Senin, 13 Oktober 2008

Kenapa Suka Jelekkan Diri Sendiri?


NAMANYA Matsui Kazuhisa. Berkebangsaan Jepang. Mulai bergaul dengan Indonesia sejak tahun 1985. Selama itu pula ia mempelajari tentang kondisi sosial masyarakat di Indonesia. Kajian tentang politik di Indonesia yang ditekuninya membuatnya mengenal banyak sisi kehidupan lokal masyarakat Indonesia.

Dalam diskusi terbatas di Kupang tentang "Membangun Kemandirian Masyarakat NTT", pada tanggal 10 September 2008, Matzuhita yang tampil sebagai salah satu pembicara banyak menungkapkan nilai-nilai lokal di Indonesia yang bisa dikembangkan. Dia boleh dibilang banyak memiliki/mengetahui nilai-nilai lokal, hal-hal yang remeh temeh yang sudah diabaikan, dilupakan, tetapi sebetulnya sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kekuatan untuk memajukan ekonomi.

Kini Matsui bekerja sebagai penasehat pembangunan daerah wilayah Sulawesi. Kedatangannya ke Indonesia pada awalnya sebagai mahasiswa Program Pasca Sarjana di Universitas Indonesia pada tahun 1985. Selama 23 tahun, pria ini mempelajari tentang Indonesia.

Ada satu nilai yang disampaikan oleh Matzui yakni kecintaan pada produk lokal. Sejauh ini masyarakat Indonesia masih beranggapan bahan makanan impor adalah makanan mewah, lebih baik, lebih bergizi dan karena itu membanggakan. Lalu terbentuk anggapan bahwa produk luar negeri, makanan pabrik lebih baik, lebih "bergengsi" ketimbang makanan lokal.

Berbeda dengan masyarakat Jepang yang lebih memilih produk lokal karena sudah mengetahui proses produksi jenis makanan tersebut. Padi, sayuran dan buah yang ditanam petani lokal dari jenis terbaik dan tanpa pupuk organik, diutamakan untuk makan sendiri. Sisanya baru dijual.
Bagaimana pandangannya tentang Indonesia, tentang nilai-nilai lokal dan bagaimana harus menggunakannya untuk memajukan ekonomi, berikut petikan wawancara Pos Kupang dengan tamu kita yang satu ini, beberapa waktu lalu.

Anda sepertinya tertarik tinggal di Indonesia. Apa pendapat Anda tentang Indonesia?

Itu sebenarnya bukan menarik tapi, saya sendiri sejak tahun 1985 bekerja sebagai peneliti tentang Indonesia di suatu lembaga kajian di Jepang, sampai bulan Maret lalu. Jadi selama 23 tahun tugas saya adalah melakukan kajian tentang Indonesia. Dan, pernah dua tahun di Jakarta sebagai mahasiswa S-2 di UI. Pada tahun 1995-2001 pernah bekerja sebagai expert JICA di Makassar, dan sejak bulan April lalu expert JICA di Makassar lagi.

Keahlian saya sendiri adalah ekonomi dan politik tapi terutama setelah tahun 1999 saya lebih fokus pada pembangunan daerah, otonomi daerah dan desentralisasi. Pernah saya tinggal kos di rumah orang Jawa di Jakarta dan sejak itu suka bergaul dengan semua orang, baik dengan aparat pemerintah, swasta maupun LSM. Jadi sehari- hari saya senang bergaul dengan teman-teman di sini. Akhirnya segala macam (tentang Indonesia) saya tertarik.
Jepang setelah kalah Perang Dunia Kedua tahun 1945 baru mulai membangun. Indonesia juga baru merdeka tahun 1945. Artinya dua negara ini sama-sama mulai membangun pada tahun yang sama. Tapi kenapa Jepang saat ini menjadi negara maju, sementara Indonesia masih sebagai negara berkembang?

Ini sebenarnya saya tidak maksud membedakan mana yang lebih bagus dan mana yang lebih jelek. Indonesia juga harus berani belajar juga dari Jepang. Jepang juga harus banyak belajar dari Indonesia. Tapi kalau pertumbuhan ekonomi sangat berbeda. Misalnya Jepang saat Perang Dunia II habis semua, jadi mereka membangun dari minus dengan sangat menyesal dengan mulainya Perang Dunia II. Jadi mereka menyatakan tidak mau lagi perang. Maka, mereka setengah mati berusaha terus agar anak cucunya lebih maju lagi daripada generasi dahulu dan tidak melakukan kesalahan seperti dulu. Sedangkan, Indonesia ini kaya sekali dengan sumber daya alamnya. Memang Indonesia juga sangat menderita setelah Perang Dunia II dan masih ada kesulitan. Tapi mereka menikmati kekayaan sumber daya alam. Jepang tidak ada sumber daya alam yang bagus, semuanya harus impor dari luar negeri. Karena itu, Jepang berpikir untuk memanfaatkan sumber daya alam seefisien mungkin. Kalau di Indonesia sumber daya alam sangat banyak sekali, maka tidak perlu berpikir untuk demikian. Di Indonesia kayaknya tidak kerja pun bisa hidup. Sebenarnya Jepang dulu merindukan daerah tropis sebagai paradiso yang enak, dianggap surga, karena di sana tidak perlu kerja keras dan setiap hari santai dan bisa hidup. Ini salah satu alasan sentimentalis mengapa Jepang tertarik ke daerah tropis untuk mendapat sumber daya alam yang kaya ini.

