Sabtu, 30 Agustus 2008

Yang Sisa dari Pasien

Bisa Untuk Kehidupan (1)

Oleh : Alfons Nedabang

PIPA 1 dim dengan panjang 1 meter tegak berdiri di salah satu sisi bak. Pangkal pipa tertanam dalam tanah. Ujungnya tanpa kran. Ada pengatup tapi dibuat longgar sehingga ada jalan air. Air keluar terpencar setengah lingkaran, jatuh tertampung di bak permanen dengan panjang 1,5 m, lebar 1 meter dan tinggi 1 meter.

Dari bak yang dinding-dindingnya ditumbuhi lumut itu, air dialirkan dengan pipa masuk ke bak permanen lainnya, yang ditanam dalam tanah. Jarak antara kedua bak itu sekitar 1 meter. Selanjutnya dengan bantuan dua unit mesin, air dipompa untuk dialirkan ke 'dalam kota.' Entah ke mana!

Pipa beserta bak-bak itu adalah bagian akhir dari instalasi pengolahan limbah (IPAL) yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Tjak Cerneli Hillers atau TC Hillers, Maumere, Kabupaten Sikka. IPAL yang dimiliki rumah sakit tipe C ini dikenal dengan sebutan waste water treatment plant (WWTP).

Lokasi yang menjadi pusat pengolahan limbah terletak di kiri belakang rumah sakit, berdekatan dengan kamar mayat dan jejeran rumah dokter. Tidak susah untuk menemukannya. Untuk mengenalinya juga mudah nian. Pagar kawat mengintarinya, dengan satu pintu masuk. Selain dua bak tadi, di lokasi itu, ada bangunan 2 x 2 meter, tempat mesin pompa; juga dua unit tabung berukuran seperti tangki mobil air, berwarna hijau mencolok. Canopy menutupi kedua tabung.

Ada lagi bak equlasi dengan ukuran panjang 8 meter, lebar 4 meter dan dalamnya sekitar 6 meter. Bagian dalamnya dipetak- petak membentuk bak dengan ukuran yang lebih kecil. Setiap bak dan tabung memiliki fungsi yang berbeda. Semuanya menjadi satu-kesatuan yang utuh dari instalasi pengolahan limbah.

Pemandangan ini terekam ketika saya mendatangi lokasi itu, Rabu, 3 Juli 2008, 'ditemani' Kepala Tata Usaha RSUD dr. TC Hillers, dr. Harlin Hutaurut dan Fransiskus Palle, staf sanitasi.

Sebelumnya, Senin, 30 Juni 2008, lokasi itu juga didatangi Tim DPRD Propinsi NTT. Rombongan berjumlah 10 orang, dipimpin anggota Dewan, John Dekresano, M. A.

"Ini merupakan satu-satunya rumah sakit di NTT yang memiliki instalasi pengolahan limbah cair," kata John Dekresano, anggota Dewan dari Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), waktu itu.

Berada di tempat itu, Anda pasti terperangah, kaget, karena mengetahui limbah cair yang dihasilkan rumah sakit mengandung bahan-bahan infeksius dari pasien -- sumbernya adalah air cucian, darah, obat-obatan, laboratorium yang umumnya banyak mengandung bakteri, virus, senyawa kimia yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat -- dapat diolah menjadi air.

Air yang dihasilkan juga memiliki ciri-ciri seperti air yang kita pakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, untuk minum, mencuci dan mandi. Bening, tidak berbau dan berwarna.

Untuk meyakinkan Pos Kupang bahwa air hasil olahan limbah tidak berbahaya, Harlin dan Palle membasahi tangan mereka. "Apa si takutnya?" ujar Harlin, pria berbadan subur sembari menjulurkan tangannya.
***
TEKNOLOGI pengolahan limbah ini dikabarkan menggunakan metode ozonisasi. Melalui proses oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai macam mikroorganisma seperti bakteri Escherichia coli serta berbagai mikroorganisma patogen lainnya.

