Minggu, 31 Agustus 2008

NTT Emas

Oleh : Dion DB Putra

TUJUH belas tahun setelah meninggalkan kota karang Kupang, WJ Lalamentik menyaksikan Kupang yang sungguh berubah. Flobamora maju pesat. Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak berjalan di tempat. Lalamentik terharu.

"Saya begitu terharu mengelilingi Kota Kupang siang tadi, saya tidak ingat lagi di mana Kota Kupang lama, di mana perkantoran pemerintah yang ada di jaman saya.... saya hampir tidak dapat menahan air mata membayangkan perubahan begitu besar dari pembangunan ini."

Gubernur pertama Propinsi NTT mengungkapkan perasaannya itu di Wisma Astiti-Kupang -- tepat pada Hari Ulang Tahun ke-25 Propinsi NTT, 20 Desember 1983 kepada trio editor buku 25 Tahun NTT, Apa Kata Mereka? (Sebuah bunga Rampai). Buku tersebut diterbitkan DPD I KNPI NTT tahun 1984. Kata-kata Lalamentik di atas jelas tercetak di halaman 71.

Seandainya hari ini beliau melihat Kupang dan menatap wajah Flobamora, perubahan 25 tahun setelah 1983 itu kian mencengangkan. Lalamentik yang memimpin NTT pada masa sulit antara 1958-1966 bakal kagum, cukup dengan menatap perubahan fisik sepanjang WJ Lalamentik, jalan protokol yang mengabadikan namanya itu. Jalan yang letaknya persis di sisi Kantor Gubernur NTT, pusat segala aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah ini.

Dulu di sisi kiri dan kanan jalan itu sekadar hamparan sawah dan tanah kosong. Penuh pohon lontar, semak belukar dan tanah karang berbatu. Kini berjejer banyak gedung baru. Mulus. Warna-warni. Ada Pusat Perbelanjaan Flobamora, kantor Bank NTT yang megah, pertokoan, apotik 24 jam, rumah makan dan lain-lain.

Membaca kembali buku 25 Tahun NTT, sungguh terasa NTT berubah. Berubah oleh proses bernama pembangunan yang selalu berwajah ganda.

Ada kisah manis. Ada sisi pahit. Bukankah kita lebih suka mendengar kisah manis dan mengungkapkan hal-hal indah? Kisah indah segera terulang. Seratus sepuluh hari dari hari ini -- NTT akan merayakan usia emas. Flobamora akan berpesta. Berja'i ria, poco-poco dan dansa karena pendapatan perkapita rakyat melesat pesat. Angkanya Rp 4,3 juta.

Luar biasa bila dibanding NTT awal. Harapan hidup 65,1 tahun. Makin panjang umur orang NTT. Jumlah penduduk kian gemuk. Naik lebih dari 100 persen dibanding tahun 1958 yang menurut Lalamentik cuma 1,8 juta jiwa. NTT telah beranak-pinak. Ada jarak merentang antara 1958, 1983, 2008. Jauh beda wujud dan rupa Flobamora.
***
BUKU 25 Tahun NTT berisi pikiran, pandangan dan harapan dari 21 tokoh terkemuka, tua dan muda. Sebagian dari mereka telah tiada. Namun, masih banyak yang hidup dan berkiprah di bidangnya masing-masing. Editornya, Alo Liliweri, Egi Didoek, Ignas Kulas. Buku setebal 358 halaman itu dicetak pada Percetakan Arnoldus Nusa Indah Ende. Semoga masih ada di Perpustakaan Daerah NTT.

Sebuah buku yang bagus. Buku yang relevan dibaca kembali di tengah hiruk pikuk pilkada, gaduh dan riuh suara caleg, rayuan gombal para calon presiden. Buku tua. Buku langka. Buku yang menurut hemat beta sebuah "maha karya" sekelompok anak muda NTT masa itu -- mengingat begitu banyak pesan, harapan dan impian yang belum terwujud. Bahkan hingga NTT merayakan usia emas 20 Desember 2008. Buku itu menjadi cermin, NTT melapuk atau mekar mewangi?

Teringat kata-kata Goethe, Sebab usia sebenarnya adalah kesempatan itu sendiri. Sebagaimana kemudaan, meski dalam busana yang lain. Dan tatkala senja berlalu, angkasa dipenuhi bintang yang tak terlihat di siang hari...

Bintang apa di langit Flobamora yang hendak kita raih 50 tahun dari sekarang? Usia Emas ini terlalu sedih dilewatkan begitu saja. Tanpa pesan, tanpa kata-kata. Tanpa aksi setara emas. NTT Emas begitu samar. Nyaris tak terdengar gema gaungnya! (Pos kupang, Senin, 1 September 2008) Selanjutnya...

Memetakan Kekuatan Parpol 2009

Oleh : Bambang Setiawan

PEMILU 2009 tak hanya akan ditentukan oleh penguasaan wilayah partai politik, tetapi juga oleh aspek-aspek kualitatif parpol. Kepercayaan dan harapan terhadap parpol yang terbangun oleh menguatnya soliditas, ideologisasi, dan kepemimpinan parpol akan turut menentukan.

Jumlah partai politik tidak menyebabkan berkurangnya penetrasi partai besar, tetapi lebih berpengaruh pada partai kecil.

Semakin banyak partai, penguasaan wilayah oleh partai kecil semakin sulit. Hal ini terbukti dari konsentrasi yang cenderung mengelompok pada sedikit partai dalam Pemilu 1999. Dari 313 wilayah kabupaten/kota, hanya enam partai dari total 48 partai yang mampu memenangi wilayah. Sebaliknya, dalam Pemilu 2004 jumlah partai berkurang menjadi 24, tetapi terdapat 16 partai yang mampu merebut wilayah.

Jika ditotal, jumlah penguasaan wilayah kabupaten/kota oleh dua partai besar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golkar, pada Pemilu 1999 mencapai 89,4 persen atau 280 wilayah, dan pada Pemilu 2004 mencapai 81,8 persen atau 360 kabupaten/kota. Pergeseran kekuatan paling signifikan juga hanya terjadi pada Partai Golkar dan PDI-P.

Kalau pada Pemilu 1999 PDI-P mampu menguasai 53 persen atau 166 dari 313 kabupaten/kota, pada Pemilu 2004 hanya mampu meraih 20,2 persen dari 440 kabupaten/kota. Sebaliknya, Partai Golkar, yang tadinya terpuruk dan hanya menguasai 36,4 persen, dalam pemilu terakhir mampu menaikkan penguasaan wilayahnya menjadi 61,6 persen atau 271 kabupaten/kota. Meskipun secara nasional perolehan suara Partai Golkar turun dari 22,4 persen pada tahun 1999 menjadi 21,6 persen pada tahun 2004, sebaran wilayah yang mampu dimenangi partai berlogo beringin ini semakin banyak.