Anda begitu lama di Indonesia. Menurut Anda, mengapa Indonesia sulit sekali bergerak maju?

Mungkin pertanyaan agak filosofis adalah untuk apa kita maju. Dengan kemajuan maunya mencapai apa? Apakah Indonesia maunya seperti Jepang atau Singapura? Sebenarnya bahagia itu apa? Apakah kehidupan modern seperti di Jepang itu pasti menjanjikan kebahagiaan? Banyak orang Jepang, biarpun merasa sudah maju, belum tentu merasa bahagia. Mengapa jumlah orang bunuh diri bertambah terus di Jepang? Teman-teman orang jepang yang datang ke Indonesia sangat terkesan dengan negara ini, biar pun di sini secara ekonomis kelihatannya tidak begitu kaya tapi kebanyakan orang terlihat bahagia sekali. Anak-anaknya suka lari dan main sambil ketawa dan keluarganya saling membantu. Hal-hal biasa ini terkesan oleh orang Jepang. Memang ada orang Jepang yang merasa Indonesia itu jelek kotor dan lain-lain. Tapi saya berpikir kenapa orang Indonesia suka menjelekkan diri sendiri. Sebenarnya orang Indonesia bisa mendapatkan atau meningkatkan kepercayaan diri, maka akan membanggakan apa yang mereka miliki.

Jepang sebagai negara maju, tapi masih kuat dengan akar budaya. Komentar Anda?

Itu perbedaannya. Begini, kalau di Jepang mereka terima saja budaya dari luar, tapi tidak menghilangkan budayanya sendiri. Jadi dua-duanya. Ada budaya tradisional Jepang bisa bertahan tapi dari luar juga diterima atau bisa kombinasikan antara keduanya. Sedangkan di Indonesia, kalau menerima budaya dari luar, kayaknya mereka langsung menghilangkan budaya asli mereka. Saya tidak bisa mengerti mengapa orang Indonesia membuang apa yang mereka punya setelah mendapat hal-hal yang baru dari luar. Ini sebenarnya bisa memanfaatkan dua-duanya dengan kombinasi dan paduan dengan yang lain. Mungkin orang Indonesia punya kecenderungan yang dapat dari luar itu lebih bagus dari pada apa yang mereka punya sehingga mereka menyesal dan menjelekkan dirinya, dan dibuang. Akhirnya jati dirinya juga hilang.

Indonesia selalu lebih bangga bila mengkonsumsi hasil-hasil pertanian atau hasil industri dari luar. Sementara di Jepang, masyarakat lebih menyukai produk lokal sehingga terkesan pemerintah Jepang memproteksi produk lokal dari serbuan produk luar. Bagaimana Anda melihat ini?

Sebenarnya itu tidak benar. Memang di Jepang tekanannya tinggi untuk bebas perdagangan, banyak sekali hasil pertanian hasil impor masuk. Tapi masyarakat Jepang tetap senang hasil pertanian domestik yang enak dan berkualitas. Jadi bukan proteksi, bukan melindungi. Konsumen Jepang bebas memilih dan hasil pilihannya demikian dan tidak ada maksud dari pemerintah Jepang. Justru pemerintah Jepang maunya agar konsumen Jepang lebih banyak mengkonsumsi produk impor. Bagaimana di Indonesia? Apakah kalangan atas selalu memilih produk Indonesia atau produk impor? Ini masalah pilihan konsumen. Orang Jepang tetap suka beras domestik daripada beras impor karena sudah jelas siapa membuat beras ini dan dihasilkan dari daerah mana. Kalau beras impor, tidak jelas siapa yang buat, kondisinya bagaimana, apakah pakai pestisida, dan sebagainya. Orang Jepang cukup memperhatikan keamanan makanan dan memilih beras yang aman tanpa memakai pestisida. Ini masalah pilihan konsumen.

Kemajuan Jepang tidak terlepas dari pendidikan. Bagaimana anda melihat pola pendidikan di Jepang dan Indonesia?

