita juga telah jatuh cinta dengan batik. Sah-sah saja. Tetapi mengapa orientasi kita selalu ke luar, seolah-olah yang dari luar lebih baik dari yang ada pada kita? Mengapa yang ada pada kita cenderung kita posisikan sebagai nomor dua, kurang tren, kurang populer? Mengapa kita begitu bergairah menomorsatukan produk luar, begitu bersemangat mempopulerkan buatan luar?

Kita punya tenun ikat yang sangat unik. Setiap daerah di NTT bahkan mempunyai motif dan corak sendiri. Perbedaan ini menjadikan tenun ikat kita semakin menarik. Pesona motif dan ragam hias diciptakan melalui perenungan dan konsentrasi tinggi, mengandung nilai filosofis yang diperuntukkan bagi hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya.

Saatnya kita harus mengalihkan tenun ikat dari sekadar kerajinan individu kepada industri. Batik maju dan menembus pasar dunia karena menjadi industri. Batik telah identik dengan Jawa. Jika harus bermimpi, maka mimpi paling indah kita saat ini adalah tenun ikat NTT punya hak cipta dan punya merk dagang sendiri. (PK edisi Sabtu 4 Oktober 2008 hal 1).*
Selanjutnya...