Senin, 01 September 2008

Anggaran Pembangunan NTT

Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape

Tambah uang, tambah miskin? (1)

NTT selalu dipelesetkan dengan Nasib Tidak Tentu. Pelesetan lainnya adalah Nanti Tuhan Tolong. Siapa yang mempelesetkan, rasanya tidak penting. Tapi, setidaknya pelesetan ini terinspirasi oleh kondisi NTT yang tidak kunjung berubah dari tahun ke tahun.

Kalaupun ada perubahan dan kemajuan, sangat tidak signifikan. Pelayanan publik dan infrastruktur yang semula dibayangkan akan bertambah baik, justru jauh dari kenyataan. Bahkan keluhan masyarakat semakin nyaring terdengar.

Berbicara tentang pembangunan tidak bisa lepas dari anggaran. Entah itu yang bersumber dari APBD, APBN maupun dari sumber lainnya. Simak data anggaran berikut ini. APBD NTT tahun anggaran 2007 sebesar Rp 1,036 triliun, setelah perubahan.

Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan dengan APBD tahun anggaran 2008 yang sudah ditetapkan DPRD NTT dengan Perda Nomor 23 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yakni Rp 1,052 triliun. Angka tersebut terdiri dari pendapatan senilai Rp 930 miliar lebih dan belanja Rp 1,052 triliun lebih. Karena belanja lebih besar dari pendapatan, maka APBD kita mengalami defisit sebesar Rp 122,61 miliar lebih. Kabarnya, defisit akan ditutup dengan dana SILPA (sisa lebih perhitungan anggaran) tahun 2007 sebesar Rp 100 miliar lebih.

Dari Rp 1,052 triliun, untuk belanja tidak langsung dialokasikan Rp 508,64 miliar lebih. Untuk belanja langsung senilai Rp 543,97 miliar lebih, terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal.

APBD NTT hampir seluruhnya merupakan subsidi dari pusat karena DAU dan DAK untuk NTT. Tingginya ketergantungan NTT pada DAU itu karena kontribusi dari pendapatan asli daerah (PAD) hanya Rp 204,244 miliar lebih, dana perimbangan Rp 711,76 miliar lebih dan lain-lain pendapatan daerah yang sah Rp 14 miliar.Dari keseluruhan APBD NTT senilai Rp 1,052 tilirun itu, sekitar 75 persen di antaranya terserap untuk biaya rutin. Sisanya untuk biaya pembangunan.

UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah serta UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah membawa implikasi pada perubahan alokasi anggaran dalam APBD sehingga banyak rancangan pembangunan belum bisa direalisasikan mengingat terbatasnya anggaran. Anda bisa bayangkan? Karena dana yang bersumber dari APBD tidak cukup dan adanya tuntutan memajukan pembangunan di seluruh pelosok daerah, pembiayaan pembangunan ditopang dengan dana APBN yang dikucurkan pemerintah pusat.

Tahun 2008 nilainya mencapai 10,7 triliun yang daftar isian pelaksanaan anggarannya (DIPA) sudah ada. Dana itu dialokir untuk tugas pembantuan, dekonsentrasi, kantor daerah dan kantor pusat. Jumlah ini mengalami kenaikan 20,88 persen dari nilai DIPA tahun anggaran 2007 yaitu Rp 9,2 triliun.

Total nilai tersebut merupakan akumulasi DIPA untuk instansi vertikal kementerian/lembaga di daerah senilai Rp 2,98 miliar, DIPA tugas pembantuan untuk satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di propinsi/kabupaten/kota Rp 435,81 miliar dan DIPA dekonsentrasi untuk SKPD propinsi dengan nilai Rp 699,99 miliar. Sisanya adalah DIPA dana alokasi umum (DAU) Rp 5.576.348.163.000 dan DIPA dana alokasi khusus (DAK) Rp 1.008.974.000.000.

"Jika dibandingkan dengan DIPA 2007, maka total DIPA TA 2008 mengalami penurunan dari 508 DIPA menjadi 501 DIPA, namun nilainya bertambah sebesar Rp 20,88 persen. Peningkatan terbesar terdapat pada DIPA tugas pembantuan yakni sebesar 41,70 persen.

DIPA untuk instansi vertikal naik sebesar 24,30 persen, sementara DIPA dekonsentrasi turun sebesar 0,001 persen," jelas Kepala Kanwil XXII Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kupang, Drs. Teddy Rukmana, M.Sos. Sc, pada acara penyerahkan DIPA di Aula El Tari, Jumat (4/1/2008). NTT juga diguyur dana pihak ketiga yang dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ada sebanyak 221 LSM lokal (tercatat di Sekretariat Bersama Bappeda NTT) dan beberapa badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berkiprah di wilayah NTT.

Sejak Januari hingga September 2007, diketahui bahwa jumlah dana bantuan luar negeri yang dikucurkan untuk masyarakat NTT, pengelolaannya oleh LSM-LSM, mencapai Rp 139.478.387.205. Dana tersebut digunakan untuk kegiatan sektor pariwisata, pendidikan, pertanian, kelautan, kesehatan, pemerintahan, dan pemberdayaan masyarakat.