Saya kira isu pendidikan tidak terlalu berbeda, cuman mungkin kalau di sini banyak anak-anak diminta ikut saja instruksi guru. Kayaknya tidak boleh kritik, atau tidak boleh menyampaikan pandangan berbeda dengan yang disampaikan oleh guru, sehingga ada keseragaman. Guru juga tidak memberikan toleransi untuk hal-hal yang berbeda dengan apa yang diminta diajarkan dari pusat. Sedangkan di Jepang, umumnya mereka harus menghormati perbedaan pendapat. Di dalam sekolah juga kami diberikan kesempatan untuk menyampaikan apa saja yang berbeda dengan yang lain dan itu tidak mungkin dipukul atau dimarahi kalau pandangannya berbeda dengan guru. Selain itu, pendidikan belum tentu mengajarkan keadilan. Misalnya, untuk muridnya mendapat nilai yang baik, saya pernah dengar, ada telepon langsung dari orangtua kepada guru atau kepala sekolah. Hal-hal ketidakadilan seperti itu muncul di pendidikan sekolah dan itu dilihat dan dipelajari oleh anak-anaknya.

Menurut Anda, apa potensi yang bisa dikembangkan di sini?

Sebenarnya banyak sekali potensi lokal yang kami bisa tunjuk di sini, tapi orang di sini hanya ikut-ikutan saja. Mengapa tidak mencari sendiri duluan saja? Potensi di sini dimiliki oleh orang di sini. Mengapa tidak koreksi tanpa perdebatan apa-apa setelah ditunjuk oleh orang luar? Bisa saja potensi yang ditunjuk oleh orang luar diprotes juga dengan kata kenapa harus ini, bukan itu. Makanya orang di sini cari potensi lokal dulu. Jika produk lokal dimiliki atau diambilalih oleh orang luar, orang di sini baru menyadari dan merasa tertipu atau dipermainkan. Dengan itu, kiranya sudah terlambat.

Anda sebagai penasehat pembangunan di Sulawesi. Apa saja yang Anda kerjakan?

Saya bertugas untuk memberikan berbagai informasi dan pikiran baru terhadap kebijakan pembangunan daerah se-Sulawesi, dan mencoba memfasilitasi untuk mewujudkan kerjasama antardaerah di Sulawesi.

Apa kesan yang paling mendalam selama Anda berada di Indonesia?

Kesannya banyak sekali. Tapi saya merasa selalu diberikan semangat oleh berbagai teman, kenalan, dan keindahan pemandangan di Indonesia. Saya selalu ingin membalas sesuatu yang baik.

Sedangkan pengalaman yang paling tidak menyenangkan?

Waktu pertama kali tiba di Bandara Sorkarno-Hatta, Jakarta pada Agustus 1985, saya dimintai uang oleh aparat imigrasi untuk masuk Indonesia. Untung sekali, saya tidak benci Indonesia sesudah itu.

Menurut Anda, apakah nilai-nilai setiap daerah di Indonesia bisa menjadi kekuatan untuk membangun ekonomi nasional?

Coba ingat waktu krisis moneter. Jawa mengalami kemunduran ekonomi sangat besar. Namun, sebagian Sulawesi menikmati harga komoditi ekspor yang naik dan ekonominya tidak menjadi begitu lesu. Keanekaragaman ini justru memperkuat negara secara total. Menikmati perbedaan dengan saling menghormati. (alfred dama/PK edisi MInggu 12 Oktober 2008 hal 3)

Biodata

Nama : Matsui Kazuhisa
Bekerja sebagai Penasehat Pembangunan Daerah Wilayah Sulawesi.
Istri : Matsui Junko
Anak : Matsui Midori
Selanjutnya...

Pen Bete dan Laok Tunu

LIBURAN Idul Fitri yang baru berlalu membawa berkah bagi saya. Setelah sekian lama tidak pernah mengunjungi kampung halaman di Timor Tengah Selatan (TTS), saya berkesempatan untuk berlibur ke sana. Ada beberapa daerah yang saya kunjungi. Namun, kenangan masa kecil di Bikium lebih menggoda untuk dikenang.
Bikium, kampung kecil di Desa Biloto, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten TTS (sekitar 7 km arah utara Kota SoE), memang tidak begitu terkenal. Dia tidak setenar Boti, Bu'at atau kampung lain di TTS yang masuk dalam peta pariwisata.

Tapi, yang membuat Bikium beda dengan kampung lainnya adalah karena dia pernah menjadi pusat pemerintahan kevetoran (usif/raja) Mella yang meliputi wilayah Mollo Selatan. Statusnya sama dengan Ajaobaki (Mollo Utara/kevetoran Oematan), Niki-Niki (Amanuban Tengah/kevetoran Nope) dan sebagainya.

Di Bikium terdapat sebuah sekolah dasar, yakni SD GMIT Biloto yang didirikan 1 Oktober 1946 oleh Yayasan Usaha Pendidikan Kristen (Yupenkris) TTS. Saat itu atap sekolah dari alang-alang, dinding dari bambu yang dibelah (gedek) dan berlantai tanah. Meski demikian, dia menjadi satu-satunya sekolah di daerah yang sudah dimekarkan menjadi empat desa. Anak-anak dari Kesetnana, Siso, Bisene dan Salmel, harus rela menempuh jarak puluhan kilometer untuk mencapai SD GMIT Biloto dengan berjalan kaki. Mungkin dari kebiasaan berjalan kaki naik turun gunung inilah sehingga daerah itu melahirkan atlet atletik nasional, Welmince Sonbay yang pernah mengharumkan nama Indonesia di pentas internasional.

