Kamis, 11 September 2008

Rakyat Harus Didorong Mandiri


DISKUSI TERBATAS -- Peneliti senior dari i-i net/Expert JICA asal Jepang, Matzui Kasuhiza (paling kanan) memaparkan materi tentang Membangun Daerah dengan Kamandirian Lokal pada forum Diskusi Terbatas di Kantor Pos Kupang, Rabu (10/9/2008).


MASYARAKAT Nusa Tenggara Timur (NTT) harus didorong untuk mandiri karena mereka memiliki kemampuan sendiri sebagai kekuatan lokal. Namun, kemandirian ini seringkali melemah oleh begitu banyaknya kepentingan dari luar, termasuk negara. Oleh karena itu diperlukan pendampingan.

Demikian antara lain intisari diskusi bertajuk, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT, di ruang Redaksi Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang, Rabu (10/9/2008). Diskusi ini diselenggarakan SKH Pos Kupang bekerja sama dengan Institute of Cross Timor for Common Property Resources Development (InCrEaSe) dalam rangka peringatan 50 Tahun NTT.

Diskusi dibuka oleh Pemimpin Umum SKH Pos Kupang, Damyan Godho, dipandu Fary DJ Francis dari InCrEaSe. Tampil sebagai pembicara Mr. Matzui Kasuhiza (peneliti senior i-i net/Expert JICA) dari Jepang, Rm. Maxi Un Bria, Pr (Penggagas kemandirian masyarakat As Manulea, Belu) dan Yusten Lalan (Pengusaha tambak dari Desa Bipolo, Kabupaten Kupang).

Peserta diskusi 30 orang, dengan latar belakang akademisi, aktivis LSM, tokoh masyarakat dan unsur pemerintah. Beberapa di antaranya, Melianus Toy (tokoh masyarakat Desa Olenasi), Johnny A Riwu (LPM Undana), Remigius Efi (BPMD NTT), Rm Leo Mali (FAN), Mario Viera (GTZ), Petrarca Karetji (DZF-Sofei/Bakti), Prof. Mia A Noach, Raymundus Lema (MPBI Kupang), Jonathan Lasa (FAN), Yosep Boli (PMPB), J Therik (Politani), Sofia Malelak de Haan (Yayasan Alfa Omega) dan Toby Messakh (Bappeda NTT).

Matsui Kazuhisa, orang Jepang yang cukup fasih berbahasa Indonesia, mengajak setiap orang untuk mencintai kampung/desanya sendiri. "Kalau Anda merasa malu dengan kampung halaman, Anda tidak mungkin serius memperbaiki kampung halaman tersebut," katanya.

Matsui mengatakan, masyarakat lokal memiliki banyak sumber daya. Sumber daya itu tidak hanya berupa kekayaan alam, tetapi juga berupa pikiran yang tersimpan dalam otak mereka. Cuma mereka menganggap sumber daya itu biasa-biasa saja dan lebih tertarik pada hal-hal yang datang dari luar.

Matsui mengemukakan sekian banyak paradoks yang terjadi dalam masyarakat lokal. "Kita kurang menyadari apa yang kita punya di dalam daerah kita sendiri. Kita perlu menciptakan suasana agar orang kota juga menghormati orang desa," katanya.

Romo Maxi Un Bria bercerita tentang perjuangan warga Desa As Manulea di Kabupaten Belu untuk mendapatkan air bersih. Warga As Manulea dulunya hidup di dataran rendah, tapi atas kebijakan pemerintah mereka pindah ke dataran tinggi di mana mereka menghadapi kesulitan air bersih.

"Masyarakat meminta kepada pemerintah untuk mengadakan proyek air bersih. Tapi, pemerintah dan DPRD mengatakan bahwa tidak mungkin karena masyarakat tinggal di dataran tinggi. Mereka menganjurkan pindah ke dataran rendah. Akhirnya pada tahun 2000 kami membentuk forum dengan tujuan utama air bersih. Lalu terbentuklah panitia air bersih. Masyarakat sepakat setiap keluarga (ada 640 KK) menyumbang Rp 250 ribu sehingga terkumpul Rp 160 juta. Ini modal awal pembangunan air bersih. Akhirnya tanggal 13 Januari 2005 air itu diresmikan. Setelah dihitung total dana untuk pembangunan air bersih itu Rp 2,6 miliar," tutur Maxi.