Proses kerjanya dapat dijelaskan sebagai berikut. Mula-mula limbah cair yang berasal dari berbagai kegiatan, seperti kegiatan laboratorium, dapur, laundry (cuci dan mandi), toilet, dan sebagainya, dari setiap ruangan yang ada di rumah sakit dialirkan lewat saluran bawah tanah ke bak equalisasi. Bak equalasi terdiri dari beberapa bak kecil, diantaranya bak awal, bak kontrol, bak aerasi dan bak pengendapan akhir. Di bak pengendapan terjadi pemisahan limbah padat dengan limbah cair. Limbah padat dapat diangkat setiap dua minggu. Sedangkan limbah cair dipompakan ke tabung reaktor (tangki I, berwarna hijau) untuk dicampurkan dengan gas ozon. Gas ozon yang masuk dalam tangki reaktor bereaksi mengoksidasi senyawa organik dan membunuh bakteri patogen pada limbah cair.

Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan ke tabung koagulasi (tangki II) untuk dicampurkan koagulan. Terjadi pula proses penyaringan dan proses absorpsi. Absorpsi adalah proses penyerapan zat-zat polutan yang terlewatkan pada proses koagulasi. Zat-sat polutan akan dihilangkan permukaan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh atau tidak mampu lagi menyerap maka proses penyerapan akan berhenti. Karbon aktif harus diganti. Pada tangki II ini juga terjadi proses sedimentasi, dimana polutan mikro, logam berat dan lain-lain sisa hasil proses oksidasi dalam tangki reaktor dapat diendapkan.

Dengan menggunakan sistem ini, air yang keluar dari filter karbon aktif selanjutnya dapat dibuang dengan aman. Lebih dari itu, juga akan dapat menggunakan kembali air limbah yang telah terproses (daur ulang).

"Air hasil olahan limbah ini kita pakai untuk menyiram tanaman. Dulu ada ikan dalam bak air, tapi dicuri orang," ujar Palle, menambahkan.

Tidak berbahayanya air olahan limbah rumah sakit setidaknya juga terpantau dari tanaman yang tumbuh di lokasi pengolahan limbah. Rumput-rumputan tumbuh subur hingga menjalar ke pagar. Ubi kayu juga tumbuh subur. Batang besar dan daunnya hijau nian. Pohon pepaya dan lombok berbuah lebat. Seakan memberi pesan, "Kami sehat meski disiram air hasil olahan limbah."

Menurut Palle, selain digunakan untuk menyiram tanaman, air hasil pengolahan limbah cair dibuang. "Hasil olahan limbah sebenarnya bisa digunakan manusia cuma karena faktor psikoligis semata. Orang mengingat limbah bercampur dengan darah dan zat kimia. Ini yang membuat orang tidak menggunakannya," ujar Palle. (bersambung)

Jangan Diabaikan (2)

SATU tempat tidur mampu memproduksi sampah padat sebanyak 3,2 kg per hari. Sedangkan limbah cair 416,8 liter per tempat tidur per hari. Rata-rata produksi sampah per tempat tidur per hari ini merupakan hasil kajian terhadap 100 rumah sakit (RS) di Pulau Jawa dan Bali.

Dengan demikian diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius sebesar 23,2 persen.

Data ini terungkap dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan (1997), sebagaimana dilansir www.pdpersi.co.id. Data ini memberi gambaran tentang produksi sampah medik oleh rumah sakit, termasuk yang ada di NTT.

Direktur RSUD dr. TC Hillers Maumere, dr. Asep Purnama, misalnya, mengaku belum tahu berapa banyak sampah medik yang dihasilkan rumah sakit pemerintah itu. "Waduh.....," ujar Asep ketika ditanya produksi sampah padat dan limbah cair.

"Itu mesti melalui penelitian. Sejauh ini belum ada yang melakukan penelitian tentang itu," kata Direktris RSU Prof WZ Johannes Kupang, dr. Yovita Mitak kepada Reddy Ngera dari Pos Kupang, baru-baru ini.

Jika merujuk pada hasil kajian itu, maka 13 rumah sakit yang tersebar di kabupaten/kota di NTT menghasilkan sampah padat sebanyak 41,6 kg per hari atau setara semen satu sak. Sedangkan limbah cair sebanyak 5.418,4 liter per hari setara satu tanki mobil air. Bayangkanlah!

