Rabu, 16 Desember 2009

Media Massa, Pertanian dan Isu Seksi

BERBICARA mengenai pers atau media massa, NTT boleh dibilang 'gudangnya'. Gairah masyarakat untuk mendirikan pers terlihat jelas setelah berakhirnya Orde Baru yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998. Semua ketentuan era Orde Baru yang menghambat pers, dicabut dan disahkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Meskipun sedang dilanda krisis ekonomi, gairah masyarakat tidak surut. Beberapa yang bisa kita sebut, adalah Harian Umum Surya Timor. Tidak bertahan lama, akhirnya orang yang hengkang dari Surya Timor kemudian ada yang mendirikan Harian Independen NTT Ekspres. Ada juga yang mendirikan harian Suara Timor dan Metro Kupang. Lahir juga harian Sasando Pos.

Pada tahun 2000, terbit Harian Umum Radar Timor. Lahir juga harian Kupang News (akhir 2003). Tahun 2001/2002, terbit pula Harian Cendana Pos dan Harian Suara Masyarakat.

Ketika Harian NTT Ekpres menghilang pada akhir tahun 2002 atau awal tahun 2003, lahir Harian Kursor. Selanjutnya, pada pertengahan tahun 2003 terbit Harian Pagi Timor Express.

Masih banyak lagi media yang terbit pada masa reformasi. Selain harian, banyak juga terbit mingguan dan bulanan, baik di Kupang maupun di daerah-daerah di NTT. Contohnya, Mingguan Berita Rote Ndao Pos, Swara Lembata, Viesta Nusa yang kemudian berganti nama menjadi Vista, Aktualita NTT.



Media cetak lainnya adalah Flotim Pos/Asas, mingguan Suara Flobamora (Kupang), Duta Flobamora (Waingapu), Sinar Alor Pos (Kalabahi), Ngada Pos, Udik (Kupang), Duta Flobamor (Kupang), Alor Pos (Kalabahi), Media Entete, Sabana (Waikabubak), Global (Atambua), Buser Timur, Expo Lamaholot (Kupang), Belu Pos (Atambua), Bentara (Kupang), Gelora Info (SoE), Talenta (Kupang), Solusi (Kefamenanu), Lontar (Kupang), Delegasi (Lewoleba), Media Info (Larantuka), Biinmaffo (Kefamenanu), Media Rakyat (Ruteng), Tamsis (Kupang) dan Spirit NTT. Jauh sebelum media-media ini ada, NTT sudah punya Surat Khabar Harian (Skh) Pos Kupang.

 Tabloid yang terbit mingguan, umumnya berumur pendek. Selain karena tidak didukung modal yang kuat, media-media ini umumnya kalah bersaing atau kurang diminati pembaca. Setelah satu media berhenti terbit, personelnya menerbitkan media baru dengan pemodal yang baru pula. Dengan demikian, meski jumlah media banyak, tidak diikuti dengan semakin banyak jumlah wartawan. 

Satu hal positif yang bisa diambil dari muncul tenggelamnya usaha media cetak di NTT, bahwa ternyata orang memiliki jiwa perintis dan minat besar dalam bidang pers. Semangat ini bukan hal baru dalam lintasan sejarah NTT. Hanya di masa lalu, para perintis itu terbentur dengan keterbatasan fasilitas dan rezim.

Tidak hanya di NTT, wartawan NTT juga banyak merintis penerbitan pers nasional. Kita kenal Gerson Poyk sebagai perintis berdirinya Harian Sinar Harapan pada tahun 1960-an sekaligus menjadi wartawan andalan. Frans Seda adalah orang yang berada dibalik berdirinya Harian Umum Kompas. Aco Manafe, selain menjadi wartawan Sinar Harapan sejak tahun 1968, juga menjadi peirntis berdirinya Harian Sore Suara Pembaruan tahun 1989.

NTT juga masih punya nama-nama seperti Petrus Kanisius Pari (Indonesia Raya, Penabur), Hendrik Ola Handjon (Asas, terbit di Surabaya), regy Weking (Antara), Pius Karo (Kompas), Damyan Godho (Kompas), Louis Taolin (Suara Karya), Marcel Weter Gobang (Suara Karya, Surya, Pos Kupang), Cypri Aoer (Suara Pembaruan).

