Selasa, 27 Januari 2009

Tolak Peletakan TPS di Rumah Ibadah

ALIANSI Mahasiswa Pro Pluralisme (AMPP) Propinsi NTT menolak peletakan tempat pemungutan suara (TPS) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di halaman gereja. Sikap KPU itu bertentangan dengan peraturan KPU No 35 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan Suara Dalam Pemeiliha Umum Anggota DPR, DPR dan DPRD propinsi dan kabupaten/kota tahun 2009.

Penegasan ini disampaikan AMPP Propinsi NTT dalam pernyataan sikapnya yang ditandatangani Kasmir Kopong (ketua) dan Gusti Nagi (sekretaris) di Kupang, Selasa (27/1/2009).

AMPP menanggapi pernyataan Ketua KPU Pusat Abdul Hafiz Anshary yang berencana melakukan peletakan TPS-TPS di rumah peribadatan atau gereja karena pemilu legislatif, 9 April 2009 bertepatan dengan hari Kamis Putih yang dirayakan umat Kristiani.

AMPP menegaskan, pelatakan TPS-TPS di rumah peribadatan adalah tindakan yang sangat menganggu kekhusukan dan menimbulkan tekanan psikis bagi umat Kristiani yang sedang merayakan hari raya keagamaan.

"Rencana kebijakan tersebut secara tidak langsung sedang membawa aktifitas politik masuk ke dalam wilayah religius dimana turut menodai kesakralan tempat ibadah," demikian AMPP.

AMPP mengatakan, pernyataan ketua KPU sangat kontradiktif dengan ketentuan peraturan KPU No 35 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan Suara Dalam Pemeiliha Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD propinsi dan kabupaten/kota tahun 2009. Mengutip Pasal 22 ayat 2 menyatakan : lokasi TPS sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dibenarkan menggunakan tempat-tempat ibadah, termasuk halamannya.

"Dengan demikian menggabarkan kinerja KPU yang tidak profesional dan inkonsisten terhadap peraturan yang telah dibuat," tulis AMPP.

AMPP menghimbau pihak gereja agar tidak terjebak untuk memberikan ijin peletakan TPS di sekitar gereja karena kebijakan tersebut menjauhkan keadilan dan mengabaikan aspek kerohanian dan kesakralan peribadatan umat. Selain itu, kebijakan itu menciptakan disparitas sosial antarmasyarakat di tengah kehidupan bangsa yang pluralis.

AMPP mengharapkan KPU dan pemerintah pusat harus segera menggeser jadwal pemiluh legilsatif sesudah pekan suci. Kebijakan pergeseran jadwal pemilu tidak hanya sekedar menjadi tuntutan toleransi negara terhadap kehidupan rohani umat tetapi juga menjadi pencitraan secara internasional bagi bangsa Indonesia di mata dunia bahwa terjadi toleransi yang tinggi dalam pelaksanaan kehidupan umat beragama dengan praktek kenegaraan di Indonesia.

AMPP menyatakan, apabila pemerintah dan KPU bersikeras untuk tetap tidak menggeser jadwal pemilu legislatif maka konsekuensinya banyak masyarakat akan tidak ikut memilih karena mereka lebih memilih beribadah pada hari Kamis Putih.

AMPP juga meminta gereja harus segera bersikap tegas, diantaranya mengimbau umat agar pada tanggal 9 April tidak melakukan aktivitas lain selain beribadah.

"Umat Kristiani di NTT sebagai bagian dari bangsa Indonesia maka negara harus menghargai dan menjamin serta menciptakan ketenangan lahir dan bathin dalam merayakan pekan suci bagi umat Kristiani," demikian AMPP. (aca/pk edisi rabu 28 januari 2009 hal 8)
Selanjutnya...

Terkena Uap Panas, Warga Mataloko Sakit

BERDASARKAN hasil identifikasi Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada, saat ini ada 1.059 warga yang berdomisili di sekitar lokasi panas bumi Mataloko menderita sakit sejak terjadinya uap panas itu. Ada yang menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), infeksi kulit dan asma.

Data itu diperoleh setelah tim Dinkes Ngada dan Puskesmas Golewa diterjunkan ke lokasi Pembangkit Listrik Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Mataloko, Sabtu (24/1/2009). Tim itu diterjunkan dalam rangka mengidentifikasi penyakit yang diderita masyarakat pasca munculnya uap panas di lokasi PLTPB Mataloko.