Jumlah ini belum termasuk sampah medik yang dihasilkan dua rumah sakit milik TNI/POLRI dan rumah sakit swasta. Tidak termasuk juga sampah medik yang dihasilkan rumah bersalin, puskesmas, laboratorium kesehatan dan klinik yang jumlahnya kian banyak pula. Dapat dibayangkan betapa banyaknya sampah medik yang dihasilkan per hari, per minggu, bulan bahkan per tahun.

Limbah yang dihasilkan rumah sakit dalam jumlah besar itu ternyata berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungannya karena mengandung zat-zat yang berbahaya. Selain mencemari udara, air dan tanah, juga berkemungkinan menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit bagi para petugas, penderita maupun masyarakat sekitar rumah sakit.

Meski berbahaya, pengelolaan limbah rumah sakit masih dipandang sebelah mata oleh pengelola rumah sakit dan pemerintah daerah. Ini dibuktikan dengan belum adanya instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan insenerator (alat pembakar limbah padat) yang dimiliki rumah sakit. Kalaupun ada, peralatannya masih jauh dari harapan.

Tengok saja di RSUD dr. TC Hillers Maumere. Meski sudah memiliki IPAL, tapi kapasitasnya sangat kecil. Peralatan yang dibeli senilai Rp 573 juta bersumber dari dana dekonsentrasi tugas pembantuan, hanya mampu mengolah limbah cair yang dihasilkan 80 tempat tidur dari total 197 tempat tidur. Artinya, limbah cair yang dihasilkan 117 tempat tidur dibuang begitu saja tanpa diolah.

Rumah sakit yang menjadi rujukan di wilayah Flores ini juga memiliki insenerator. Tapi bukan dibeli dengan dana APBD II, tapi hasil pemberian pemerintah Jerman. Sayangnya, alat itu sudah setahun lebih tidak beroperasi karena rusak pada bagian kompor. Gudang tempat insenerator dengan cerobong asap setinggi 10 meter itu pun digembok.

"Sekarang sedang diperbaiki. Jika berjalan normal, dapat menghasilkan panas mencapai 9.000 cc sehingga dapat membakar kuman sekecil apa pun," ungkap Fransiskus Palle, staf sanitasi RSUD dr. TC Hillers. Untuk menangani sampah padat, RSUD TC Hillers menggunakan septik tank yang diketahui memiliki banyak kelemahannya.

Mestinya, karena berbahaya, limbah medik yang berasal dari bangsal-bangsal, dapur, kamar operasi dan sebagainya perlu dikelola sebaik-baiknya sehingga kesehatan petugas, penderita dan masyarakat di sekitar rumah sakit terhindar dari kemungkinan-kemungkinan dampak pencemaran limbah rumah sakit tersebut.

Pengelola dan pemerintah daerah mestinya menyadari bahwa rumah sakit merupakan sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan. Sementara lingkungan rumah sakit sendiri tidak sehat. Ironis!

Berbagai faktor melatarbelakangi kondisi ini, diantaranya kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan lingkungan rumah sakit. Selain itu kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran. Karenanya, sering kita dengar pengelola maupun pemerintah daerah mau melakukan pengadaan alat pengolalaan limbah dengan berdalih peralatannya cukup mahal.

Persoalan ini dapat diatasi jika pengelola dan pemerintah daerah memiliki komitmen yang kuat untuk mengatasi masalah lingkungan dan kesehatan manusia. Sebagai bukti banyak rumah sakit yang tidak dilengkapi fasilitas pengelolaan limbah. Sampah medik berceceran di mana-mana. Bau menyeruak dari setiap sudut ruang rumah sakit. Sungguh sangat mengganggu. Haruskah menunggu sampai ada korban baru kesadaran kita terusik untuk bertindak serius mengatasi sampah medik? (Pos Kupang edisi 20-21/8/2008) Selanjutnya...

