Minggu, 06 Maret 2011

Dari Workshop Akuntabilitas Anggaran (2)

Perlu Poster dan Baliho APBD

DIBANDINGKAN dengan Sulawesi Selatan, NTT masih tertinggal dalam hal akuntabilitas anggaran. Jangankan mengetahui isinya, melihat dan memperoleh dokumen APBD propinsi dan kabupaten/kota di NTT, dirasakan sulit bukan main oleh masyarakat.

Di Kota Makasar, publikasi APBD dengan menggunakan poster dan kalender. Hal ini dilakukan sejak tahun 2009. Kepala Bappeda Kota Makasar, M. Idris Patarai, ketika memaparkan materi Akuntabilitas dan Pelayanan Publik Kota Makasar, mengatakan, publikasi APBD dengan poster dan kalander bertujuan mendorong transparansi anggaran pada tubuh pemerintah daerah.

Poster disebar ke seluruh masyarakat. Selain itu, dipasang di tempat-tempat terbuka dan strategis seperti kantor-kantor lurah, rumah-rumah tokoh masyarakat dan juga pada setiap instansi pemerintah pemberi layanan kepada masyarakat.

Publikasi dalam bentuk poster merupakan ringkasan APBD 2009 menurut SKPD dan nama-nama penanggungjawab anggaran. Dalam poster dimuat total pendapatan dan belanja daerah, serta anggaran belanja yang ada di setiap SKPD. Pada poster juga tercantum alamat dan nomor telepon dari SKPD yang merupakan instansi pengguna anggaran APBD.

Menurut Idris Patarai, pencantuman alamat dan nomor telepon dengan tujuan untuk memberikan informasi bagi warga yang punya keperluan dan pengaduan terkait dengan realisasi anggaran yang dilakukan oleh setiap SKPD.

Kota Makasar bukan satu-satunya daerah di Sulawesi Selatan yang melakukan publikasi APBD. Menurut data KOPEL Sulawesi, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Luwu Timur juga mempublikasi APBD.

Di Kabupaten Bantaeng, selain menggunakan poster, sosialisasi APBD juga menggunakan kalender. Antusiasme pemerintah daerah Bantaeng terhadap adanya transparansi anggaran lebih banyak didorong dari elit-elit pemerintahan, termasuk Bupati Bantaeng.

Di Kabupaten Tana Toraja, publikasi APBD juga lewat poster, dan mulai dilaksanakan tahun 2009. Kalau pada tahun pertama pemerintah yang lebih berperan. Sedangkan pada tahun 2010 inisiasi datang dari sejumlah anggota dewan.

Di Kabupaten Luwu Timur, awalnya publikasi APBD melalui website pemerintah daerah setempat. Karena kurang efektif bagi masyarakat yang ada di kecamatan dan desa karena tidak dapat mengakses internet, maka pada tahun 2010, pemerintah daerah Luwu Timur melakukan publikasi APBD lewat baliho, dipajang di seluruh kecamatan. Menurut KOPEL Sulawesi, baliho APBD versi pemerintah daerah Luwu Timur merupakan hal pertama kali dilakukan di Sulawesi Selatan.

Pilihan menggunakan poster, kalander dan baliho untuk mempublikasi APBD, dapat dipahami karena secara teknis, media-media itu yang cukup praktis memberikan informasi anggaran bagi masyarakat. Poster, kalander dan baliho memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Dengan begitu, masyarakat tertarik untuk mengetahui secara pasti berapa jumlah pendapatan dan belanja yang selama ini diterima dan dikeluarkan oleh pemerintah.

Pemakaian poster, kalander dan baliho adalah bentuk respon baik dari pemerintah daerah di Sulawesi Selatan untuk mendoring adanya transparansi anggaran.

Di NTT, masih jauh dari jangkauan pemikiran pejabat-pejabat untuk mempublikasi APBD. Jangankan mempublikasi, mengakses APBD masih sulit. Tabu bagi pejabat kita untuk menginformasikan anggaran kepada masyarakat. Takut ketahuan, alokasi anggaran buat pejabat lebih besar ketimbang untuk masyarakat. Tapi kalau omong akuntabilitas anggaran, pejabat-pejabat di NTT nomor satu. Pada setiap kesempatan selalu menekankan pentingnya akuntabilitas anggaran. Ternyata, hanya retorika. Yang terjadi selama ini, pemerintah daerah hanya mempublikasi lewat media massa, itupun hanya berupa informasi laporan pertanggungjawaban kepala daerah.