Saat ini pun sejumlah orang NTT tampil sebagai pemimpin media-media terkemuka di Jakarta, seperti Rikard Bagun (Kompas), Piter Gero (Kompas), Cyrilus Kerong (Bisnis Indonesia), Laurens Tato, Kleden Suban (Media Indonesia), Hermin Kleden (Tempo), Claudius Boekan (Metro TV), dan masih banyak lagi.

Tidak hanya di media cetak, orang NTT pun harus mulai melirik media elektronik, seperti radio, televisi dan terlebih internet (media online).

Kehadiran media di NTT akan terus dibutuhkan untuk mendorong pembangunan. Ini berkaitan dengan fungsinya, yakni informasi, edukasi, koreksi, rekreasi dan mediasi. 

a. Informasi : Pers menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat seluas-luasnya. Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar, aktual, akurat, faktual, menarik atau penting, benar, lengkap, utuh, jelas-jernih, jujur-adil, berimabng, elvean, bermanfaat, etis.

b. Edukasi : Apapun informasi yang disebarluaskan pers hendaknya dalam kerangka mendidik. Inilah antara lain yang membedakan pers sebagai lembaga kemasyarakatan dengan lembaga kemasyarakatan yang lain. Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersial untuk memperoleh keunguntan finansial. Namun orientasi dan misi komersial itu, sama sekali tidak boleh mengurangi, apalagi meniadakan fungsi dan tanggungjawab sosial pers. Dalam istilah sekarang, pers harus mau dan mampu memerankan dirinya sebagai guru bangsa.

c. Koreksi : Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam kerangka ini, kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif agar kekuasaan mereka tidka menjadi korup dan absolut. Seperti ditegaskan Lord Acton, pujanggan Inggris abad 18, kekuasaan cendrung disalahgunakan dan kekuasaan yang bersifat obsolut cendrung disalahgunakan secara absolut.

Untuk itulah, dalam negara demokrasi, pers mengembang fungsi sebagai pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan senantiasa menyalak ketika melihat berbagai penyimpangan dan ketidakadilan dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan fungsi kontrol sosial yang dimilikinya itu, pers bisa disebut sebagai institusi sosial yang tidak pernah tidur. Ia juga senantiasa bersikap independen atau menjaga jarak yang sama terhadap semua kelompok dan organisasi yang ada.

d. Rekreasi : Fungsi keempat pers adalah menghibur. Pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat. Artinya, apapun pesan rekreatif yang disajikan mulai dari ceritra pendek, sampai kepada teka-teki silang dan anekdot, tidak boleh bersifat negatif apalagi destrutif.

e. Mediasi : Mediasi atrinya penghubung. Bisa juga disebut sebagai mediator. Setiap hari pers melaporkabn berbagai peritiwa yang terjadi. Dengan kemampuan yang dimiliki,nya, pers telah menghubungkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi dengan kita ayng sedang duduk di ruang tamu, atau sedang bersantai di sofa. Karena perslah, kita mengetahui aneka peristiwa lokal, nasional, regional dan mondial dalam waktu singkat dan bersamaan.

Apakah pers atau media massa di NTT, sudah optimal menjalankan fungsinya? Anda sebagai pembaca yang lebih pantas menilai.


'Mirip'

Meski banyak media massa, namun tidak ada satupun media di NTT yang punya segmen pemberitaan khusus pertanian. Sosok media massa di NTT mirip alias nyaris sama. Untuk media cetak, umumnya memilih hal-hal umum. Media berusaha menyajikan hampir semua informasi yang dibutuhkan publik, mulai dari masalah politik ekonomi hingga entertain (hiburan). Dari kasus perkosaan hingga konsultasi kesehatan, juga ada ruang puisi dan cerpen. Hal yang membedakan hanya soal sebaran, jangkauan pelayanan terhadap masyarakat sesuai kemampuan media masing-masing.