50 Tahun NTT (3)

Mari Urus Halaman Rumah Kita

Oleh Paul Burin

"KUPANG sebagai kota tua yang bermodal gede menjadi kota besar yang cantik, memang asli banget tidak didukung warga kotanya. Kesadaran warga sebagai anak tanah untuk ikut mendukung program merawat, sambil mengembangkan kotanya serta ikut bebersih dan berbenah-benah, demi keasrian lingkungan hidup sang kota, rasanya masih jauh dari harapan normal".

Itulah kritikan wartawan senior Rudy Badil melalui tulisannya di Harian Kompas edisi Senin 17 Oktober 2005.

Di bagian lain tulisannya yang diberi judul "Anak Tanah Kota Kupang" itu Rudy Badil melanjutkan kritiknya, "... Kupang sebenarnya tambah tahun tambah kumuh, juga rada ngacak tata kotanya. Kota itu boleh dikata tidak ada apa-apanya lagi dalam urusan konservasi dan pelestarian alam kotanya. Bangunan hunian, perkantoran, dan gedung lainnya kebanyakan hanya merupakan hiasan kota tanpa kejelasan makna artistiknya, serta tidak karuan sentuhan inti estetikanya. Celakanya lagi, kerumunan bangunan orang kota itu sama sekali tidak diimbangi dengan keteduhan dan kehijauan tanaman lingkungan perkotaannya".

Dalam beberapa kali diskusi terbatas, Pemimpin Redaksi Pos Kupang, Dion DB Putra menyebut kota Kupang sebagai kota yang "tidak berjenis kelamin".

Tidak terlihat gairah penghuni kota untuk memoles kota ini agar terlihat jelas sebagai "kampung halaman" orang NTT. Bangunan-bangunan di kota ini tidak punya "makna artistik", meminjam istilah Rudy Badil.

Juga tidak ada lagi bekas-bekas yang menandakan bahwa kota ini menyimpan sejarah suku Helong dan rajanya sebagai penghuni pertama. Padahal, nama kota ini diambil dari Nai Kopan/Lai Kopan, Raja Helong. Belanda menyebut Kopan ini dengan Koepan dan dalam perkembangan bahasa menjadi Kupang (http://www.kotakupang.com/webkota/).

Kita tidak boleh melupakan sejarah. Apalagi mengabaikan pemilik nama kota ini, Raja Lai Kopan. Nenek moyang tak boleh dibuat marah, sebab kita bisa kualat.

***
Dua hari setelah kita merayakan HUT ke-63 RI, tiga bangunan toko di Jalan Siliwangi, rubuh di saat subuh menjelang. Ambruknya toko di "halaman rumah raja Helong" itu tentu bukan karena Raja Lai Kopan murka. Itu akibat ibukota propinsi ini mungkin salah urus. Pantai tak lagi diberi ruang yang cukup agar ombak bisa mendatangkan keindahan dan kenyamanan bagi warga.

Ambruknya tiga bangunan toko itu pertanda bahwa manusia tidak boleh melawan alam. Manusia harus menyesuaikan diri dengan alam. Jika kita terus bertahan dan "melawan" gulungan ombak sepanjang Jalan Siliwangi itu, maka entah apa yang terjadi 10, 20 atau 30 tahun yang akan datang.

Kawasan sepanjang Siliwangi merupakan kawasan kota tua. Punya nilai sejarah dan patut dilestarikan. Langkah-langkah yang diambil adalah melakukan konservasi dan revitalisasi. Konservasi adalah upaya untuk mengembalikan dan kemudian mempertahankan fungsi dan citra dari suatu kawasan bersejarah. Sedangkan revitalisasi adalah upaya meningkatkan dan memperbaiki kondisi lingkungan agar kekhasannya tetap ada.

Pemerintah Kota Kupang pun telah mengidentifikasi kawasan ini untuk segera ditangani. Ada beberapa kawasan yang masuk dalam kategori penanganan, yakni kota tua, kawasan Lasiana, kawasan Kuanino, kawasan Jalan El Tari dan rumah dinas Walikota Kupang.

Tetapi melalui serangkaian penelitian, Pemkot Kupang menetapkan Kawasan Kota Tua sebagai prioritas. Pertanyaannya, apakah upaya ini sudah diwujudkan? Rasanya masih jauh dari harapan. Kita belum melihatnya mulai dari kawasan Benteng Concordia, Kali Dendeng, koridor Jalan Soekarno bagian utara, koridor Jalan Sukarno bagian selatan, koridor Jalan Siliwangi, Pantai Kampung Solor dan koridor Jalan Garuda.