Jumlah itu berbeda dengan dana yang diterima tahun anggaran 2006, khususnya bantuan luar negeri yang disalurkan melalui badan PBB, organisasi pemerintah luar negeri melalui kerja sama antarpemerintah, organisasi non pemerintah luar negeri, dan LSM untuk NTT mencapai Rp 379,03 miliar lebih.

Terjadi peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan bantuan luar negeri pada dua tahun sebelumnya yakni sebesar Rp 125,2 miliar lebih pada tahun 2005 dan Rp129,89 miliar lebih pada tahun 2004.

Nah, dengan data anggaran yang dibeberkan di atas, Anda dapat menghitung berapa besar dana yang masuk ke NTT. Untuk tahun 2007, misalnya, dari APBD Rp 1,036 triliun, APBN Rp 9,2 triliun dan yang dikelola LSM Rp 139,47 miliar, sehingga jumlahnya Rp 10 triliun lebih. Untuk tahun 2008, sekitar Rp 11 triliun lebih.

Jumlah ini belum termasuk dana-dana yang disalurkan oleh BUMN yang memiliki kantor cabang di NTT. Belum juga termasuk dengan dana-dana yang disalurkan bank-bank. Kalau ditotalkan, dana yang beredar di NTT sangat besar. Besarnya dana yang masuk ke NTT juga diakui oleh pemerintah daerah. Namun, dalam setiap kesempatan, pemerintah juga selalu berdalih bahwa dana untuk pembangunan masih kurang. Sangat tidak memadai jika dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat. Ironisnya, dana banyak mengalir, tapi NTT masih tetap dianggap sebagai daerah tertinggal.

Angka kemiskinan semakin meningkat. Data yang dikeluarkan BPS tahun 2006 diketahui dari total 952.508 rumah tangga di NTT sebanyak 623.137 atau 65,42 persen terkategori rumah tangga miskin. Atau, sekitar 2.787.000 jiwa penduduk miskin dari 4 juta penduduk NTT.

Aspek lainnya, pelayanan publik dan infrastruktur yang semula dibayangkan akan bertambah baik justru jauh dari kenyataan. Bahkan keluhan masyarakat semakin nyaring terdengar. (bersambung)


Tinggal Manfaat Juga Susah (2)

BESARNYA dana yang mengalir ke NTT, ternyata berkorelasi terbalik dengan tingkat penyerapannya. Daya serap anggaran masih belum menunjukkan trend yang baik. Kita dapat menyimak dari catatan Biro Bina Penyusunan Program Setda NTT tentang evaluasi pelaksanaan APBN, APBD propinsi dan kabupaten/kota se-NTT tahun anggaran 2007.

Dana pembangunan yang bersumber dari APBN (meliputi dana dekonsentrasi, tugas pembantuan, kantor daerah dan kantor pusat) selama Januari sampai November 2007. Dari total alokasi dana Rp 3,2 triliun lebih, penyerapannya Rp 2,1 triliun lebih atau 65,63 persen, sementara pelaksanaan fisik 69,33 persen.

Khusus dana dekonsentrasi, dari total dana Rp 695,88 miliar lebih, penyerapannya Rp 543,81 miliar lebih atau 67,09 persen. Sementara realisasi fisik 80,99 persen. Tingkat penyerapan tahun 2007 sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2006. Pada tahun 2006, dari total Rp 709,08 miliar lebih, penyerapannya Rp 719,72 miliar lebih atau 67,09 persen dengan persentase pelaksanaan fisik 70,75 persen.

Tingkat penyerapan APBD Propinsi NTT? Hem....ternyata tidak jauh berbeda dengan dana APBN. Dalam tahun 2007, khusus pos belanja langsung, dari total alokasi dana Rp 575 miliar lebih, penyerapannya Rp 306 miliar atau 53,26 persen, dan pelaksanaan fisik 71,10 persen.

Sekadar tahu, penyerapan APBD kabupaten/kota lebih seret lagi. Secara umum, khusus pos belanja langsung, dari total alokasi dana Rp 3,26 triliun lebih, penyerapannya Rp 1,4 triliun lebih atau 44,29 persen dan pelaksanaan fisik 56,68 persen. Evaluasi APBD kabupaten/kota mengacu pada tujuh kabupaten yang memberi laporan November dan sembilan kabupaten memasukkan laporan per Oktober.

Komposisi berubah pada akhir tahun anggaran, yakni Desember. Meski tidak mencapai 100 persen, realisasi APBN dan APBD propinsi dan kabupaten/kota baik fisik maupun keuangan mengalami kenaikan. Itu artinya, tingkat penyerapan terbesar terjadi pada akhir tahun anggaran. Logikanya, pengeluaran keuangan menumpuk pada akhir tahun anggaran. Padahal, pemerintah telah menetapkan kebijakan pengeluaran anggaran per triwulan. "Suatu kondisi yang sangat tidak sehat," demikian Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya.
***

Penyerapan APBN dan APBD propinsi yang rendah bukan pertama kali terjadi dalam tahun anggaran 2007. Tahun-tahun sebelumnya juga demikian, bahkan kondisinya lebih memprihatinkan. Anehnya, semua merasa aman dan nyaman. Padahal, hal itu merugikan masyarakat. Selain uang yang beredar di masyarakat sedikit, pembangunan tersendat. Kalau sudah begitu, so pasti masyarakat tidak menikmati dampak dari pembangunan.