Penguasaan wilayah oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004 banyak terjadi di wilayah hasil pemekaran. Dari 143 daerah yang dimekarkan tahun 1999-2004, 72 persen atau 103 wilayah pemekaran dimenangi Partai Golkar pada Pemilu 2004. PDI-P hanya memenangi 12,6 persen wilayah pemekaran, sisanya diperebutkan oleh partai-partai kecil lainnya.

Meski hingga Pemilu 2004 penguasaan wilayah masih didominasi Partai Golkar dan PDI-P, penguasaan wilayah belum tentu menjadi variabel yang menjamin perolehan suara besar. Banyak soal harus diperhatikan, seperti tumbuhnya wilayah hotspot atau sentral penyebaran akibat kemenangan sebuah partai dalam pilkada. Selain itu, juga oleh tingkat pengenalan publik terhadap partai, kepercayaan dan penilaian pemilih terhadap partai, serta dinamika partai.

Wilayah hotspot bisa menjadi titik sentral yang berpotensi menambah kepercayaan partai dan pemilih untuk mengubah peta kekuatan wilayah. Bahkan, pengaruhnya mungkin akan menyebar di wilayah sekitarnya. Kemenangan sebuah partai dalam pilkada di wilayah yang menjadi basis partai lain maupun basis massanya menjadi variabel yang layak diperhitungkan.

Kemenangan calon dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di wilayah Jawa Barat yang dikuasai oleh Partai Golkar dalam pemilu sebelumnya bisa punya imbas ke wilayah-wilayah di dalam maupun sekitar Jawa Barat, seperti Banten dan Jawa Tengah bagian barat. Jakarta telah menjadi wilayah hotspot bagi PKS pada pemilu sebelumnya dengan kemenangannya di wilayah ibu kota negara ini.

Sementara kemenangan PDI-P dalam Pilkada Jawa Tengah bisa berimbas ke wilayah Jawa Timur yang saat ini relatif mencair. Keretakan di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa, yang menguasai sebagian besar wilayah Jawa Timur dalam pemilu sebelumnya, bisa menjadi peluang bagi PDI-P untuk menguat di wilayah ini.

Jika Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dikuasai PDI-P serta Jawa Barat dan Banten oleh PKS, lumbung suara untuk Partai Golkar akan terkonsentrasi di wilayah-wilayah luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Pengenalan partai

Dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas, awal Agustus lalu, terlihat bahwa pengenalan publik terhadap partai-partai baru masih berada di bawah rata-rata. Hanya Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang tercatat berada di atas 50 persen. Partai Hanura pernah didengar oleh 67,9 persen responden dan Partai Gerindra oleh 60,3 persen. Kedua partai ini juga lebih terkenal dibandingkan dengan sejumlah partai lama, seperti PKPB, PKPI, Partai Pelopor, PDK, PPD, maupun PPDI.

Penetrasi iklan di media, bisa jadi, turut mendongkrak popularitas Partai Hanura dan Gerindra. Meski demikian, pengenalan nama partai ternyata tidak identik dengan pengenalan terhadap nama ketua umumnya. Responden yang mampu menyebutkan secara spontan ketika diajukan pertanyaan apakah mengetahui nama Ketua Umum Partai Hanura hanya 36,7 persen dan Partai Gerindra hanya 2,2 persen.

Belum lekatnya nama partai dengan nama ketua umumnya juga dialami partai lama, termasuk Partai Demokrat yang nama ketua umumnya hanya dikenal 4,9 persen responden. Bahkan, nama Ketua Umum Partai Golkar hanya diketahui 49,2 persen responden. Pengenalan publik paling tinggi adalah pada nama Ketua Umum PDI-P, yang diketahui 79,5 persen responden.

Nama ketua umum

Namun, pengenalan nama ketua umum tidak menjamin penetrasi yang kuat untuk menggaet pemilih. Masih ada soal lain yang selayaknya diperhatikan, yakni kepercayaan, soliditas, wacana penguatan ideologi, dan kepemimpinan.

Hingga saat ini hanya 54,7 persen responden yang merasa aspirasi politiknya sesuai dengan salah satu partai yang resmi mengikuti Pemilu 2009. Sisanya, 13,2 persen menyatakan tidak ada partai yang sesuai dan 32,1 persen belum tahu mana partai yang sesuai dengan aspirasi politiknya. Di antara 34 partai politik, PDI-P, PKS, dan Partai Demokrat dianggap sebagai partai yang paling sesuai dengan aspirasi mereka.

Selain dari aspek aspirasi, PDI-P juga menempati peringkat paling tinggi dilihat dari sisi penguatan wacana ideologi kepartaian dan kepemimpinan saat ini. Partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri ini, dalam beberapa aspek, berebut pengaruh dengan PKS. Sisi-sisi yang menjadi kekurangan PDI-P diisi oleh PKS, demikian juga sebaliknya. PKS menempati peringkat tertinggi dilihat dari aspek dipercayai membawa perubahan dan memiliki solidaritas keanggotaan paling kuat. Partai Golkar, meskipun penguasaan wilayahnya paling besar saat ini, memiliki peringkat lebih rendah dalam aspek-aspek penting di atas dibandingkan dengan PDI-P dan PKS.

Dinamika partai

Dengan memperhitungkan penguasaan wilayah dan aspek-aspek kualitatif seperti ini, Pemilu 2009 akan sangat ditentukan oleh dinamika partai. Dinamika yang diperlihatkan sebuah partai akan menutupi sejumlah kelemahan lainnya. (Litbang Kompas, 1 September 2008) Selanjutnya...

Ekopastoral Peduli Lingkungan

Oleh : Kanis Lina Bana

SALAH satu bidang pelayanan pastoral yang dilakukan Konggregasi OFM di Paroki Pagal, Keuskupan Ruteng adalah ekopastoral. Ekopastoral bergerak di bidang lingkungan hidup. Orientasi tersebut bercermin dari semangat St. Fransiskus yang sangat mencintai alam lingkungan. Selain itu para pastor dan bruder yang bekerja di Pagal itu merasa terpanggil untuk mengembangkan karya pastoral di bidang lingkungan hidup agar dapat menciptakan keselarasan alam berbasis masyarakat peduli lingkungan.

Visi misi Ekopastoral sebagai bagian pelayanan itu diterjemahkan dalam seluruh pelayanan yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1999 yang diprakarsai Pater Michael P, OFM bersama beberapa pemuda di Pagal. Ekopastoral terus berkembang dalam bidang pelestarian lingkungan di sekitar mata air, pendampingan kaum muda, pemberdayaan perempuan dan kegiatan sampah organik.