"Kami menyadari bahwa dengan adanya air, pola hidup masyarakat berubah, dan itu terjadi dalam masyarakat As Manulea. Anak-anak tampak bersih, ibu-ibu sudah lebih banyak waktu untuk menenun. Ini berkat kerja sama yang sinergis, komunikasi dan pendekatan dengan semua elemen," tutur Maxi.

Maxi berkesimpulan masyarakat As Manulea memiliki potensi dan kekuatan untuk menolong diri mereka sendiri keluar dari persoalan dan kesulitan hidup. Mereka memiliki sederetan kearifan lokal.

"Mereka mungkin butuh sentuhan motivasi dan pencerahan untuk menemukan semua hal potensial di antara mereka," katanya.

Romo Maxi mengatakan, dengan cara masyarakat sendiri, dengan kemampuan dan kerja sama, masyarakat dapat menghasilkan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan orang lain. Kini As Manulea menjadi pendorong, motivator untuk masyarakat lain.

"As Manulea menjadi daerah yang semakin banyak dikunjungi orang karena ingin belajar tentang kemandirian masyarakatnya. Ada yang datang dari TTU," tutur Maxi.

Yusten Lalan mengisahkan perjuangan masyarakat Desa Bipolo menghadapi kesulitan mengelola usaha tambak. Namun, berkat keuletan, mereka telah berhasil membuat tambak ikan bandeng dan ada yang sudah bisa menikmati hasilnya. Apa yang mereka lakukan didorong kemauan mereka sendiri untuk mengubah nasib.

Meski berhasil, Yusten mengakui saat ini sangat susah untuk mengembalikan partisipasi masyarakat karena mereka sudah dibiasakan dengan proyek bantuan. Padahal sebenarnya di setiap lingkungan ada potensi. "Hanya pengembangannya yang salah pasang," kata Yusten.

Romo Leo Mali melihat kemandirian masyarakat justru dilemahkan oleh pihak luar, termasuk negara. Negara yang diharapkan menjadi fasilitator, dalam perkembangannya justru berubah menjadi diktator.

"Saya pernah mengalami ketika berada di kampung. Kita sebagai masyarakat tercerai-berai. Menurut saya, kita harus terbuka, bahwa selain negara, ada begitu banyak kepentingan yang menginginkan masyarakat itu lemah. Negara telah menjadi masalah untuk masyarakat. Baik itu dari proses politik, pembangunan dan sebagainya. Kita harus bisa menghubungkan proses melemahnya partisipasi masyarakat dengan semakin tuannya negara," kata Leo Mali.

Raymundus Lema mengatakan, sebelum negara ini terbentuk masyarakat kita sudah mandiri. Namun kebijakan pemerintah di masa lalu telah melemahkan kemandirian itu. Untuk mengembalikan kemandirian, dia menyarankan pendampingan terhadap masyarakat.

"Sepanjang pendampingan itu tidak ada, percuma mengharapkan kemandirian masyarakat," kata Lema.

Diskusi berakhir pukul 18.30 Wita, dengan harapan ada tindak lanjut. (aca/ati/Pos Kupang edisi Kamis, 11 September 2008 hal 1) Selanjutnya...

Studi Banding Pengolahan Sampah di Depok

Menyisir Kota Mencari Tumpangan (1)

Oleh Rosalina Langa Woso

DUA belas anggota rombongan yang ditetapkan Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe, dengan Surat Perintah Perjalan Dinas (SPPD) sebagai tim Studi Banding Sampah di Kota Depok, Jakarta Barat, berangkat dalam dua kloter. Ada yang mendahului ke Kota Depok guna menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan studi banding. Tim lainnya berangkat sesuai jadwal hari Selasa (19/8/2008), namun dengan pesawat yang berbeda.

Keberangkatan tim untuk mencapai Kota Depok sebagai daerah tujuan studi banding sangat melelahkan. Maklum, sejak berangkat Selasa (19/8/2008), pukul 01.00 Wita, tim baru mendapat penginapan yang layak, Rabu (20/9/2008), pukul 01.35 Wita dini hari di P'arunk, Jalan Raya Parung Kilometer 40 Parung-Bogor.