Dalam buku penyusunan detail engineering design, disebutkan bahwa penataan kawasan Kota Kupang, terutama kawasan kota tua harus dilakukan karena merupakan kawasan bersejarah. Tempat ini, dulu kala dihuni suku Helong, kemudian orang Cina, warga asal Pulau Solor dan etnis Arab. Orang Helong menghuni kawasan yang saat ini masuk dalam wilayah Kelurahan LLBK.

Etnis Cina yang berdagang di sana membentuk pemukiman di wilayah LLBK, dekat Benteng Concordia. Pelaut-pelaut asal Solor menghuni kawasan pantai yang saat ini disebut Kampung Solor. Sedangkan etnis Arab yang juga datang berdagang dan menyebarkan agama, menempati kawasan di Kelurahan Air Mata. Di sinilah masjid pertama Al Kudus dibangun.

Pusat-pusat pemukiman tua itu pun membekas melalui bangunan-bangunan rumah ibadah. Di Kelurahan Air Mata, berdiri masjid pertama, Al Kudus. Di kawasan LLBK ada Gereja (tua) Kota Kupang.

Dari beberapa fakta sejarah ini kita mencatat bahwa wilayah ini memiliki sejumlah kelebihan. Di sini menjadi awal kota ini, menjadi pusat perdagangan dan pariwisata. Juga aktivitas religius ditunjukkan dengan keberadaan fasilitas keagamaan masjid, gereja dan kelenteng.

Yang kita harapkan adalah kerja keras pemerintah untuk menata kawasan ini agar tetap mempertahankan kelestariannya. Tentunya wilayah lain di kota ini perlahan tapi pasti mulai ditata pula.

Pemerintah dapat menata kota ini dari aspek fasilitas bagi pejalan kaki, menyediakan fasilitas penyeberangan dan tempat tunggu angkutan, drainase yang baik, menyediakan tempat-tempat sampah, lampu jalan, papan nama dan petunjuk arah serta menghindari kawasan kumuh yang semakin terasa di kota ini. Juga menanam pohon dan membuat taman kota.

Kupang sebagai ibukota Propinsi NTT, "kampung halamannya" orang NTT tidak boleh kehilangan halamannya. Sebab kota bukan kerumuman bangunan bertingkat. Kota, sejatinya adalah halaman yang harus punya halaman. Halaman tempat anak-anak kota bermain bola kaki, bermain bola kasti atau bola voli. Agar anak-anak kota tak hanya manfaatkan waktu hujan untuk main bola di jalan-jalan raya.

Lasiana harus diurus dengan benar dan profesional agar layak menjadi teras samping timur kota ini. Di sana tetamu kita dari mancanegara, pun kita sendiri yang ingin menikmati jagung bakar, bisa berjemur diri di pantai nan indah itu. Pantai Namosain, Pantai Teddy's, juga demikian. Jangan tutup pemandangan ke arah pantai. Janganlah mendirikan bangunan bertingkat menghalangi pandangan ke pantai. Pantai adalah hak semua orang untuk menikmatinya setiap saat.

Kawasan Penfui, halaman rumah kita yang menjadi saksi kecamuk Perang Dunia butuh penataan agar asri dan bernilai. Bunker-bunker Jepang yang tidak diurus itu kita pugar karena itu situs bersejarah. Intinya, pada usia emas NTT tahun ini tak haruslah kita berpikir berbuat sesuatu yang mewah. Mari mulai menata ibu kota kita, Kupang, agar halamannya indah, sejuk nan asri. Mewujudkannya menjadi kota yang manusiawi sampai 50, 100, bahkan hingga 1.000 tahun yang akan datang.* (pos kupang edisi 31 Agustus 2008) Selanjutnya...