Valerie, salah seorang staf Ekopastoral, yang ditemui Pos Kupang, Sabtu (16/8/2008), menjelaskan, pelestarian lingkungan menjadi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Lingkungan yang dimaksudkan tidak hanya wilayah hutan yang sudah kritis, tetapi juga termasuk lingkungan tempat kehidupan setiap hari berlangsung. Salah satu masalah yang mengitari lingkungan adalah sampah. Karena itu Ekopastoral memberi perhatian khusus tentang sampah dengan berorientasi pada pola penyadaran dan pemanfaatan sampah itu.

Khusus pemanfaatan sampah, jelas tenaga voluntary service overseas (VSO) asal Perancis ini, sudah lama Ekopastoral memberi perhatian terhadap sampah dan lingkungan. Karena itu perlu menyadarkan siswa melalui lokakarya ekologis. Lokakarya ekologis dengan sistim penyadaran akan pentingnya lingkungan hidup yang selaras alam juga perlu dilakukan. Kegiatan itu secara perlahan menghantar siswa untuk melihat kontekstualitas kehidupannya, terutama kondisi lingkungan yang disesaki sampah. Sampah selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan itu sendiri. Namun perubahan sikap agar menjaga lingkungan tidak muncul cepat. Banyak siswa kesadarannya belum ditingkatkan.

Khusus bagaimana pemanfaatan sampah, kata Valerie, beberapa waktu lalu pihaknya mengunjungi suatu desa di Sukunan, Yogyakarta. Di sini pihaknya melihat secara langsung daur ulang sampah. Pemilahan dan pengolahan sampah di desa tersebut sudah sangat maju. Apa yang diperoleh dari pengamatan dan pengetahuan di Sukunan itu perlahan-lahan diimplementasikan di wilayah Pagal ini. Konteks penyadaran yang paling efektif adalah para siswa yang sudah mendapat lokakarya ekologis itu.

Kerajian dari daur ulang sampah diperlihatkan kepada siswa. Mereka kemudian mencoba mengembangkan dengan lomba daur ulang sampah, khsususnya bungkusan mie goreng, susu dan beberapa bungkusan makanan instant lainnya.

Berdasarkan latihan itu, diadakan lomba daur ulang sampah di wilayah Kecamatan Cibal menyongsong 17 Agustus 2008. Ada dua tahap, yakni lomba kebersihan lingkungan, pemilahan sampah dan daur ulang sampah.

Tujuan lomba daur ulang sampah adalah mengurangi sampah dan mendorong orang untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat. Memicu kreativitas anak untuk memanfaatkan sampah untuk tas sekolah, tempat pensil, dompet, keranjang, tempat sayur dan beberapa kebutuhan lainnya.

Daur ulang juga bertujuan mengajarkan penjaga kios agar mengumpul sampah dan memanfaatkannya kembali sesuai kebutuhan. "Jadi ada dua fungsi, selain menjual isi bungkusan, kemasan pun dimanfaatkan," ujar Valerie.

Bruder Bernardus Gatot Paina, OFM dan salah seorang staf Ekopastoral, Afridus Jutasmin, mengatakan, pemanfaatan sampah dapat mengurangi pengangguran. Dari kerajinan daur ulang itu bisa ditingkatkan sehingga bisa mendatangkan penghasilan. Peluang peningkatan ekonomi dari daur ulang sampah dengan membuat beberapa produk dan dipasarkan kepada masyarakat umum. Peluang kerja terbuka.

Dikatakannya, kepedulian lingkungan tidak hanya sebatas omong tetapi bukti kreativitas. Produk yang dihasilkan dari sampah itu mendorong orang untuk terlibat aktif dalam kepedulian lingkungan. "Perhatian kita terhadap sampah mencakup semua aspek, dengan tujuan menyadarkan orang untuk mencintai lingkungan, menghindari buang sampah di sembarang tempat. Salah satunya daur ulang sampah itu. Sebab jika produk daur ulang sampah bagus masyarakat akan tertarik. Satu strategi belum berhasil bisa mendorong dengan strategi lainya," katanya.

Ditambahkannya, daur ulang sampah tidak hanya sasaran untuk lomba saja tetapi mempunyai orientasi yang lebih jauh. Siswa-siswi diberi pengetahuan yang cukup tentang alam lingkungan selaras, dengan dapat menciptakan pola hidup yang seimbang dan selaras dalam kondisi yang sehat.

Menanggapi lomba daur ulang sampah, Wakil Ketua TP PKK Kabupaten Manggarai, Ny. Venny Veronika Deno, memberi apresiasi yang tinggi kepada kegiatan itu. Tujuan kegiatan itu sangat mulia karena menyadarkan siswa untuk mencintai lingkungan dan memanfaatkan sampah itu. Karena itu kegiatan itu menjadi perhatian sehingga lomba daur ulang sampah itu tidak hanya dalam skala sekolah di kecamatan Cibal saja tetapi melibatkan siswa di sekolah lain.

"Tentunya kami akan perhatikan agar kegiatan ini berlanjut sehingga siswa sadar untuk memanfaatkan sampah itu," janjinya. (Pos Kupang edisi Minggu, 31/8/2008) Selanjutnya...

Sabtu, 30 Agustus 2008

Yang Sisa dari Pasien

Bisa Untuk Kehidupan (1)

Oleh : Alfons Nedabang

PIPA 1 dim dengan panjang 1 meter tegak berdiri di salah satu sisi bak. Pangkal pipa tertanam dalam tanah. Ujungnya tanpa kran. Ada pengatup tapi dibuat longgar sehingga ada jalan air. Air keluar terpencar setengah lingkaran, jatuh tertampung di bak permanen dengan panjang 1,5 m, lebar 1 meter dan tinggi 1 meter.

Dari bak yang dinding-dindingnya ditumbuhi lumut itu, air dialirkan dengan pipa masuk ke bak permanen lainnya, yang ditanam dalam tanah. Jarak antara kedua bak itu sekitar 1 meter. Selanjutnya dengan bantuan dua unit mesin, air dipompa untuk dialirkan ke 'dalam kota.' Entah ke mana!

Pipa beserta bak-bak itu adalah bagian akhir dari instalasi pengolahan limbah (IPAL) yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Tjak Cerneli Hillers atau TC Hillers, Maumere, Kabupaten Sikka. IPAL yang dimiliki rumah sakit tipe C ini dikenal dengan sebutan waste water treatment plant (WWTP).

Lokasi yang menjadi pusat pengolahan limbah terletak di kiri belakang rumah sakit, berdekatan dengan kamar mayat dan jejeran rumah dokter. Tidak susah untuk menemukannya. Untuk mengenalinya juga mudah nian. Pagar kawat mengintarinya, dengan satu pintu masuk. Selain dua bak tadi, di lokasi itu, ada bangunan 2 x 2 meter, tempat mesin pompa; juga dua unit tabung berukuran seperti tangki mobil air, berwarna hijau mencolok. Canopy menutupi kedua tabung.