Perjalanan panjang itu, bukan karena tim tidak berpengalaman menghafal seluk beluknya jalur transportasi menuju Jakarta atau Depok. Pilihan jalur angkutan umum dengan menggunakan bus berdasarkan kesepakatan bersama anggota dan ketua tim studi banding, yang juga Kepala Dinas Kebersihan Kota Kupang, Drs. Adrianus Lusi.

Bus yang ditumpangi bergerak dari Bandara Juanda menuju Terminal Pasar Minggu, saat matahari mulai merebah di ufuk barat. Hati mulai terasa mual karena sejak siang hari belum ada sarapan yang mengganjal perut. Rombongan yang tiba pukul 19.00 Wita di Terminal Pasar Minggu, sempat menarik perhatian warga setempat.

Betapa tidak. Rombongan yang tampil necis itu justru hiruk pikuk turun dari bus sambil menarik koper kemudian bergegas mencari tumpangan bus menuju Terminal Depok.

Ledekan dari pemilik warung tempat tim mengisi kampung tengah tidak bisa dielak lagi. Dengan bahasa Jawa yang medok, para pemilik warung itu berkomentar kalau rombongan pemkot itu kelihatan aneh. "Baru menumpang pesawat kok, sekarang tarik koper ke sana ke mari," ujar seorang pemilik warung sambil menunggu pembeli lainnya.

Perut keroncong sejak siang hari lebih kuat untuk menahan olokan itu, lambung yang terasa perih menuntut untuk segera diisi secangkir teh panas untuk mengusir angin di dalam lambung. Paling tidak, minuman panas itu bisa mengusir rasa mual dan memberi tenaga baru menuju Depok lebih menyenangkan.

Tepat pukul 09.00 Wita, rombongan tiba di Terminal Depok. Sambil menunggu utusan dari Dinas Kebersihan Kota Kupang datang menjemput, saya dan anggota tim lainnya duduk di pinggiran terminal sambil memeluk tas masing-masing.

Tawaran para sopir angkot di Terminal Depok yang masih ramai tidak digubris lagi. Hati kian gerah karena malam kian merangkak menjemput malam. Sebuah angkota pun bersedia mengantar ke penginapan yang sudah disiapkan oleh tim pendahulu. Lobi dengan petugas Pol PP Depok mencari tumpangan, pun berakhir. Tim duduk berdesakan di atas angkota lalu melaju ke Taman Wisata Buana, di perbatasan Kota Depok, tepat pukul 11.06 Wita.

Rasa lelah dan kantuk membuat hati galau dan bergegas mencari kamar tidur. Tiga ofice boy yang berada di lokasi penginapan mengantar rombongan pemkot yang membawa tas masing-masing.

Penginapan yang disebut Taman Wisata Buana itu memiliki beberapa kamar tidur. Kamar berukuran 2 x 2 meter itu hanya diisi kasur selebar luas kamar yang ada. Ditutup dengan dua pintu dorong, mirip pintu rumah penduduk di Jepang dalam Film Oshin.

Dua lembar pintu itu terbuat dari kayu dengan kaca persegi empat, keempat sisi kacanya tampak bening. Siapa saja dengan mudah menatap ke dalam kamar itu. Kamar wisata, dilengkapi dengan kamar mandi dan water closed. Sementara musik keras, terpantul dari salah satu kamar lokasi penginapan. Para gadis mengenakan rok mini dengan atasan bertali satu, nongkrong sambil menarik sebatang rokok.

Jarum jam mendekati pukul 12.00 Wita, rasa lelah setelah menempuh perjalan darat dan udara tidak tertahankan lagi. Sayangnya, penginapan yang disiapkan sangat terbatas, tidak memiliki kunci pintu kamar. Pagar pengaman yang terbuat dari besi setinggi satu meter, sebagai pembatas kamar satu dan lainnya tidak digembok.

Kondisi fisik penginapan itu membuat enam anggota tim studi banding memutuskan angkat kaki dari penginapan Taman Wisata Buana menuju jantung Kota Depok mencari penginapan baru. Empat anggota lainnya memilih bertahan menginap di Wisata Buana.

Rombongan pun seolah-olah dibagi menjadi tiga kelompok. Empat angggota bertahan di Wisata Buana, enam anggota lainnya mencari penginapan dalam Kota Depok yang dipimpin Kadis Kebersihan. Tim lainnya, anggota DPRD Kota Kupang memilih menginap di Jakarta.