50 Tahun NTT (1)

Bersama Bangkit Menyongsong Asa

Oleh : Tony Kleden

TANGGAL 20 Desember 1958, AS Pello yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Residen Koordinator Pemerintahan Nusa Tenggara meresmikan berdirinya Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur. Kupang ketika itu ditetapkan menjadi ibu kotanya.

Sebelumnya, wilayah Nusa Tenggara Timur (sekarang) yang meliputi Flores, Timor, Sumba dan pulau-pulau yang mengitarinya bergabung dalam Provinsi Sunda Kecil, yang kemudian berubah namanya menjadi Provinsi Nusa Tenggara.

Berdasarkan UU No. 64/1958, Provinsi Nusa Tenggara terbagi dalam tiga daerah swatantra, yakni Daerah Swatantra Tingkat I Bali, Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat, dan Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok Pemerintahan Daerah kemudian menggantikan istilah daerah swatantra I menjadi provinsi, dan daerah swatantra II menjadi kabupaten. Meski begitu, peristiwa peresmian Daerah Swatantra I Nusa Tenggara Timur oleh AS Pello pada tanggal 20 Desember 1958 dijadikan dan diterima sebagai hari lahir Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bersamaan dengan peresmian itu, diangkat William Johanis Lalamentik menjadi PJS Gubernur NTT. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 14 Desember 1959, WJ Lalamentik dilantik menjadi gubernur pertama. Layar terkembang. Biduk NTT pun bergerak menantang badai, menyongsong hari esok.

Gubernur berganti rupa. Ditambah dengan Wang Suwandhi, S.H yang menjadi penjabat gubernur dua bulan lebih, maka sekarang NTT sudah dikendalikan delapan pengemudi. Masing-masing gubernur muncul dengan program, rencana dan targetnya.

Wajah NTT juga perlahan berubah. 'Ruang' NTT makin padat oleh bangunan dan jiwa-jiwa manusia yang menghuninya. Ruas jalan raya bertambah panjang, makin jauh meretas isolasi, menembus dusun dan desa. Laut makin ramai oleh kapal motor dan perahu nelayan. Udara tambah bising oleh deru pesawat terbang.

Usianya pun bertambah. Tahun ini, NTT 50 tahun usianya. Para pelaku sejarah yang membidani kelahirannya banyak yang sudah kembali ke haribaan bumi. Kita kenang jasa mereka. Yang masih hidup kian uzur. Kita hormati pengabdian mereka.
Tetapi gubernur yang berganti, wajah yang berubah dan usia yang bertambah, apakah itu telah membawa banyak kemaslahatan bagi 4,2 juta warga propinsi ini saat ini? Apakah wajah yang telah banyak berubah itu, berubah ke arah yang baik, mulus? Atau justru sebaliknya menjadi bopeng?

Apakah usia yang bertambah, di usia emas lagi, turut menjadikan kita lebih dewasa dalam tingkah pola dan atau perilaku kita? Atau justru sebaliknya semakin membuat kita tambah childish dan kemudian mengurung kita dalam sungkup kekerdilan agama, suku, etnis?

Apakah gubernur yang sudah delapan kali berganti itu merupakan top leaders yang satu spirit mengatur haluan menuju cita-cita? Ataukah sebaliknya masing- masingnya datang dan lebih ingin unjuk diri, pamerkan kebolehan dan asyik dengan diri sendiri, dengan suku sendiri, dengan kelompok sendiri?

Tahun ini, biduk NTT merengkuh usia emasnya. Bagaimana pun delapan gubernur yang tampil adalah anak kandung zamannya. WJ Lalamentik meletakkan dasar- dasar pemerintahan pada awal tualang propinsi ini. Serba kesulitan karena masih baru ketika itu di tangan Lalamentik menjadi mudah. Mottonya yang sangat terkenal adalah "Semua kesulitan itu ada untuk dipecahkan."

El Tari tampil memompa semangat warga menyatakan jatidirinya sebagai warga di suatu propinsi dengan pertanian lahan kering menjadi ciri dominan. Pada masanya, pembangunan infrastruktur dan suprastruktur digalakkan. Kita tahu, El Tari-lah yang mengajak warga bergotong royong membangun lapangan terbang di masing- masing kabupaten. Bukan berlebihan kalau El Tari yang kita kenang dengan programnya, "Tanam, Tanam, Sekali Lagi Tanam" itu adalah Bapak Pembangunan NTT.