Kepala Biro Penyusunan Program Setda NTT, Ir. Andreas W Koreh mengatakan, sumber daya manusia (SDM) yang belum siap, ketat dan sering berubahnya regulasi serta tidak adanya kreativitas sehingga tidak bisa menggunakan anggaran secara taat asas, taat aturan dan tepat sasaran, merupakan penyebab rendahnya penyerapan APBN/APBD.

"Aspek perencanaan juga tidak matang sehingga terkesan banyak dana yang tidak terserap," kata Andre Koreh.

Anggota Fraksi Partai Golkar DPRD NTT, Ince Sayuna, S. H, M.Hum, juga memiliki argumen yang sama. Menurutnya, rendahnya penyerapan dana karena adanya inkonsistensi kebijakan dan perbedaan persepsi terhadap peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan program/kegiatan yang dibiayai dana APBN. "Hal tersebut berdampak pada pengadministrasian pelaksanana kegiatan yang tidak tertib," katanya.

Alasan lainnya, demikian Ince, karena proses pengadaan barang/jasa selalu dilakukan terlambat dan memakan waktu yang agak lama termasuk di dalamnya kegiatan yang melibatkan pihak ketiga. Sanggahan-sanggahan banding dalam proses tender cukup menghambat pelaksanaan kegiatan. Lemahnya koordinasi antara pusat, propinsi dan kabupaten juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi rendahnya penyerapan dana.

Kalau dicermati lebih jauh, setidaknya ada tiga titik krusial yang berkait yang menjadi penyebab lambatnya penyerapan APBD. Tiga titik krusial tersebut adalah proses perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan APBN dan APBD. Adalah benar sinyalemen bahwa lambatnya penyerapan APBD itu terkait adanya hambatan dalam pengesahan APBD. Setidaknya, dengan mengetahui mekanisme perumusan APBD, bisa dipetakan pada titik dan proses mana terjadi hambatan, bagaimana hambatan tersebut terjadi, dan oleh siapa.

Lazimnya, penyusunan APBD dimulai dari musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di tingkat desa hingga kabupaten, interaksi antara Bappeda dan unit-unit SKPD (satuan kerja perangkat daerah) dan interaksi antara eksekutif dan DPRD. Meski demikian, hasil musrenbang dan program yang dibuat SKPD sering kali tidak sinkron. Apa yang digali lewat musrenbang, yaitu usulan program dari bawah, banyak yang "hilang" ketika dalam pembahasan di tingkat instansi. Hal ini akan berlanjut dalam proses berikutnya, yakni dalam proses rancangan kebijakan umum anggaran, penetapan plafon anggaran, dan seterusnya sampai pengesahan APBD oleh legislatif. Ketika digelar rapat dengan Panitia Anggaran DPRD, usulan program tersebut harus digeser karena DPRD dan eksekutif mempunyai usulan program sendiri. Tarik-menarik kepentingan antara DPRD dan eksekutif juga berlangsung relatif lama dan terkadang deadlock. Dari sini kita bisa melihat bahwa lambatnya pengesahan APBD terjadi sejak awal.

Pelaksanaan APBD juga tidak kalah krusialnya. Kebiasaan yang sudah berlangsung lama ialah menunda pekerjaan yang terkait dengan APBD tahun berjalan sehingga birokrat berpeluang lebih besar menyalahgunakan APBD, karena ada kebiasaan anggaran harus dihabiskan akhir tahun, meski kenyatannya tidak habis 100 persen. Banyak orang menengarai lambatnya penyerapan anggaran ini akibat pemberantasan korupsi, sehingga harus hati-hati dalam melakukan tender proyek. Penalaran ini harusnya dibalik.

Bahwa, korupsi yang sudah berlangsung lama yang menghinggapi birokrasi di daerah, inilah yang menyebabkan lambatnya penyerapan anggaran. Terkesan, ada kesengajaan untuk memperlambat penyerapan anggaran karena sejatinya jika semua kegiatan pembangunan menumpuk di akhir tahun anggaran dan anggaran harus dihabiskan, akan tercipta peluang korupsi. Jika benar semangat ini yang dominan, maka sangatlah mungkin kesejahteraan semakin jauh dari rakyat NTT. (bersambung)

Harus Cermat Dalam Mengelola (3)

TAHUN 2008 menjadi awal yang baik bagi NTT. Karena, APBD ditetapkan lebih awal. Penyerahan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang bersumber dari APBN, senilai Rp 10,7 triliun lebih juga terbilang lebih cepat. Ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang cenderung terlambat sampai pada pertengahan tahun anggaran. Meski itu karena tuntutan regulasi, kita mesti memberi apresiasi kepada wakil rakyat dan eksekutif. Mereka telah berhasil menjalankan amanat regulasi yang mensyaratkan penyelesaian pembahasan rancangan APBD sebelum memasuki tahun 2008.

Apakah pelaksanaan APBD 2008 juga akan lebih cepat? Apakah itu sudah menjawab berbagai persoalan mendasar pembangunan di NTT? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul, setelah penetapan APBD dan penyerahan DIPA. Dan, itu wajar. Bukannya pesimistis, namun mestinya dilihat sebagai pelecut dan memberi semangat agar segera memulai langkah pelaksanaan kegiatan yang telah diprogramkan dalam melaksanakan tugas pemerintah dalam pelayanan publik dan pembangunan.