Malam itu disepakati pemilihan penginapan baru di Kota Depok harus dekat Kantor Walikota Depok agar tidak telat beraudiens dengan Walikota Depok, H Nur Mahmudi Ismail, yang jadwalkan esok hari, Rabu, 20 Agustus 2008, pukul 09.00 Wita.

Upaya pencarian hotel pun membutuhkan waktu lama karena tiga hotel yang didatangi sekitar Kantor Walikota Depok dinyatakan penuh oleh resepsionis. Enam anggota tim ini pun tidak kecil hati. Dengan tetap menggunakan jasa kebaikan sopir angkota, kembali melaju menyisir hampir seluruh arah Kota Depok untuk mencari hotel.

Tim baru mendapatkan hotel pada Rabu (20/8/2009) dini hari, pukul 01.35 Wita, di Hotel P'arunk, Jalan Raya Parung, Kilometer 40 Parung-Bogor. Hotel yang baru berusia dua tahun itu memiliki 100 lebih kamar. Saat tim pemkot menempati hotel berbintang itu, masih puluhan kamar belum berpenghuni.

Rasa gerah dan kantuk membuat anggota tim studi banding terlelap setelah menempuh waktu 12 jam dari Kupang ke Kota Depok-Jakarta Barat. Awal yang menantang dan melelahkan. Lalu, ilmu penanganan sampah yang bagaimanakah yang ditimba tim pemkot selama di Kota Depok? (bersambung)


Butuh yang Ceriwis (2)

LANTAI lima Kantor Walikota Depok, tempat berlangsungnya dialog antara tim studi banding Pemkot Kupang dan Depok, masih kosong. Dua gadis penerima tamu tampak tersenyum, sambil mempersilahkan semua yang hadir memasuki ruangan.

Meski tidak disambut oleh Walikota Depok, H Nur Mahmudi Ismail, pimpinan unit dari Dinas Kebersihan, Bappeda, serta Dinas Tata Kota Depok, bermunculan menempati ruangan pertemuan.

Asisten Tata Praja Setda Kota Depok, Drs. H Bambang Wahyudi, MM, yang mewakili Walikota Depok, bertutur banyak tentang bagaimana kinerjanya meredam volume sampah yang selalu bertambah dari tahun ke tahun.

Wahyudi melitanikan sejumlah kiatnya untuk menutup 'rasa malu' pemerintahannya yang dinobatkan sebagai kota terkotor. Predikat itu diberikan saat terjadi kevakuman pemerintahan tahun 2005/2006 karena walikota definitif belum terpilih. Warga Kota Depok harus urut dada ketika pemerintah pusat melalui tim penilai mengetuk palu bahwa Depok sebagai kota terkotor se-Jakarta.

Penilaian itu menjadi cambuk bagi pemerintahan masa kini, membebaskan kotanya dari masalah sampah. Berbagai kiat dilakukan seperti memberikan kebebasan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Selain itu, Depok menyiapkan dana yang dikelola Dinas Kebersihan untuk mengelola sampah hampir separuh dari sumber anggaran murni Pemkot Kupang tahun 2008.

Tekad untuk membebaskan Kota Depok dari masalah sampah ditempuh dengan berbagai cara. Pengangkatan 470 pesakon, orang-orang ditugaskan untuk membersihkan sampah di jalan-jalan, ditangani langsung oleh Dinas Kebersihan. Selain memberdayakan pesakon, Dinas Kebersihan menerapkan sistem penanganan sampah mulai dari hilir (rumah penduduk).

Upaya pemilahan sampah dari hilir dilakukan dengan cara memilahkan sampah dari jenisnya. Ibu rumah tangga harus menjadi pemilah utama karena merekalah yang paling banyak mendatangkan sampah ke rumah melalui belanjaan sehari-hari. Maksudnya, setiap RT dan RW harus memilih seorang ibu rumah tangga yang dianggap paling ceriwis (cerewet) untuk mengingatkan tuan rumah agar tidak membuang sampah di sembarang tempat.

Para ibu dinobatkan sebagai duta lingkungan RT dan RW dalam satu Unit Penanganan Sampah (UPS) di 10 kelurahan. Tugas duta sampah ini sudah diketahui oleh seluruh warga dalam satu RT dan RW agar lingkungan menjadi 'klinis.'

Sampah yang keluar dari dapur langsung dipilah berdasarkan jenisnya, seperti sampah plastik, botol, kertas, besi, aluminium serta dedaunan. Sampah disimpan rapi lalu diangkut petugas untuk dibawa ke 10 UPS yang berada di sepuluh kelurahan.

