Jumat, 17 Oktober 2008

Dicari, 'Gudang Ternak' Sapi di Pulau Timor


DUA
atau tiga dasawarsa yang lalu, Pulau Timor dikenal dengan julukan 'Gudang Ternak Sapi' di Indonesia. Di pulau yang didominasi padang sabana ini, berkembang biak ternak sapi dengan sangat baiknya, oleh usaha peternakan rakyat. Setiap bulan, 700 - 1000 ekor sapi yang diantarpulaukan dari Pelabuhan Atapupu (Belu), Pelabuhan Wini (TTU) dan Pelabuhan Tenau (Kupang). Belasan kapal pengangkut ternak sapi milik saudagar hewan dari Surabaya dan Jakarta hilir-mudik setiap hari di laut Timor menuju Pulau Jawa. Bahkan sapi-sapi dari Timor diekspor hingga Singapura, Hongkong dan Taiwan.

Tetapi itu romantisme masa lalu. Sekarang jumlah ternak sapi yang diantarpulaukan ke Jawa hanya sekitar 800 ekor per triwulan. Bahkan jumlahnya diperkirakan terus berkurang, termasuk kualitasnya. Julukan yang diberikan almarhum Presiden Soeharto bahwa 'Timor adalah Gudang Ternak Sapi' di Indonesia, kini hanya akan jadi dongeng untuk anak cucu. Sekarang, gelar itu sudah direbut oleh Sulawesi. Di sana ternak sapi dikembangkan secara serius di ranch-ranch modern. Mereka membangun ratusan Breeding Centre Ranch dan Fattening Centre Ranch di hampir seluruh wilayah Sulawesi, terlebih di Gorontalo.

Di Kalimantan dan Sumatera (Medan) usaha ternak sapi yang modern kini sedang digalakkan. Pulau Bali pun kini sedang menggeliat. Sejak dahulu, sapi sudah begitu lekat bahkan menjadi bagian dari kebudayaan Bali. Bahkan jenis Sapi Bali (Bos Sondaicus) ditetapkan sebagai salah satu plasma nutfah dunia. Kendati populasi sapi di Bali tidak besar, Pemprov Bali sangat serius memperhatikan perkembangan mutu genetika Sapi Bali. Mereka membuat perda melarang pengeluaran sapi pejantan dan betina unggulan. Sanksinya sangat berat bila tertangkap petugas. Bahkan di Kabupaten Jembrana, Gubernur Bali memberi bantuan kapal patroli untuk mengejar penyelundup bibit Sapi Bali melalui laut.

Lalu bagaimana pengembangan ternak sapi di Pulau Timor? Mengapa sejak tahun 1980-an, populasi ternak sapi di Timor menurun drastis? Lalu bagaimana solusinya? Tulisan ini tidak bermaksud mengulas secara detail. Paparan ini hanyalah sumbang saran, urun ide sederhana bagi petani peternak, pengusaha ternak bahkan peneliti yang peduli pada usaha pengembangan ternak sapi di Pulau Timor.

Ada beberapa jenis ternak sapi yang dikembangkan, yaitu Sapi Bali (Bos Sondaicus), Sapi Grati, Sapi Madura dan sapi peranakan Ongole (keturunan hasil persilangan antara sapi Ongole jantan dan sapi betina Jawa). Namun sejak dulu, yang dikembangkan secara besar-besaran di Pulau Timor adalah Sapi Bali (Bos Sondaicus).

Bos Sondaicus, bukan hewan atau ternak asli di Pulau Timor kendati ia diklaim sebagai ternak asli Indonesia. Ia berasal dari hasil domestikasi terus menerus banteng liar Bos Sondaicus (Bos Banteng). Banyak peneliti telah berusaha mencari tahu sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor? Siapa yang membawa Sapi Bali ke Pulau Timor? Penelusuran sejarah ini perlu saya paparkan di sini sebab ini terkait dengan penjelasan kenapa populasi Sapi Bali di Timor menurun drastis. Bahkan kualitasnya memprihatinkan.

Tidak ada satu pun bahan pustaka yang ditulis seorang insinyiur peternakan, yang membahas sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor, dan bagaimana perkembangan ternak ini. Namun ada seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Kepala Kantor Goegrafi Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) bernama F.J. Ormeling, menulis beberapa catatan kecil, hasil pengamatannya terhadap orang-orang, tumbuhan dan ternak Pulau Timor. Catatan kecil Omerling itu, dijadikan buku oleh J.B. Wolters dengan judul "The Timor Problem: A Geographical Interpretation of An Underdeveloped Island" dan diterbitkan oleh Djakarta and Groningen pada tahun 1956. Seorang kurator terkenal dari NTT, Drs. Wilfridus Silab, menyelamatkan buku tua ini dan membuat terjemahannya setebal 200 halaman.

Ormeling mencatat, Sapi Bali didatangkan Pemerintah Hindia Belanda pertama kali ke Pulau Timor pada tahun 1912. Sepanjang tahun 1912, tercatat 2.700 ekor ternak dimuat di atas Kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM/Kapal Barang) dibawa ke Pulau Timor. Rinciannya, 1.000 ekor sapi, sisanya kerbau, kuda dan kambing.

Pada tahun 1919, Burgerlijke Veerartsenij Kundige Diensa (BVD/Jawatan Kehewanan Sipil Hindia Belanda) mengambil alih 'impor' Sapi Bali ke Pulau Timor. Upaya ini terpaksa dilakukan untuk membendung sapi impor dari India dan Australia, yang didatangkan beberapa pedagang Cina dan India. Menurut catatan Omerling, pada tahun 1920 jumlah ternak sapi yang masuk ke Pulau Timor menjadi 138.000 ekor. Catatan terakhir Omerling, menyebutkan sepanjang tahun 1952, ada 108.000 ekor Sapi Bali, 40.000 ekor kerbau dan 64.000 ekor kuda yang diangkut oleh beberapa kapal barang ke Pulau Timor. Ternak ini diturunkan di Pelabuhan Tenau di Kupang, Pelabuhan Wini di TTU dan Pelabuhan Atapupu di Belu.

Ada catatan menarik yang dibuat oleh Omerling. Ketika mengirim ternak ke Pulau Timor, pemerintah Hindia Belanda juga mengirim bibit tanaman Jatropha Gussypifolia (lantana cemara), dalam bentuk ribuan stek dan ratusan ribu biji dalam kemasan belasan karung. Tanaman ini, menurut Omerling adalah makanan khas Sapi Bali, bahkan pakan terbaik ternak Sapi Bali. Peternak sapi di TTU, khususnya di Noemuti, menyebut tanaman lantana cemara dengan sebutan Suf Molo (bunga kuning). Sedangkan bagi peternak sapi di Miomaffo dan Insana, menyebut tanaman untuk sapi ini dengan istilah 'Pankase'. Di TTS, Camplong dan Amarasi, tanaman unik ini disebut dengan istilah Haukopas.

Ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia ini diserahkan Belanda kepada para raja di Timor untuk dikembangbiakkan. Para raja kemudian memerintahkan para kepala suku dan rakyatnya untuk mengembangkan ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia. Sapi dan tanaman ini pun dikembangkan secara luas di Amarasi, Camplong dan Amfoang (Kupang), Amanatun, Amanuban dan Molo (TTS), Miomaffo, Insana dan Biboki (TTU) dan di Belu Utara dan Selatan. Akhirnya, sapi dan dagingnya menjadi bagian dan simbol dari urusan adat di Timor, seperti denda adat, mahar kawin, pesta adat dan sebagainya. Bahkan perdagangan sistem barter di pedalaman Pulau Timor, dilakukan dengan cara menukar sapi dengan kain dan benang yang dibawa oleh saudagar asal Cina dan India.

Pada tahun 1970 hingga 1982, ternak Sapi Bali di Timor memasuki masa-masa emas. Namun ketika memasuki tahun 1983, populasi ternak sapi di Timor mulai menurun drastis. Banyak faktor penyebabnya. Salah satunya, tanaman Jatropha Gussypifolia, yang merupakan sumber pakan terbaik Sapi Bali di Timor, terdesak oleh ekspansi tanaman gulma Cromolaena Odorata (bunga putih). Orang Timor menyebut dengan istilah Suf Muti. Ekspansi tanaman gulma ini sangat cepat, menutupi padang rumput. Padahal rumput di padang sabana adalah pakan alternatif terbanyak selain Jatropha Gussypifolia. Daun tanaman gulma ini tidak disentuh oleh ternak besar maupun ternak kecil.

Kebiasaan tebas bakar untuk membuka ladang juga penyebab lain tanaman Jatropha Gussypifolia menghilang dari hutan-hutan di Pulau Timor. Tebas bakar juga menyebabkan sumber air mengering, yang sangat dibutuhkan ternak saat musim kemarau. Selain itu, sejak tahun 1980, adanya pengembangan tanaman jambu mente besar-besaran di Pulau Timor. Dalam satu dasawarsa saja, tercatat 28.000 hektar padang sabana, yang merupakan padang penggemabalaan sapi di beberapa tempat di TTS, TTU dan Belu 'menghilang' diganti dengan tanaman jambu mente. Dan kini padang sabana juga sudah dijejali dengan tanaman jarak pagar.

"Sejak dahulu, Belanda telah melihat Pulau Timor sebagai tempat paling pas untuk mengembangkan ternak. Sedangkan Flores adalah tempat paling pas untuk mengembangkan tanaman perkebunan. Tapi sekarang tanaman perkebunan menjejali padang penggembalaan di Pulau Timor. Intervensi program ini benar-benar berdampak buruk bagi jumlah populasi ternak sapi di Pulau Timor," jelas Thomas Hartanto, salah satu saudagar hewan di Kefamenanu.

Pada tahun 1970-an Hartanto sering mengirim sapi ke Pulau Jawa.

"Tapi sekarang saya sudah beralih profesi sebagai kontraktor bangunan. Bisnis sapi sudah tidak cerah lagi. Dapat 50 ekor sapi dengan kualitas terbaik dalam satu bulan adalah mukjizat. Lebih baik saya dagang yang lain saja," jelas Hartanto dalam suatu kesempatan diskusi.

Hartanto juga melihat lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pengeluaran sapi ke Pulau Jawa. Ribuan sapi antan unggulan dan betina produktif diantarpulaukan sejak tahun 1970.

"Seleksi negatif dalam perdagangan sapi antarpulau yang berlangsung lama menyebabkan mutu genetika Sapi Bali di Timor terdegradasi. Sapi jantan paron kualitas terbaik diantarpulaukan dan tinggal sapi jantan inferior berkembang biak di padang penggembalaan. Maka jangan heran kalau dengar orang melecehkan kita. Mereka bilang sapi dari Pulau Timor seperti 'kakaknya kambing'," jelas Hartanto.

Lalu bagaimana solusinya? Perlu dipikirkan membuat program budidaya tanaman pakan untuk ternak Sapi Bali di Pulau Timor. Sekarang ada upaya dari pemerintah untuk membudidayakan tanaman king grass (Pennisetum Purpureophoides), turi (Sesbania Glandiflora) dan lamtoro (Laucaena Leucocephala), yang ditumpangkan pada ladang para petani. Tapi usaha ini tidak berjalan maksimal. Selain itu, tanaman lamtoro juga tidak tahan hama atau riskan diserang hama kutu loncat. Mungkin kita perlu membudidayakan tanaman Jatropha Gussypifolia, yang kini terancam punah. Daunnya selain paling suka dimakan sapi, kulit batangnya juga paling disukai kambing. Daunnya juga sangat menyuburkan tanah. Tumbuhnya mudah dan pintar beradaptasi dengan jenis tanah mana pun di kawasan tropis. Jika pemerintah melalui lembaga pendidikan tinggi mengembangbiakan tanaman ini, saya kira secara tidak langsung sumber pakan ini membantu mendongkrak populasi ternak sapi.

Berikutnya, perlu dipikirkan suatu cara pengembangan atau perbaikan padang rumput alam yang moderat ditinjau dari aspek teknis dan ekonomis, yakni cara kultivasi parsial. Artinya vegetasi asli padang rumput alam tetap dipertahankan, namun perlu juga disisipi tanaman pakan budidaya maupun legum yang memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan sekitar.

Selain itu, di Pulau Timor, sedikitnya terdapat 21 jenis tanaman yang tumbuh di hutan, yang bisa dijadikan sumber pakan alternatif bagi ternak sapi. Orang Timor mengidentifikasi tanaman itu antara lain busi, metani, bubuk, niko, nun me (beringin), palelo, lilfui (orang Kupang menyebut: Dilak), name, nun tani, klole, kaliandra, kabena, bafkenu, fekfeku, nuntili, nuk bai, loam, hau sisi, feub, timo dan kium. Perguruan tinggi di NTT bisa melakukan penelitian untuk mengembangkan secara besar-besaran menjadi sumber pakan alternatif bagi ternak sapi.

Para peternak sapi di NTT, lebih khusus di Timor, perlu belajar dari Provinsi Bali. Di Pulau Dewata, Kantor UPTD Peternakan menghimpun 12 pejantan sapi unggulan dari enam kabupaten se-Bali. Pada usia usia 2,5 tahun sampai masa produksinya 8 tahunan, petugas mengambil simen. Pengambilan simen atau spermanya dilakukan dua kali sepekan oleh tenaga terlatih. Sebelum diproses, simen segar dievaluasi terlebih dulu kualitasnya. Evaluasi secara makroskopis meliputi kebersihan, warna, bau dan volume. Sedangkan sisi mikroskopisnya dilihat menggunakan sperm analyzer -sperm vision dan alat penghitung konsentrasi spermatozoa (spektrofotometer) - spermacue SDM5. Dengan alat tersebut diketahui tingkat motilitas, gerakan, morfologis dan konsentrasi. Hanya simen segar yang memenuhi standar dengan angka progresive motilitas lebih dari 70 persen dan konsentrasi 1 milyar, akan diproses lebih lanjut.

Simen kemudian dikemas dalam mini strow berukuran 0,25 ml menggunakan alat pengemas khusus. Simen sapi tersebut dengan penyimpanan khusus pada suhu minus 196 bisa bertahan bertahun-tahun. Dan hanya simen yang bagus akan dijual ke peternak. Dengan begitu kelak didapat mutu genetika Sapi Bali yang bagus dan bersaing. Beberapa upaya yang digambarkan di atas, bukan tidak mungkin kelak bisa mengembalikan pamor Pulau Timor sebagai 'Gudang Ternak' Sapi di Indonesia. Semoga ! (julius akoit/PK edisi Sabtu 18/10/2008 hal 1)
Selanjutnya...