Faktor ketepatan waktu sangat mutlak agar tidak ada alasan bagi siapa saja untuk tidak menjalankan program pembangunan yang sudah direncanakan dengan baik dan matang. Tidak ada lagi alasan kegiatan tidak terlaksana karena anggaran belum turun. Anggaran yang sudah ditetapkan itu segera diserap sesuai dengan peruntukannya dari awal sehingga pemanfaatan yang ngebut di akhir tahun tidak terulang. Situasi itu perlu diperbaiki. Kepada seluruh pengguna dan pengelola anggaran diminta agar tidak menunda dan menunggu pelaksanaan anggaran hingga bulan-bulan terakhir setiap tahun.

Selain penetapan lebih awal, tahun ini juga ada perubahan mekanisme anggaran. Nomenklatur dan mekanisme penyaluran anggaran ke daerah diubah. Yakni, dari belanja ke daerah menjadi transfer ke daerah dengan mekanisme penyaluran menggunakan sistem transfer dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah.

"Pemberian dana kepada daerah akan dilakukan melalui proses transfer ke rekening masingmasing daerah. Artinya, daerah tidak perlu lagi melakukan proses pencairan anggaran ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) seperti yang terjadi selama ini. Kebijakan yang diambil pemerintah ini untuk mempermudah dan memperlancar pembayaran kepada daerah," kata Kepala Kanwil XXII Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kupang, Drs. Teddy Rukmana, M.Sos. Sc, pada acara penyerahan DIPA di Aula El Tari, 4 Januari 2008 lalu.

Itu artinya, kepala daerah tidak perlu lagi mengajukan permintaan dari daerah ke pusat. Cukup cek rekening, apakah dananya sudah masuk rekening atau belum. Adapun semangat dari perubahan mekanisme itu, untuk mencegah para kepala daerah terlalu sering berada di Jakarta dengan alasan mengurus pencairan anggaran.

Untuk masalah ini, para pejabat di NTT paling jago. Kita sering mendengar bahkan mengetahui kepala daerah atau pejabat lainnya bepergian berhari-hari di Jakarta untuk urusan rapat dan sebagainya. Seminggu bisa dua tiga kali melakukan perjalanan dinas. Padahal hasil dari perjalanan itu masih patut dipertanyakan.

Perubahan mekanisme anggaran ini diharapkan juga diikuti dengan upaya konkret untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan. Tentunya dilakukan oleh kepala satuan kerja selaku kuasa pengguna anggaran yang memiliki kewajiban untuk melaporkan pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur pada suatu periode pelaporan dalam pelaksanaan APBN atau APBD. Kepala Biro Penyusunan Program Setda NTT, Ir. Andre W Koreh mengungkapkan, ada keengganan pejabat untuk ditunjuk sebagai pejabat pengelola anggaran setelah gencarnya langkah-langkah pemberantasan korupsi. Mereka takut salah dan khawatir sewaktu-waktu diperiksa. Bukan saja oleh aparat pengawasan, tetapi juga oleh aparat penegak hukum.

Semestinya kekhawatiran seperti itu tidak perlu ada, apalagi berlebihan jika dapat memenuhi segala aturan, mekanisme dan prosedur. Lebih dari itu, aparatur pengawas dan penegak hukum agar bersikap objektif, tidak gegabah dalam menindaklanjuti laporan masyarakat, apalagi kalau barus sebatas rumor dan surat kaleng. Semua langkah pengawasan dan tindakan hukum wajib dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Pelaksanaannya wajib pula dilakukan dengan hati-hati dan terkoordinasi serta tetap menghormati asas praduga tak bersalah, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Bagaimana aspek pengawasan? Semestinya konsistensi pelaksanaan sistem dan pengawasan juga perlu ditegakkan. Segala bentuk penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran, terutama yang berbau KKN, dapat segera ditinggalkan. Untuk melakukan pengawasan dan tindakan tegas, seluruh aparatur penyelenggara pemerintahan negara, termasuk aparatur pengawasan dan aparatur penegak hukum, haruslah memiliki pemahaman yang sama terhadap aturan, mekanisme, dan prosedur yang berlaku agar terhindar dari sikap subjektif dalam mengambil suatu tindakan.

Tentang pengawasan ini, anggota DPRD NTT, Ince DP Sayuna, punya pandangan. Politisi Partai Golkar itu mengatakan, ada sebuah kesulitan yang dihadapi Dewan dalam mengontrol dana dekonsentrasi, dana kantor daerah, dan dana tugas pembantuan untuk satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di propinsi/kabupaten/kota dan dana kantor pusat. Karena dana dekonsentrasi tidak masuk dalam struktur APBD dan informasinya selalu datang terlambat setelah penetapan APBD propinsi sehingga yang dikhawatirkan ada over lapping/pendobelan perencanaan program atau kegiatan. Disamping itu syering dana APBD propinsi untuk dana dekonsentrasi juga tidak jelas besarnya. Sangat tergantung pada usulan SKPD sehingga syeringnya menjadi bervariasi antar- SKPD.