Upaya pemilahan sampah dari hilir dengan menghadirkan ibu yang ceriwis, belum mampu menobatkan Kota Depok sebagai calon penerima kalpataru. Lambang supremasi kota terbersih itu, sampai saat ini belum diraih karena penilaian merebut kalpataru bukan hanya dari aspek penanganan sampah.

Meski belum mengantongi kalpataru, terobosan Dinas Kebersihan Depok untuk menangani sampah dari RT dan RW kini berbuah hasil dan pantas ditiru. Sepuluh UPS yang sudah dibangun dari total 63 yang direncanakan, disadari warga bahwa sampah bukan hal yang menjijikkan dan menggelikan. Sampah bisa dijadikan peluang bisnis baru yang mampu mengepulkan asap dapur rumah tangga.

Kesadaran warga yang tumbuh pesat itu muncul karena sejak tiga tahun terakhir petugas kebersihan secara itens melakukan penyuluhan ke setiap kelurahan.

Upaya sosialisasi dilakukan untuk meredam aliran sampah dari hilir untuk tidak membentuk gunung sampah di TPA Cipayung. Lokasi yang memiliki luas lahan 10.000 ha, diprediksi Pemkot Depok tidak mampu menampung sampah sepuluh tahun mendatang.

Awal tahun 2008, Dinas Kebersihan Depok kewalahan memenuhi permintaan RT dan RW dari 63 kelurahan yang rindu mendapatkan ilmu pengelolaan sampah. Tingginya permintaan mendapat penyuluhan karena warga telah sadar akan manfaat mendaur ulang sampah.

Para kader lingkungan yang terdiri dari para ibu ceriwis, bisa meraup uang Rp 140.000/minggu hasil menjual sampah karena pemerintah telah menetapkan harga setiap jenis sampah.

Satu lokasi UPS mampu memroduksi beraneka jenis sampah 30 meter kubik/hari. Sampah itu, ditetapkan dengan harga bervariasi, seperti sampah kertas, ditimbang dengan harga Rp 300/kg, botol plastik Rp 8000-12.000/kg dan botol atau gelas Rp 150-Rp 200/buah.

Sedangkan jenis sampah gelas plastik atau botol plastik Rp 5.000/kg, beling Rp 50/kg, alumunium 4.000/kg, kaleng Rp 150/kg, besi Rp 200/kg, ban luar Rp 500/ kg dan ban dalam Rp 150/kg. Kenyataannya, setiap jenis sampah itu memiliki nilai rupiah yang bisa memperpanjang hidup manusia.

Ilmu tentang sistem pengelolaan sampah yang baik telah dipahami tim studi banding. Ilmu yang ditimba dengan dana APBD itu, hendaknya tidak diibaratkan membuang garam di laut. Bagaimana seharusnya Pemkot Kupang menyikapi pengelolaan sampah di TPA Alak, Kecamatan Alak, yang saat ini menggunakan teknologi sederhana (open dumping)? (bersambung)


Mengadopsi Sanitary Landfill (3)

LAHAN seluas 10.000 hektar di Cipayung-Depok, Jakarta Barat, terbentang tak bertepi. Agar mata bisa menjelajahi areal itu, kita harus berada di ketinggian. Maklum, lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung telah disulap jadi 'gunung sampah'. Menjulang nyaris menyamai atap bangunan rumah pengawas dengan menyebarkan bau tidak sedap.

Aroma minor dari lokasi TPA Cipayung, tidak membuat warga yang bermukim di sekitarnya menjadi tidak nyaman. Mereka tetap tinggal di lokasi dan secara rutin mengunjungi puskesmas terdekat untuk memeriksa kesehatan.

Setiap bulan, petugas kebersihan melakukan pemantauan terhadap hasil air bawah tanah yang dibangun 50 meter dari lokasi TPA. Sumur yang dibor itu menjadi alat ukur apakah warga sekitar masih layak mendiami lokasi TPA dan mengonsumsi air yang disiapkan. Air bawah tanah yang dikonsumsi warga bisa terkontaminasi oleh tumpukan aneka jenis sampah puluhan tahun silam.