Umumnya para penderita berdomisili disekitar lokasi semburan. Mereka mengaku menderita sakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), infeksi kulit dan asma. Mereka yang terkena penyakit didominasi penyakit ISPA, yakni sebanyak 544 penderita. Penyakit lainnya, yakni infeksi kulit sebanyak 185 penderita dan asma 33 penderita.


Penyakit yang diderita masyarakat ini ditemukan tim Dinkes Ngada pada empat lokasi, yakni Desa Ratogesa, Dadawea, Kelurahan Mataloko dan Kelurahan Todabelu.

"Meski data lapangan seperti itu, namun tim Dinkes Ngada masih terus melakukan identifikasi," kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada, Hildegardis Bhoko, SKM, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (27/1/2009).

Dijelaskannya, tim yang diterjunkan itu beranggotakan staf Dinkes Ngada dan Puskesmas Golewa. Tim Dinkes Ngada dipimpin Longginus Lowa, SKM, Kasie Wabah dan Bencana pada Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Ngada.

"Tim ini sudah ke lokasi panas bumi, Sabtu (24/1/2009). Mereka telah melakukan identifikasi penyakit yang dialami para warga di radius yang berdekatan dengan lokasi panas bumi. Penyakit yang ditemukan antara lain ISPA sebanyak 544, infeksi kulit 185 dan asma 33 penderita. Penyakit yang ditemukan ini apakah karena uap panas dan semburan dari panas bumi tim Dinkes Ngada masih melakukan pemeriksaan," kata Bhoko.

Akan tetapi, lanjut Bhoko, penyakit yang ditemukan di lokasi ini berdasarkan pengakuan masyarakat. Data-data tentang para penderita itu akan dilengkapi sehingga dapat dilakukan perbandingan sebelum dan sesudah pengeboran. "Sepengetahuan kami, kadar belerang itu bisa menyembuhkan penyakit. Tapi kalau kadarnya terlalu tinggi juga bisa berbahaya," kata Bhoko.

Dia menegaskan, pihaknya akan melakukan pemeriksaan guna mengetahui lebih jelas dampak langsung dan tidak langsung dari pengeboran sehingga ada penyakit yang muncul di masyarakat.

Tutup Semburan

Sementara itu masyarakat yang berdomisili pada radius sekitar 600 meter dari lokasi panas bumi meminta Geologi dan Pemkab Ngada sesegera mungkin menutup lokasi uap panas yang menurut warga seperti lumpur panas itu.

"Geologi boleh katakan itu bukan lumpur panas, tapi kami minta supaya ditutup, sehingga tidak merusak lingkungan dan sumber air. Kami sudah kena dampakya, ternak sapi yang kami sering ikat di pinggir kali tidak kami ikat lagi. Kami takut air tercemar belerang," ujar Wilhelmus Bolo, warga Kampung Pomamana, Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, di Kantor Bupati Ngada.

Dia mengatakan, apa yang disampaikan tim Geologi Bandung itu memang haknya. Tapi lokasi yang mengeluarkan uap panas itu sebaiknya ditutup saja.

"Kami sering melintas di sekitar lokasi yang ada semburan lumpur panas itu," kata Bolo.

Dia mengatakan, masyarakat di Pomamana khawatir sumber air tercemar dan bisa mematikan tanaman di pinggir kali yang sering dipakai warga untuk minum. Sedangkan hasil identifikasi tim Bapedalda Ngada tentang apakah sumber mata air tercemar belum ada hasilnya karena masih dalam proses pemeriksaan.

Terkait semburan itu, tim Geologi Bandung yang terdiri dari Kaswani, Jani Simanjuntak dan Bambang Sulaiman, Selasa (27/1/2009) pagi menemui Bupati Ngada guna menyampaikan hasil pantauan di lokasi panas bumi. Tim ini menyampaikan bahwa semburan itu adalah uap panas, bukan lumpur panas. Mereka juga menjamin uap panas itu tidak berbahaya karena tidak mengandung zat kimia.

Menunggu Keputusan Tim Geologi

Mantan General Manager PT Perusahan Listrik Negara (PLN) Propinsi NTT, Amir Rosidin, menjelaskan, pihaknya masih menunggu keputusan final dari tim Geologi Bandung terkait uap panas yang terjadi di Mataloko-Ngada.
Ia mengatakan itu saat acara pisah kenal GM PT PLN NTT baru, S Januwarsono, di Restoran Nelayan Kupang dari, Selasa (27/1/2009) malam.