Ada lagi bak equlasi dengan ukuran panjang 8 meter, lebar 4 meter dan dalamnya sekitar 6 meter. Bagian dalamnya dipetak- petak membentuk bak dengan ukuran yang lebih kecil. Setiap bak dan tabung memiliki fungsi yang berbeda. Semuanya menjadi satu-kesatuan yang utuh dari instalasi pengolahan limbah.

Pemandangan ini terekam ketika saya mendatangi lokasi itu, Rabu, 3 Juli 2008, 'ditemani' Kepala Tata Usaha RSUD dr. TC Hillers, dr. Harlin Hutaurut dan Fransiskus Palle, staf sanitasi.

Sebelumnya, Senin, 30 Juni 2008, lokasi itu juga didatangi Tim DPRD Propinsi NTT. Rombongan berjumlah 10 orang, dipimpin anggota Dewan, John Dekresano, M. A.

"Ini merupakan satu-satunya rumah sakit di NTT yang memiliki instalasi pengolahan limbah cair," kata John Dekresano, anggota Dewan dari Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), waktu itu.

Berada di tempat itu, Anda pasti terperangah, kaget, karena mengetahui limbah cair yang dihasilkan rumah sakit mengandung bahan-bahan infeksius dari pasien -- sumbernya adalah air cucian, darah, obat-obatan, laboratorium yang umumnya banyak mengandung bakteri, virus, senyawa kimia yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat -- dapat diolah menjadi air.

Air yang dihasilkan juga memiliki ciri-ciri seperti air yang kita pakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, untuk minum, mencuci dan mandi. Bening, tidak berbau dan berwarna.

Untuk meyakinkan Pos Kupang bahwa air hasil olahan limbah tidak berbahaya, Harlin dan Palle membasahi tangan mereka. "Apa si takutnya?" ujar Harlin, pria berbadan subur sembari menjulurkan tangannya.
***
TEKNOLOGI pengolahan limbah ini dikabarkan menggunakan metode ozonisasi. Melalui proses oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai macam mikroorganisma seperti bakteri Escherichia coli serta berbagai mikroorganisma patogen lainnya.

Proses kerjanya dapat dijelaskan sebagai berikut. Mula-mula limbah cair yang berasal dari berbagai kegiatan, seperti kegiatan laboratorium, dapur, laundry (cuci dan mandi), toilet, dan sebagainya, dari setiap ruangan yang ada di rumah sakit dialirkan lewat saluran bawah tanah ke bak equalisasi. Bak equalasi terdiri dari beberapa bak kecil, diantaranya bak awal, bak kontrol, bak aerasi dan bak pengendapan akhir. Di bak pengendapan terjadi pemisahan limbah padat dengan limbah cair. Limbah padat dapat diangkat setiap dua minggu. Sedangkan limbah cair dipompakan ke tabung reaktor (tangki I, berwarna hijau) untuk dicampurkan dengan gas ozon. Gas ozon yang masuk dalam tangki reaktor bereaksi mengoksidasi senyawa organik dan membunuh bakteri patogen pada limbah cair.

Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan ke tabung koagulasi (tangki II) untuk dicampurkan koagulan. Terjadi pula proses penyaringan dan proses absorpsi. Absorpsi adalah proses penyerapan zat-zat polutan yang terlewatkan pada proses koagulasi. Zat-sat polutan akan dihilangkan permukaan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh atau tidak mampu lagi menyerap maka proses penyerapan akan berhenti. Karbon aktif harus diganti. Pada tangki II ini juga terjadi proses sedimentasi, dimana polutan mikro, logam berat dan lain-lain sisa hasil proses oksidasi dalam tangki reaktor dapat diendapkan.

Dengan menggunakan sistem ini, air yang keluar dari filter karbon aktif selanjutnya dapat dibuang dengan aman. Lebih dari itu, juga akan dapat menggunakan kembali air limbah yang telah terproses (daur ulang).

"Air hasil olahan limbah ini kita pakai untuk menyiram tanaman. Dulu ada ikan dalam bak air, tapi dicuri orang," ujar Palle, menambahkan.

Tidak berbahayanya air olahan limbah rumah sakit setidaknya juga terpantau dari tanaman yang tumbuh di lokasi pengolahan limbah. Rumput-rumputan tumbuh subur hingga menjalar ke pagar. Ubi kayu juga tumbuh subur. Batang besar dan daunnya hijau nian. Pohon pepaya dan lombok berbuah lebat. Seakan memberi pesan, "Kami sehat meski disiram air hasil olahan limbah."

Menurut Palle, selain digunakan untuk menyiram tanaman, air hasil pengolahan limbah cair dibuang. "Hasil olahan limbah sebenarnya bisa digunakan manusia cuma karena faktor psikoligis semata. Orang mengingat limbah bercampur dengan darah dan zat kimia. Ini yang membuat orang tidak menggunakannya," ujar Palle. (bersambung)

Jangan Diabaikan (2)

SATU tempat tidur mampu memproduksi sampah padat sebanyak 3,2 kg per hari. Sedangkan limbah cair 416,8 liter per tempat tidur per hari. Rata-rata produksi sampah per tempat tidur per hari ini merupakan hasil kajian terhadap 100 rumah sakit (RS) di Pulau Jawa dan Bali.

Dengan demikian diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius sebesar 23,2 persen.

Data ini terungkap dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan (1997), sebagaimana dilansir www.pdpersi.co.id. Data ini memberi gambaran tentang produksi sampah medik oleh rumah sakit, termasuk yang ada di NTT.

Direktur RSUD dr. TC Hillers Maumere, dr. Asep Purnama, misalnya, mengaku belum tahu berapa banyak sampah medik yang dihasilkan rumah sakit pemerintah itu. "Waduh.....," ujar Asep ketika ditanya produksi sampah padat dan limbah cair.

"Itu mesti melalui penelitian. Sejauh ini belum ada yang melakukan penelitian tentang itu," kata Direktris RSU Prof WZ Johannes Kupang, dr. Yovita Mitak kepada Reddy Ngera dari Pos Kupang, baru-baru ini.

Jika merujuk pada hasil kajian itu, maka 13 rumah sakit yang tersebar di kabupaten/kota di NTT menghasilkan sampah padat sebanyak 41,6 kg per hari atau setara semen satu sak. Sedangkan limbah cair sebanyak 5.418,4 liter per hari setara satu tanki mobil air. Bayangkanlah!

Jumlah ini belum termasuk sampah medik yang dihasilkan dua rumah sakit milik TNI/POLRI dan rumah sakit swasta. Tidak termasuk juga sampah medik yang dihasilkan rumah bersalin, puskesmas, laboratorium kesehatan dan klinik yang jumlahnya kian banyak pula. Dapat dibayangkan betapa banyaknya sampah medik yang dihasilkan per hari, per minggu, bulan bahkan per tahun.

