Minggu, 06 Maret 2011

Dari Workshop Akuntabilitas Anggaran (1)


Terjebak Permainan Eksekutif

BERTEMPAT di ruang Bengawan Solo 2, Hotel Sahid Jaya Makasar, Sabtu-Senin (8-10/1/2011), berlangsung Workshop Nasional bertajuk Peranan CSO (Civil Society Organisation) dan Media dalam Monitoring Akuntabilitas Anggaran. Kegiatan yang diselenggarakan Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi itu, diikuti juga wartawan Pos Kupang, Alfons Nedabang. Berikut laporannya.

Indonesia tidak dikategorikan sebagai negara miskin. Indonesia dikategorikan sebagai negara yang salah urus. Demikian Winarso dari KOPEL Sulawesi, di awal pertemuan workhsop.

Salah urus, menurut Winarso, diantaranya tercermin dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap daerah. "Pemerintah gagal membuat skala proritas," cetus Winarso.

KOPEL Sulawasi punya alasan. Dari sisi kapasitas anggaran, KOPEL menemukan permasalahan yang sama di sebagian besar kabupaten kota di Sulawesi Selatan. Pada tahun 2007 misalnya, struktur APBD menunjukkan masih dominan pemanfaatan belanja daerah untuk kepentingan aparatur. Rata-rata 63-67 persen belanja daerah dialokasikan untuk gaji, honorarium, dan pengadaan sarana prasarana aparatur. Sementara untuk alokasi anggaran bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, banyak ditemukan tidak lebih dari 35 persen belanja daerah. Kenaikan belanja langsung yang terkait dengan anggaran pelayanan publik selalu kecil setiap tahun. Hal ini umumnya disebabkan oleh karena tingginya kenaikan belanja pegawai (gaji dan tunjangan serta tambahan penghasilan bagi PNS).

Struktur APBD propinsi, kabupaten/kota di NTT juga tidak jauh berbeda dengan hasil temuan KOPEL di kabupaten kota di Sulawesi Selatan. Komposisi terbesar ada pada belanja aparatur. Beberapa kepala daerah di NTT bertekad membalikan komposisi anggaran, belanja langsung lebih besar dari belanja aparatur, namun masih sebatas retorika.

Bagaimana konten anggaran? Menurut Winarso, eksekutif hebat buat judul program, sementara sub anggaran lain lagi. Ia mencontohkan, dalam rencana kerja anggaran (RKA), meliputi kelompok belanja, jenis belanja, objek belanja dan rincian belanja. Namun, pada saat pembahasan di DPRD, eksekutif hanya menyodorkan kepada legislatif dokumen anggaran yang hanya tertera kelompok belanja dan jenis belanja. Sedangkan objek dan rincian belanja dirahasiakan eksekutif.

"Saat pembahasan anggaran, dewan hanya melihat judul dan angkanya saja. Semestinya, dalam konteks penyusunan anggaran, dewan harus tahu objek dan rinciaannya. Selama ini, kita sering terjebak dengan permainan dan kepintaran eksekutif," katanya.

Soal jebakan eksekutif, KOPEL Sulawesi punya temuan. Di Dinas Kesehatan Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ada program dengan judul mentereng pemberantasan penyakit menular dengan alokasi anggaran Rp 48.199.994. Sasaran pemanfaat kegiatan ini adalah calon jamaah haji. Namun, ternyata hanya 1 persen atau Rp 250.000 dari total anggaran yang dibelanjakan untuk pemberantasan penyakit menular, yaitu berupa belanja bahan kimia (pleno test). Selebihnya, untuk keperluan administratif berupa alat tulis kantor, foto copy, makan dan minum. Lebih parahnya lagi, sebanyak 94 persen atau Rp 45.029.994, dari total anggaran tersebut digunakan alokasi anggaran perjalanan dinas.

Rinciannya, alat tulis kantor Rp 320.000; foto copy Rp 200.000; bahan kimia (pleno test) Rp 250.000; makan minum Rp 2.400.000 dan perjalanan dinas Rp 45.029.994.

Dari judul programnya, nampak kegiatan itu memiliki maksud dan tujuan mulia. Namun, pengalokasian anggaran tidak berpihak. Anggaran yang diperuntukan untuk kegiatan itu dipandang sangat minim, dan ternyata lebih banyak digunakan untuk keperluan administratif, makan minum dan perjalanan dinas. Hal yang seperti ini kemudian oleh anggota dewan mengabaikannya. Dewan juga tidak melakukan kajian yang ditindaklanjuti dengan mengambil langkah-langkah untuk melakukan relokasi anggaran. Sudah tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan.

Apa yang terjadi di Kabupaten Luwu Timur, adalah salah satu contoh. Ini baru satu kegiatan dari sekian banyak kegiatan di dinas kesehatan. Belum lagi program dan kegiatan di dinas lain yang formulasinya kurang lebih sama. Kasus ini hanyalah fenomena gunung es. Banyak yang belum terungkap.

Kasus seperti ini, juga bukan hanya terjadi di Luwu Timur. Saya yakin, terjadi juga di NTT. Jika kita mencermati setiap program/kegiatan setiap SKPD dengan baik, maka pasti menemukannya. Beberapa waktu lalu di Kota Kupang, misalnya, kalangan dewan mempersoalkan pengalokasian anggaran untuk honor kepala daerah dan wakil kepala daerah, sekda serta panitia kegiatan/program. Hal itu tertera di dalam RKA, setiap panitia kegiatan dari SKPD ada ada honor untuk pelindung, penasehat yang adalah pejabat. Kalau setiap program ada honor untuk kepala daerah dan pejabat lainnya, sudah tentu anggaran belanja publik yang sudah sedikit, ikut tersedot lagi. Belum lagi untuk biaya administrasi, pejalanan dinas dan biaya makan minum. Eksekutif berlindung dibalik aturan yang memperbolehkan.

Secara proses, penganggaran pada dasarnya melibatkan legislatif, eksekutif dan masyarakat. Ketiga komponen ini secara berjenjang terlibat melakukan penyusunan anggaran mulai dari proses perencanaan hingga penetapan anggaran di DPRD.

Masyarakat, dewan dan eksekutif bersama-sama merumuskan kegiatan dan program-program yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat melalui musrenbang.

Pelaksanaan musrenbang dimulai dari tahapan di tingkat desa/kelurahan. Setelah itu, musrenbang kecamatan, forum SKPD, hingga musrenbang tingkat kabupaten. Selanjutnya, musrenbang tingkat propinsi dan musrenbang nasional.

Dalam pelaksanaannnya, dari setiap tahap, masih ditemukan berbagai permasalahan yang kemudian mengurangi kualitas prencanaan pembangunan. Beberapa permasalahan Musrenbang yang masih dipandang serius, antara lain tingkat partisipasi masyarakat masih rendah, keterwakilan kelompok-kelompok kepentingan yang strategis belum banyak terakomodir. Teknis persiapan seringkali mendadak dan pelaksanaan kegiatan seringkali mengesampingkan prinsip-prinsip musyawarah sekedar formalitas. Proses fasilitasi untuk menentukan program prioritas masih sering didominasi oleh aspirasi aparat pemerintah. Berikutnya adalah, banyak usulan dari bawah tidak terkover. Ada usulan hilang dalam perjalanan.

Bagaimana dengan anggota legislatif? Dalam menjalankan tupoksinya, anggota dewan juga terjebak pada prosedural yang sangat mekanistik dalam setiap proses-proses pengambilan kebijakan. Dewan cendrung mengabaikan aspek-aspek moralitas atau nilai yang harus diemban sebagai wakil rakyat.

Sebagai contoh dalam pembahasan RAPBD, anggota dewan melakukan pembahasan sesuai dengan proses yang harus dilakukan, mereka tidak satupan melanggar ketentuan dan peraturan yang ada. Namun, APBD yang mereka bahas tidak mencerminkan keberpihakan bagi masyarakat, tidak tepat sasaran untuk peruntukkannya dalam setiap program di SKPD, mengabaikan aspirasi masyarakat dan sebagainya. Apa yang menjadi usulan eksekutif yang tertuang dalam dokumen RAPBD tidak sepenuhnya dikiritisi oleh dewan. Harus jujur mengatakan bahwa, hal ini karena masih kurangnya pengetahuan wakil rakyat. Apalagi, saat ini legislatif didominasi wajah baru, belum bernah mendapatkan pengalaman kelegislatifan menambah problem baru di DPRD. Keterbatasan yang dimiliki dewan, tentu saja berimpilikasi pada produk kebijakan yang akan dilahirkan. Belum lagi kepentingan masing-masing partai politik yang dititipkan kepada mereka. Ada juga anggota dewan yang lebih senang urusan proyek dan terlibat kasus hukum.

Jika faktor-faktor yang dikemukakan di atas, tidak dibenahi maka perumusan APBD yang berpihak kepada rakyat tidak akan terwujud. Kelompok-kelompok rentan yang selama ini kurang memiliki akses terhadap penerimaan manfaat dari anggaran pembangunan, sudah pasti tetap tidak tersentuh. Masalah-masalah yang dihadapi kelompok rentan, seperti rendahnya kualitas kesehatan, rendahnya akses dan kualitas pendidikan, kurangnya perlindungan secara hukum, dan rendahnya perlindungan ekonomi, tidak terselesaikan dengan baik karena pemerintah tidak menjadikan mereka sebagai skala proritas.(Pos Kupang edisi 24 Januari 2011) Selanjutnya...

Dari Workshop Akuntabilitas Anggaran (2)

Perlu Poster dan Baliho APBD

DIBANDINGKAN dengan Sulawesi Selatan, NTT masih tertinggal dalam hal akuntabilitas anggaran. Jangankan mengetahui isinya, melihat dan memperoleh dokumen APBD propinsi dan kabupaten/kota di NTT, dirasakan sulit bukan main oleh masyarakat.

Di Kota Makasar, publikasi APBD dengan menggunakan poster dan kalender. Hal ini dilakukan sejak tahun 2009. Kepala Bappeda Kota Makasar, M. Idris Patarai, ketika memaparkan materi Akuntabilitas dan Pelayanan Publik Kota Makasar, mengatakan, publikasi APBD dengan poster dan kalander bertujuan mendorong transparansi anggaran pada tubuh pemerintah daerah.

Poster disebar ke seluruh masyarakat. Selain itu, dipasang di tempat-tempat terbuka dan strategis seperti kantor-kantor lurah, rumah-rumah tokoh masyarakat dan juga pada setiap instansi pemerintah pemberi layanan kepada masyarakat.

Publikasi dalam bentuk poster merupakan ringkasan APBD 2009 menurut SKPD dan nama-nama penanggungjawab anggaran. Dalam poster dimuat total pendapatan dan belanja daerah, serta anggaran belanja yang ada di setiap SKPD. Pada poster juga tercantum alamat dan nomor telepon dari SKPD yang merupakan instansi pengguna anggaran APBD.

Menurut Idris Patarai, pencantuman alamat dan nomor telepon dengan tujuan untuk memberikan informasi bagi warga yang punya keperluan dan pengaduan terkait dengan realisasi anggaran yang dilakukan oleh setiap SKPD.

Kota Makasar bukan satu-satunya daerah di Sulawesi Selatan yang melakukan publikasi APBD. Menurut data KOPEL Sulawesi, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Luwu Timur juga mempublikasi APBD.

Di Kabupaten Bantaeng, selain menggunakan poster, sosialisasi APBD juga menggunakan kalender. Antusiasme pemerintah daerah Bantaeng terhadap adanya transparansi anggaran lebih banyak didorong dari elit-elit pemerintahan, termasuk Bupati Bantaeng.

Di Kabupaten Tana Toraja, publikasi APBD juga lewat poster, dan mulai dilaksanakan tahun 2009. Kalau pada tahun pertama pemerintah yang lebih berperan. Sedangkan pada tahun 2010 inisiasi datang dari sejumlah anggota dewan.

Di Kabupaten Luwu Timur, awalnya publikasi APBD melalui website pemerintah daerah setempat. Karena kurang efektif bagi masyarakat yang ada di kecamatan dan desa karena tidak dapat mengakses internet, maka pada tahun 2010, pemerintah daerah Luwu Timur melakukan publikasi APBD lewat baliho, dipajang di seluruh kecamatan. Menurut KOPEL Sulawesi, baliho APBD versi pemerintah daerah Luwu Timur merupakan hal pertama kali dilakukan di Sulawesi Selatan.

Pilihan menggunakan poster, kalander dan baliho untuk mempublikasi APBD, dapat dipahami karena secara teknis, media-media itu yang cukup praktis memberikan informasi anggaran bagi masyarakat. Poster, kalander dan baliho memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Dengan begitu, masyarakat tertarik untuk mengetahui secara pasti berapa jumlah pendapatan dan belanja yang selama ini diterima dan dikeluarkan oleh pemerintah.

Pemakaian poster, kalander dan baliho adalah bentuk respon baik dari pemerintah daerah di Sulawesi Selatan untuk mendoring adanya transparansi anggaran.

Di NTT, masih jauh dari jangkauan pemikiran pejabat-pejabat untuk mempublikasi APBD. Jangankan mempublikasi, mengakses APBD masih sulit. Tabu bagi pejabat kita untuk menginformasikan anggaran kepada masyarakat. Takut ketahuan, alokasi anggaran buat pejabat lebih besar ketimbang untuk masyarakat. Tapi kalau omong akuntabilitas anggaran, pejabat-pejabat di NTT nomor satu. Pada setiap kesempatan selalu menekankan pentingnya akuntabilitas anggaran. Ternyata, hanya retorika. Yang terjadi selama ini, pemerintah daerah hanya mempublikasi lewat media massa, itupun hanya berupa informasi laporan pertanggungjawaban kepala daerah.

Apa yang terjadi di Sulawesi Selatan, patut diapresiasi. Perubahan sikap pemerintah daerah dari sebelumnya tidak mau menjadi mau mempublikasi APBD, tidak terlepas dari peranan civil society organisation (CSO) dan media massa.

Di Sulawesi Selatan, selain ada KOPEL, ada juga parlemen group alias paslemen jalanan yang mengorganisir diri secara solid. KOPEL dan Parlemen group mendesain posko aspirasi, baik ditingkat desa/kelurahan maupun ditingkat kecamatan. Sasaran pembbentukan posku ini adalah untuk mengakomodir kepentignan kaum marginal (tani, nelayan) yang selama ini terpinggirkan. Mereka bekerja menyerap aspirasi kebutuhan masyarakat lokal.

"Ini menjadi model pembelajaran kepada masyarakat bahwa gedung DPRD bukan satu-satunya tempat untuk memasukan aspirasi. Karena, selama ini dikesankan seolah-olah kantor DPRD adalah harga mati untuk pemyampaikan aspirasi," ujar Syamsuddin Alimsyah dari KOPEL Sulawesi.

Menurut Syamsuddin, kehadiran posko aspirasi menarik anggota dewan mendekati masyarakat. Sebaliknya, masyarakat juga bisa menilai, siapa yang lebih rajin mendatangi dan mendengarkan aspriasi mereka.

Syamsuddin mengatakan, posko aspirasi ini juga merupakan respon atas berbagai keluhan masyarakat, diantaranya masih banyak anggota dewan yang pintar menggombal. Padahal, pada waktu kampanye calon anggota dewan mengumpulkan masyarakat, memberi makan, bahkan sedikit mengemis minta kasihan agar masyarakat memilihnya. Tapi setelah terpilih, jangankan menyapa, membuka kaca mobilnya saja enggan.

Kehadiran posko aspirasi diharapkan antara rakyat dan wakilnya akan terbangun komunikasi yang efektif. Dengan komunikasi yang efektif, segala sekat dan hambatan yang selama ini terjadi, bisa dihilangkan.

Sony Wakyono, pemimpin redaksi harian Pos Kota di Makasar, mengatakan, media massa juga memiliki andil dalam mendorong publikasi APBD di Sulawesi Selatan. "Perjuangan untuk perubahan ini membutuhkan waktu yang sangat panjang. CSO dan media harus bersinergi," kata Wakyono.

Dalam konteks NTT, harus diakui bahwa CSO dan media massa belum mampu mendorong pemerintah daerah melakukan publikasi APBD. Tidak ada CSO yang mengusung isu advokasi APBD. Boleh jadi, isu APBD belum dianggap sebagai isu seksi oleh CSO. Faktor lainnya, kemesraan antara CSO dengan pemerintah daerah. Banyak CSO yang 'bermitra' dengan pemerintah sehingga sungkan untuk mengkritisi APBD. Adanya ikatan emosional antara orang-orang CSO dengan elit-elit pemerintah, hubungan kekerabatan, pertemanan dan keluarga, juga menjadi faktor yang ikut menentukan sikap CSO.

Olkes dari CIS Timor yang juga menjadi peserta workshop, mengakui, belum punya pengalaman melakukan advokasi isu APBD kepada masyarakat. Menurutnya, CIS Timor hanya baru melakukan advokasi terhadap perempuan di tingkat desa di Kabupaten Kupang untuk memantau perancanaan dan penggunaan dana alokasi desa (ADD). "Kita memang perlu mengakrabkan APBD dengan masyarakat," katanya.

Peran media massa di NTT juga belum nampak dalam mendorong publikasi APBD. Hal ini diduga karena media 'mesrah' dengan pemerintah sehingga tidak mencermati lebih jauh tentang APBD, selain faktor keterbatasan kemampuan wartawan dalam membaca angka-angka.

Oleh karena itu, perlu peningkatan kapasitas CSO dan media massa serta masyarakat sipil untuk mendorong akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran daerah. Sinergisitas antara CSO, media massa dan masyarakat juga dibutuhkan. Hanya dengan begitu, anggaran yang lebih berpihak kepada masyarakat, bisa terwujud. Keberpihakan ini tercermin dalam kebijakan program serta proyek-proyek yang disusun dan dilaksanakan. Apakah kita mau mencontohi Sulawesi Selatan? (Pos Kupang, 25 Januari 2011) Selanjutnya...

Basira di Pusaran Ketertinggalan


BAYANGKAN Pulau Flores. Abaikan bagian tengah dan baratnya. Arahkan pikiran ke ujung timur. Pada 'kepala burung' yang kerap disebut Tanjung Kopong Dei, nah disitulah desa Patisira Walang.

Patirisa Walang lebih dikenal dengan Basira. Menjadi desa definitif tahun 1995, setelah tiga tahun melakukan persiapan. Basira berada di Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. Sebelumnya, Basira yang saat ini didiami sekitar 250 kepala keluarga, dalam pelukan Desa Latonliwo.

Mendatangi Basira, so pasti tidak segampang membayangkannya. Pasalnya, infrastruktur sangat tidak layak. Jalan rusak parah. Angkutan umum pedesaan tidak ada. Perjalanan menghabiskan waktu yang lama, melelahkan, dan nyawa taruhannya.

Saya berkesempatan mengunjungi Basira pada akhir Juli 2010. Terlibat dalam kegiatan Kemah Kerja Kitab Suci (K3S) Aktivitas Pendalaman Iman (API) Renha Rosari Mahasiswa Katholik Dioses Larantuka-Kupang.

Bersama tiga teman, Kris Hayon, Alo Lebuan dan Feris Koten, menjajal perjalanan darat dengan menunggang sepeda motor. Perjalanan dimulai dari Larantuka, melewati Waiklibang, ibu kota Kecamatan Tanjung Bunga. Larantuka-Waiklibang ditempuh dengan 45 menit, sedikit lebih cepat jika dibandingkan dengan menumpang angkutan pedesaan.

Sekitar satu kilometer selepas Waiklibang, tepatnya di Riangpigang, belok kanan menuju Basira. Kondisi jalan Waiklibang-Basira, memang tidak semua rusak. Satu dua kilometer pertama, jalan masih bagus. Rabat beton masih utuh. Setelah itu, jalan rusak parah. Ada ruas jalan yang sudah diaspal, namun aspal terkelupas sehingga meninggalkan lubang di sana sini. Ada juga ruas jalan rabat beton, namun kondisinya sama parah dengan ruas jalan tanah. Selain karena konstruksinya kurang bagus, diduga karena pada saat campuran semen masih basah, sudah dilewati kendaraan. Jejak kendaraan terlihat jelas pada rabat beton.

Selain rusak, umumnya jalan sempit, berkelok-kelok, mendaki dan menurun. Kerikir berserakan. Melintasinya, membutuhkan kehati-hatian. Jika tidak, terpeleset dan jatuh, sebagaimana dialami Kris Hayon dan Alo Lebuan. Motor lecet, badan luka-luka. "Ini resiko perjalanan," celetuk Feris Koten, sambil tertawa.

Memasuki Basira, mulai dari Koten, Desa Latonliwo, jalan baru dikerjakan, memotong bukit dan gunung. Jalan tanah dengan lebar empat meter, sepanjang tiga kilometer. Jalan tembus Basira pada tanggal 27 Juli 2010. Pengerjaan jalan berhenti persis di tengah desa.

Dengan dibukanya jalan, memudahkan kendaraan mencapai Basira. Jauh sebelumnya, kendaraan dari Waiklibang berhenti di Latonliwo. Selanjutnya, warga berjalan kaki. Sekarang, untuk bepergian, warga bisa menggunakan sepeda motor ojek. Ongkos ojek Waiklibang-Basira Rp 50.000, belum termasuk ongkos barang bawaan. Waiklibang-Basira berjarak sekitar 30 kilometer, ditempuh 1,5 jam.

"Indonesia sudah lama merdeka tapi Basira belum merdeka. Jalan baru saja dibuka, belum diaspal. Kalau musim hujan, sangat parah karena berlumpur," ujar Simon Suda Soge (50), tokoh masyarakat Basira.

Jalur darat bukan satu-satunya pilihan ke Basira. Basira bisa juga diakses lewat jalur laut. Moda transportasi yang menjadi andalan adalah perahu motor. Hanya ada dua perahu motor, itu pun tidak setiap hari beroperasi. Adapun jadwalnya, Senin dan Kamis berangkat dari Basira, sedangkan dari Larantuka setiap hari Selasa dan Jumat, naik di Lewerang, dekat pelabuhan pendaratan ikan. Tarif Rp 20.000 per penumpang, belum termasuk barang bawaan. Kalau membawa semen atau beras, setiap satuannya dikenai ongkos angkut Rp 5.000. Untuk seng, ongkos angkutnya Rp 2.500 per lembar. Ongkos angkut ini berlaku juga saat tiba di Basira, dari pelabuhan ke rumah warga. Jalan mendaki dan jaraknya sedikit jauh, menjadi alasan warga meminta bayaran kepada pemilik barang. Ongkos pikul satu sak semen Rp 5.000, seng Rp 2.500 per lembar.

Selain jalan yang rusak dan sarana transportasi yang tidak memadai, masalah listrik turut mempertegas kondisi memprihatinkan Basira. Saat ini, menggunakan listrik tenaga surya atau solar raise, bantuan pemerintah Propinsi NTT. Tidak semua rumah tangga menikmatinya, karena solar raise hanya 31 paket. Satu paket dipasang di kantor desa dan 30 paket lainnya di rumah warga. Pemasangan dilakukan Oktober 2009.

Arus listriknya yang terbatas, membuat setiap rumah tangga yang memiliki solar raise, hanya bisa menyalakan lampu berdaya 10 Watt. Meski dengan tiga lampu, tidak cukup untuk membaca buka karena cahanya suram. Menyalakan televisi, sudah tentu tidak mungkin.

Sektor pendidikan Basira juga pincang. Ada satu taman kanak-kanak dan dua sekolah dasar, yaitu SD Negeri Tone dan SD Inpres Lantoliwo. Kondisi SD Negeri Tone sangat memprihatinkan. Dindingnya dari keneka, bambu yang dicincang dan dibelah. Murid dan guru bisa diliat dari luar lewat celah keneka. Lantai tanah. Bangku meja apa adanya, dan terbatas. Satu bangku dan meja yang seharusnya digunakan dua murid, dimanfaatkan empat orang. Duduknya berdesakan. SD Negeri Tone dibangun pasca gempa tahun 1992 pasca gempa, namun sampai saat ini tidak diperbaiki.

Jumlah guru juga masih kurang. SD Negeri Tone, misalnya, hanya ada empat guru PNS dan empat guru honorer. Jangan tanya soal fasilitas lainnya, seperti komputer karena memang tidak ada. Anak-anak yang tamat SD, melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Tanjung Bunga di Koten, Desa Latonliwo. Pergi pulang dengan berjalan kaki. Jauh sebelumnya, banyak anak dari Basira dan desa tetangga lainnya sekolah di SMP Negeri Tanjung Bunga di Waiklibang.

Sektor kesehatan juga bermasalah. Satu-satunya sarana kesehatan yang ada di Basira adalah poliklinik, dengan satu bidan. Jika warga sakit berat, maka berobat ke puskesmas pembantu di Desa Latonliwo dan ke puskesmas Waiklibang. Banyak juga yang berobat ke Larantuka. Anda bayangkan bagaimana jika seorang ibu hamil nifas membutuhkan pertolongan segera. "Idealnya ada puskesmas di Basira," ujar Damianus Bading Kesin (29).

Ketertinggalan Basira turut berpengaruh pada perekonomian dan pembangunan. Warga sulit membangun rumah permanen karena sulit memperoleh bahan bangunan. Pasir, misalnya, harus diangkut dengan menggunakan motor laut dari Tana Belen, Aransina dan Lewotutu, sekitar 10 kilometer dari Basira. Satu kubik pasir setara dengan 52 blek Khongguan besar, seharga Rp 200.000. Ongkos angkut dengan perahu Rp 300.000. Ongkos pikul dari pantai ke rumah warga Rp 5.000 per blek Khongguan.

"Saat membangun kantor desa tahun 2007, warga merasakan susah mengangkut material bangunan. Sekarang, warga yang adalah umat juga keberatan pembangunan gereja permanen karena khawatir gereja belum selesai umat sudah mati karena pikul barang," ujar Simon Soge.

Umumnya, masyarakat Basira hidup dari bercocok tanam. Hasil pertanian yang menonjol dan menjadi andalan adalah kacang tanah, jagung, padi serta jambu mete. Kacang tanah polong dijual Rp 50.000 per blek Khongguan. Gaplek atau ubi kayu kering dijual Rp 13.000 per blek Khongguan, dan jambu mente Rp 8.000 per kg. Basira juga sebagai daerah penghasil ikan. Selain untuk makan, hasil pertanian dan laut dijual tapi tidak seberapa banyak karena terkendala pasar. Untuk berjualan, harus ke Waiklibang dan Larantuka. Jarak yang jauh serta sarana yang terbatas, membuat jumlah barang yang dibawa juga terbatas. Ikan dan hasil pertanian lainnya seperti buah-buahan berpotensi rusak di perjalanan, sebelum dijual.

Kadang, ada pembeli datang di Basira. Umumnya, berasal dari Bugis/Makasar (Selawesi Selatan) dan Maumere, Kabupaten Sikka. Meski satu sisi menguntungkan, namun di sisi lain, kehadiran pembeli di Basira melemahkan posisi tawar petani/nelayan. Tidak sedikit petani/nelayan terjebak sistim ijon.

Kondisi Basira yang tertinggal khusus merupakan potret kesenjangan pembangunan desa dan kota. Selama ini pembangunan masih berorientasi kota, sementara desa semakin terabaikan. Tengok saja di kota, segala sesuatu menumpuk di sana. Aparatur pemerintah juga semuanya terkonsentrasi di kota. Jika hal ini terus dibiarkan maka pembangunan antara desa dan kota menjadi gap yang kian lebar. Kota semakin maju sementara desa kian tertinggal. Dikotomi desa dan kota semakin menguat. Sudah pasti, menimbulkan kecemburan dan menyuburkan benih-benih disintegrasi.

Keberadaannya jauh dari pusat pemerintahan, bukan menjadi alasan pemerintah daerah untuk tidak memperhatikan Basira atau desa lainnya. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah Kabupaten Flores Timur dan pemerintah Propinsi NTT bersinergi memprakarsai pengembangan desa dengan berbagai bentuk intervensi program pembangunan, dengan mengoptimalkan sumber daya serta kearifan lokal yang dimiliki, agar kondisi Basira dan atau desa lain, kedepannya lebih baik. Pada aras ini, dibutuhkan political will, yang diikuti dengan kebijakan pengalokasian anggaran pembangunan desa yang lebih banyak. Mari membangun dari desa, demikian koor yang harus terus dinyanyikan bersama. Hanya dengan begitu, Basira atau desa lain, bisa keluar dari pusaran ketertinggalannya. (diturunkan di Pos Kupang, 20 Januari 2011) Selanjutnya...

Perspektif Pemerintahan Sony Libing


ZET Sony Libing meraih gelar doktor ilmu pemerintahan di Universitas Padjajaran Bandung, pada usia 39 tahun. Ia merupakan satu dari sedikit putra-putri NTT yang menggapai doktor pada usia yang masih tergolong muda. Disertasinya tentang perilaku pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di NTT, studi kasus di beberapa kabupaten, diantaranya Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), Alor dan Kabupaten Rote Ndao.

"Waktu kecil saya hanya bermimpi menjadi sarjana. Namun, Tuhan menuntun saya sampai doktor. Menjadi doktor adalah berkat Tuhan. Oleh karena itu, harus menjadi saluran bagi sesama," ujarnya.

Saat ditemui di rumahnya di Kelurahan Liliba, Kota Kupang, pekan lalu, Sony menjelaskan tentang perilaku pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tentang aktivitasnya sebagai PNS, konsultan pemerintah daerah dan dosen. Ia menceritrakan mengenai keluarganya serta kegemarannya, membaca dan joging. Selain itu, ia juga mengutarakan tentang obsesinya. Berikut ini petikan wawancara wartawan Pos Kupang, Alfons Nedabang dengan DR. Zet Sony Libing, M.Si.


Mengapa tertarik dengan ilmu pemerintahan?

Pemerintahan itu suatu organisasi formal yang punya visi mulia. Ia satu-satunya organisasi yang diserahi kewenangan oleh negara untuk mengelolah negara, sambil membangun kerja sama dengan komponen lain. Ia variabel determinan dari negara, dan mendapat kepercayaan menjalankan tugas negara. Kedua, banyak orang yang bekerja dalam lapangan pemerintahan tetapi terlalu sedikit yang mengerti pemerintahan. Karena visi mulia pemerintahan dan juga karena praktek-praktek pemerintahan itu banyak terjadi pengingkaran terhadap visi mulia itu. Maka, saya merasa tertarik untuk melakukan studi ilmu kepemerintahan.
Selain itu, ayah saya seorang kepala kampung. Setelah itu menjadi kepala desa hampir 30 tahun. Kakek saya, juga kepala desa. Mungkin itu yang mengalir dalam diri saya.

Dari studi mengenai praktek penyelenggaraan pemerintah daerah, apa yang Anda temukan?

Ada tiga persoalan besar. Pertama, birokrasi pemerintahan yang punya peran yang begitu besar dalam menjalankan kebijakan pembangunan itu, masih pada posisi dimana kemampuan untuk mengidetifikasi masalah yang tepat tentang kebutuhan dan permasalahan rakyat, belum sempurna. Kedua, kemampuan merumuskan kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan yang berkaitan dengan masalah riil rakyat, belum optimal. Hal ketiga, kemampuan untuk menjalankan program-program, juga belum optimal di lapangan. Sebenarnya, ada satu hal lagi, yaitu jiwa besar dalam melakukan asesmen atau penilaian terhadap program yang dijalankan, itu pun belum profesional. Tidak punya jiwa besar untuk mengatakan kinerjanya rendah atau belum optimal.

Apa penyebabnya?

Good will dan political will serta komitmen dari disesenmaker untuk menempatkan birokrat tepat pada tempatnya. Artinya, profesionalitas birokrasi pemerintrahan ditempatkan pada posisi yang tepat sesuai kealihannya, kadang terabaikan. Pada saat yang bersamaan, pada tataran birokrasi pemerintah itu sendiri, menemukan persoalan profesionalitas, komitment, perilaku, mentalitas, mid zet, mengapa dia menjadi biokrat, apa tugasnya dan bagaimana dia mengerjakan tugasnya. Tetapi, pada saat yang bersaman juga pemerintah itu tidak bisa berubah sendirinya jikalau tanpa ada sosial control dari rakyat, dari civil society, pers, LSM berkewajiban mengontrol sehingga pemerintah bekerja sesuai aturan dan mekanisme yang ada, dan sesuai dengan visi pemerintahan itu sendiri.

Itu artinya, reformasi pemerintahan belum berjalan. Pendapat Anda?

Menurut saya, dalam kapasitas orang yang melakukan studi kepemerintahan, sebenarnya bukan reformasi birokrasi yang dilakukan menjadi tren perubahan tetapi reformasi pemerintahan. Ia berkaitan reformasi dengan lembaga legislatif dan eksekutif, kepala daerah di dalamnya juga berkaitan dengan birokrasi. Sebab, birokrasi kepemerintahan itu bukan disesten maker, dia menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang ditetapkan oleh kepala daerah dan juga DPRD. Jadi menurut saya, birokrasi yang kita anut di Indonesia, belum dapat ditempatkan untuk secara profesional sebab ia dibawah sub ordinat politik. Undang-undang mengatakan netralitas PNS tapi pada saat yang bersamaan pembina PNS adalah kepala daerah yang adalah pejabat politik sehingga sulit untuk ia dapat bertindak profesional kecuali komitmen dan good will serta political will kepala daerah untuk melakukan restrukturisasi birokrasi, penempatan profesional birokrat pada tempat dan menilai kinerja birokrat.

Upaya mewujudkan good goverment dan good governance dapat terwujud?

Saya melihat bahwa ada semangat untuk melakukan pembaharuan. Spirit ke arah menciptakan pemerintahan yang baik sehingga menjalankan tugas dengan baik, sehingga bisa memberikan kebaghagian dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Semangat ke arah itu ada. Ada perbaikan-perbaikan. Bagaimana pemerintah mengajak perbagai komeponen yang lain untuk bersama-sama merumuskan menjalankan kebijakan publik. Jadi, ada semangat ke arah itu untuk menjalankan program yang baik untuk masyarakat. Demikan juga dalam hal bagaimana meningkatan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Sudah dilaksanakan anggaran berbasis kinerja. Itu program pusat tapi dijalankan pemerintah daerah. Saya melihat upaya itu sudah dan sedang dilakukan ke arah perbaikan. Bahwa dalam pelaksanaannya, ada problem yang menyertainya, itu wajar. Kata orang, tidak ada satu pelayaran itu aman. Aman jika dia sudah sampai di pelabuhan/dermaga.

Kerap terdengar masyarakat mengeluh tentang praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pencermatan Anda?

Itu memang nyata terjadi. Pada tataran publik itu, birokrasi pemerintahan belum memberi pelayanan yang baik. Ada satu hal penting yang kadang terabaikan dalam pelayanan pemerintahan yaitu, soal pengendalian program dan pengawasan terhadap pelaksanaan program oleh pimpinan, kadang terabaikan. Itu yang saya melihat. Saya melihat sangat jarang, birokrasi pemerintah turun ke rakyat untuk melihat dari dekat pelayanan publik yang diberikan oleh staf. Mungkin ini otokritik. Dahulu, kepala daerah turun ke masyarakat, berdiskusi dan lego-lego (tarian adat Alor). Mereka berhari-hari dengan rakyat di desa.
Dalam teori pemerintahan, apapun persoalan yang dihadapi masyarakat, jika pemerintah mampu menjelaskan mengapa persoalan itu terjadi dan mengapa pemerintah harus mengambil kebijakan itu, rakyat bisa menerima.
Persoalan yang kita hadapi terkadang kita tidak mampu merasionalisasikan persoalan dan kebijakan yang diambil dihadapan rakyat. Padahal, pemerintah bekerja untuk rakyat. Andai dijelaskan secara rasional kepada rakyat, rakyat bisa menerimanya walau kebijakan itu merugikan rakyat.

Berarti, komunikasi kepala daerah dengan rakyat sangat formal?

Iya. Kemampuan untuk melakukan komunikasi dengan rakyat, belum berjalan baik, yang terjadi sangat formal. Misalnya, kalau rakyat mengundang untuk turun meresmikan gereja, masjid dan jembatan. Jika tidak diundang maka tidak hadir.
Sesungguhnya, 80 persen keberadaan kepala daerah di tengah rakyat. Sisanya, 20 persen untuk kegiatan administrasi di kantor. Karena tugas administrasi kepemerintahan itu sebagian besar sudah dilaksanakan oleh kepala administrasi kepemerintahan yaitu, sekda. Terkadang, tugas-tugas administrasi pemerintahan diambil alih oleh kepala daerah. Tugas kepala daerah sesungguhnya adalah turun untuk hidup bersama rakyat. Jadi, 80 persen harus bersama rakyat. Untuk melihat program, apakah bermasalah, bermanfaat bagi rakyat atau tidak. Sekaligus memberi dan mendengar masukan dari rakyat. Seorang kepala daerah, walaupun dia memiliki legitimasi politik yang tinggi oleh rakyat dalam proses politik, belum memberi jaminan baginya untuk menjalankan tugas-tugas pemerintah secara tepat.
Kepala daerah memiliki good will, political will dan komitmet yang kuat untuk melakukan restrukturisasi organisasi sehingga organisasi itu ramping. Kemudian, memiliki good will, political will dan komitmen untuk menempatkan orang di bidangnya. Memiliki good will, political will dan komitmen melalukan reward dan punishment secara tegas. Kemudian, melakukan evaluasi kinerja. Melakukan pengendalian program dan juga kontrol yang ketat terhadap pelaksanan program di tingkat rakyat, setiap saat.

Apa kendalanya?

Pertama, soal pengetahuan berpemerintahan. Kedua, soal good will, political will dan juga soal komitmen untuk berkarya bagi rakyat. Menjadi kepala daerah bukan tujuan. Ia hanya sarana untuk memenuhi tujuan utama yakni kesejahteraan rakyat. Ada beberapa kepala daerah yang mungkin alpa dalam memandang bahwa tujuan politik sebenarnya adalah kesejahteraan rakyat. Kadang, ada yang saya lihat bersyukur kepada Tuhan karena saya telah menjadi kepala daerah. Tujuan sudah tercapai, karena saya sudah menjadi kepala daerah. Menurut saya, bersyukur kepada Tuhan itu pada akhir masa jabatan. Terima kasih kepada Tuhan karena Tuhan telah memberi hikmat akal budi sehingga saya bisa memimpin rakyat dengan baik. Pengucapan syukur dilakukan pada akhir masa jabatan. Kalau tidak mencapainya maka berdoa kepada Tuhan mohon ampun karena saya tidak bisa menjalankannya dengan baik.

Indikasi rendahnya pengetahuan berpemerintahan?

Tidak demikian. Tidak semua kepala daerah datang dengan latar belakang pemerintahan. Walapun ia memiliki legitimasi rakyat yang tinggi tapi ia memiliki good will, political will, meski ia tidak bisa belajar tentang pemerintahan, bisa saja.
Sekarang, dengan sistim politik yang terbuka, siapa saja bisa dipilih rakyat. Kalau saja seorang kepala daerah itu baru saja menduduki jabatan, ia sendiri datang dari latar belakang yang sangat berbeda dengan pemerintahan, ia bisa menggunakan staf ahli. Ia bisa menggunakan orang-orang yang pintar dalam bidangnya, untuk memberikan advis dalam berbagai bidang. Ahli dalam bidang pemerintahan, ahli dalam bidang ekonomi, ahli dalam bidang hukum. Ahli dalam bidang tata kota. Menggunakan ahli-ahli itu memberi masukan setiap saat. Jadi, staf ahli yang saya maksud itu adalah di luar dari staf ahli dalam struktur pemerintah. Bisa diambil dari perguruan tinggi. Sebenarnya, ahli-ahli di perguruan tinggi itu bisa diminta untuk duduk dalam jabatan struktural. Fadel Mohammad sewaktu menjadi gubernur Gorontalo, menggunakan profesor dari Universitas Hasanuddin. Aturan memungkinkan untuk itu.

Apakah ada teori pemerintahan yang menginspirasi Anda?

Iya, saya terinspirasi pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel bagimana menempatkan birokrasi pemerintahan yang bekerja profesional bagi rakyat. Saya juga terinspirasi dengan teori Ryaas Rasyid, yang memandang pemerintah itu adalah amanah bagi rakyat. Pemeritntah bertugas untuk melayani supaya rakyat mendapat keadilan. Pemerintah bertugas memberdayakan rakyatnya, supaya rakyat mandiri. Pemerintah menjalankan program pembangunan supaya rakyat sejahtera. Saya juga terinspirasi dengan teorinya John Stuart Mill Jr tentang goverment repsentatif. Suatu pemerintahan yang di dalam struktur pemerintahan itu tergambar berbagai etnis. Representatif etnis dan golongan ada di dalam pemerintahan sehingga rakyat merasa sense of belonging terhadap pemerintahan, karena semua kepentingannya itu tergambar dalam struktur pemerintahan. Kata kunci di dalam itu, profesional. Teori-teori itu sangat luar biasa.

Selain sebagai PNS, punya aktivitas lain?

Saya mengajar di Fisip Unwira, ilmu pemerintahan sejak tahun 2009. Kemudian di Fisip Undana, mata kuliah pengantar ilmu politik, ilmu pemerintahan, politik lokal dan otonomi daerah, juga sejak 2009. Saya mengajar setiap hari Kamis dan Sabtu. Saya meminta jadwal pas jam istirahat kantor. Satu jam untuk mengajar.
Saya juga konsultan pemerintahan Kabupaten Teluk Bindama, Kabupaten Teluk Bitumi dan Kabupaten Sorong Selatan, Propinsi Papua Barat. Tiga kabupaten itu merupakan daerah pemekaran. Jika ada waktu, saya terbang ke sana.

Bisa ceritrakan awal mula menjadi konsultan?

Ketika saya studi di Jakarta, punya teman-teman orang Papua. Pulang ke sana, dan mereka menceritrakan kepada bupati mereka. Setelah itu, bupati mereka menghubungi saya, kami berkomunikasi. Saat diminta, saya menyatakan siap memberikan pikiran-pikiran tentang bagaimana membangun daerah yang baru terbentuk. Saya beri pemikiran tentang bagaimana mengelola pemerintahan yang baik, bagimaana menjalankan pemerintahan itu sehingga memberikan manfat bagi masyarakat. Dan, saya melihat, ketiga kabupaten itu berkembang dengna baik.
Saya senjadi konsultan sejak tahun 2005, saat saya studi doktor. Jadi, sambil saya studi sampai dengan sekarang ini, saya diminta memberi pikiran.

Seberapa intens advis yang Anda berikan?

Kalau saya punya waktu, saya ke sana (Papua). Kalau tidak, kami bertemu di Jakarta. Sekarang jaman teknologi, jadi komunikasi juga bisa lewat e-mail dan telepon. Terakhir kami komunikasi tentang penanganan banjir Wasior, Kabupaten Teluk Mindana.

Terhadap semua pencapaian yang diraih, apa maknanya bagi Anda?

Inilah jalan Tuhan yang terindah dalam hidup saya. Sebab apa yang saya capai sekarang ini, walaupun belum sempurna, bagi saya sangat luar biasa jika dibandingkan dengan saya hanya seorang anak petani. Saya sekolah dengan susah payah, tinggal dengan orang, mencari kayu api, mencuci dan menyapu halaman, ternyata saya mencapai hal seperti ini, yang tidak pernah terlintas dalam pikiran saya jauh sebelumnya. Waktu itu, saya bercita-cita sebagai seorang sarjana, ternyata Tuhan memberi berkat bagi saya sebagai seorang doktor. Ini suatu berkat Tuhan yang terindah dalam hidup saya. Dan tugas saya membagi berkat bagi sesama.

Apa obsesi Anda?

Ya, cita-cita saya bagaimana menjadi saluran berkat bagi sesama. Saya menerapkan ilmu saya, supaya menjadi kemaslahatan bagi umat. Ilmu itu bukan untuk diri tapi harus bermanfaat bagi orang lain. Karena studi saya adalah studi pemerintahan maka saya juga berkeinginan, jika suatu saat nanti, rakyat di suatu tempat mempercayakan dalam jabatan pemerintahan dalam posisi top manjemen maka saya siap melaksanakan/menjalani. Kalau rakyat menghendaki dan Tuhan berkehendak, maka dengan ilmu yang saya miliki ini saya bersedia membagikannya. Bagaimana mengelola pemerintahan secara profesional sehingga bermanfaat bagi rakyat. Kehadiran pemerintah sebagai solusi bagi masalahnya rakyat. (*)


Bergumul Mencari Pendamping

SONY Libing berasal dari keluarga petani. Ia anak kedelapan dari 13 bersaudara. Setelah tamat SD GMIT Pantar pada tahun 1982, ia hengkang ke Kabupaten Sikka mengikuti kakaknya, dan sekolah di SMP Renya Rosari Kewapante dan SMA Negeri Maumere. Setelah tamat, ia melanjutkan studi ke Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Kupang, dan selesai tahun 1990. Selanjutnya, diangkat menjadi pegawai negeri dan memulai karier bekerja di Wolojita, Kabupaten Ende.

Dalam perjalanan, Sony ditarik menjadi instruktur pada Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Bandung, kemudian menyelesaikan pendidikan S1 pada Institut Ilmu Pemerintahan di Jakarta. Pada tahun 1999, ia melanjutkan studi S2 Ilmu Pemerintahan di Universitas Padjajaran, Bandung, selesai tahun 2001. Tahun 2003, ia studi doktor, juga di Universitas Padjajaran.

"Saya mendapat beasiswa pemda, mulai dari APDN sampai studi doktor. Saya berhutang kepada daerah. Saya berhutang kepada masyarakat karena dari hasil jual sirih pinang dan jagung, membiayai saya sekolah. Saya memiliki tanggung jawab untuk daerah dan masyarakat," ujar Sony yang mengidolakan Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI Jakarta), Jack Jobo (mantan Bupati Alor) dan Piet A Tallo, SH (mantan Gubernur NTT) ini.

"Saya berhutang kepada daerah dan rakyat. Saya harus membagi berkat yang saya miliki untuk NTT. Salah satu bentuknya, saya membagi ilmu setelah menjadi konsultan. Saya membagi ilmu kepada mahasiswa saya di Fisip Unwira dan Fisip Undana, sehingga suatu saat mereka menjadi birokrat, mereka menerapkan ilmu yang saya berikan," tutur Sony.

Sony menikah dengan pujaan hatinya, Yanti Lisda Silfana Libing Manafe pada tahun 1999. Namun, pada Maret 2009, istrinya meninggal, beberapa saat setelah ia menyelesaikan studi doktor.

Sony menyadari bahwa kesibukannya semakin tinggi. Oleh karena itu, ia harus mencari pendamping agar bisa mengatur dan memperhatikan dirinya, termasuk mengurus rumahnya yang tergolong luas, dibangun di atas lahan berukuran 40 x 60 meter. Ia juga memiliki dua mobil, jenis Nissan Terano dan sedan Corona.

"Saya sedang bergumul, bisa mendapatkan pengganti seperti almarhumah. Saya berdoa memohon kepada Tuhan mengganti istri saya," ujar pria yang suka joging ini.

Sony gemar membaca. "Saya dosen, jadi harus membaca. Kalau tidak di rumah, saya baca di kantor. Saya suka buku pemerintahan dan juga buku-buku praktis kepemimpinan. Sekarang membaca buku Barack Obama," tutur Sony.

Ia mengaku punya perpustakaan pribadi, dengan 750 buku. Buku-buku itu ia beli sendiri, sejak masih sekolah di APDN. "Setiap saya pergi tugas saya harus membeli buku, minimal dua buku," katanya.

Sony juga sering diundang untuk berdiskusi dan berceramah. Topik diskusi seputar permasalahan pemerintahan. Beberapa waktu lalu, ia menghadiri diskusi di Jakarta, diselenggarakan UNDP, tentang apakah gubernur dipilih rakyat atau DPRD atau ditunjuk oleh pusat. (aca)

Biodata

Nama : DR. Zet Sony Libing, M.Si
TTL : Alor, 13 Juli 1968
Istri : Yanti Lisda Silfana Libing Manafe, SH (almh)

Pendidikan
- SD GMIT Pantar (1982)
- SMP Renya Rosari Kewapante, Sikka
- SMA Negeri Maumare (1988)
- APDN Kupang (1990)
- Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Jakarta (1997)
- S2 Universitas Padjajaran, Bandung (2001)
- S3 Universitas Padjajaran, Bandung (2009)

Orang tua
Ayah : Petrus Masi Libing (alm)
Ibu : Mariam Blegur (almh)

Krier/Pekerjaan
- Pegawai di Wolojita, Kabupaten Ende (1990-1993)
- Instruktur pada STPDNBandung (1993-1995)
- Staf Biro Pemerintahan Setda NTT (1997-1999)
- Staf Biro Organisasi dan Penyusunan Program Setda NTT (2001-2003)
- Kepala Sub Bidang Data dan Analisis Perencanaan Pembangunan Daerah pada Bappeda Propinsi NTT
- Kepala Bidang Pengembangan Investasi pada BPMD NTT
- Konsultan pemerintahan daerah di Papua Barat
- Dosen Fisip Undana
- Dosen Fisip Unwira Selanjutnya...