Warga sekitar lokasi secara langsung menangani sampah di lokasi TPA yang diangkut dengan 40 armada truk sampah dari kota menuju lokasi akhir. Sebelum sampah masuk ke lokasi, sampah ditimbang oleh petugas di pintu masuk timbangan untuk mengetahui jumlah sampah yang diperoleh per hari.

Maklum, Pemerintah Kota Depok, Jakarta Barat, menerapkan sistem sanitary landfill yakni mendaur ulang kembali sampah di TPA Cipayung dan 10 Unit Pelayanan Sampah (UPS) kelurahan. Upaya ini guna meredam produksi sampah sebanyak 3.445 meter kubik/hari.

Penerapan sistem sanitary landfill lebih efektif dibandingkan dua sistem lainnya, yakni open dumping (membuang sampah di TPA dan membiarkan pemulung melakukan pemilahan) serta controled landfill (sampah di lokasi TPA ditimbun dengan tanah urukan).

Guna mendukung sistem sanitary landfill dalam pengelolaan sampah, Pemkot Depok mengalokasikan dana sebesar Rp 38 miliar kepada Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup untuk menangani masalah sampah. Dari dana yang ada, dialokasikan Rp 3,5 miliar kepada 10 UPS sebagai perangsang untuk membangkitkan kinerja. Sebab, ke depannya, UPS harus mandiri dalam mendaur ulang sampah.

Selain dana operasional di 10 UPS, seksi pengangkutan dan pengolahan sampah mendapat kucuran dana sebesar Rp 6,9 milar/tahun guna memperlancar pengangkutan dan pengelolaan sampah setiap hari.

Kepedulian Pemkot Depok mengucurkan dana ke UPS telah membuahkan hasil. Kini, 10 UPS bisa mandiri mengelola sampah di sekitarnya. Sampah kering dan basah dipilahkan berdasarkan jenisnya seperti dedaunan hijau, daun kering, kertas, plastik, botol dan besi. Jenis sampah ini langsung dipilah sebelum memasuki mesin daur ulang sampah.

Sampah basah seperti dedaunan, didaur ulang untuk dijadikan kompos dan laris manis dibeli para pengusaha bunga di Kota Depok. Selain dijadikan pupuk dasar tanaman bunga, kompos karya UPS ini juga diserbu petani buah-buahan. Bahkan buah belimbing dipilih Walikota Depok sebagai tanaman untuk dijadikan 'ikon' Depok saat ini.

UPS yang dibentuk di kelurahan bukan hanya mendaur ulang sampah di sekitarnya. Kehadiran UPS di 10 kelurahan itu telah banyak membantu membuka lapangan kerja.

Pemkot Depok yang dinakhodai Walikota H Nur Mahmudi Ismail telah menetapkan target untuk membangun UPS di 63 kelurahan dan empat kecamatan sampai tahun 2010. Program ini telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD) Kota Depok.

Alasannya, sepuluh tahun mendatang, TPA Cipayung tidak bisa menampung lagi sampah dari Kota Depok. Harus ada lahan baru sebagai penyanggah sampah yang kini disiapkan untuk membangun lokasi penyanggah TPA baru.

Meski saat ini Kota Depok telah memiliki 10 UPS untuk mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA, sampah di Kota Depok tetap menjadi masalah serius dan menjadi perhatian pemerintah karena volumenya terus bertambah.

Keseriusan Pemkot Depok dalam menangani masalah sampah itu dengan cara tidak membebankan Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup sebagai satu-satunya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang bertanggung jawab menangani masalah sampah di kota yang memiliki luas 20.029 hektar itu.

Dinas Tata Kota dan Kimpraswil Depok juga diberikan keleluasaan untuk memiliki truk sampah sendiri. Pemilikan truk sampah itu untuk memudahkan dua dinas yang ada dalam menangani sampah di lingkungan kerjanya masing-masing.

Selain dinas, ada pihak lain seperti Universitas Indonesia (UI) memiliki armada sendiri untuk menangani masalah sampah di seputar kampus. Sampah yang ada dipilah-pilah berdasarkan jenisnya sebelum diangkut ke lokasi UPS atau TPA.

Pengelolaan sampah menggunakan sistem sanitary landfill lebih efektif dan perlu diadopsi Pemkot Kupang untuk menekan volume sampah di TPA Alak yang kian menggunung. (habis/Pos Kupang Edisi 10, 11 dan 12 September 2008, hal 1) Selanjutnya...