Jumat, 26 September 2008

Mengatasi Krisis Listrik dengan Energi Alternatif

Oleh Agus Sape

KESAL, itulah yang dialami warga Kota Kupang dan daerah-daerah lain di NTT akhir-akhir ini. Betapa tidak, listrik di rumah ataupun di kantor kita sering padam. Baik pemadaman terjadwal (bergilir) maupun pemadaman mendadak.

Sejumlah alasan klasik dikemukakan PT PLN. Antara lain pemeliharaan mesin atau bagian dari upaya menghemat bahan bakar solar. Tapi, kita tidak hendak membahas masalah ini di sini. Kita hanya mau mengatakan bahwa kekesalan kita terhadap pemadaman listrik di rumah atau kantor pertanda kita sudah sangat bergantung pada listrik. Listrik sudah ibarat nafas hidup kita. Begitu tidak ada listrik, mati rasanya, tidak bisa berbuat apa-apa. Kita hanya bisa tidur mengorok dan bermimpi.

Apakah dengan kondisi ini, kita mundur? Boleh jadi. Tapi, coba kita tengok ke tahun 1958 ketika Propinsi NTT mulai berdiri. Apakah NTT ketika itu sudah hidup di bawah gemerlap listrik? Orang-orang yang hidup pada masa itu tahu baik.
Yang jelas kondisi saat itu belum semaju saat ini. Bahkan bisa dikatakan belum ada apa-apanya. Kalaupun sudah ada listrik, itu sangat terbatas. Mungkin hanya ada di biara-biara atau gereja-gereja atau di rumah-rumah pejabat atau rumah raja, menggunakan genset. Warga pada umumnya masih menggunakan lampu pelita.

Penggunaan lampu petromax atau biasa kita sebut lampu gas masih dianggap mewah. Tapi, semata-mata untuk penerangan di rumah malam hari. Di luar itu gelap-gulita.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) memang secara resmi berdiri pada tahun 1955, berasal dari penggabungan beberapa perusahaan listrik daerah pada zaman Belanda, yang dinasionalisasikan. Tapi, tentu saja jangkauan pelayanannya masih terbatas. NTT sudah pasti belum tersentuh.

Dengan Peraturan Pemerintah (PP) 18 Tahun 1972, PLN dibentuk menjadi Perusahaan Umum (Perum) dengan modal yang dipisahkan dari keuangan negara. Selanjutnya, PP 23 Tahun 1994 mengubah PLN menjadi PT (Persero) yang seluruh modalnya dimiliki negara.

Dipastikan pada tahun 1970-an, masyarakat NTT sudah mulai menikmati listrik. Bupati Timor Tengah Utara (TTU), Yakobus Ukat, BA, yang menjabat pada tahun 1970 - 1975, punya program menjadikan Kota Kefamenanu sebagai Kota Neon di daratan Timor. Jaringan listrik berlampu neon dipasang di ruas jalan utama Kota Kefamenanu. Kota yang dulunya gelap dan cuma diterangi temaram lampu minyak dari beranda rumah-rumah penduduk, bersalin rupa menjadi terang-benderang (Pos Kupang, 15/9/2008).

Dengan informasi ini dipastikan semua kota kabupaten di NTT sudah diterangi lampu listrik pada tahun 1970-an. Apalagi Kupang sebagai kota propinsi. Hanya memang listrik itu belum dimanfaatkan untuk kepentingan industri.

Kondisi itu masih berlanjut pada tahun 1980-an awal, sebagaimana tergambar dalam laporan Pemerintah Propinsi NTT pada akhir Pelita III. Kendati demikian, listrik termasuk sektor yang mengalami peningkatan di NTT pada masa itu.

Pada pertengahan tahun 1980-an atau memasuki Repelita IV, pembangunan bidang energi listrik terus ditingkatkan. Dilakukan peningkatan dan perluasan eksplorasi dan produksi sumber energi utama seperti panas bumi dan tenaga air serta melanjutkan usaha konservasi energi secara luas di segala bidang. Terjadi peningkatan sarana pusat listrik tenaga diesel (PLTD) yang tersebar, antara lain di Ende, Kupang, dan SoE. Dibangun pula jaringan distribusi yang dapat menunjang terlaksananya program listrik masuk desa.

Pada tahun-tahun berikutnya, penyediaan dan pemakaian energi listrik di NTT terus meningkat. Menurut data dari PT PLN (Persero) Wilayah NTT -- disampaikan dalam sosialisasi UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dengan mass media di NTT pada tanggal 16 Desember 2003 -- jumlah pelanggan listrik PLN di NTT pada tahun 1998 sebanyak 168.264, dengan daya terpasang 80,65 MW dan unit pembangkit sebanyak 353. Tahun berikutnya jumlah pelanggan naik menjadi 179.350 dengan daya terpasang 80,94 MW, dan pada tahun 2002 naik menjadi 201.469 pelanggan dengan daya terpasang 97,42 MW, dan pada semester I tahun 2003 pelanggan menjadi 202.942 dengan daya terpasang 100,22 MW.

Para pelanggan listrik PLN di wilayah NTT terdiri dari empat kategori, yaitu rumah tangga, bisnis, industri, sosial dan pemerintah. Menurut posisi tahun 2002, pelanggan terbanyak berasal dari rumah tangga 185.639 (92,14 persen), diikuti pelanggan bisnis 8.433 (4,19 persen), lalu pelanggan sosial dan pemerintah 7.274 (3,61 persen). Sedangkan pada semester I tahun 2003, pelanggan rumah tangga sebanyak 186.878, pelanggan bisnis 8.550, pelanggan sosial dan pemerintah 7.393, dan pelanggan industri 121.

Dari grafik yang ditunjukkan PT PLN Wilayah NTT, terlihat sejak tahun 1995 sampai tahun 2000 jumlah pelanggan naik cukup signifikan. Lalu dari tahun 2001 sampai semester I 2003 kenaikan tidak begitu besar.

Dengan melihat perkembangan jumlah penduduk di NTT dan kecenderungan perkembangan wilayah perkotaan dan banyaknya pembangkit tenaga listrik sampai di kota kecamatan bahkan desa, dipastikan jumlah pelanggan listrik PLN Wilayah NTT sudah jauh lebih banyak dari posisi tahun 2003.

Sayangnya, kecepatan pertumbuhan jumlah pelanggan ini tidak bisa mengimbangi kecepatan naiknya persediaan daya listrik dari PLN. Lagi pula produksi listrik masih mengandalkan tenaga diesel (PLTD) yang menggunakan bahan bakar solar. Ketika harga BBM cenderung meningkat, beban biaya PLN semakin berat. Sementara itu mesin-mesin pembangkit milik PLN semakin tua, tanpa segera diikuti pengadaan mesin-mesin baru.

Kondisi ini sangat terasa ketika memasuki jam puncak antara pukul 18.00 - 22.00, daya listrik di rumah-rumah cenderung drop. Lebih buruk lagi, ketika PLN melakukan pemadaman bergilir, sebagaimana sedang kita alami saat ini, baik di Kota Kupang maupun beberapa daerah di luar Kota Kupang.

Sebagai pelanggan kita pasti kecewa. Tetapi, mungkin tidak berimbang kalau kita semata-mata mempersalahkan PLN. Kita juga harus bisa menyadari perilaku kita dalam memanfaatkan energi listrik. Kita seringkali menggunakan listrik untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.

Sementara itu, pemanfaatan listrik di rumah-rumah kita pun sudah mengalami diversifikasi. Listrik tidak lagi hanya untuk penerangan malam, tetapi juga untuk menghidupkan televisi, tape recorder, setrika, freezer, kompor listrik, charger handphone, komputer dan lain-lain.

Kalau melihat perluasan pemanfaatan energi listrik ini, kita mesti bersyukur bahwa memasuki usia 50 tahun NTT kita sudah bisa menikmati energi listrik sekian jauh, lebih jauh daripada ketika propinsi ini dibentuk 50 tahun lalu.

Yang perlu kita lakukan pada tahun emas ini adalah, bagaimana kita mencari dan mengembangkan energi alternatif. Kita tidak cukup mengandalkan produksi listrik dari PLTD yang menggunakan bahan bakar solar. Selain karena harga BBM terus melonjak, kita pun perlu mengikuti trend, yakni mengurangi pemakaian bahan bakar yang menimbulkan pencemaran lingkungan.

PLN sendiri, selain terus melakukan pengembangan transmisi, juga terus melakukan eksplorasi panas bumi (geothermal), tenaga uap dan batu bara sebagai sumber tenaga listrik. Sudah lama PLN mengeksplorasi potensi panas bumi (PLTP) di Ulumbu, Manggarai, yang berkapasitas 1 X 2,5 MW, PLTP Mataloko 1 X 2,5 MW dan PLTU Atapupu 2 X 5 MW.

Pada tanggal 15 April 2008, Dirut PT PLN (Persero), Fahmi Mochtar, meresmikan pembangunan PLTU Ropa di Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende. Dengan kapasitasnya 2 X 7 MW, PLTU ini bisa memenuhi kebutuhan listrik wilayah Ende, Sikka dan Flores Timur.

Di Desa Nurabelen, Flores Timur, PT PLN bekerja sama dengan Pemda Flores Timur membangun listrik tenaga batu bara dengan kapasitas 14 MW.

PLN Wilayah NTT juga mengeksplorasi energi air untuk memproduksi listrik. Beberapa tempat yang sudah diketahui potensinya adalah PLTM Reo, Kabupaten Manggarai (6 MW), PLTM Ndungga di Kecamatan Ndona-Ende (3 MW), PLTM Mbuliloo di Kecamatan Wolowaru, Ende (0,1 MW), PLTM Wolodesa di Kecamatan Paga, Sikka (1 MW).

Energi listrik yang cukup menjanjikan di masa depan adalah energi angin. Dari suvai PT PLN, potensi listrik tenaga angin terdapat di Desa Nangalili, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, dengan potensi energi angin 0,1 MW. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTT juga sudah membangun dua unit kincir angin di Rote pada tahun 2005. Di TTS juga sudah dibangun sejumlah kincir angin kerja sama dengan Australia. Potensi yang sama terdapat di Sumba.

Melihat perkembangan di NTT akhir-akhir ini, tampaknya potensi listrik tenaga angin akan semakin menjanjikan. Angin kencang yang terus melanda wilayah NTT akhir- akhir ini kiranya tidak semata-mata dilihat sebagai gangguan. Kita pun bisa menangkap nilai positifnya dengan menjadikannya sebagai sumber tenaga listrik.

Keunggulan listrik tenaga angin sudah dirasakan oleh beberapa negara di Eropa dan Australia. Di Australia, misalnya, dibangun di Bald Hill, daerah South Gippsland, Negara Bagian Victoria. Di kawasan berbukit Bald Hill telah dibangun 84 kincir angin dengan tinggi masing-masing 125 meter. Kincir angin sebanyak itu mampu menghasilkan listrik dengan kapasitas 104 megawatt. Listrik yang dihasilkan kincir angin ini melayani kebutuhan 60.000 rumah tangga di Negara Bagian Victoria.

Kondisi di Bald Hill sebenarnya tidak lebih hebat dari kondisi NTT. Daerah kita yang terdiri dari bukit-bukit sangat potensial untuk pembangunan kincir-kincir angin. Yang paling penting ada di antara kita yang memberi perhatian terhadap potensi ini. Investor dari Belanda saja sudah melihat potensi energi angin di wilayah Kota Kupang dengan mulai menjalin kerja sama dengan Pemkot Kupang.

Yang tidak kalah menjanjikan adalah pembangunan listrik tenaga surya. Banyak pihak swasta di NTT sudah merintis pembangunan listrik tenaga surya ini. Hal ini mestinya terus dikembangkan ke arah kapasitas yang lebih besar melihat potensi sinar matahari selama 12 jam di NTT. Ketika wilayah NTT diprediksikan bakal menjadi daerah padang gurun, mestinya tidak semata-mata mencemaskan kita, tetapi di pihak lain menjadi sinyal bahwa daerah akan menjadi pusat pengembangan energi matahari di masa mendatang.

Untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi-potensi energi listrik ini, tentu saja kita jangan semata-mata mengharapkan peran PT PLN yang selama ini mendominasi pelayanan listrik dari wilayah kita. Kita membutuhkan peran aktif dari pemerintah daerah dan swasta untuk mengembangkan hal ini. UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan memberi peluang kepada instansi selain PLN untuk mengembangkan energi listrik, tentu saja setelah memenuhi sejumlah syarat. Dengan cara demikian, kenapa tidak, NTT akan mampu mengatasi masalah keterbatasan energi listrik, yang akan membawah masyarakat NTT menuju kesejahteraan. (Pos Kupang edisi Sabtu 27 September 2008 hal 1)
Selanjutnya...

Ndauk

Oleh Kanis Jehola

LANGKAH nenek Martha Ndinde (alm) terlihat berpacu cepat. Tak berapa lama ia sudah memasuki tangga rumah yang saya tinggal. "Tok.. tok.. tok.., " nenek Martha Ndinde mengetuk pintu dapur sambil menyapa nia ngaok (apa kabar). Ia pun masuk ke dalam dapur rumah yang saya tinggal dan langsung duduk di samping mamaku (mama besar) yang memeliharaku.

"Mai cee gite bo kudut tegi hi nana ngo lompong le mbaru to'ong/saya datang meminta izin (sama mama besar) supaya nana (panggilan untuk laki-laki di Manggarai, red) makan di rumah sebentar," kata nenek Martha Ndinde.

Mendengar permintaan itu, hati saya berbunga-bunga. Sebab biasanya, kalau dipanggil seperti itu pasti ada makanan yang enak. Ya, biasanya makan daging, ikan atau setidaknya makanan jenis lain yang rasanya enak ala kampung. Sebab saya adalah cucu sulung dari putra nenek yang sulung. Dan, saat itu, tinggal bersama mama besar. Rasanya memang sangat beruntung. Dimanja di mana-mana.

Setelah permintaan dikabul, saya pun tak lama menunggu. Mohon izin mama besar dan langsung angkat kaki. Hanya dalam tempo hitungan menit, saya sudah berada di rumah nenek yang jaraknya hanya sekitar 25 meter dari rumah yang saya tinggal.
"Mai ga (masuk sudah)," kata nenek Ndinde mempersilahkan saya masuk. Baru semenit duduk, nenek Ndinde membawa dua buah piring ke hadapan saya. Satu piring berisi nasi putih (ndauk bakok sebutan warga setempat), dan satu piring berisi mie yang baru dimasaknya. Hang ga (makan sudah). Saya pun langsung memakannya.

Saat itu memang belum semua warga di kampung yang rutin makan ndauk sehari. Tapi bagi kami -- setidaknya saat saya mulai mengenal makan -- makan ndauk bukan hal baru. Itu makanan kami sehari-hari. Maklum di kampung itu, keluarga kami tergolong yang punya sawah cukup banyak. Yang beda cuma karena ndauk yang disuguhkan sang nenek adalah ndauk bakok. Rasanya lebih lembut, karena hasil penggilingan. Sedangkan ndauk yang kami makan sehari-hari adalah ndauk dari beras tumbuk di lesung. Sudah tentu rasanya beda. Dan, yang istimewa, karena ndauk bakok yang dimakan saat itu disuguhkan bersamaan dengan mie.

Itulah kondisi yang terjadi di Kampung Rentung, Desa Goreng Meni, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai, sekitar tahun 1970-an. Saat itu saya belum masuk SD.

Kehidupan di kampung saat itu masih tergolong susah. Makan ndauk dari beras hasil penggilingan termasuk barang langka. Ndauk tersebut tidak bisa didapatkan di desa atau di ibukota kecamatan, karena saat itu belum ada kios. Begitu pun mie, minyak goreng, ikan kering dan berbagai jenis makanan enak lainnya.

Untuk mendapatkan barang tersebut, orang harus pergi ke Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai atau ke Reo. Untuk ke Ruteng atau ke Reo biasanya harus jalan kaki sepanjang hari dari pagi sampai sore. Dan, untuk ke Ruteng atau ke Reo pun kalau ada perlu penting.

Misalnya, saat menjual kacang hijau, kemiri atau kopi.
Dan, ketika mencium aroma goreng ikan kering atau melihat orang makan mie, bisa dipastikan bahwa ada di antara keluarga tersebut yang baru pulang dari Kota Ruteng atau dari Reo. Kalau tidak, di rumah tersebut ada tamu istimewa. Dan, urusan goreng menggoreng saat itu tidak sembarang orang. Masih sebatas orang tertentu, orang yang dipandang cukup 'berada' di kampung.
Itu cerita masa lalu. Cerita puluhan tahun yang lalu.

Kehidupan masyarakat di kampung itu saat ini sudah jauh berbeda. Urusan goreng menggoreng dan makan mie bukan lagi barang yang istimewa atau luar biasa. Juga bukan lagi makanan keluarga tertentu yang dinilai 'berada.' Barang tersebut juga bukan lagi termasuk barang langka. Semuanya dengan mudah didapat. Kios- kios di kampung sudah bertumbuh. Persaingan usaha antar satu keluarga dengan keluarga lain sangat terasa.

Mendapat penerangan listrik bukan lagi sekadar mimpi. Mereka sudah bisa menikmatinya karena sudah bisa membeli genset sendiri. Beras putih hasil penggilingan pun tidak lagi sulit didapatkan. Di kampung sudah ada mesin giling. Gabah kering yang baru dipanen langsung digiling untuk mendapatkan beras. Ibu-ibu dan nona- nona kini sudah bermanja. Tidak lagi harus capek menumbuk padi. Tangan mereka tidak lagi melepuh karena memegang alu menumbuk padi. Semuanya digiling. Untuk pembayarannya, tergantung negosiasi dengan pemilik mesin giling. Dibayar dengan uang atau dibarter dengan beras.

Makan ndauk, kini bukan lagi hanya dirasakan oleh keluarga yang punya sawah. Warga yang tidak punya sawah pun sudah rutin makan ndauk bakok. Meski masih makan jagung dan ubi-ubian, tapi rasanya belum cukup kalau setiap kali makan mereka belum makan ndauk.

Untuk mendapatkan ndauk, mereka berlomba-lomba mencari uang. Caranya macam-macam. Bisa dengan menjadi tenaga buruh pada proyek-proyek pemerintah, juga bisa dengan menjadi pedagang. Singkat cerita, untuk mendapatkan ndauk mereka bisa bekerja apa saja, asalkan setia hari makan ndauk. (Pos Kupang edisi Sabtu 27 September 2008 hal 10)
Selanjutnya...

Emas OSN Momentum Kebangkitan Kita

Oleh Apolonia Matilde Dhiu

GO, Get, Gold (pergi, dapat, emas) atau yang dikenal dengan 3G memang tidak asing lagi bagi anak-anak NTT yang ingin mengikuti Olimpiade Sains Nasional OSN). Istilah ini diperkenalkan oleh seorang pembina OSN, Don Kumanireng, kepada peserta OSN saat memotivasi anak-anak NTT untuk berprestasi di tingkat nasional. Setiap anak yang mengikuti OSN harus bertekad untuk mendapatkan emas, karena menurutnya medali perak dan perunggu hanyalah akibat ketika tidak mendapatkan emas.

Dengan gayanya yang berapi-api, terkadang meledak-ledak, Don Kumanireng memompa semangat anak-anak asuhannya saat belajar matematika dan IPA untuk mengikuti OSN. Tahun 2008, adalah tahun bersejarah bagi anak NTT karena dua putra NTT, Samuel Sampe dari SDK Sta. Maria Assumpta dan Julian AW Purba dari SD Kristen Tunas Bangsa berhasil membawa pulang dua medali emas untuk bidang IPA di ajang bergengsi tersebut.

Prestasi ini mendongkrak NTT ke posisi delapan dari 33 propinsi peserta OSN atau urutan kedua setelah Sumatera Utara untuk peserta luar Jawa dan Bali. Selain emas, kontingen NTT membawa pulang empat medali yang dipersembahkan oleh Ahmad Iksan Ashari (IPA) dari SDN Bonipoi II Kupang dan Paulus Tomy Satriadi (Matematika) dari SDK Ruteng VI. Dua perunggu lainnya diperoleh Risky Chandra (Fisika) dari SMP Kristen Wailoba, Sumba Barat, dan Yosep Japi (Geologi) dari SMA Katolik Giovanni Kupang.

Dengan prestasi ini membuktikan bahwa anak-anak NTT patut diperhitungkan dalam soal adu keenceran otak. Prestasi ini juga mestinya menjadi momentum kebangkitan kita untuk menumbuhkan rasa percaya diri bahwa kita bisa. Tidak perlu lagi ada rasa minder memperkenalkan diri sebagai anak-anak NTT. Prestasi ini sekaligus juga menjadi bahan refleksi untuk menggugat mengapa tahun ini hasil ujian nasional kita di posisi paling bawah dari 33 propinsi.

Memang, masih banyak anak-anak NTT yang tidak dapat menikmati pendidikan, antara lain karena ketiadaan biaya dan tradisi. Tak heran, angka buta aksara masih cukup mengkhawatirkan, sekitar 14 persen (2007). Lulusan SD masih mendominasi penduduk daerah ini (87 persen). Mereka hanya bisa menjadi petani dengan tingkat penghasilan yang jauh dari cukup.

Angka partisipasi kasar program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun cukup melegakan, 114 persen, meski di tingkat SMP baru mencapai 81,37 persen, jauh di bawah rata-rata nasional 85 persen.

Kita juga masih bergulat dengan sarana prasarana pendidikan. Kondisi bangunan SD 47,32 persen rusak ringan dan berat, SLTP 23,41 persen rusak berat dan ringan. Belum lagi "ratapan" soal kekurangan tenaga guru, tidak hanya dari sisi jumlah (kwantitas) tapi juga kwalitas. Data menunjukkan dari 50.521 orang guru, 85 persen-nya belum berpendidikan S1 kependidikan. Tingkat SD/MI, hanya hanya 3 persen guru yang berkualifikasi S1, SMP/MTs 25 persen dan SLTA 55 persen.

Dengan momentum kebangkitan ini, kita tak boleh memaafkan kealpaan kita dengan berlindung di balik kekurangan guru, sarana dan prasana. Tidak sedikit anak-anak NTT menjadi orang-orang cerdas tingkat nasional, bahkan internasional yang justeru lahir dan tumbuh di saat kondisi pendidikan di daerah ini masih sangat jauh dari keadaan sekarang. Sebut saja Herman Yohanes salah seorang pendiri UGM, pakar MIPA, Dr. Kebamoto di UI, pakar kimia dari ITB, Jeskiel Ahmad, bahkan ada putra NTT yang bekerja di lembaga antariksa AS, NAZA.

Saya jadi ingat saat-saat sekolah dulu. Kalau dikatakan feodal, ya memang feodal. Guru-guru mendidik dengan cara keras, bahkan kasar. Kata-kata kasar, bahkan makian sampai menggunakan sapu dan kayu memukul anak-anak didiknya. Duapuluh lima tahun lalu ketika saya masih berada di Desa Ubedolumolo, Kecamatan Bajawa. Sebuah desa subur, sekitar lima kilometer dari Kota Bajawa. Tamat pendidikan yang keras di SD di kampung, setiap hari saya berjalan kaki lima kilometer untuk sampai di SMP Negeri 1 Bajawa. Pukul 05.00 subuh harus sudah bangun, membantu ibu mencuci piring dan menyapu halaman dan mengambil air bersih ke kali. Setelah itu baru ke sekolah.

Di sekolah, saya menghadapi guru-guru yang lumayan keras untuk ukuran waktu itu. Kalau tidak kerja PR, misalnya, siswa pasti dipukul dengan kayu, berlutut di lantai yang disirami kerikil, dijewer telinga sampai bengkak dan sebagainya. Tapi tidak ada yang bersungut. Semua itu diterima sebagai bagian dari pendidikan. Supaya bisa jadi orang. Dan tidak ada orangtua yang protes. Tak ada guru yang harus berurusan dengan aparat berwenang karena memukuli siswanya. Guru-guru mengajar dan mendidik sepenuh hati. Tak ada yang bersungut-sungut meski gaji tentu saja kecil. Mereka hidup apa adanya. Menjadi tokoh dalam masyarakat. Panutan masyarakat. Tidak pernah ada aksi demo guru menuntut kenaikan gaji dan sebagainya. Dan dengan suasana pendidikan yang demikian itu justeru membuat saya dan teman-teman saya berhasil "menjadi orang". Berhasil dan berbudi pekerti!

Mari kita bandingkan dengan kondisi saat ini, dimana kita bergelimpangan program/proyek peningkatan ini dan itu, pembangunan ini dan itu, pengadaan sarana dan prasarana pendukung untuk memacu kualitas pendidikan kita. Boleh jadi kita terlena. Terjerumus ke dalam segala yang berbau instan. Akhirnya kita lupa bahwa untuk meraih sesuatu harus melalui kerja keras. Butuh perjuangan, kerja keras dan pengorbanan. (Pos Kupang edisi Minggu 21 September 2008 hal 1) Selanjutnya...

Stop Stigma Propinsi TKI

Oleh Yosep Sudarso

DURANTE degli Alighieri, alias Dante (1 Juni 1265 - 13/14 September 1321), penyair dari Firenze, Italia, itu pernah berkata, "Kalau Anda memberi orang cahaya, ia akan menemukan jalannya sendiri." Menjelang usia emas NTT Desember nanti, petuah Dante ini bisa memberi inspirasi terutama dihubungkan dengan fakta 98.230 penganggur masih menyebar di 20 kabupaten/kota se-NTT (data Dinas Nakertrans NTT per 13 September 2008).

Persoalan tenaga kerja memang bukan persoalan NTT semata melainkan permasalahan global. Rasio yang tidak seimbang antara lapangan kerja yang tersedia dengan penambahan usia produktif menjadi penyebab utama masalah ini. Di NTT, rata-rata lowongan kerja setiap tahun hanya mampu menyerap sekitar belasan ribu tenaga kerja. Itu pun sebagiannya disumbangkan dari pos penerimaan CPNSD.

Walaupun demikian, data dari Dinas Nakertrans NTT juga memperlihatkan fakta lain yang menarik. Di tengah-tengah kesulitan pencari kerja mendapatkan pekerjaan, ternyata hingga September masih ada 206 lowongan kerja pada sektor swasta yang belum terisi.

Pelaksana Tugas (Plt) Kadis Nakertrans NTT, Lanang Ardike, berpendapat, lowongan kerja yang belum terisi ini disebabkan antara lain tidak tersedianya tenaga sesuai dengan kebutuhan. Beberapa kontraktor, misalnya, membutuhkan tenaga sopir alat-alat berat, namun di NTT berlimpah sopir angkot dan bus. Demikian pula tenaga-tenaga khusus untuk mencuci mutiara masih dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan pengembang mutiara di NTT.

Merujuk pada penjelasan ini, ternyata persoalan tidak terserapnya sejumlah lowongan terkait erat dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Tentang hal ini, saya teringat pada ucapan Frans Seda, salah satu tokoh nasional asal NTT. Pada sebuah kesempatan di Hotel Kristal, ketika menemani Direktur Kelomok Kompas Gramedia (KKG), Yacob Utama, ia berucap, pemerintah dan seluruh rakyat sebaiknya memfokuskan perhatian pada pendidikan, entah formal maupun informal. Dengan topografi NTT seperti ini, menurutnya, sumber dana yang terbatas sebaiknya "diboroskan" pada peningkatan SDM.

Seda, saat itu, menyoroti perlunya disiapkan tenaga-tenaga terampil pada bidang yang cocok dengan alam NTT, seperti tenaga PPL pertanian, peternakan dan kelautan. Tetapi ia juga tidak lupa menggarisbawahi pentingnya ditanamkan keuletan bekerja, semangat gotong royong, pola hidup sederhana dan gemar menabung. Watak-watak ini dibutuhkan dalam membentuk karakter seseorang agar berdaya saing dan survive dalam persaingan dewasa ini.

Problematika tenaga kerja di NTT dewasa ini memang jauh lebih kompleks dari beberapa dekade lalu. Di kampung-kampung di beberapa kabupaten seperti Lembata, Flores Timur, Sikka, dan Ende, persoalan tenaga kerja sudah hampir sama usianya dengan perjalanan propinsi ini. Tidak ada dokumen tertulis, tetapi pengalaman menunjukkan di daerah-daerah itu fakta pengiriman tenaga kerja (baca: merantau) sudah berlangsung sejak tahun enam puluhan. Nama-nama tempat seperti Tawau, Kinabalu, Johor tidak lagi asing bagi warga-warga di pedalaman Adonara, Flores Timur, di daerah timur Sikka ataupun di sebagian wilayah Lio, Ende.

Awalnya, perantauan dilakukan oleh segelintir orang tetapi sejak dasawarsa 70-an hingga saat ini, perantauan sudah menjadi tren yang digemari warga NTT tidak saja dari kabupaten-kabupaten yang disebutkan tadi. Beberapa tahun terakhir, dengan agak gampang kita menyaksikan pengiriman tenaga kerja baik legal maupun ilegal dari kabupaten lain di daratan Timor, Sumba, Alor, Rote Ndao serta Manggarai, Ngada dan Nagekeo di Pulau Flores.

Bila dicermati lebih jauh, perantauan atau dalam bahasa birokrasi pengiriman TKI adalah strategi untuk mengatasi kemelut ekonomi. Artinya, faktor ekonomi masih menjadi pemicu utama keputusan seorang perantau pergi ke Tawau ataupun kebijakan pemerintah setempat mengirim TKI. Data terakhir menunjukkan, selama 2008 sudah 7.476 TKI (di antaranya 6.558 perempuan) yang dikirim ke luar negeri. Jumlah yang tidak jauh berbeda, terjadi setiap tahun dalam lima tahun belakangan.

Tetapi pada titik ini, kita dihadapkan dengan sebuah ironi. Setiap tahun, tidak kecil juga jumlah orang dari daerah lain di negeri ini yang menyerbu NTT. Para pedagang bakso dari Jawa, pengusaha rumah-rumah makan dari Padang, pedagang beras dan kayu dari Makassar adalah fakta di depan mata kita bahwa bumi NTT ternyata masih bisa memberikan kehidupan, bahkan berlimpah, kepada anak-anaknya.

Di saat kita merayakan emas NTT, bisakah ironi ini menjadi pijak permenungan kita bersama? Mengapa kita tidak berani membalikkan kebijakan untuk tidak terlalu gencar mengampanyekan pengiriman TKI? Bukankah persoalan perantauan tidak sedikit meninggalkan pula ekses sosial dalam rumah tangga dan masyarakat?

Radzi Saleh, dalam bukunya, "Breaking Fee, Harga Sebuah Kesuksesan," mengisahkan perjuangannya sebagai seorang anak desa yang mampu membawa ribuan orang mencapai impiannya masing-masing. Mengutip Denis Waitley, ia menulis, dalam hidup ini hanya ada dua pilihan: menerima keadaan hidup sebagaimana adanya atau menerima tanggung jawab untuk mengubah keadaan itu.

"Kunci sukses saya, ialah, saya memilih yang kedua, bahkan saya merasa bertanggung jawab untuk selalu mendorong siapa pun untuk memilih hal itu--menerima tanggung jawab untuk mengubah keadaan hidup kita," kata Radzi Saleh.

Jiwa enterpreneur. Semangat kewirausahaan. Barangkali inilah kekurangan kita rakyat NTT. Tidak perlu semua tenaga kerja produktif memiliki jiwa ini. Namun dari 4 juta lebih penduduk NTT, sekiranya satu sampai lima persen di antaranya berjiwa wirausaha, bisa dipastikan taraf dan mutu hidup masyarkat kita jauh lebih baik.

Tidak fair bila ikhtiar ini kita bebankan semata pada pemerintah. Meskipun duet Lebu Raya-Esthon Foenay ketika dalam kampanye mencari simpati masyarakat sudah menjanjikan membuka lapangan kerja, tanggung jawab mestinya tetap dibebankan pada pundak kita bersama. Tentu untuk satu tujuan: demi generasi NTT lima puluh tahun ke depan. (Pos Kupang edisi Sabtu 20 September 2008 hal 1) Selanjutnya...