Bahwa ada rubrikasi yang 'khas' degan ketersediaan ruang yang berbeda-besa, substansi sajiannya belum sungguh-sungguh memperlihatkan perbedaan. Pernah ada media yang memilih segmen sebagai koran ekonomi (Sasando Pos), tetapi media tersebut tidak bertahan lama. 

Menyimak program-programnya, media eletronik (radio) di NTT pun hampir sama. Program utamanya adalah hiburan dan berita dengan porsi bervariasi. Ada yang mengutamakan segmen kalangan muda (remaja), ada yang memilih kelompok dewasa (usia produktif) dan manula.

Mengapa media masa cetak dan elektronik di NTT cendrung media umum? Jawabannya memerlukan penelitian mendalam. Sejauh pengalaman saya, mungkin memang demikianlah yang dapat dikerjakan atau kemampuan praktisi media di NTT baru sebatas itu. Praktisi pers di daerah ini belum melihat sisi lain yang lebih spesifik untuk digarap, termasuk hal-hal pertanian. Belum menemukan kebutuhan publik yang seharusnya mendapat ruang yang layak.


Doyan Politik?

Dari media cetak harian, mingguan dan media elektornik yang ada, dapat disimpulkan bahwa kurang bahkan tidak ada orientasi media terhadap isu-isu pertanian. Sektor pertanian masih kurang mendapat ruang di halaman surat kabar dan media elektronik. Setiap halaman koran dan program siaran didominasi berita-berita pemerintahan, suksesi kepala daerah, kenaikan pangkat, pelantikan kepala dinas, kunjungan gubernur, hingga dugaan korupsi. Tidak cukup banyak petani atau lembaga pertanian yang memperoleh liputan dari media.

Jika pun ada berita mengenai pertanian (petani), sebagian besar bersumber dari pemerintah dan bersifat seremonial. Selain itu, pemberitaan pertanian ada karena terjadi kasus, misalnya, hama menyerang padi, atau tender proyek pertanian yang bermasalah. Jarang ada berita tentang kesuksesan seorang petani, serta tidak ada berita tentang bagaimana menanam singkong, jagung dan padi yang baik. Jarang sekali kita temukan.

Media massa di NTT lebih doyan berita politik! Itu tampak jelas dalam rubrikasi koran, majalah maupun program acara radio. Laporan media tentang masalah politik rata-rata mencapai 60 persen. Sisanya mengenai sosial lainnya seperti hukum dan kriminalitas, ekonomi, budaya, olahraga, hiburan. Berita pertanian mendapat porsi yang masih sangat sedikit. 

Informasi soal mutasi pejabat menjadi headline koran-koran dan jadi laporan utama majalah/tabloid di Kupang. Bagi media lain di luar NTT (Jawa), berita mutasi PNS itu mungkin sekedar info sekilas atau maslah tidak diberitakan sama sekali.

Mengapa demikian? Jawabannya simpel. Media massa menulis atau melaporkan suatu kejadian/peristiwa sesuai kebutuhan pembaca/pendengar/pemirsanya. Media tidak menulis untuk dirinya sendiri. Media massa di NTT menyajikan berita untuk pembacanya. Siapakah pembaca/pendengarnya? NTT propinsi PNS bung! Jadi, dapat dimengerti bila kasak-kusuk, rumor atau informasi tentang birokrasi pasti menarik dan penting (punya nilai berita).

Pelanggan koran, majalah atau pendengar radio di daerah ini umumnya masyarakat perkotaan. Kota kabupaten dan kecamatan. Tidak lebih dari itu. Dan, PNS adalah elit perkotaan. Maaf saja, petani dan praktisi pertanian masih merupakan warga 'kelas dua'.

Survai untuk kebutuhan intern Redaksi Pos Kupang pada tahun 2004 dan kembali dilakukan pada periode Juni - Agustus 2009, membuktikan bahwa pembaca Pos Kupang doyan berita politik. Berita politik menempati tangga teratas disusul berita hukum dan kriminalitas, olahraga, bisnis (ekonomi), hiburan, budaya.