Limbah yang dihasilkan rumah sakit dalam jumlah besar itu ternyata berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungannya karena mengandung zat-zat yang berbahaya. Selain mencemari udara, air dan tanah, juga berkemungkinan menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit bagi para petugas, penderita maupun masyarakat sekitar rumah sakit.

Meski berbahaya, pengelolaan limbah rumah sakit masih dipandang sebelah mata oleh pengelola rumah sakit dan pemerintah daerah. Ini dibuktikan dengan belum adanya instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan insenerator (alat pembakar limbah padat) yang dimiliki rumah sakit. Kalaupun ada, peralatannya masih jauh dari harapan.

Tengok saja di RSUD dr. TC Hillers Maumere. Meski sudah memiliki IPAL, tapi kapasitasnya sangat kecil. Peralatan yang dibeli senilai Rp 573 juta bersumber dari dana dekonsentrasi tugas pembantuan, hanya mampu mengolah limbah cair yang dihasilkan 80 tempat tidur dari total 197 tempat tidur. Artinya, limbah cair yang dihasilkan 117 tempat tidur dibuang begitu saja tanpa diolah.

Rumah sakit yang menjadi rujukan di wilayah Flores ini juga memiliki insenerator. Tapi bukan dibeli dengan dana APBD II, tapi hasil pemberian pemerintah Jerman. Sayangnya, alat itu sudah setahun lebih tidak beroperasi karena rusak pada bagian kompor. Gudang tempat insenerator dengan cerobong asap setinggi 10 meter itu pun digembok.

"Sekarang sedang diperbaiki. Jika berjalan normal, dapat menghasilkan panas mencapai 9.000 cc sehingga dapat membakar kuman sekecil apa pun," ungkap Fransiskus Palle, staf sanitasi RSUD dr. TC Hillers. Untuk menangani sampah padat, RSUD TC Hillers menggunakan septik tank yang diketahui memiliki banyak kelemahannya.

Mestinya, karena berbahaya, limbah medik yang berasal dari bangsal-bangsal, dapur, kamar operasi dan sebagainya perlu dikelola sebaik-baiknya sehingga kesehatan petugas, penderita dan masyarakat di sekitar rumah sakit terhindar dari kemungkinan-kemungkinan dampak pencemaran limbah rumah sakit tersebut.

Pengelola dan pemerintah daerah mestinya menyadari bahwa rumah sakit merupakan sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan. Sementara lingkungan rumah sakit sendiri tidak sehat. Ironis!

Berbagai faktor melatarbelakangi kondisi ini, diantaranya kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan lingkungan rumah sakit. Selain itu kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran. Karenanya, sering kita dengar pengelola maupun pemerintah daerah mau melakukan pengadaan alat pengolalaan limbah dengan berdalih peralatannya cukup mahal.

Persoalan ini dapat diatasi jika pengelola dan pemerintah daerah memiliki komitmen yang kuat untuk mengatasi masalah lingkungan dan kesehatan manusia. Sebagai bukti banyak rumah sakit yang tidak dilengkapi fasilitas pengelolaan limbah. Sampah medik berceceran di mana-mana. Bau menyeruak dari setiap sudut ruang rumah sakit. Sungguh sangat mengganggu. Haruskah menunggu sampai ada korban baru kesadaran kita terusik untuk bertindak serius mengatasi sampah medik? (Pos Kupang edisi 20-21/8/2008) Selanjutnya...

50 Tahun NTT (3)

Mari Urus Halaman Rumah Kita

Oleh Paul Burin

"KUPANG sebagai kota tua yang bermodal gede menjadi kota besar yang cantik, memang asli banget tidak didukung warga kotanya. Kesadaran warga sebagai anak tanah untuk ikut mendukung program merawat, sambil mengembangkan kotanya serta ikut bebersih dan berbenah-benah, demi keasrian lingkungan hidup sang kota, rasanya masih jauh dari harapan normal".

Itulah kritikan wartawan senior Rudy Badil melalui tulisannya di Harian Kompas edisi Senin 17 Oktober 2005.

Di bagian lain tulisannya yang diberi judul "Anak Tanah Kota Kupang" itu Rudy Badil melanjutkan kritiknya, "... Kupang sebenarnya tambah tahun tambah kumuh, juga rada ngacak tata kotanya. Kota itu boleh dikata tidak ada apa-apanya lagi dalam urusan konservasi dan pelestarian alam kotanya. Bangunan hunian, perkantoran, dan gedung lainnya kebanyakan hanya merupakan hiasan kota tanpa kejelasan makna artistiknya, serta tidak karuan sentuhan inti estetikanya. Celakanya lagi, kerumunan bangunan orang kota itu sama sekali tidak diimbangi dengan keteduhan dan kehijauan tanaman lingkungan perkotaannya".

Dalam beberapa kali diskusi terbatas, Pemimpin Redaksi Pos Kupang, Dion DB Putra menyebut kota Kupang sebagai kota yang "tidak berjenis kelamin".

Tidak terlihat gairah penghuni kota untuk memoles kota ini agar terlihat jelas sebagai "kampung halaman" orang NTT. Bangunan-bangunan di kota ini tidak punya "makna artistik", meminjam istilah Rudy Badil.

Juga tidak ada lagi bekas-bekas yang menandakan bahwa kota ini menyimpan sejarah suku Helong dan rajanya sebagai penghuni pertama. Padahal, nama kota ini diambil dari Nai Kopan/Lai Kopan, Raja Helong. Belanda menyebut Kopan ini dengan Koepan dan dalam perkembangan bahasa menjadi Kupang (http://www.kotakupang.com/webkota/).

Kita tidak boleh melupakan sejarah. Apalagi mengabaikan pemilik nama kota ini, Raja Lai Kopan. Nenek moyang tak boleh dibuat marah, sebab kita bisa kualat.

***
Dua hari setelah kita merayakan HUT ke-63 RI, tiga bangunan toko di Jalan Siliwangi, rubuh di saat subuh menjelang. Ambruknya toko di "halaman rumah raja Helong" itu tentu bukan karena Raja Lai Kopan murka. Itu akibat ibukota propinsi ini mungkin salah urus. Pantai tak lagi diberi ruang yang cukup agar ombak bisa mendatangkan keindahan dan kenyamanan bagi warga.

Ambruknya tiga bangunan toko itu pertanda bahwa manusia tidak boleh melawan alam. Manusia harus menyesuaikan diri dengan alam. Jika kita terus bertahan dan "melawan" gulungan ombak sepanjang Jalan Siliwangi itu, maka entah apa yang terjadi 10, 20 atau 30 tahun yang akan datang.