Ince mengatakan, sungguh pun demikian DPRD dalam kunjungan kerja melakukan evaluasi kegiatan di daerah juga meminta pemerintah propinsi agar melampirkan laporan pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi, tugas pembantuan, kantor daerah dan kantor pusat dalam laporan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk diteruskan kepada pemerintah pusat.

Mengingat sulitnya pengontrolan terhadap dana dekonsentrasi, maka pernah ada pikiran untuk mengusulkan kepada pemerintah pusat agar dana dekonsentrasi yang membiayai urusan pemerintah daerah dialihkan menjadi DAK sehingga dapat masuk dalam dokumen APBD kabupaten. Dengan demikian dapat dikontrol dengan baik oleh pengambil kebijakan tingkat daerah, dan pertanggungjawaban bisa dilakukan oleh bupati kepala daerah sehingga lebih simpel.

Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya mengingatkan agar SKPD dan penguasa pengguna anggaran tidak secara sembrono menggunakan anggaran. Tetapi, dengan besarnya dana APBN yang mengalir ke daerah hendaknya pemda menggunakannya secara efisien.

"Anggaran yang bertambah besar itu tidak akan banyak artinya jika pelaksanaan seluruh program tidak didukung oleh pengambil keputusan dan birokrasi yang cakap dan tidak bekerja dengan sungguh- sungguh. Seluruh dana itu, sekali lagi, akan sia-sia jika digunakan secara sembrono, tanpa perhitungan yang matang," kata Lebu Raya. (Pos Kupang edisi 2, 4 dan 5 Febaruari 2008) Selanjutnya...

Meretas Harapan pada Pemilu 2009

Oleh : J Kristiadi

PEMILU sebagai pesta demokrasi tahun 2009 dibayang-bayangi kegamangan masyarakat yang meragukan hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan. Rakyat memang telah merasakan kebebasan, tetapi hal itu tidak serta-merta diikuti tingkat kesejahteraan.

Kesangsian publik itu dapat dicermati lewat kecenderungan semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan lembaga perwakilan rakyat yang dinilai makin oligarkis, korup, tidak etis, dan oportunistis.

Tidak mengherankan kalau ancaman golput semakin hari semakin nyaring. Kinerja Komisi Pemilihan Umum yang tidak maksimal dan terkesan kedodoran dalam manajemen semakin membuat masyarakat skeptis bahwa kualitas Pemilu 2009 akan lebih baik dari pemilu sebelumnya.

Kegamangan masyarakat tersebut beralasan karena perilaku elite politik dalam berburu kekuasaan, kekayaan, dan kenikmatan duniawi telah melampaui batas-batas toleransi dan imajinasi masyarakat. Sebutlah, misalnya, kasus korupsi politik Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, dugaan skandal penyuapan pemilihan deputi gubernur senior BI, dan berbagai kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota lembaga negara.

Pelita harapan

Namun, benarkah demokrasi di Indonesia telah mengalami kejumudan—beku, statis, suram, dan tanpa harapan? Pencermatan dalam perspektif lain tampaknya tidak demikian. Beberapa perkembangan dapat dijadikan pelita untuk menuntun melewati lorong gelap menuju sebuah harapan kehidupan demokrasi yang lebih terkonsolidasi.

Pertama, upaya membangun konstruksi ketatanegaraan dengan menata lembaga-lembaga negara agar dapat saling kontrol—sehingga tidak ada superbody—sudah mulai berfungsi dan bergerak menuju ke arah bekerjanya mekanisme checks and balances. Pergerakan ke arah itu antara lain dalam bentuk pengajuan revisi oleh masyarakat terhadap berbagai undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi relatif telah berfungsi sebagai institusi dan sarana rakyat mengontrol Dewan Perwakilan Rakyat.

Kedua, ideologi partai politik cenderung semakin inklusif (”ke tengah”). Partai-partai nasionalis mulai membuka akses terhadap kelompok keagamaan, misalnya PDI-P dengan membentuk sayap organisasi bernama Baitul Muslimin Indonesia. Partai Keadilan Sejahtera mulai mewacanakan kemungkinan menjadi partai terbuka serta menjaring calon pemimpin lintas ikatan-ikatan primordial. Partai Kebangkitan Bangsa bahkan mempunyai pengurus dan calon anggota legislatif non-Muslim.

Dalam perspektif ini, budaya multikultur yang berkembang dalam masyarakat telah secara sehat masuk dalam domain politik. Terpilihnya ”Ahok” Purnama sebagai Bupati Belitung Timur di salah satu basis Partai Bulan Bintang (PBB) membuktikan bahwa tingkat toleransi dan nilai pluralitas telah berkembang dalam masyarakat.

Ketiga, rakyat mulai biasa memilih para pemimpinnya, antara lain lewat pemilihan kepala daerah yang dalam tiga tahun telah ratusan kali dilakukan tanpa gejolak sosial yang berarti. Itu berarti rakyat mulai biasa mengoreksi kesalahan sendiri.

Kalaupun pilihannya keliru, hal itu diperbaiki dengan mekanisme demokratik tanpa harus menggunakan peluru dan kekerasan.

Keempat, betapa pun buruknya persepsi masyarakat terhadap parpol, lembaga perwakilan, dan birokrasi, tetap selalu ada unsur-unsur dalam lembaga tersebut yang masih mau mendengarkan suara hati nuraninya. Kasus pengakuan Agus Condro, anggota DPR dari PDI-P, merupakan salah satu contoh yang pantas dikemukakan.