Agar tetap bertahan, media massa tidak bisa berpaling. Berita politik menjadi garapan utama karena itulah yang dibutuhkan sebagian besar pembaca. Maka, lihatlah isi koran atau siaran berita radio. Tema Pilkada, misalnya, mendapat porsi besar. Dikupas tuntas dari berbagai sudut pandang (angle). Disajikan pada tempat utama.


Kurang Seksi

Sekitar tahun 2007, Yayasan Pantau bekerjasama dengan Swisscontact melakukan penelitian tentang media massa dan UKM (termasuk sektor pertanian). Pantau- Swisscontact menemukan kenyataan sektor UKM dipandang media sebagai berita yang kurang seksi. Demikianlah yang terjadi di NTT. Begitulah adanya.

Kondisi yang sama tidak jauh berbeda dengan sektor pertanian. Praktisi media di daerah ini tidak bisa menyangkalinya. Media di NTT sangat sedikit memberi ruang untuk perluasan informasi mengenai isu-isu pertanian. Padahal, jujur harus diakui, NTT adalah adaerah agraris, sekitar 80 persen dari 4 juta jiwa penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. 
 
Selain menganggap berita pertanian kurang seksi, media punya kendala internal, sumber daya manusia dan manajemen. Jumlah wartawan sedikit, itupun dengan mutu dan kemampuan yang rendah. Sebagian besar wartawan bekerja secara otodidak. 

Pengetahuan wartawan tentang isu pertanian pun tidak memadai. Media di NTT kesulitan meliput soal-soal pertanian karena tidak punya wartawan pertanian. Persoalan kualitas wartawan yang tidak memahami isu pertanian menjadi kendala minimnya berita tentang pertanian.

Persoalan lain adalah hubungan media dan mereka yang terliibat dalam sektor pertanian terlihat canggung. Wartawan mengeluhkan susahnya akses untuk mempeorleh informasi tentang pertanian, baik dari petani maupun lembaga dan praktisi pertanian. Di sisi lain, wartawan juga seringkali tidak memahami secara utuh isu-isu pertanian, sehingga menyulitkan mereka untuk menulis.

Sementara petani, praktisi pertanian kurang membangun komunikasi saling menguntungkan dengan media. Tidak sedikit forum formal maupun informal - termasuk diselenggarakan pemerintah - yang membicarakan persoalan pertanian tapi lembaga-lembaga ini tidak memanfaatkan media sebagai sarana sosialisasi, promosi dan komunikasi. Interaksi yang kaku itu disebabkan asummsi bawah media-media lebih cocok untuk iklan, tidak untuk pemberitaan. Kalau mau diberitakan maka harus membayar. Padahal, tidak semestinya demikian. 

Media tampaknya butuh peningkatan kapasitas awak redaksi, sempentara praktisi pertanian dan petani memelrukan informasi yang memadai dan ditulis dengan benas. Di sini perlu inisiatif untuk menjembatani komunikasi antara media dan petani dan praktisi pertanian. Antara lain, dengan membentuk tim kecil untuk menggerakkan dan menfasilitasi komunikasi tersebut, mengidentifikasi apa saja yang diperlukan petani dan praktisi pertanian. Bisa juga memaksimalkan lembaga-lembaga setempat sebagai medium komunikasi dan sosialisasi.

Demikian beberapa hal yang dapat disampaikan. Sebagamana potret yang tak utuh menampilkan kondisi seseorang atau suatu obyek, catatan ini masih jauh dari yang diharapkan panitia. Sekadar pengantar untuk dikusi kita lebih lanjut, untuk sharing pengetahuan dan pengalaman agar kita saling melengkapi untuk tujuan sama.


* Disampaikan dalam seminar bertajuk Pertanian dan Masa Depan NTT, di Aula Undana Kupang, Sabtu (12/12/2009). Kegiatan ini diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Katholik (KMK) St. Arnoldus Jansen Faperta Undana.
Selanjutnya...