Pada tanggal 1 Juli 1978 Ben Mboi dilantik menjadi gubernur setelah kendali NTT dipegang sementara waktu oleh Wang Suwandhi selama dua setengah bulan menyusul wafatnya Gubernur El Tari. Jiwa militer dalam dadanya menjadikan Ben Mboi sosok gubernur yang sangat disegani. Pada masanya para staf pemerintah siaga penuh. Ben Mboi terkenal dengan program operasi nusa hijau (ONH) dan operasi nusa makmur (ONM).

Ben Mboi turun, Hendrik Fernandez naik panggung. Sama seperti Ben Mboi yang juga berlatar pendidikan dokter, Fernandez tajam dalam analisa. Bak ahli bedah, Fernandez membedah aneka masalah di NTT dan mencari akarnya. Program Gerakan Membangun Desa (Gerbades) dan Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar) adalah jawaban atas aneka masalah NTT ketika itu.

Lima tahun memimpin, tahun 1993 Hendrik Fernandez digantikan Herman Musakabe. Meski seorang tentara aktif dengan pangkat Mayor Jenderal, penampilan Musakabe jauh dari sosok seorang tentara yang sering identik dengan yang 'keras- keras.' Musakabe berhati lembut, tutur katanya juga pelan dan halus. Karena sosoknya yang seperti itu, Musakabe dijuluki bapak yang baik hati. Bapak yang baik itu mengusung Tujuh Program Strategis Membangun NTT.

Latar belakangnya sebagai Komandan Sekoad agaknya menjadi alasan mengapa Musakabe merumuskan programnya yang lebih bersifat strategis itu. Pada masa Musakabe, orang NTT mulai kenal nikah massal. Musakabe jugalah yang memassalkan kain tenun ikat NTT hingga menjadi begitu prospektif seperti sekarang ini.

Menduduki jabatan satu periode, Musakabe turun tahun 1998 dan digantikan Piet Alexander Tallo. Pengalamannya 10 tahun menjadi Bupati Timor Tengah Selatan (TTS) menjadikan sosok Tallo sebagai figur yang dinanti-nantikan. Sayang, Tallo memegang kendali ketika reformasi berhembus di negeri ini yang membawa dampak yang jauh ke hampir semua sendi kehidupan. Bencana demi bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial, datang silih berganti. Praktis, gaung program Tiga Batu Tungku (periode pertama) dan Tiga Pilar Pembangunan (periode kedua) melemah. Karena itu, banyak yang bilang Tallo menjadi gubernur pada waktu yang salah.

Tallo turun, Frans Lebu Raya naik pentas. Lebu Raya menjadi gubernur pertama melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Baru sebulan lalu Lebu Raya dilantik. Tetapi harapan di atas pundaknya begitu besar. Anggur Merah (anggaran untuk rakyat menuju sejahtera) menunggu pembuktian.

Masing-masing gubernur merancang programnya merujuk pada konteks historis pada masanya. Program-program yang dipatok, karena itu, mengartikulasikan jawaban terhadap aneka soal sekaligus harapan mendulang sukses.
Sudah 50 tahun NTT menjejak langkah, meniti riwayat perjalanannya. Inilah momentum penting untuk mengaca diri, melihat kembali tapak-tapak sejarahnya. Banyak sukses telah dituai. Gilang gemilang pembangunan nyata terlihat. Sejumlah prestasi juga terukir.

Di sisi lain, masih banyak target yang belum tercapai. Dalam banyak indikator pembangunan, kita masih jauh di belakang. Ekonomi kita mati suri. Pendidikan jeblok. Kesehatan terpuruk. Pemerintahan goyah.

Yang tersisa pada kita mungkin cuma harga diri. Tetapi harga diri itu sekaligus menjadi investasi paling penting untuk bangkit dan menyatakan keberadaan kita sebagai orang NTT. Saatnya kita bangkit. Mari, bersama kita bangkit. * (Pos kupang, Sabtu 23 Agustus 2008) Selanjutnya...