Minggu, 06 Maret 2011

Dari Workshop Akuntabilitas Anggaran (1)


Terjebak Permainan Eksekutif

BERTEMPAT di ruang Bengawan Solo 2, Hotel Sahid Jaya Makasar, Sabtu-Senin (8-10/1/2011), berlangsung Workshop Nasional bertajuk Peranan CSO (Civil Society Organisation) dan Media dalam Monitoring Akuntabilitas Anggaran. Kegiatan yang diselenggarakan Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi itu, diikuti juga wartawan Pos Kupang, Alfons Nedabang. Berikut laporannya.

Indonesia tidak dikategorikan sebagai negara miskin. Indonesia dikategorikan sebagai negara yang salah urus. Demikian Winarso dari KOPEL Sulawesi, di awal pertemuan workhsop.

Salah urus, menurut Winarso, diantaranya tercermin dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap daerah. "Pemerintah gagal membuat skala proritas," cetus Winarso.

KOPEL Sulawasi punya alasan. Dari sisi kapasitas anggaran, KOPEL menemukan permasalahan yang sama di sebagian besar kabupaten kota di Sulawesi Selatan. Pada tahun 2007 misalnya, struktur APBD menunjukkan masih dominan pemanfaatan belanja daerah untuk kepentingan aparatur. Rata-rata 63-67 persen belanja daerah dialokasikan untuk gaji, honorarium, dan pengadaan sarana prasarana aparatur. Sementara untuk alokasi anggaran bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, banyak ditemukan tidak lebih dari 35 persen belanja daerah. Kenaikan belanja langsung yang terkait dengan anggaran pelayanan publik selalu kecil setiap tahun. Hal ini umumnya disebabkan oleh karena tingginya kenaikan belanja pegawai (gaji dan tunjangan serta tambahan penghasilan bagi PNS).

Struktur APBD propinsi, kabupaten/kota di NTT juga tidak jauh berbeda dengan hasil temuan KOPEL di kabupaten kota di Sulawesi Selatan. Komposisi terbesar ada pada belanja aparatur. Beberapa kepala daerah di NTT bertekad membalikan komposisi anggaran, belanja langsung lebih besar dari belanja aparatur, namun masih sebatas retorika.

Bagaimana konten anggaran? Menurut Winarso, eksekutif hebat buat judul program, sementara sub anggaran lain lagi. Ia mencontohkan, dalam rencana kerja anggaran (RKA), meliputi kelompok belanja, jenis belanja, objek belanja dan rincian belanja. Namun, pada saat pembahasan di DPRD, eksekutif hanya menyodorkan kepada legislatif dokumen anggaran yang hanya tertera kelompok belanja dan jenis belanja. Sedangkan objek dan rincian belanja dirahasiakan eksekutif.

"Saat pembahasan anggaran, dewan hanya melihat judul dan angkanya saja. Semestinya, dalam konteks penyusunan anggaran, dewan harus tahu objek dan rinciaannya. Selama ini, kita sering terjebak dengan permainan dan kepintaran eksekutif," katanya.

Soal jebakan eksekutif, KOPEL Sulawesi punya temuan. Di Dinas Kesehatan Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ada program dengan judul mentereng pemberantasan penyakit menular dengan alokasi anggaran Rp 48.199.994. Sasaran pemanfaat kegiatan ini adalah calon jamaah haji. Namun, ternyata hanya 1 persen atau Rp 250.000 dari total anggaran yang dibelanjakan untuk pemberantasan penyakit menular, yaitu berupa belanja bahan kimia (pleno test). Selebihnya, untuk keperluan administratif berupa alat tulis kantor, foto copy, makan dan minum. Lebih parahnya lagi, sebanyak 94 persen atau Rp 45.029.994, dari total anggaran tersebut digunakan alokasi anggaran perjalanan dinas.

Rinciannya, alat tulis kantor Rp 320.000; foto copy Rp 200.000; bahan kimia (pleno test) Rp 250.000; makan minum Rp 2.400.000 dan perjalanan dinas Rp 45.029.994.

Dari judul programnya, nampak kegiatan itu memiliki maksud dan tujuan mulia. Namun, pengalokasian anggaran tidak berpihak. Anggaran yang diperuntukan untuk kegiatan itu dipandang sangat minim, dan ternyata lebih banyak digunakan untuk keperluan administratif, makan minum dan perjalanan dinas. Hal yang seperti ini kemudian oleh anggota dewan mengabaikannya. Dewan juga tidak melakukan kajian yang ditindaklanjuti dengan mengambil langkah-langkah untuk melakukan relokasi anggaran. Sudah tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan.

Apa yang terjadi di Kabupaten Luwu Timur, adalah salah satu contoh. Ini baru satu kegiatan dari sekian banyak kegiatan di dinas kesehatan. Belum lagi program dan kegiatan di dinas lain yang formulasinya kurang lebih sama. Kasus ini hanyalah fenomena gunung es. Banyak yang belum terungkap.

Kasus seperti ini, juga bukan hanya terjadi di Luwu Timur. Saya yakin, terjadi juga di NTT. Jika kita mencermati setiap program/kegiatan setiap SKPD dengan baik, maka pasti menemukannya. Beberapa waktu lalu di Kota Kupang, misalnya, kalangan dewan mempersoalkan pengalokasian anggaran untuk honor kepala daerah dan wakil kepala daerah, sekda serta panitia kegiatan/program. Hal itu tertera di dalam RKA, setiap panitia kegiatan dari SKPD ada ada honor untuk pelindung, penasehat yang adalah pejabat. Kalau setiap program ada honor untuk kepala daerah dan pejabat lainnya, sudah tentu anggaran belanja publik yang sudah sedikit, ikut tersedot lagi. Belum lagi untuk biaya administrasi, pejalanan dinas dan biaya makan minum. Eksekutif berlindung dibalik aturan yang memperbolehkan.

Secara proses, penganggaran pada dasarnya melibatkan legislatif, eksekutif dan masyarakat. Ketiga komponen ini secara berjenjang terlibat melakukan penyusunan anggaran mulai dari proses perencanaan hingga penetapan anggaran di DPRD.

Masyarakat, dewan dan eksekutif bersama-sama merumuskan kegiatan dan program-program yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat melalui musrenbang.

Pelaksanaan musrenbang dimulai dari tahapan di tingkat desa/kelurahan. Setelah itu, musrenbang kecamatan, forum SKPD, hingga musrenbang tingkat kabupaten. Selanjutnya, musrenbang tingkat propinsi dan musrenbang nasional.

Dalam pelaksanaannnya, dari setiap tahap, masih ditemukan berbagai permasalahan yang kemudian mengurangi kualitas prencanaan pembangunan. Beberapa permasalahan Musrenbang yang masih dipandang serius, antara lain tingkat partisipasi masyarakat masih rendah, keterwakilan kelompok-kelompok kepentingan yang strategis belum banyak terakomodir. Teknis persiapan seringkali mendadak dan pelaksanaan kegiatan seringkali mengesampingkan prinsip-prinsip musyawarah sekedar formalitas. Proses fasilitasi untuk menentukan program prioritas masih sering didominasi oleh aspirasi aparat pemerintah. Berikutnya adalah, banyak usulan dari bawah tidak terkover. Ada usulan hilang dalam perjalanan.

Bagaimana dengan anggota legislatif? Dalam menjalankan tupoksinya, anggota dewan juga terjebak pada prosedural yang sangat mekanistik dalam setiap proses-proses pengambilan kebijakan. Dewan cendrung mengabaikan aspek-aspek moralitas atau nilai yang harus diemban sebagai wakil rakyat.

Sebagai contoh dalam pembahasan RAPBD, anggota dewan melakukan pembahasan sesuai dengan proses yang harus dilakukan, mereka tidak satupan melanggar ketentuan dan peraturan yang ada. Namun, APBD yang mereka bahas tidak mencerminkan keberpihakan bagi masyarakat, tidak tepat sasaran untuk peruntukkannya dalam setiap program di SKPD, mengabaikan aspirasi masyarakat dan sebagainya. Apa yang menjadi usulan eksekutif yang tertuang dalam dokumen RAPBD tidak sepenuhnya dikiritisi oleh dewan. Harus jujur mengatakan bahwa, hal ini karena masih kurangnya pengetahuan wakil rakyat. Apalagi, saat ini legislatif didominasi wajah baru, belum bernah mendapatkan pengalaman kelegislatifan menambah problem baru di DPRD. Keterbatasan yang dimiliki dewan, tentu saja berimpilikasi pada produk kebijakan yang akan dilahirkan. Belum lagi kepentingan masing-masing partai politik yang dititipkan kepada mereka. Ada juga anggota dewan yang lebih senang urusan proyek dan terlibat kasus hukum.

Jika faktor-faktor yang dikemukakan di atas, tidak dibenahi maka perumusan APBD yang berpihak kepada rakyat tidak akan terwujud. Kelompok-kelompok rentan yang selama ini kurang memiliki akses terhadap penerimaan manfaat dari anggaran pembangunan, sudah pasti tetap tidak tersentuh. Masalah-masalah yang dihadapi kelompok rentan, seperti rendahnya kualitas kesehatan, rendahnya akses dan kualitas pendidikan, kurangnya perlindungan secara hukum, dan rendahnya perlindungan ekonomi, tidak terselesaikan dengan baik karena pemerintah tidak menjadikan mereka sebagai skala proritas.(Pos Kupang edisi 24 Januari 2011)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Salam kenal Bloger Kupang..
Terus berkarya... ^_^