Petani Masih Jadi Objek Perencanaan


POS KUPANG/HERMINA PELLO
SEMINAR PERTANIAN
--Dari kiri ke kanan, P. Yulius Yasinto, SVD (Rektor Unwira Kupang), Alfons Nedabang (Wartawan Pos Kupang), Ir. Yohanes Tay Ruba, (Kepala Bidang Produksi Tanaman pada Distambun Propinsi NTT) sebagai pemateri dan Pius Rengka, S.H (moderator) dalam acara seminar bertajuk Pertanian dan Masa Depan NTT, di Aula Undana Penfui, Sabtu (12/12/2009).


PETANI di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menjadi obyek perencanaan pembangunan pertanian. Seharusnya, petani menjadi aktor atau pelaku utama perencanaan.

Demikian dikatakan Rektor Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, P. Yulius Yasinto, SVD dalam seminar bertajuk Pertanian dan Masa Depan NTT di Aula Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Sabtu (12/12/2009). Pater Yulius berbicara tentang pengembangan sektor pertanian dalam kerangka dasar perencanaan pembangunan di NTT.

Pemateri lainnya, Kepala Bidang Produksi Tanaman pada Distambun Propinsi NTT, Ir. Yohanes Tay Ruba, berbicara tentang Strategi Pembangunan Pertanian NTT, dan Alfons Nedabang (wartawan Pos Kupang) dengan topik Peran Media Massa dalam Pembangunan Pertanian NTT. Bertindak sebagai moderator, Pius Rengka, S.H. Kegiatan ini diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) St. Arnoldus Janssen Faperta Undana.

Pater Yasinto menjelaskan, tiga hal yang diperhatikan untuk mencapai keberhasilan, yaitu perencanaan, implementasi dan ketersediaan sumber daya.

Menurut Pater Yasinto, petani harus menjadi pusat atau aktor utama dalam perencanaan pembangunan pertanian. Penghargaan terhadap cara pandang dan teknologi lokal juga penting dilakukan. Berikutnya, adalah peluang untuk menggunakan pengetahuan dan metode dan ruang secukupnya untuk mengelola sistem pertanian.

"Di NTT, petani jadi obyek perencanaan dan bukan pelaku perencanaan karena keterbatasan waktu, dana dan kemauan pemerintah untuk mereduksi. Perencanaan di NTT seringkali tidak fokus karena terlibatnya berbagai kepentingan yang bertentangan serta seringkali terciptanya kebijaksanaan yang reaktif. Begitu ada masalah, langsung menganjurkan tindakan yang harus diambil tanpa analisis yang mendalam," katanya.

Masalah lainnya adalah koordinasi. Menurutnya, salah satu penyebab utama rendahnya mutu perencanaan adalah koordinasi.

Yohanis Tay Ruba mengatakan, pemerintah bertekad mewujudkan NTT sebagai propinsi jagung, ternak sapi, koperasi dan cendana.

Mengenai jagung, dijelaskan, pemerintah mengambil komoditas jagung karena jagung sudah biasa ditanam oleh masyarakat sehingga tinggal dipoles dan diperbaiki. Dikatakan, petani di NTT masih banyak yang menggunakan jagung lokal, padahal produksinya rendah, yaitu hanya 1,6 ton/ha.

"Kalau menggunakan jagung hibrida bisa mencapai tujuh sampai delapan ton/ha. Saat ini, sedang digalakan gerakan masyarakat agribisnis jagung. Musim tahun 2009 ini adalah start awal menuju keberhasilan tahun 2010," katanya.

Alfons Nedabang mengatakan, berita-berita tentang pertanian masih sangat kurang dalam media massa. Media massa di NTT, baik cetak maupun elektronik, juga tidak ada yang secara khusus dengan segmen pemberitaan pertanian. "Media massa lebih doyan berita politik ketimbang berita pertanian. Isu-isu pertanian masih dianggap 'kurang seksi' oleh media," kata Nedabang.

Selain itu, lanjut Nedabang, media punya kendala internal, di antaranya sumber daya manusia (wartawan). Pengetahuan wartawan tentang isu-isu pertanian yang tidak memadai menjadi kendala dalam meliput soal-soal pertanian. (ira/pos kupang edisi senin, 14 Desember 2009).
Selanjutnya...