Yang membuat saya masih terkesan hingga saat ini adalah kebiasaan para murid membawa bekal makanan ke sekolah. Karena harus menempuh perjalanan jauh ke sekolah, maka murid-murid dianjurkan gurunya membawa makanan. Ada banyak jenis mulai dari jagung, ubi-ubian yang dibakar (laok tunu) dan nasi. Minuman mulai dari air putih hingga susu sapi yang disimpan dalam tuke --wadah dari bambu. Saat itu hampir semua warga memiliki sapi lebih dari lima ekor yang kini tinggal kenangan karena mulai punah.

Mereka yang membawa bekal nasi sangat sedikit. Kala itu, yang biasa makan nasi hanya guru, kepala desa ataupun usif. Kalaupun masyarakat kebanyakan punya beras, mereka akan mengatakan tidak kenyang karena belum makan jagung. Nasi biasanya berasal dari beras merah yang ditumbuk dan diisi dalam wadah yang dalam bahasa daerah setempat disebut snipi (keranjang tertutup yang terbuat dari anyaman daun lontar atau gewang). Lauknya daging sapi yang sudah diasapi (daging se'i) ditambah sedikit sambal. Daging se'i ini biasanya awet disimpan sampai berbulan-bulan bahkan ada yang lebih dari satu tahun.

Tapi sama seperti orang Timor kebanyakan, makanan favorit para murid adalah jagung. Yang unik, jagung tersebut tidak dimasak atau direbus tapi digoreng atau biasa disebut pen seka/pen bete (jagung goreng). Jagung goreng ini akan disimpan dalam botol yang diisi air ditambah sedikit garam.

Menurut kebiasaan warga setempat -- mungkin juga di daerah lain di TTS -- jagung goreng yang disimpan seperti ini lebih awet ketimbang jagung yang direbus lalu disimpan dalam rantang. Pen bete, meski disimpan hingga dua hari, masih tetap layak dikonsumsi. Selain itu, dengan makan jagung goreng mereka bisa tahan lapar meski hanya sekali makan dalam sehari.

Ada satu nilai lebih yang bisa dipetik oleh generasi sekarang dari kenangan masa kecil ini. Dengan berjalan kaki hingga puluhan kilometer, makan pen bete dan laok tunu, anak-anak zaman dulu tetap disiplin ke sekolah. Buktinya dari SD GMIT Biloto banyak lahir sarjana yang sudah teruji kualitasnya baik itu sebagai politisi, pegawai pemerintahan maupun pengusaha.

Kini, Bikium yang berada di pinggiran Kota SoE berubah. Gedung SD GMIT Biloto pun tidak lagi beratap alang-alang, berdinding bambu dan berlantai tanah, tapi sudah dibangun permanen. Murid-muridnya pun tak perlu berjalan kaki telanjang ke sekolah, karena jalanannya sudah diaspal mulus yang dilayani angkutan kota dan puluhan ojek sepeda motor.

Mereka juga tak perlu membawa botol yang diisi pen bete atau snipi yang diisi laok tunu dan nasi beras tumbuk. Nasi kini bukan lagi makanan mewah. Jarak rumah ke sekolah pun sudah makin dekat. Di Kesetnana, Siso, Bisene, dan Salmel juga sudah memiliki sekolah sendiri.

Yang tidak dijumpai lagi di sana adalah anak-anak yang membawa susu sapi untuk meminumnya di sekolah. Sapi kini sudah hampir punah. Daging se'i pun harus dibeli di toko. Hamparan padang kini hanya ditumbuhi ilalang kering yang mudah terbakar di musim kemarau, tanpa sapi yang merumput bebas. Kebanggaan masa silam bila minum susu sapi di sekolah kini sudah digantikan oleh air mineral atau minuman bersoda seperti Coca Cola dan lain-lain.

Semua memang ingin perubahan. Semua tentu ingin tidak mau dikatakan kolot hanya karena masih suka bawa pen bete dan laok tunu ke sekolah. Namun, perubahan saat ini hendaknya jangan membuat kita lupa bahwa ada kenangan masa silam yang akan menjadi kebanggaan bila dimodifikasi untuk membangun kampung halaman tercinta. (sipri seko/PK edisi Sabtu 11 Oktober 2008 hal 10)
Selanjutnya...

Sakoseng Yang Telah Memudar

OA mbele oa nara, nara mbele oa le..oa le...

Syair lagu ini sering terdengar pada musim persiapan tanam seperti sekarang ini. Dinyanyikan oleh kelompok kerja yang anggotanya antara 20 sampai 40 orang di bawah terik mentari. Syair lagu diikuti hentakan cangkul itu biasa dinyanyikan dalam empat suara berbentuk koor disusul dua suara solo. "Nara odo wine, wine na gajon tua, tua reta lou korak ha hama-hama...."

Kita yang mendengar dari kejauhan mengira ada yang sedang berlatih koor, lagu daerah yang penuh semangat. Ternyata tidak. Ini adalah sakoseng di wilayah Kangae, sako jung di wilayah Kewapante dan papapoa di wilayah Lio. Sejak dahulu kala, petani di Kabupaten Sikka biasa bekerja bergotong-royong mengolah tanah secara bergilir. Hari ini di kebunnya si A, besok di kebun si B, lusa di kebun si C, dan seterusnya, sampai semua anggota kelompok mendapat giliran. Pemilik kebun tidak membayar, cukup siapkan makan minum seperlunya, seperti lele segor, ara maling wuek, ubi bakar, pisang bakar, rumpu rampe, i'an du'ur dan selalu dilengkapi dengan tua gahu (moke plasu ha, plasu rua).

Kenapa mereka harus menyanyi? "Bukankah dengan menyanyi mereka akan tambah capai ? Petrus Pelem (56), warga RT 13 RW 05, Dusun Baoloka, Desa Langir, Kecamatan Kangae, didampingi Fernades Epa (43) dan Blasius Nenong (59), menjelaskan, kalau tidak nyanyi justru cepat capai. Kalau menyanyi selalu membangkitkan semangat dan lahan yang dicangkul bisa mencapai 1 sampai 1,5 ha, dalam waktu satu hari. Bahkan dalam waktu sehari, mereka bisa mencangkul kebun milik dua sampai tiga orang anggota kelompok.

Petrus dan Fernandes yang ditemui di Langir, Rabu (8/10/2008), menjelaskan, sakoseng berarti kebersamaan dalam bekerja. Semangat sakoseng itu diwariskan oleh nenek moyang mereka yang berasal dari Bekorbira. Sakoseng atau gotong royong dalam bekerja diawali dengan membangun rumah tinggal kemudian dikembangkan ke cangkul kebun. Nenek moyang mereka, kata Petrus, menyadari betapa pentingnya bekerja sama atau gotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan. Dengan sakoseng atau semangat gotong royong pekerjaan yang berat menjadi ringan.

Sakoseng atau bekerja bersama-sama juga dipraktikkan dalam membuka jalan, membangun sekolah, membangun gereja atau fasilitas publik lainnya. Semua itu dilakukan tanpa pamrih, tanpa upah demi kebaikan bersama, demi kesejahteraan bersama.

"Dulu kalau membuka jalan, bangun sekolah, gereja atau sarana publik lainnya, kami selalu bekerja bersama-sama tanpa upah. Semua warga dikerahkan hanya dengan pengumuman kepala dusun pada malam sebelum jadwal bekerja dimulai. Dengan semangat sakoseng atau gotong royong, kami bisa membuka jalan puluhan kilometer, membangun gedung sekolah, balai pengobatan, gereja dan lain-lain. Kami menyadari bahwa sarana dan prasarana itu bermanfaat bagi kami. Sekarang anak-anak muda susah diminta bekerja bersama membangun sarana dan prasarana umum. Kalau bekerja, mereka selalau meminta upah, karena mereka menganggap pekerjaan seperti itu proyek pemerintah yang sudah ada anggarannya. Ini yang kami sebagai orangtua sesalkan," kata Petrus.

Kembali ke sakoseng membersihkan kebun, menyiapkan lahan menghadapi musim tanam. Petrus menjelaskan, sakoseng selalu diiringi dengan lagu sehingga anggota kelompok selalu bersemangat dalam mencangkul. Syair lagu oa mbele, oa nara seperti dirigen atau palumat yang mengatur sentakan cangkul. Cangkul diangkat bersama dan dijatuhkan juga secara bersama-sama. Sakoseng biasa dilakukan untuk sako karit, karena hasil cangkulan tidak dalam. Jika ada anggota kelompok yang membuka lahan baru, perlu dilakukan sako magang, anggota yang terlibat harus betul-betul tangguh, karena cangkulnya harus dalam.

Sakoseng juga melibatkan kaum perempuan, bahkan anak-anak bisa mengikutinya. Sakoseng tidak diskriminatif, semua orang, laki-laki, perempuan, tua muda bahkan anak-anak terlibat dalam kelompok sakoseng itu.

Organisasi sakoseng juga sederhana. Strukturnya hanya ketua. Tidak ada wakil ketua, sekretaris dan bendahara, karena kelompok sakoseng hanya membutuhkan seorang pemimpin yang bisa menggerakkan anggotanya, tidak ada surat-menyurat, tidak ada uang yang perlu dikelola oleh bendahara. Sifatnya juga musiman. Sakoseng dihidupkan pada saat persiapan lahan seperti bulan Oktober saat ini. Jika volume pekerjaan sudah ringan, kelompok sakoseng bubar dan mengurus kebun sendiri-sendiri. Untuk mendapat giliran, tidak dilakukan lotre, tapi siapa yang pertama melakukan 'sako tadan' (mencangkul pertama) pada kebun milik anggota yang mendapat giliran pada hari itu, dia yang mendapat giliran besoknya. Dengan demikian, kata Petrus, anggota sakoseng berebutan melaklukkan sako tadan. Bahkan ada yang sako tadan dini hari, jika dia sangat membutuhkan gilirannya.

Sakoseng juga sebagai wahana menjalin persatuan dan kesatuan, mempererat tali persaudaraan dan merekatkan keharmonisan hidup bertetangga, karena umumnya anggota kelompok sakoseng adalah warga dalam satu dusun atau satu RT. Mereka juga selalu bersama-sama menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan, saling membantu dalam suka dan duka. Sakoseng, kata Petrus, betul-betul bermanfaat dalam ua uma kare tua, ia na umat naha ihin, ihin daa rua witi, tua naha dolo mosa (Sakoseng betul-betul bermanfaat dalam bekerja kebun dan mengiris tuak sehingga panennya berlimpah dan mokenya tidak pernah kering). Dengan demikian, anggota kelompok sakoseng tak pernah kelaparan, tak pernah kekurangan pangan dan tak pernah menderita gizi kurang atau gizi buruk. Anak-anak anggota kelompok sakoseng selalu sehat karena stok pangan tak pernah kurang.

Di wilayah Lio Utara, warganya juga selalu berkeja bersama-sama, bergotong royong menyiapkan kebun. Menurut bahasa setempat, sakoseng disebut papapao. Papapao selalu diiiringi dengan syair lagu, "manung go, o raso manung go". Fransiskus Sambi (49), Ketua Kelompok Sinar Tani, Rategulu, Desa Magepanda, Kecamatan Magepanda, yang ditemui Kamis (9/10/2008), mengatakan papapo membangkitkan semangat bekerja (mencangkul), karena dilakukan secara bergotong royong. Biar siang bolong, semangat kerja tak pernah pudar. Mereka selalu semangat dalam bekerja. Semangat kerja kelompok papapo sangat tinggi sehingga sehari untuk cangkul balik bias mencapai 1/4 ha dan untuk karit atau garuk bisa 1 ha, dengan jumlah anggota 20 orang. Kerjanya bergilir selama enam hari. Pemilik kebun hanya menyiapkan konsumsi sesuai kemampuan. Selain mengerjakan kebun, kelompok ini juga selalu berpartisipasi jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia, atau sakit.

Hubungan sosial kemasyarakatan juga berjalan bagus sehingga dirasakan sangat bermanfaat. Menurut Frans, kelompok mereka biasa diminta mengerjakan fasilitas umum tapi tidak diupah. Semua itu dilakukan untuk kepentingan bersama masyarakat. Jika ada anggaran untuk upah, dananya digunakan untuk dana kelompok yang sesekali dimanfaatkan untuk membantu anggota kelompok yang kesulitan. "Jadi kami selalu bekerja bersama-sama atau bergotong royong dalam suka dan duka," kata Frans.

Namun sakoseng atau gotong royong mulai pudar seiring dengan bertumbuh suburnya sikap individual, kemajuan teknologi (hadirnya traktor) dan kemerosotan hubungan sosial kemasyarakatan. Orang lebih mengutamakan diri sendiri ketimbang membantu sesama atau orang lain. Bahkan sikap individual itu terus bertumbuh subur sehingga syair lagu oa mbele, oa nara, nara mbele oa le sudah jarang terdengar di siang bolong. Tidak ada lagi tokoh panutuan yang menggerakkan dan menghidupkan kembali sakoseng dan berbagai pekerjaan seperti dahulu kalah.

"Dulu saat Gubernur NTT dijabat Pak El Tari, dia pernah turun dari mobilnya dan jalan kaki masuk kebun, melihat para petani di Brai yang sedang sakoseng, yang nyanyiannya mengusik telinganya.. Beliau tampak sangat bahagia hingga duduk lebih dari 40 menit dan mau mencicipi ubi bakar dan moke putih yang disuguhkan petani," kata Petrus.

Petrus mengharapkan lahir El Tari baru di masa emas ini, sehingga program menjadikan NTT sebagai lumbung jagung yang dicanangkan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, bisa sukses . Apalagi jagung merupakan makanan pokok yang dikenal sejak nenek moyang kita. (Geradus Manyela, PK edisi 12 Oktober 2008 hal 1)
Selanjutnya...

Mengakhiri Rawan Pangan

Oleh Alfons Nedabang

HASIL analisis Badan Bimas Ketahanan Pangan (B2KP) Propinsi NTT tentang risiko rawan pangan di NTT-- keadaan sampai dengan 13 Agustus 2008--, menarik dikemukakan untuk disimak.

Terdapat tujuh kabupaten yang mengalami tingkat risiko rawan pangan tinggi, yaitu Belu, Lembata, Flores Timur, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao dan Sumba Barat Daya. Sebanyak 101 desa risiko rawan pangan, dengan 10.406 kepala keluarga (KK) atau 42.953. Jumlah desa yang memiliki tingkat risiko rawan pangan tinggi terbanyak adalah Sumba Timur dengan 22 desa.

Ada sembilan kabupaten, yaitu TTU, Belu, Alor, Lembata, Flores Timur, Ngada, Manggarai Barat, Nagekeo dan Sumba Barat Daya yang memiliki tingkat risiko rawan pangan sedang. Jumlah desa risiko rawan pangan sebanyak 387 desa, dengan 31.128 KK atau 108.516 jiwa. Yang terbanyak memiliki desa dengan tingkat risiko rawan pangan adalah Flores Timur dengan 145 desa.

Sedangkan yang memiliki tingkat risiko ringan ada 11 kabupaten, yaitu Alor, Belu, TTU, Lembata, Flores Timur, Ngada, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, Nagekeo dan Sumba Barat Daya. Jumlah desa, kepala keluarga dan jiwa risiko rawan pangan, masing-masing adalah 380 desa, 17.662 KK dan 67.272 jiwa. Kabupaten Alor mempunyai jumlah desa terbanyak yang memiliki tingkat risiko rawan pangan ringan yakni 123 desa.

Analisa berdasarkan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) ini dilakukan dengan melihat kerusakan komoditi pertanian akibat bencana alam, khususnya komoditi tanaman padi, jagung, ubi-ubian dan kacang-kacangan. Indikatornya adalah persentase luas tanaman dari luar rencana tanam, persentase luas panen dari luas tanam, persentase luas puso/kerusakan dan persentase penurunan produktivitas.

Hasil analisis ini memang masih bisa diperdebatkan. Namun terlepas dari itu, data ini memberi gambaran tentang kondisi pangan masyarakat. Bahwa saat ini ada rakyat di beberapa daerah sedang kesulitan makanan.

Rawan pangan bukan baru kali ini terjadi. Pada tahun 1960-an, rawan pangan meletus di Sikka. Ratusan warga meninggal. Tahun 2005 ada 190.626 KK atau 828.712 jiwa menderita ketiadaan pangan, tersebar di 1.331 desa yang ada di 15 kabupaten/kota. Pada tahun 2006 dan 2007 juga terjadi hal yang sama, dengan jumlah daerah dan penderita bervariasi.

Rawan pangan juga disebabkan kekeringan. Ada daerah yang mengalami hampir setiap tahun, cenderung lebih awal dari biasanya yaitu pada bulan Maret-April. Kondisi lebih parah selama Mei sampai Oktober.

Yang menarik, faktor kekeringan kadang dijadikan sebagai alasan utama pihak-pihak tertentu, termasuk pemerintah, untuk berlindung jika ada kasus kelaparan. Padahal kita tahu bahwa secara umum memang NTT adalah daerah yang beriklim agak kering dengan total rata-rata curah hujan 800-1.000 milimeter per tahun. Maka, semestinya kekeringan bukan sebagai alasan utama yang dibesar-besarkan.

Rawan pangan yang terus berlanjut, membuat NTT mendapat stigma propinsi rawan pangan. Atas nama kemanusiaan, banyak bantuan digelontorkan. Sadar atau tidak, kita sedang bergantung pada daerah dan orang lain, termasuk dalam hal makanan. Beberapa jenis komoditi pangan, seperti beras, jagung, kacang-kacangan dan telur ayam hasil produksi lokal tidak cukup memenuhi kebutuhan penduduk NTT. Akibatnya, jenis-jenis pangan itu dipasok dari daerah lain.

Data yang diperoleh dari B2KP NTT diketahui, pada Agustus 2008, beras yang masuk ke NTT sebanyak 15.631 ton. Jumlah ini membentuk stok beras selama bulan Agustus sebanyak 201.041 ton. Beras yang bersumber dari produksi lokal hanya 2.297 ton untuk stok pangan bulan itu. Data ini juga memberi gambaran bahwa tingkat konsumsi beras dalam sebulan oleh masyarakat NTT tergolong tinggi. Kita mengandalkan beras sebagai pangan pokok, sementara produksi beras lokal sangat terbatas.

Di bulan Agustus juga, jagung yang dibawah masuk ke NTT sebanyak 7 ton, kacang- kacangan 26 ton dan telur ayam 16 ton. Jenis-jenis komoditi untuk membentuk stok pangan pokok ini diantarpulaukan dari Propinsi Jawa Timur, NTB, Sulawesi dan Bali. Sumber pemasukan terbesar dari Jawa Timur, menyusul Sulawesi, Bali dan NTB. Pangan hasil antarpulau tidak langsung ke masyarakat tapi dikuasai oleh distributor.

Kondisi ini seharusnya membuat kita malu. Mengapa? Karena NTT adalah daerah pertanian. Dari total luas wilayah NTT 47.349,9 km, potensi lahan basahnya 127.271 hektare (ha), sementara lahan kering 1.528.306 ha. Potensi dimiliki daerah ini di sektor peternakan, perkebunan, perikanan dan kelautan dan lain-lain.

Dulu, beberapa daerah di NTT terkenal sebagai daerah penghasil beras untuk menyanggah kebutuhan daerah sendiri dan sekitarnya. Sebut saja Lembor di Manggarai, Bena di TTS, Oesao dan Noelbaki di Kabupaten Kupang, Konga di Flores Timur, Mbay di Ngada/Nagekeo dan beberapa daerah di Sumba.

Timor dikenal sebagai penghasil sapi. Saking prospeknya, Soeharto menjadikan Timor sebagai gudang ternak. Daerah Flores juga terkenal sebagai penghasil kelapa. Selain membuat kopra, kelapa dimasak untuk diambilkan minyaknya. Semua kejayaan itu, kini hanya tinggal cerita. Sekarang terbalik, mau makan daging ayam kita harus beli daging ayam yang didatangkan dari Surabaya, minyak kelapa berganti bimoli dan lain sebagainya. Jagung diganti dengan mie instan.

Sumber daya manusia kita juga tidak kalah jika dibandingkan dengan daerah lain. Sekitar 80 persen lebih warga bekerja di sektor pertanian. Yang berlatar belakang pendidikan pertanian juga banyak. Ada 39 perguruan tinggi negeri dan swasta di NTT.  Beberapa di antaranya memiliki fakultas pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan/perkebunan.

Universitas Nusa Cendana (Undana), misalnya, pada dies natalis ke-46, barusan, melepas 582 wisudawan, 67 orangnya adalah sarjana pertanian. Kita berasumsi, jika sekali wisuda 67 orang, setahun dua kali wisuda, maka pada tahun 2008 Undana mencetak 134 orang sarjana pertanian. Berarti selama 46 tahun Undana telah mencetak 6.164 sarjana pertanian. Jumlah ini tidak termasuk sarjana pertanian dari lembaga pendidikan tinggi lainnya, dalam dan luar NTT. Juga belum termasuk sarjana lainnya. Daerah ini juga telah dipimpin delapan kepala daerah.

Herannya, selama 50 tahun kita bermasalah dalam hal pangan. Semua kita tahu bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar dan menjadi hak asasi manusia yang harus dipenuhi. Dengan adanya pangan, kita dapat makan. Dengan makan kita bisa bekerja produktif. Karena terpenuhinya kebutuhan gizi, maka kita bisa mengembangkan diri dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat. Sebaliknya kita tahu bahwa orang- orang lapar cenderung destruktif. Karena laparlah, maka orang bisa bermata gelap dan tidak bisa menghasilkan karya apa-apa.

Oleh karenanya, pemerintah berkewajiban menjamin agar ketersediaan bahan pangan tersebut dapat terjangkau oleh setiap anggota masyarakat. Untuk mengatasi kerawanan pangan di NTT harus dilakukan program yang sistematis guna menghindarkan terjadinya kemungkinan kelaparan walaupun kekeringan akan selalu datang pada musimnya. Untuk itu, diperlukan program pembangunan pertanian berkelanjutan untuk daerah kering. Sektor pertanian harus mendapat perhatian lebih karena dia sumber makanan. Potensi pangan lokal kita terkandung di sektor primer ini.

Oleh karena itu, kita mesti fokus sehingga ada makanan khas daerah yang dihasilkan dan menjadi produk unggulan. Makanya, sistem pertanian yang dibangun harus berkelanjutan yang bersifat khas setempat. Perlu ada program yang menyeluruh mulai dari perencanaan, pengadaan sarana produksi, pengadaan modal, pelatihan, penyuluhan, dan pembangunan sistem monitoring dan evaluasi yang baik.

Dengan begitu, sangat mungkin daerah seperti Lembor di Manggarai, Bena di TTS, Oesao dan Noelbaki di Kabupaten Kupang, Konga di Flores Timur, Mbay di Ngada/Nagekeo dan beberapa daerah di Sumba, sebagai penghasil beras untuk menyuplai kebutuhan masyarakat setempat dan sekitarnya.

Timor dan Sumba dijadikan sebagai penghasil ternak sehingga kita tidak beli daging yang didatangkan dari Jawa. Kita mengembalikan Flores sebagai penghasil kelapa sehingga tidak lagi membeli minyak bimoli tapi mencintai produk lokal minyak kelapa.
Matzui Kashisa, ahli kemandirian lokal dari Jepang, mengajarkan kepada kita untuk membangun mulai dari makan.

"Karena makan merupakan kegiatan manusia yang paling pokok. Manusia harus makan untuk hidup dan sehat. Makanan yang sehat menciptakan manusia yang sehat. Selanjutnya, daerah yang sehat menciptakan makanan yang sehat. Dan, negara menjadi sehat jika daerahnya sehat," kata Matzui. (PK edisi Sabtu 11 Oktober 2008 hal 1)
Selanjutnya...