Kelima, kebebasan media massa telah menjadikan perpolitikan Indonesia dalam gelas kaca yang transparan sehingga selalu dapat diikuti, dicermati, dan dikontrol oleh publik. Ibaratnya, tiada tempat persembunyian bagi mereka yang melakukan ”perselingkuhan politik”.

Media massa dengan kelebihan dan kekurangannya dapat mengungkapkan peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan publik serta membangun opini yang menjadi kekuatan penekan.

Beberapa hal yang diutarakan itu barulah tahap sangat awal bekerjanya mesin demokrasi. Dinamika tersebut dapat memberikan sinar terang dalam hiruk-pikuk proses demokrasi dewasa ini.

Namun, membangun peradaban demokrasi berarti memenangi pertarungan abadi antara mereka yang menginginkan kekuasaan untuk kemaslahatan umat dan mereka yang memburu kekuasaan untuk melampiaskan dahaga keangkaramurkaan.

Oleh karena itu, dalam bulan suci Ramadhan yang penuh berkah dan rahmat ini, sebaiknya semua komponen bangsa, terutama mereka yang telah mendapatkan kepercayaan rakyat duduk dalam lembaga terhormat, lebih tafakur dan mempergunakan kesempatan emas ini untuk memperbaiki perilaku.

Pergunakanlah kekuasaan yang telah dipercayakan rakyat untuk membuat kebijakan publik yang memihak kepada kepentingan kaum miskin dan marjinal. (Kompas, 2 September 2009) Selanjutnya...

Jalan Buntu Demokrasi

Oleh : Boni Hargens

MEGAWATI Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Amien Rais bakal tampil di panggung pemilihan presiden 2009. Lengkaplah potret elite lama di etalase politik nasional.

Dari sudut hak politik, siapa pun boleh mencalonkan atau dicalonkan. Namun, dominasi elite lama di pentas politik kebangsaan dan rumitnya aktualisasi politik kaum muda menjelang Pemilu 2009 melengkapi kotak pandora demokrasi di Indonesia. Lalu, apa yang dapat dikatakan tentang politik di Tanah Air?

Sulit diukur

Mungkin pekerjaan paling rumit bagi ilmuwan sosial-politik saat ini adalah merumuskan postulasi ilmiah yang akurat soal dinamika demokrasi di Indonesia, apalagi jika bertendensi mengukur kuantitatif kemajuan demokrasi seperti obsesi Inkeles (On Measuring Democracy, 1991). Inkeles terbukti gagal di Afrika, sebagaimana studi Staffan I Lindberg (2002), di mana demokrasi sulit terukur. Masalahnya ada pada penyebaran tak merata demokrasi dan laju transisi yang acak di berbagai negara.

Di Indonesia, masalahnya lebih dari sekadar ketidakjelasan laju transisi. Yang paling mendasar adalah tidak adanya substansi demokrasi, yang dalam terminologi Diamond (2008) disebut ”roh demokrasi” (the spirit of democracy). ”Roh” tak hanya berbicara soal nilai keadilan, kesejahteraan, kedaulatan rakyat, atau kesetaraan, tetapi juga visi, dorongan, keyakinan, dan komitmen untuk berbakti kepada publik.

Fenomena golput di berbagai pilkada sejak tahun 2005—yang lahir sebagai kecenderungan politik baru—tak terpisahkan dari penyelenggaraan demokrasi yang krisis substansi. Golput jelas ancaman serius Pemilu 2009 (di sini kita tak bicara golput teknis karena buruknya pendataan pemilih).

Masalahnya, apakah pemilu menghasilkan perubahan substansial? Pertanyaan ini tak pernah terselesaikan dengan pemilu berulang-ulang dan melelahkan. Maka, kesimpulan dialog publik ”Problematika Penyelenggaraan Demokrasi Elektoral” yang digelar Pusat Pengkajian Strategis Merdeka di Jakarta (23/8/2008) amat kontekstual. Demokrasi di Indonesia mengalami degradasi mutu dan Pemilu 2009 sulit berkualitas (Kompas, 25/8). Degradasi terkait kepemimpinan yang kurang adaptif dengan tuntutan dan tantangan politik yang ada.

Oleh karena itu, pada dua aras dapat ditemukan alasan degradasi kualitas demokrasi.

Pertama, sirkulasi elite yang tidak berlangsung secara natural dan demokratis. Natural artinya selaras dengan tuntutan dan tantangan di tengah lingkungan politik. Demokratis artinya sirkulasi terbuka terhadap siapa pun yang berkualitas. Dominasi elite lama dan perekrutan anggota keluarga ke dalam posisi-posisi strategis partai menjadi preseden bahwa sirkulasi elite masih terseok-seok dan terbatas di lingkaran sentral kekuasaan. Dengan demikian, tak mengherankan jika dalam daftar calon anggota legislatif tercantum nama anak, cucu, atau keponakan ketua umum partai. Kalaupun ada tokoh-tokoh muda yang baru masuk, mereka hanya vote getter yang difungsikan sebagai umpan. Di garis linear yang sama, belakangan dapat dibaca motif pelibatan artis ke dalam politik.