Apa yang terjadi di Sulawesi Selatan, patut diapresiasi. Perubahan sikap pemerintah daerah dari sebelumnya tidak mau menjadi mau mempublikasi APBD, tidak terlepas dari peranan civil society organisation (CSO) dan media massa.

Di Sulawesi Selatan, selain ada KOPEL, ada juga parlemen group alias paslemen jalanan yang mengorganisir diri secara solid. KOPEL dan Parlemen group mendesain posko aspirasi, baik ditingkat desa/kelurahan maupun ditingkat kecamatan. Sasaran pembbentukan posku ini adalah untuk mengakomodir kepentignan kaum marginal (tani, nelayan) yang selama ini terpinggirkan. Mereka bekerja menyerap aspirasi kebutuhan masyarakat lokal.

"Ini menjadi model pembelajaran kepada masyarakat bahwa gedung DPRD bukan satu-satunya tempat untuk memasukan aspirasi. Karena, selama ini dikesankan seolah-olah kantor DPRD adalah harga mati untuk pemyampaikan aspirasi," ujar Syamsuddin Alimsyah dari KOPEL Sulawesi.

Menurut Syamsuddin, kehadiran posko aspirasi menarik anggota dewan mendekati masyarakat. Sebaliknya, masyarakat juga bisa menilai, siapa yang lebih rajin mendatangi dan mendengarkan aspriasi mereka.

Syamsuddin mengatakan, posko aspirasi ini juga merupakan respon atas berbagai keluhan masyarakat, diantaranya masih banyak anggota dewan yang pintar menggombal. Padahal, pada waktu kampanye calon anggota dewan mengumpulkan masyarakat, memberi makan, bahkan sedikit mengemis minta kasihan agar masyarakat memilihnya. Tapi setelah terpilih, jangankan menyapa, membuka kaca mobilnya saja enggan.

Kehadiran posko aspirasi diharapkan antara rakyat dan wakilnya akan terbangun komunikasi yang efektif. Dengan komunikasi yang efektif, segala sekat dan hambatan yang selama ini terjadi, bisa dihilangkan.

Sony Wakyono, pemimpin redaksi harian Pos Kota di Makasar, mengatakan, media massa juga memiliki andil dalam mendorong publikasi APBD di Sulawesi Selatan. "Perjuangan untuk perubahan ini membutuhkan waktu yang sangat panjang. CSO dan media harus bersinergi," kata Wakyono.

Dalam konteks NTT, harus diakui bahwa CSO dan media massa belum mampu mendorong pemerintah daerah melakukan publikasi APBD. Tidak ada CSO yang mengusung isu advokasi APBD. Boleh jadi, isu APBD belum dianggap sebagai isu seksi oleh CSO. Faktor lainnya, kemesraan antara CSO dengan pemerintah daerah. Banyak CSO yang 'bermitra' dengan pemerintah sehingga sungkan untuk mengkritisi APBD. Adanya ikatan emosional antara orang-orang CSO dengan elit-elit pemerintah, hubungan kekerabatan, pertemanan dan keluarga, juga menjadi faktor yang ikut menentukan sikap CSO.

Olkes dari CIS Timor yang juga menjadi peserta workshop, mengakui, belum punya pengalaman melakukan advokasi isu APBD kepada masyarakat. Menurutnya, CIS Timor hanya baru melakukan advokasi terhadap perempuan di tingkat desa di Kabupaten Kupang untuk memantau perancanaan dan penggunaan dana alokasi desa (ADD). "Kita memang perlu mengakrabkan APBD dengan masyarakat," katanya.

Peran media massa di NTT juga belum nampak dalam mendorong publikasi APBD. Hal ini diduga karena media 'mesrah' dengan pemerintah sehingga tidak mencermati lebih jauh tentang APBD, selain faktor keterbatasan kemampuan wartawan dalam membaca angka-angka.

Oleh karena itu, perlu peningkatan kapasitas CSO dan media massa serta masyarakat sipil untuk mendorong akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran daerah. Sinergisitas antara CSO, media massa dan masyarakat juga dibutuhkan. Hanya dengan begitu, anggaran yang lebih berpihak kepada masyarakat, bisa terwujud. Keberpihakan ini tercermin dalam kebijakan program serta proyek-proyek yang disusun dan dilaksanakan. Apakah kita mau mencontohi Sulawesi Selatan? (Pos Kupang, 25 Januari 2011)

Tidak ada komentar: