Kamis, 26 Februari 2009

Seminar Korupsi dan Suap (1)


Meragukan Hasil Survai?

Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape

Communication Officer TI Indonesia, Florian Vernaz (tengah) dan Pemimpin Redaksi Pos Kupang, Dion DB Putra (kiri) di Kantor Pos Kupang, Senin (2/2/2009).


KUPANG kota terkorup. Sebaliknya, Yogyakarta kota paling bersih dari praktik-praktik korupsi. Kepolisian dan Bea Cukai paling rentan suap. Ini hasil survai Transparency International (TI) Indonesia.

Hasil survai ini dipaparkan Manajer Riset TI Indonesia, Frenky Simanjuntak dalam seminar sosialisasi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik di Hotel Kristal Kupang, Selasa (3/2/2009). Jauh sebelum seminar, TI Indonesia sudah merilis hasil survai ini di Jakarta.

Acara seminar mendapat respons besar. Setidaknya dapat dilihat dari jumlah peserta. Peserta yang hadir sebanyak 98 orang, melebihi target yang ditetapkan panitia, 62 orang. Jika dikategorikan, maka peserta paling banyak dari unsur pers (40 orang), disusul pejabat Pemkot Kupang (33 orang), perwakilan LSM/ormas (20 orang), sedangkan pelaku bisnis lima orang. Seminar berlangsung alot dan dinamis. Para peserta produktif bertanya dan memberi pernyataan.

Selain Frenky, pembicara lain adalah Kepala Bidang Pengembangan dan Penyuluhan Anti Korupsi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Gunawan Sunendar, AK, dan Pakar Hukum Tata Negara dari Undana Kupang, Dr. Stefanus Y. Kotan, S. H, M. Hum. Pemimpin Redaksi Pos Kupang, Dion DB Putra bertindak sebagai moderator.

Tentang Kupang kota terkorup, Frenky menjelaskan, hasil survai menunjukkan bahwa IPK Kota Kupang 2,97. Skor ini paling rendah di antara 50 kota di Indonesia. Ini menandakan publik menilai bahwa praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat/instansi pemerintah masih lazim terjadi. Data itu juga berarti usaha pemerintah kota dan aparat penegak hukum belum maksimal mengusut dan menindak pelaku korupsi.

Survai dilakukan TI Indonesia selama September - Desember 2008 terhadap 50 kota, terdiri dari 33 ibu kota propinsi, ditambah 17 kota besar. Survai kuantitatif dengan menggunakan kuesioner/metode wawancara tatap muka. Sampel diambil dari tiga kelompok, yaitu pelaku bisnis (60 persen), pejabat publik 30 persen dan tokoh masyarakat 10 persen.
Pelaku bisnis dibedakan atas tiga kategori, yaitu kecil, menengah dan besar. Umumnya pelaku bisnis bekerja di sektor formal. Mengapa pelaku bisnis? Karena pelaku bisnis hampir setiap saat berinteraksi dengan pemerintah daerah.

"Untuk sampel Kota Kupang, ada 70 responden, terdiri dari pelaku bisnis 44 responden, pejabat publik 19 reponden, tokoh masyarakat 7 responden. Pelaku bisnis kecil 20 responden, menengah 23 responden dan besar satu responden," papar Frenky.

Hasil survai ini mengusik. Membuat gerah. Bagi sejumlah orang yang hadir, stigma kota terkorup rasanya tidak pas. Pasalnya, Kupang sudah menyandang predikat sebagai Kota KASIH. Kota religius. Rumah ibadah ada di mana-mana. Eksekutif dan legislatifnya pemeluk agama yang taat. Setiap hari Jumat dan Minggu selalu ke masjid dan gereja, duduk paling depan. Mata tertutup kepala tunduk, dan tangan menempel erat di dada. Rajin berdoa. Karena itu, mana mungkin Kupang kota terkorup.

Lantaran gerah dengan hasil survai, TI Indonesia pun menjadi sasaran 'tembak'. Hasil survai berikut metodologinya dipertanyakan. Ada keraguan. Keraguan itu tampak dari berbagai pertanyaan dan pernyataan peserta pada sesi dialog.

Apolos Djara Bonga, misalnya. Anggota DPRD Kota Kupang ini mempertanyakan besarnya sampel beserta kriteria pengusaha besar, sedang dan kecil. Hal lain yang ia gugat adalah penelitian yang tidak memperhatikan karakter/konstelasi politik lokal. Karakter orangtua NTT tentu tidak sama dengan karakter orang Yogyakarta.

Apolos menduga pengusaha yang ditetapkan sebagai sampel adalah orang yang kecewa/tidak mendukung walikota dan wakil walikota Kupang pada saat survai dilakukan.

"Perlu ada sanksi hukum terhadap TI Indonesia jika diketahui hasil survainya tidak benar. Pasalnya, TI Indonesia telah memberi stigma kota terkorup bagi Kota Kupang," tegas Apolos.

Apolos juga mempertanyakan seberapa besar hasil survai ditindaklanjuti aparat penegak hukum. "Kalau hasil survainya tidak ditindaklanjuti, maka sama saja dengan bohong," tohok Apolos.

TI Indonesia juga 'disindir' Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe, saat membuka kegiatan.

"Kiranya survai yang dilakukan, hasilnya benar-benar bebas dari pesan sponsor dan berada dalam koridor proporsionalitas dan objektivitas, serta dilandasi oleh tujuan yang murni dengan cara-cara yang profesional serta tidak diboncengi oleh pihak tertentu yang memiliki tendensi bagi kepentingan pribadi atau kelompok," kata Adoe.

'Sindiran' Adoe berangkat dari pengalaman pribadinya. Adoe mengatakan, dia pernah menjadi korban lembaga survai. Dia berkisah, sebelum pemilihan Walikota Kupang tahun 2007, sebuah lembaga survai mengumumkan bahwa dirinya hanya mendapat dukungan 5 persen dari warga Kota Kupang.

"Nyatanya saya yang menjadi walikota," katanya.

Dalam dunia penelitian, hasil survai beserta metodologinya memang kerap dipersoalkan. Apalagi kalau survai dilakukan oleh lembaga yang tidak kapabel serta menuruti saja kemauan sponsor. Tetapi, sepanjang survai dilakukan menurut metode penelitian yang tepat dan benar serta jauh dari pesan sponsor, maka hasilnya dapat diakui.

Dari dua kategori lembaga survai ini, di mana posisi TI Indonesia? Jawabannya sangat tergantung sudut pandang dan kepentingan masing-masing orang.

Frenky Simanjuntak mengatakan, jika sebuah hasil penelitian dipertanyakan, maka harus dalam kerangka berpikir ilmiah.

Lebih lanjut, Frenky mengatakan, hasil survai IPK Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik merupakan hasil survai TI Indonesia yang ketiga kalinya diluncurkan. Pada tahun 2004, TI Indonesia meluncurkan IPK Indonesia terhadap 21 kabupaten/kota. Sedangkan pada tahun 2006, TI Indonesia meluncurkan IPK Indonesia terhadap 32 kabupaten/kota, salah satunya Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. IPK untuk Maumere sebesar 3,52, paling rendah di antara kabupaten/kota lainnya. Hasil tersebut menandakan masih tingginya tingkat korupsi di Maumere.

Stefanus Kotan mengatakan, survai merupakan cara kerja akademik. Karena itu, kesangsian terhadap suatu survai harus dibuktikan dengan survai baru atas objek yang sama.

"Ada ruang untuk melakukan penelitian ulang untuk mendalami variabel yang digunakan. Sepanjang penelitian lain belum ada, maka hasil survai TI Indonesia dapat diterima," kata John Kotan, demikian sapaan Stefanus Kotan. Dia juga menegaskan, metodologi yang digunakan TI Indonesia dalam penelitian ini sudah memenuhi syarat.

John Kotan menegaskan, sebuah penelitian tidak ada dampak hukumnya. Menurut dia, seandainya setiap penelitian disertai pertanggungjawaban hukum, maka lembaga permasyarakatan (LP) sudah tidak bisa menampung orang-orang kampus.

"Semua kita yang alumni (kampus) ini akan ada di LP, karena kita semua pasti pernah melakukan penelitian, " kata John Kotan. (bersambung)
Selanjutnya...

Seminar Korupsi dan Suap (2)

Pengalaman Membentuk Persepsi

BERICARA korupsi tidak harus berdasarkan fakta. Mengapa? Karena tidak mungkin ada koruptor yang mengaku mencuri uang. Tidak mungkin juga si pelaku mengaku melakukan praktik-praktik korupsi.

Kalau bicara fakta, erat kaitannya dengan pembuktian. Nah, urusan yang itu tu, porsinya aparat penegak hukum. TI Indonesia sadar betul tentang hal itu sehingga tidak mau masuk area hukum. TI Indonesia menilik korupsi dari persepsi publik (pengusaha). Bagi TI Indonesia, berbicara korupsi berdasarkan persepsi publik juga penting.

Bagaimana persepsi tentang korupsi itu terbentuk? Jawabannya bisa dijelaskan secara epistemologis. "Kita tidak perlu berdebat soal metodologi. Epistemologi penting," kata Romo Leo Mali, Pr.

Epistemologi adalah ilmu tentang dasar-dasar pengetahuan. Dia meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan.

Menurut Romo Leo, persepsi terbentuk karena pengalaman. Romo Leo memberi contoh. "Saya enam kali ke kantor pajak. Setiap kali ke sana, kasih amplop, urusan beres. Datang kali ketujuh, kebetulan orang yang biasa saya kasih amplop itu sakit, lalu saya bertemu orang lain, saya pun kasih amplop dan urusan beres. Pengalaman berulang-ulang ini membentuk persepsi saya," ujar Romo Leo.

Anggota DPRD Kota Kupang, Nikolaus Fransiskus, S.Ip membagi pengalamannya membantu warga mengurus KTP. "Warga mau urus KTP saja datangi DPRD. Mereka minta bantuan Dewan karena melalui Dewan urusan lebih cepat. Kalau urus sendiri lama. Persepsi ini tidak bisa dibantah. Ada perilaku korupsi, jadi tidak usah kita mengingkarinya," kata Niko Frans.

Persepsi publik tentang korupsi juga bisa terbentuk dari hasil pemantauan/pengamatan langsung. Selain itu, karena pengaruh media massa. Media yang terus-menerus memberitakan praktik-praktik korupsi yang dilakukan orang ini dan itu di instansi publik akan membentuk persepsi publik.

Dalam seminar Sosialisasi IPK Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi, TI Indonesia memang tidak memaparkan secara detail persepsi publik (responden) tentang praktik-praktik korupsi.

Namun, dalam buku "Membedah Fenomena Korupsi: Analisa Mendalam Fenomena Korupsi 10 Daerah di Indonesia", terbitan TI Indonesia, diungkap bentuk-bentuk praktik korupsi yang terjadi dalam hubungan masyarakat (pengusaha) dengan pemerintah daerah. Juga praktik korupsi yang terjadi dalam tata pemerintahan. Buku setebal 194 halaman itu dibagikan kepada semua yang hadir dalam seminar itu.

Buku tersebut tidak memuat bentuk-bentuk praktik korupsi yang terjadi di Kota Kupang, tetapi yang terjadi di Kabupaten Sikka berdasarkan survai TI Indonesia pada tahun 2006. Berikut ini disebutkan beberapanya sekadar contoh.

Dalam urusan perizinan, misalnya, ada responden mengatakan, "Biasanya dalam hal pengurusan izin kegiatan usaha, kita sering membayar lebih agar pengurusan izin menjadi lebih mudah dan cepat."

Dalam kaitan dengan tender proyek, lain lagi. Seorang responden mengatakan, "Kalau mau tender, kita juga harus dekat sama kepala proyeknya, jadi bisa gol tendernya."

Responden lainnya mengatakan, "Memang diadakan proses tender, tetapi sebelum masukin nama kita, kita suka ditawarin untuk beli informasi oleh pejabat setempat. Harganya macam-macam, tapi pernah saya ditawarin untuk beli flash disk yang berisi informasi proyek dengan harga lima puluh juta."

"Proses tender kan untuk proyek-proyek besar, nah untuk proyek-proyek kecil, seringkali penunjukan langsung. Karena kan biasanya sebelum seorang pejabat naik, maka ia butuh sokongan dana, nah pengusaha masuk di situ, selanjutnya ketika pejabat itu berhasil naik, dia harus bayar hutang dengan memberikan beberapa proyek."

"Yang jadi masalah adalah tim seleksi tender orangnya cuma itu-itu saja, karena emang yang punya lisence sebagai tim seleksi cuma beberapa orang di sini. Jadi, siapa yang deket sama orang itu yang biasanya menang tender."

Adapun bentuk-bentuk praktik korupsi dalam tata pemerintahan, sebagaimana diungkap responden tokoh masyarakat adalah, "Korupsi berawal dari kebijakan, draf aturan diterima tanpa melalui mekanisme kontrol publik. Apakah melalui neko-neko sehingga proses pengesahannya lebih mudah tanpa melibatkan partisipasi publik? Rumusan APBD, pengadaan komputer yang harganya Rp 4 juta, misalnya, di-mark up menjadi Rp 7 juta. Perjalanan dinas yang berlebihan."

Diyakini, masih banyak lagi praktik korupsi dalam hubungan pengusaha dan pemerintah daerah. Apa yang terjadi di Sikka rasa-rasanya tidak jauh berbeda dengan daerah lain, termasuk di Kota Kupang. Pasalnya, aparatur kita masih bermental koruptif. Setiap pelayanan yang diberikan, mesti ada imbalannya.

Jika persepsi publik seperti ini, maka sesungguhnya hasil survai TI Indonesia menegaskan fenomena korupsi yang telah terjadi selama ini di NTT, khususnya di Kota Kupang.

Data hasil monitor PIAR NTT pada tahun 2008, ada 108 kasus dugaan korupsi yang terjadi di 13 kabupaten/kota dan Propinsi NTT. Sebaran kasus per wilayah cukup merata dan berkisar 2 - 14 kasus. Kota Kupang menempati urutan kedua terbanyak (13 kasus korupsi), setelah Kabupaten Rote Ndao (14 kasus). Di bawah Kota Kupang ada pemerintah provinsi (12 kasus), Kabupaten Kupang (11 kasus), Kabupaten TTS dan Kabupaten Sikka (9 kasus).

Sementara data penyidik tindak pidana KKN Polda NTT tahun 2003-2008, sebagaimana disampaikan John Kotan, telah terjadi 11 kasus yang ditangani penyidik Polresta Kupang.

Data lainnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTT menemukan penyimpangan pengelolaan keuangan di Kota Kupang selama 2004 - 2007 senilai Rp 101 miliar. Sampai saat ini, temuan itu belum ditindaklanjuti Pemerintah Kota Kupang.

Menariknya, nilai temuan BPK Perwakilan NTT ini lebih kecil dari temuan Pemerintah Kota Kupang sendiri yaitu senilai Rp 158,8 miliar lebih. Angka ini diumumkan Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe saat menggelar jumpa pers di ruang Garuda Kantor Walikota, Jumat (20/2/2009).

Dari total penyimpangan senilai Rp 158,8 miliar lebih, yang belum diselesaikan Rp 12,46 miliar lebih. Rinciannya, yang terjadi di lembaga DPRD Kota Kupang senilai Rp 8,8 miliar dan sisanya Rp 4 miliar ada di satuan kerja perangkat daerah (SKPD).

Persepsi disertai data kasus korupsi yang dipaparkan menunjukkan bahwa publik (pelaku bisnis) melihat korupsi masih lazim terjadi di Kota Kupang. Usaha pemerintah dan aparat penegak hukum juga belum maksimal dalam mengusut dan menindak pelaku korupsi.

Kalau memang demikian potretnya, mengapa kita harus mengelak? Kenapa harus malu mengakuinya? (bersambung)
Selanjutnya...

Seminar Korupsi dan Suap (3)

Kita Harus Berubah

BAGI Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, hasil survai TI Indonesia sering dijadikan acuan. Sebagai bahan masukan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih.

"Kami selalu mendayagunakan hasil kerja orang lain. Selain TI Indonesia, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Partnership (Kemitraan), kami pakai untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik," kata Gunawan Sunendar, Kepala Bidang Pengembangan dan Penyuluhan Anti Korupsi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.

Pria bertubuh subur itu mengingatkan agar tidak perlu minus untuk menanggapi hasil survai. Manfaatkan saja hasil survai untuk merumuskan berbagai kebijakan untuk percepatan dan pemberantasan korupsi di NTT, khususnya di Kota Kupang.

"Perlu digali penyebabnya, mengapa Indeks Persepsi Korupsi di Kota Kupang masih sangat rendah. Setelah menemukan penyebabnya, rekomendasikan kepada DPRD. Eksekutif dan legislatif melakukan berbagai upaya untuk menghindari kebocoran. Dewan juga harus mendengar masyarakat sehingga kecurigaan-kecurigaan tentang korupsi berkurang. Semua harus dilakukan secara transparan. Perlu ada keterbukaan informasi tentang tata kelola pemerintahan," katanya.

Senada dengan Gunawan, Communication Officer TI Indonesia, Florian Vernaz mengatakan, hasil survai yang menempatkan Kota Kupang sebagai kota terkorup di Indonesia bisa digunakan sebagai acuan dalam memperbaiki persepsi korupsi di NTT.

"Saya mengajak semua kalangan di Kota Kupang untuk meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di kota ini untuk memperbaiki persepsi korupsi. Dengan demikian, kinerja pelayanan publik bisa ditingkatkan," ujar Florian.

"Marilah kita jawab dengan aksi, dan aksi itu kita mulai secara bersama membawa Kota Kupang sebagai kota KASIH tidak hanya sebagai kata," kata Dion DB Putra.

Gunawan, Florian Vernaz dan Dion Putra betul. Hasil survai semestinya direfleksikan oleh segenap komponen, terutama pemangku kepentingan, untuk selanjutnya melakukan pembenahan secara serius terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat di Kota Kupang.
Dengan arif dan bijaksana serta hati yang bening untuk melihat hasil survai tersebut. Bukan sebaliknya, mempertentangkannya dengan membuat survai tandingan. Persoalan yang sudah diungkap hendaknya digeluti secara bersama untuk mencari penyelesaiannya.

Apa yang harus dilakukan untuk mengurangi praktik korupsi atau bahkan memberantas korupsi? John Kotan memberi beberapa catatan untuk diperhatikan. Terkait dengan upaya menata pemerintahan yang baik, perlu penetapan standar kompetensi pejabat secara baik.

Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 tentang Struktur Perangkat Kerja Daerah sudah sangat baik. Yang menjadi persoalan adalah penempatan orang dalam struktur jabatan. Pertimbangan karier dan prestasi kerja masih abstrak.

Sudah menjadi rahasia umum kalau pengangkatan dan penempatan pejabat pemerintah diwarnai faktor like and dislike. Politik balas jasa berlaku. PNS yang menjadi tim sukses pada masa pilkada dikasih jabatan. Padahal, dari aspek kepangkatan dan golongan belum memenuhi persyaratan. Sementara, PNS yang bukan tim sukses dibiarkan merana.

Standar kompetensi legislatif juga sangat tidak jelas. Akibatnya, pada pemilu seperti sekarang yang ada hanya jual diri atau tebar pesona.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah proses pembuatan kebijakan publik harus dilakukan secara transparan. Rakyat diberi ruang untuk berpartisipasi melakukan kontrol. Yang terjadi selama ini kontrol publik masih sangat lemah.

Usul menarik datang dari Isodorus Kopong, peserta seminar. Ia mengatakan, perlu ada kampanye bersama tentang korupsi. Usul konkretnya, di setiap sudut Kota Kupang perlu dipasang papan 'Kupang Terkorup.' Tujuannya agar masyarakat sadar akan keadaan mereka yang sudah miskin sehingga tidak melakukan korupsi. Ide ini perlu direspons? Terserah!

Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe saat membuka kegiatan, mengatakan, pemerintah telah membuat delapan kebijakan praktis yang dinilai dapat meminimalisir terjadinya praktik KKN dalam ragka penciptaan good and clean governance.

Delapan kebijakan tersebut, yaitu penandatanganan MoU Walikota Kupang dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara disaksikan oleh KPK dan memberdayakan peran aparat pengawasan internal Banwas.

Hal berikutnya adalah penerapan pelayanan satu atap, merintis proses CPNSD yang benar-benar murni. Para pejabat yang dilantik menduduki sebuah jabatan diwajibkan menandatangani pakta integritas, mengeluarkan instruksi kepada para lurah untuk tidak lagi melakukan pungutan atas semua proses pelayanan kemasyarakatan.

Mekanisme pengelolaan distribusi dana pemberdayaan massa diserahkan kepada lembaga agama. Berikutnya adalah pengadaan Kotak Saran 267 untuk mempung saran keluhan dari masyarakat dan bekerjasama dengan Pos Kupang untuk menampung saran dari massa dan walikota menjawab. Adoe juga menyiapkan nomor telepon pribadi sarana bagi masyarakat menyampaikan keluhan soal pelayanan kemasyarakatan dan pembangunan.

Bagi Adoe, ada tiga hal penting sebagai dasar terwujudnya bangunan pemerintahan daerah otonom yang kokoh, yaitu melakukan perbaikan dan penataan kelembagaan, perbaikan sistem manajemen publik serta reformasi manajemen publik.

"Good and clean government sebagai salah tuntutan reformasi dan cita-cita otonomi daerah bukan merupakan pilihan, tetapi merupakan kemutlakkan bagi pemerintah untuk memulainya dengan peningkatan efisiensi dan profesionalitas birokrasi, baik melalui perbaikan mekanisme rekrutmen pegawai, penetapan kultur kelembagaan yang sejalan dengan prinsip demokrasi sistem ekonomi yang efisien, menghindari kesalahan alokasi anggaran dan pencegahan korupsi, baik politik, administratif maupun disiplin anggaran," tegas Adoe.

Kita memberi apresiasi terhadap upaya yang sudah dan akan dilakukan pemerintah Kota Kupang untuk mengurangi praktik korupsi di sektor pelayanan publik. Namun harus diakui bahwa upaya-upaya tersebut belum maksimal.

Masih lemahnya sanksi terhadap staf pemda yang terbukti korup membuat praktik korupsi tetap "memangsai" masyarakat. Rendahnya kualitas SDM, khususnya anggota tim seleksi tender proyek. Berikut adanya hubungan pengusaha - pemda yang mengarah pada praktik korupsi yang disebabkan adanya hutang budi pejabat.

Hal-hal ini akan menjadi celah bagi praktik korupsi jika tidak segera diatasi. Praktik korupsi akan menjadi sulit untuk dihapuskan. Dengan demikian, kita semakin sulit mengikuti jejak Yogyakarta, yang ditetapkan menjadi kota terbersih dari praktik-praktik korupsi.

"Tuhan tidak mengubah kalau kita sendiri tidak berubah," ujar Gunawan. (habis)
Selanjutnya...