Kawasan sepanjang Siliwangi merupakan kawasan kota tua. Punya nilai sejarah dan patut dilestarikan. Langkah-langkah yang diambil adalah melakukan konservasi dan revitalisasi. Konservasi adalah upaya untuk mengembalikan dan kemudian mempertahankan fungsi dan citra dari suatu kawasan bersejarah. Sedangkan revitalisasi adalah upaya meningkatkan dan memperbaiki kondisi lingkungan agar kekhasannya tetap ada.

Pemerintah Kota Kupang pun telah mengidentifikasi kawasan ini untuk segera ditangani. Ada beberapa kawasan yang masuk dalam kategori penanganan, yakni kota tua, kawasan Lasiana, kawasan Kuanino, kawasan Jalan El Tari dan rumah dinas Walikota Kupang.

Tetapi melalui serangkaian penelitian, Pemkot Kupang menetapkan Kawasan Kota Tua sebagai prioritas. Pertanyaannya, apakah upaya ini sudah diwujudkan? Rasanya masih jauh dari harapan. Kita belum melihatnya mulai dari kawasan Benteng Concordia, Kali Dendeng, koridor Jalan Soekarno bagian utara, koridor Jalan Sukarno bagian selatan, koridor Jalan Siliwangi, Pantai Kampung Solor dan koridor Jalan Garuda.

Dalam buku penyusunan detail engineering design, disebutkan bahwa penataan kawasan Kota Kupang, terutama kawasan kota tua harus dilakukan karena merupakan kawasan bersejarah. Tempat ini, dulu kala dihuni suku Helong, kemudian orang Cina, warga asal Pulau Solor dan etnis Arab. Orang Helong menghuni kawasan yang saat ini masuk dalam wilayah Kelurahan LLBK.

Etnis Cina yang berdagang di sana membentuk pemukiman di wilayah LLBK, dekat Benteng Concordia. Pelaut-pelaut asal Solor menghuni kawasan pantai yang saat ini disebut Kampung Solor. Sedangkan etnis Arab yang juga datang berdagang dan menyebarkan agama, menempati kawasan di Kelurahan Air Mata. Di sinilah masjid pertama Al Kudus dibangun.

Pusat-pusat pemukiman tua itu pun membekas melalui bangunan-bangunan rumah ibadah. Di Kelurahan Air Mata, berdiri masjid pertama, Al Kudus. Di kawasan LLBK ada Gereja (tua) Kota Kupang.

Dari beberapa fakta sejarah ini kita mencatat bahwa wilayah ini memiliki sejumlah kelebihan. Di sini menjadi awal kota ini, menjadi pusat perdagangan dan pariwisata. Juga aktivitas religius ditunjukkan dengan keberadaan fasilitas keagamaan masjid, gereja dan kelenteng.

Yang kita harapkan adalah kerja keras pemerintah untuk menata kawasan ini agar tetap mempertahankan kelestariannya. Tentunya wilayah lain di kota ini perlahan tapi pasti mulai ditata pula.

Pemerintah dapat menata kota ini dari aspek fasilitas bagi pejalan kaki, menyediakan fasilitas penyeberangan dan tempat tunggu angkutan, drainase yang baik, menyediakan tempat-tempat sampah, lampu jalan, papan nama dan petunjuk arah serta menghindari kawasan kumuh yang semakin terasa di kota ini. Juga menanam pohon dan membuat taman kota.

Kupang sebagai ibukota Propinsi NTT, "kampung halamannya" orang NTT tidak boleh kehilangan halamannya. Sebab kota bukan kerumuman bangunan bertingkat. Kota, sejatinya adalah halaman yang harus punya halaman. Halaman tempat anak-anak kota bermain bola kaki, bermain bola kasti atau bola voli. Agar anak-anak kota tak hanya manfaatkan waktu hujan untuk main bola di jalan-jalan raya.

Lasiana harus diurus dengan benar dan profesional agar layak menjadi teras samping timur kota ini. Di sana tetamu kita dari mancanegara, pun kita sendiri yang ingin menikmati jagung bakar, bisa berjemur diri di pantai nan indah itu. Pantai Namosain, Pantai Teddy's, juga demikian. Jangan tutup pemandangan ke arah pantai. Janganlah mendirikan bangunan bertingkat menghalangi pandangan ke pantai. Pantai adalah hak semua orang untuk menikmatinya setiap saat.

Kawasan Penfui, halaman rumah kita yang menjadi saksi kecamuk Perang Dunia butuh penataan agar asri dan bernilai. Bunker-bunker Jepang yang tidak diurus itu kita pugar karena itu situs bersejarah. Intinya, pada usia emas NTT tahun ini tak haruslah kita berpikir berbuat sesuatu yang mewah. Mari mulai menata ibu kota kita, Kupang, agar halamannya indah, sejuk nan asri. Mewujudkannya menjadi kota yang manusiawi sampai 50, 100, bahkan hingga 1.000 tahun yang akan datang.* (pos kupang edisi 31 Agustus 2008) Selanjutnya...

50 Tahun NTT (1)

Bersama Bangkit Menyongsong Asa

Oleh : Tony Kleden

TANGGAL 20 Desember 1958, AS Pello yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Residen Koordinator Pemerintahan Nusa Tenggara meresmikan berdirinya Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur. Kupang ketika itu ditetapkan menjadi ibu kotanya.

Sebelumnya, wilayah Nusa Tenggara Timur (sekarang) yang meliputi Flores, Timor, Sumba dan pulau-pulau yang mengitarinya bergabung dalam Provinsi Sunda Kecil, yang kemudian berubah namanya menjadi Provinsi Nusa Tenggara.

Berdasarkan UU No. 64/1958, Provinsi Nusa Tenggara terbagi dalam tiga daerah swatantra, yakni Daerah Swatantra Tingkat I Bali, Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat, dan Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok Pemerintahan Daerah kemudian menggantikan istilah daerah swatantra I menjadi provinsi, dan daerah swatantra II menjadi kabupaten. Meski begitu, peristiwa peresmian Daerah Swatantra I Nusa Tenggara Timur oleh AS Pello pada tanggal 20 Desember 1958 dijadikan dan diterima sebagai hari lahir Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bersamaan dengan peresmian itu, diangkat William Johanis Lalamentik menjadi PJS Gubernur NTT. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 14 Desember 1959, WJ Lalamentik dilantik menjadi gubernur pertama. Layar terkembang. Biduk NTT pun bergerak menantang badai, menyongsong hari esok.

Gubernur berganti rupa. Ditambah dengan Wang Suwandhi, S.H yang menjadi penjabat gubernur dua bulan lebih, maka sekarang NTT sudah dikendalikan delapan pengemudi. Masing-masing gubernur muncul dengan program, rencana dan targetnya.