Kedua, para elite politik gagal merumuskan definisi yang jelas dan pasti tentang ideologi, visi, dan misi politik. Indikasi paling jelas ditemukan dalam lobi koalisi. Meski lobi strategis setelah pemilu legislatif April 2009, dan belum ada partai yang menyepakati rekan koalisi, namun sudah ada manuver. Konon, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) hendak ”kawin” lagi dengan Partai Golkar. Jika perkawinan kedua itu terjadi, PDI-P rela jatuh pada lubang yang sama setelah perkawinan tahun 2004 saat Golkar tak mampu membuktikan kesetiaannya. Apakah ini masalah?

Machiavelli

Sebagai seni segala kemungkinan, politik memungkinkan apa pun terjadi sehingga perkawinan PDI-P-Golkar pun bukan masalah. Namun, rakyat bisa menilai, proses politik di tingkat elite yang power-oriented dan menghalalkan segala cara merupakan jalan menuju kebuntuan fatal.

Padahal, Machiavelli, setidaknya dalam pembacaan Pocock (The Machiavellian Moment: Florentine Political Thought and the Atlantic Republican Tradition, 1975), menjustifikasi penghalalan segala cara karena konteks politik Italia masa itu, di mana kaum Republikan bertikai soal instabilitas politik mereka sendiri. Jika Machiavelli menolak penghalalan segala cara, Italia bisa hancur di tangan para tentara bayaran atau berakhir di tangan rezim hipokrit. Inilah yang Pocock sebut sebagai the machiavellian moment.

Indonesia tidak sedang dalam ”Momen Machiavelli”. Kita sudah 63 tahun berdemokrasi tetapi tendensinya mau mengekalkan strategi Machiavellian yang temporal.

Nasib demokrasi elektoral di Indonesia yang masih dimonopoli elite lama dan transisi yang tidak disertai perubahan paradigma politik di teras elite, pada titik tertentu berdampak fatal dalam arah ganda. Pertama, fatal untuk politisi karena kebangkrutan demokrasi menyuburkan perilaku golput yang paling ditakuti politisi dalam pemilu. Arah kedua, membunuh inspirasi dan imajinasi sebagian rakyat yang masih percaya politik.

Pada arah pertama, kita mungkin tak begitu tertarik untuk peduli. Namun, pada arah kedua, karena menyangkut masa depan politik dan peradaban demokrasi, kita semua harus peduli. Maka, segenap elemen harus mendorong terjadinya perubahan dan hal itu bisa dilakukan dengan menentukan pilihan yang tepat pada pemilu. (Boni Hargens Mengajar Ilmu Politik di Universitas Indonesia, Kompas, 2 Spetember 2009) Selanjutnya...

Indonesia Masuk 'Perangkap Pangan'

INDONESIA sebagai bangsa agraris ternyata sudah masuk dalam ”perangkap pangan” atau food trap negara maju dan kapitalisme global. Tujuh komoditas pangan utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor.

Bahkan, empat dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, yakni, gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sudah masuk kategori kritis. Meskipun belum kritis, jagung, daging sapi, dan susu patut diwaspadai.

Menurut Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, yang juga guru besar sosial ekonomi pertanian Universitas Jember, Rudi Wibowo, krisis ini terjadi karena Indonesia tidak mampu mengatasi persoalan itu sejak dulu. ”Dari waktu ke waktu tidak ada perkembangan berarti untuk mengurangi ketergantungan pangan impor itu, justru sebaliknya malah makin parah,” kata Rudi, Sabtu (30/8) di Surabaya.

Meningkatnya ketergantungan ketahanan pangan negeri ini pada negara lain dapat dilihat dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas maupun benih atau bibit.

Pada tahun 2000, Indonesia mengimpor gandum sebanyak 6,037 juta ton. Lima tahun kemudian, tahun 2005, impor gandum naik hampir 10 persen menjadi 6,589 juta ton. Tahun 2025, diproyeksikan impor gandum akan meningkat tiga kali lipat menjadi 18,679 juta ton. Impor kedelai dalam lima tahun terakhir (2003-2007) rata-rata 1.091 juta ton atau mencapai 60,5 persen dari total kebutuhan.

Untuk daging ayam ras, meskipun sebagian besar ayam usia sehari (day old chicken/DOC) diproduksi di dalam negeri, yaitu sebanyak 1,15 miliar ekor (2007), tetapi super induk ayam (grand parent stock/GPS) dan induk ayam (parent stock/PS)-nya diimpor dari negara maju.

Ketergantungan pada impor juga terjadi pada susu. Setiap tahun 70 persen kebutuhan susu diimpor dalam bentuk skim.

Untuk jagung, produksi tahun 2008 memang surplus. Namun, peningkatan produksi itu ditunjang oleh penggunaan benih jagung hibrida. Tahun 2008, penggunaan hibrida mencapai 43 persen dari total luas tanaman jagung nasional 3,5 juta hektar. ”Kondisi jagung lebih baik karena ada progres penggunaan teknologi,” kata Rudi.

Meskipun begitu, kebutuhan benih jagung hibrida sekitar 30.100 ton per tahun itu sebagian atau 43 persen bukan berasal dari perusahaan benih nasional atau petani penangkar, tetapi diproduksi oleh perusahaan multinasional, seperti Bayer Crop dan Dupont.

Ketergantungan pada impor juga terjadi pada daging sapi. Impor dalam bentuk daging dan jeroan beku per tahun mencapai 64.000 ton. Adapun impor sapi bakalan setiap tahun sekitar 600.000 ekor.

Peran negara kuat

Menanggapi situasi ketahanan pangan Indonesia, yang sangat bergantung pada impor, ahli peneliti utama kebijakan pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Husein Sawit, mengakui, produksi dan perdagangan pangan dunia memang semakin terkonsentrasi ke negara-negara maju. Selain itu, peran perusahaan multinasional (MNCs) pun tambah kuat dan berpengaruh.

Untuk menguasai pasar produk pertanian negara berkembang, termasuk Indonesia, negara-negara maju itu melakukan politik dumping. AS dan Uni Eropa, misalnya, menyubsidi pertanian mereka agar komoditas yang dihasilkan dapat memenangi persaingan di pasar dunia.

Konsentrasi perdagangan pada industri raksasa dunia tampak dari peran MNCs yang menguasai industri hulu sarana produksi pertanian, seperti benih atau bibit, pupuk, dan pestisida. Tidak hanya di hulu, di hilir pun MNCs ”menggenggam” industri hilir pertanian, antara lain dalam industri pengolahan pangan.

Guna mendukung hegemoninya di pasar komoditas pangan, perusahaan multinasional juga mengembangkan ”revolusi” ritel melalui hipermarket dan perdagangan ritel pangan di negara berkembang. Braun dalam hasil penelitiannya di International Food Policy Research Institute (IFPRI) memperkirakan, total penjualan 10 perusahaan MNCs global untuk sarana produksi pertanian mencapai 40 miliar dollar AS, industri pengolahan dan perdagangan pangan 409 miliar dollar AS, dan industri pengecer 1.091 miliar dollar AS (lihat tabel).

Negara berkembang, seperti Indonesia, hanya kebagian menjadi buruh tanam untuk sarana produksi yang dihasilkan MNCs. Hasil produksi petani dan buruh tani Indonesia itu diolah dan diperdagangkan oleh industri pengolahan pangan yang juga milik perusahaan multinasional. Selanjutnya hasil produksi itu diperdagangkan melalui perusahaan ritel, yang juga milik perusahaan multinasional, kepada konsumen, yaitu masyarakat Indonesia, termasuk petani.

Perusahaan Monsanto dari AS, misalnya, dalam 10 tahun terakhir memasok berbagai jenis benih, seperti jagung, kapas, dan sayuran. Laboratorium pembibitannya tidak hanya terdapat di AS, tetapi di ratusan lokasi di dunia.

Syngenta (Swiss), mencatat kenaikan penjualan benih 20 persen pada semester I-2008, yakni menjadi 7,3 miliar dollar AS, dibandingkan semester I-2007. Saat ini Syngenta memiliki 300 benih terdaftar dan 500 varietas benih komersial.

Rudi mengingatkan, Indonesia akan semakin bergantung pada pangan impor. ”Apabila sewaktu-waktu terjadi gejolak pangan impor di tengah sektor riil banyak bergantung pada bahan baku impor, hal itu akan membahayakan perekonomian nasional.

Daya saing rendah

Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo mengatakan, tingginya ketergantungan pada pangan impor karena rendahnya daya saing dan kesiapan teknologi pertanian. Gandum, misalnya, kebutuhan terhadap komoditas ini terus meningkat. Saat ini konsumsi gandum per kapita per tahun mencapai 10 kilogram. Padahal, gandum bukan komoditas unggulan negeri ini.

”Arah diversifikasi konsumsi pangan kita keliru. Salah satu sebabnya, kebijakan pemerintah yang kurang pas,” ujarnya.

Siswono mengingatkan, Indonesia tengah digiring masuk dalam perangkap pangan negara maju dan MNCs. Ironisnya, pemerintah justru memberikan jalan bagi mereka untuk ”mencengkeram” negeri ini.

Hal itu, antara lain, tampak dari dibebaskannya bea masuk impor gandum dan kedelai. Kebijakan itu, menurut Siswono, menunjukkan bahwa pemerintah hanya berpikir jangka pendek.

Menanggapi ketergantungan pangan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Gatot Irianto mengatakan, di tengah arus globalisasi Indonesia memang tidak bisa 100 persen mandiri. Memang ada ketergantungan, tetapi masih dalam batas yang bisa dikontrol.

Artinya bila sewaktu-waktu ada kenaikan harga pangan global, Indonesia masih bisa menyediakan pangan. Menjadi berbahaya bila ketergantungan sudah sepenuhnya terjadi.

Di bidang penelitian, kata Gatot, sebenarnya Indonesia tidak kalah. Banyak varietas unggul bermutu benih kedelai yang memiliki produktivitas tinggi. Namun, peningkatan produksi kedelai tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Harus bertahap.

Terkait dengan bibit unggas, sudah ada sejumlah investor yang tertarik menanamkan modal di Indonesia dalam produksi GPS dan PS. Teknologi pembibitan unggas juga terus dikembangkan. Meskipun begitu, keberadaan usaha kecil ayam kampung juga harus tetap dilestarikan agar Indonesia memiliki ketahanan pangan untuk daging ayam dan telur. (Kompas, 1 September 2009) Selanjutnya...