Wajah NTT juga perlahan berubah. 'Ruang' NTT makin padat oleh bangunan dan jiwa-jiwa manusia yang menghuninya. Ruas jalan raya bertambah panjang, makin jauh meretas isolasi, menembus dusun dan desa. Laut makin ramai oleh kapal motor dan perahu nelayan. Udara tambah bising oleh deru pesawat terbang.

Usianya pun bertambah. Tahun ini, NTT 50 tahun usianya. Para pelaku sejarah yang membidani kelahirannya banyak yang sudah kembali ke haribaan bumi. Kita kenang jasa mereka. Yang masih hidup kian uzur. Kita hormati pengabdian mereka.
Tetapi gubernur yang berganti, wajah yang berubah dan usia yang bertambah, apakah itu telah membawa banyak kemaslahatan bagi 4,2 juta warga propinsi ini saat ini? Apakah wajah yang telah banyak berubah itu, berubah ke arah yang baik, mulus? Atau justru sebaliknya menjadi bopeng?

Apakah usia yang bertambah, di usia emas lagi, turut menjadikan kita lebih dewasa dalam tingkah pola dan atau perilaku kita? Atau justru sebaliknya semakin membuat kita tambah childish dan kemudian mengurung kita dalam sungkup kekerdilan agama, suku, etnis?

Apakah gubernur yang sudah delapan kali berganti itu merupakan top leaders yang satu spirit mengatur haluan menuju cita-cita? Ataukah sebaliknya masing- masingnya datang dan lebih ingin unjuk diri, pamerkan kebolehan dan asyik dengan diri sendiri, dengan suku sendiri, dengan kelompok sendiri?

Tahun ini, biduk NTT merengkuh usia emasnya. Bagaimana pun delapan gubernur yang tampil adalah anak kandung zamannya. WJ Lalamentik meletakkan dasar- dasar pemerintahan pada awal tualang propinsi ini. Serba kesulitan karena masih baru ketika itu di tangan Lalamentik menjadi mudah. Mottonya yang sangat terkenal adalah "Semua kesulitan itu ada untuk dipecahkan."

El Tari tampil memompa semangat warga menyatakan jatidirinya sebagai warga di suatu propinsi dengan pertanian lahan kering menjadi ciri dominan. Pada masanya, pembangunan infrastruktur dan suprastruktur digalakkan. Kita tahu, El Tari-lah yang mengajak warga bergotong royong membangun lapangan terbang di masing- masing kabupaten. Bukan berlebihan kalau El Tari yang kita kenang dengan programnya, "Tanam, Tanam, Sekali Lagi Tanam" itu adalah Bapak Pembangunan NTT.

Pada tanggal 1 Juli 1978 Ben Mboi dilantik menjadi gubernur setelah kendali NTT dipegang sementara waktu oleh Wang Suwandhi selama dua setengah bulan menyusul wafatnya Gubernur El Tari. Jiwa militer dalam dadanya menjadikan Ben Mboi sosok gubernur yang sangat disegani. Pada masanya para staf pemerintah siaga penuh. Ben Mboi terkenal dengan program operasi nusa hijau (ONH) dan operasi nusa makmur (ONM).

Ben Mboi turun, Hendrik Fernandez naik panggung. Sama seperti Ben Mboi yang juga berlatar pendidikan dokter, Fernandez tajam dalam analisa. Bak ahli bedah, Fernandez membedah aneka masalah di NTT dan mencari akarnya. Program Gerakan Membangun Desa (Gerbades) dan Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar) adalah jawaban atas aneka masalah NTT ketika itu.

Lima tahun memimpin, tahun 1993 Hendrik Fernandez digantikan Herman Musakabe. Meski seorang tentara aktif dengan pangkat Mayor Jenderal, penampilan Musakabe jauh dari sosok seorang tentara yang sering identik dengan yang 'keras- keras.' Musakabe berhati lembut, tutur katanya juga pelan dan halus. Karena sosoknya yang seperti itu, Musakabe dijuluki bapak yang baik hati. Bapak yang baik itu mengusung Tujuh Program Strategis Membangun NTT.

Latar belakangnya sebagai Komandan Sekoad agaknya menjadi alasan mengapa Musakabe merumuskan programnya yang lebih bersifat strategis itu. Pada masa Musakabe, orang NTT mulai kenal nikah massal. Musakabe jugalah yang memassalkan kain tenun ikat NTT hingga menjadi begitu prospektif seperti sekarang ini.

Menduduki jabatan satu periode, Musakabe turun tahun 1998 dan digantikan Piet Alexander Tallo. Pengalamannya 10 tahun menjadi Bupati Timor Tengah Selatan (TTS) menjadikan sosok Tallo sebagai figur yang dinanti-nantikan. Sayang, Tallo memegang kendali ketika reformasi berhembus di negeri ini yang membawa dampak yang jauh ke hampir semua sendi kehidupan. Bencana demi bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial, datang silih berganti. Praktis, gaung program Tiga Batu Tungku (periode pertama) dan Tiga Pilar Pembangunan (periode kedua) melemah. Karena itu, banyak yang bilang Tallo menjadi gubernur pada waktu yang salah.

Tallo turun, Frans Lebu Raya naik pentas. Lebu Raya menjadi gubernur pertama melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Baru sebulan lalu Lebu Raya dilantik. Tetapi harapan di atas pundaknya begitu besar. Anggur Merah (anggaran untuk rakyat menuju sejahtera) menunggu pembuktian.

Masing-masing gubernur merancang programnya merujuk pada konteks historis pada masanya. Program-program yang dipatok, karena itu, mengartikulasikan jawaban terhadap aneka soal sekaligus harapan mendulang sukses.
Sudah 50 tahun NTT menjejak langkah, meniti riwayat perjalanannya. Inilah momentum penting untuk mengaca diri, melihat kembali tapak-tapak sejarahnya. Banyak sukses telah dituai. Gilang gemilang pembangunan nyata terlihat. Sejumlah prestasi juga terukir.

Di sisi lain, masih banyak target yang belum tercapai. Dalam banyak indikator pembangunan, kita masih jauh di belakang. Ekonomi kita mati suri. Pendidikan jeblok. Kesehatan terpuruk. Pemerintahan goyah.

Yang tersisa pada kita mungkin cuma harga diri. Tetapi harga diri itu sekaligus menjadi investasi paling penting untuk bangkit dan menyatakan keberadaan kita sebagai orang NTT. Saatnya kita bangkit. Mari, bersama kita bangkit. * (Pos kupang, Sabtu 23 Agustus 2008) Selanjutnya...

Jumat, 29 Agustus 2008

50 Tahun NTT (2)

Ironi di Era Otonomi

Oleh Alfons Nedabang


PADA
awalnya NTT adalah daerah Swatantra Tingkat I meliputi Swa praja Flores, Sumba dan Timor. Ini untuk membedakan NTT dari daerah Swatantra Bali dan Nusa Tenggara Barat yang sebelumnya tergabung dengan nama Propinsi Sunda Kecil. Pemisahan itu terjadi 1958.

Perjuangan menjadi daerah otonom dilakukan dewan raja-raja serta masyarakat. Tentunya dengan kesadaran yang tinggi bahwa sudah waktunya NTT berdiri sendiri. Semangat pemisahan adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan mempercepat laju pembangunan daerah.

Lahirnya Undang-undang tentang Pembentukan daerah-daerah Tingkat II mengharuskan Swatantra NTT dibagi menjadi 12 daerah Tingkat II yaitu Sumba Barat, Sumba Timur, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Alor, Kupang, TTS, TTU dan Belu.

Tahun 1965 sebutan Swatantra diubah menyusul diberlakukannya UU No 18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan daerah. Swatantra Tingkat I NTT diubah menjadi Propinsi NTT, sedangkan daerah Tingkat II menjadi kabupaten. Jumlah daerah tingkat dua bertambah tatkala pada tahun 1986 Kota Administratif Kupang berubah status menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang.

Tumbangnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi presiden membawa angin segar di berbagai bidang, di antaranya bidang tata kepemerintahan. Reformasi melahirkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang mulai diberlakukan Januari 2001. Selama periode 1999-2003, NTT bertambah tiga kabupaten yaitu Lembata, Rote Ndao dan Manggarai Barat.

Tidak berhenti di situ. Pemekaran terus berlanjut hingga sampai saat ini jumlah kabupaten/kota di NTT menjadi 20. Pemekaran tahap kedua selama periode 2004 - 2007 terbentuk kabupaten Manggarai Timur, Nagekeo, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Sangat mungkin jumlah kabupaten/kota di NTT terus bertambah. Pasalnya, angin segar UU Otonomi Daerah membuat hampir semua daerah berlomba-lomba memekarkan diri. Keranjingan! Wacana pemekaran tidak surut.

Sabu sudah merasa 'tidak nyaman' dalam dekapan Kabupaten Kupang sehingga memproklamirkan ingin memisahkan diri. Malaka mulai bergolak menuntut lepas dari Belu. Adonara bangkit ingin pisah setelah sekian lama tidur lelap di pangkuan Flores Timur. Molo yang selama ini dibuai manis TTS, tidak ketinggalan. Dengan suara lantang Molo berteriak ingin otonomi. Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka sedang diperjuangkan menjadi Kota Madya. Dan, yang lain pasti menyusul.

Otonomi Daerah menurut UU No 22/1999 dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Dengan otonomi berarti telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di tangan pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Dengan otonomi daerah berarti pula pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas. Pasalnya, kewenangan membuat kebijakan sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom.
Kunci keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah (PAD), sumber daya manusia serta kemampuan daerah untuk mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonom.

Implementasinya? Masih masih jauh dari semangat otonomi daerah. Pelayanan publik belum demikian baik. Pengurusan kartu tanda penduduk (KTP), surat izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin tempat usaha (SITU), prosesnya lama nian. Pungutannya juga macam-macam, belum lagi perilaku aparat yang selalu meminta uang pelicin. Tidak heran jika warga senantiasa mengeluh dan berteriak.
Pemerintah daerah ternyata belum mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat mendesain standar pelayanan publik yang mudah, murah dan cepat.

Pengisian formasi jabatan tidak mengedepankan profesionalisme. Banyak yang terjebak pada fanatisme sempit berupa kesukuan, golongan, dia pendukung atau tim sukses. Persatuan dan kesatuan di era otonom kian terusik.

Upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) juga tidak maksimal sehingga hasilnya pun tidak signifikan. Ada daerah yang stagnan bahwa banyak daerah otonomi baru, PAD jongkok terus. Padahal pelaksananaan otonomi telah diwarnai dengan kecenderungan Pemda untuk meningkatkan PAD dengan cara membuat
Perda yang berisi retribusi dan pembebanan pajak-pajak daerah.

Kabupaten Lembata, misalnya. Setahun pemekaran (2000) PAD hanya Rp 500 juta lebih. Lima tahun kemudian (2005), pencapaian PAD Lembata Rp 4,5 miliar dari target sebesar Rp 8,8 miliar. Pada tahun 2007, naik mendekati angka Rp 10 miliar. Sedangkan pada 2008 PAD-nya mencapai Rp 11 miliar.

PAD Rote Ndao juga relatif kecil. Pada tahun 2004 penerimaan PAD Rp 1,51 miliar, selanjutnya Rp 6,69 miliar (2005) dan Rp 8,15 miliar (2006). Kecilnya PAD di antaranya disebabkan kurang kreatifnya daerah untuk memanfaatnya potensi daerah masing-masing. Pantai Nemberala yang menjadi salah satu obyek wisata andalan, ditelantarkan selama empat tahun. Dan, masih banyak lagi potensi yang belum digarap.

Kecilnya PAD inilah yang membuat ketergantungan daerah pada program pemerintah pusat sangat tinggi. Banyak dana mengalir ke daerah. Tapi banyak pula dana yang dikelola tidak tepat sasaran. Program mubasir. Ikutannya, banyak orang daerah - entah kepala daerah, anggota DPRD, pejabat lainnya dan pengusaha - tersandung kasus korupsi. Anggapan bahwa desentralisasi korupsi melalui otonomi daerah, ada benarnya.

Pengelolaan dana yang dikelola tidak tepat sasar, sudah tentu berkorelasi negatif pada kondisi masyarakat dan daerah. Persoalan krusial seperti rawan pangan, kekurangan gizi, terisolasi dari daerah lain karena minimnya jaringan, sarana dan prasarana transportasi serta kekurangan air bersih, senantiasa membelengu masyarakat. Stigma kemiskinan pun melekat. Yang lebih fatal adalah otonomi daerah diterjemahkan sebagai upaya mencari dan membagi-bagi kekuasaan. Inilah ironi pembangunan di era otonomi daerah.

Sewindu sudah kita melaksanakan otonomi daerah. Pada tahun ke-8, pelaksanaannya bertepatan dengan peringatan 50 tahun NTT. Kedua momen ini kita kawinkan dan menjadikannya momentum untuk refleksi. Refleksi tentang seberapa besar manfaat pemekaran daerah untuk tujuan percepatan pembangunan, pendekatan pelayanan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Semangat pemekaran yang mengebu-gebu hendaknya dibarengi dengan semangat membangun daerah. Agar kita tidak dibilang pemekaran daerah bertujuan untuk kepentingan kekuasaan semata. Jika ini yang terjadi, sangatlah mungkin tidak ada ada perubahan -- berapa pun banyak daerah dimekarkan. Pemekaran menjadi malapetaka karena melahirkan persoalan baru bagi NTT.* (Pos Kupang edisi Sabtu, 30 Agustus 2008) Selanjutnya...