"Kami sudah mendapat pemberitahuan dari tim geologi yang sedang bertugas di Mataloko. Disampaikan bahwa masalah itu tidak berbahaya dan tidak mengganggu seluruh proses persiapan pembangkit listrik tenaga bumi (PLTPB) yang kini tengah berjalan," ujar Rosidin.

Hanya saja, kata dia, proses ini harus melalui keputusan dari pimpinan tim Geologi yang berpusat di Bandung. Artinya, hasil temuan itu akan dikaji, lalu Geologi Bandung memutuskan sesuai hasil kajian lapangan.

Rosidin menjelaskan, tim Geologi Bandung yang masih bertugas di Mataloko itu telah mengambil sejumlah sampel terkait kasus uap panas itu. Tiga sampel itu, yakni lumpur, batuan dan gas. Ketiga sampel tersebut nanti diuji di laboratorium untuk mengetahui kira-kira lumpur tersebut berasal dari lapisan mana.

Berdasarkan laporan dari lapangan, kata dia, apa yang terjadi di Mataloko sebenarnya kejadian biasa setiap tahun saat musim hujan. Saat musim hujan, ada air yang masuk ke pori-pori bumi sehingga menimbulkan sumbatan. Makanya terjadi semburan bersama lumpur. Kemudian radius semburan juga tidak seberapa jauh atau masih tidak mempengaruhi areal pertanian warga setempat.

"Kalau ada tanaman mati, itu karena uap panas yang terbawa angin bukan karena lumpur panas seperti yang diduga," ujar Rosidin.

Meski demikian ia menegaskan, dalam masalah ini, tim geologi yang tengah berada di lokasi harus memberikan pencerahan secara luas. Dia mengatakan, proses penggalian energi listrik panas bumi itu dilakukan tim geologi, bukan PLN. Olehnya tanggung jawab sepenuhnya ada pada tim geologi. PLN hanya menerima hasil kerja tim geologi. Kalau tim geologi merekomendasikan jalan maka pasti berjalan.

Hanya Enam Sumur

Pada bagian lain, Rosidin juga meluruskan pemberitaan tentang sumur yang tengah digali di tempat itu. Di lokasi panas bumi itu ada enam sumur, bukan delapan sumur.

Ia merincikan: sumur pertama telah dinyatakan gagal dan tidak digunakan. Sumur dua berkekuatan 100 KW, sumur tiga dan sumur lima berkekuatan 1,8 MW (dua sumur ini yang akan rencananya akan digunakan dalam waktu dekat bila tidak ada kendala).

Berikutnya, lanjut Rosidin, sumur empat disiapkan untuk pembangkit lain; dan sumur enam untuk kegiatan injeksi air ke dalam tanah. "Kondisi yang ada di tempat itu normal-normal saja, sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Lain soal kalau kondisi itu terjadi akibat kegiatan lain seperti, gempa bumi," ujarnya. (ris/ely/pk edisi rabu 28 januari 2009)
Selanjutnya...

Semburan di Mataloko Bukan Lumpur Panas

TIM Geologi Bandung memastikan bahwa semburan yang terjadi di lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Mataloko Kabupaten Ngada adalah berupa uap panas bukan berbentuk lumpur panas.

Demikian keterangan Tim Geologi Bandung yang terdiri dari Kaswani, Jani Simanjuntak dan Bambang Sulaiman, saat ditemui di lokasi semburan, Senin (26/1/2009).

Ketiganya mengatakan, tekanan gas di bagian bawah tanah semakin besar. Besarnya tekanan itu telah bercampur dengan air yang masuk ke dalam sumur, sehingga muncul uap panas. Mereka mengibaratkan semburan itu seperti air yang mendidih.

Kaswani menjelaskan, hasil penglihatan tim, semburan lumpur panas tidak ada. Namun ada uap panas yang keluar karena adanya tekanan dari bawah tanah yang telah bercampur dengan air yang masuk, sehingga muncul lumpur panas di permukaan sumur.

"Hasil pantauan kami secara dekat tidak ada semburan lumpur panas. Yang ada hanya uap panas seperti air mendidih. Ini tidak membahayakan. Kami akan bawa sample air ini ke Bandung agar kami periksa. Saat kami pantau dari dekat, di sini tidak ada masalah. Kami jamin ini bukan seperti Lumpur Lapindo," ujarnya.

Ia meminta masyarakat tidak perlu resah. "Kami jamin tidak akan seperti di Sidoarjo. Ini hanya uap panas yang keluar karena bercampur dengan air yang masuk ke dalam sumur," kata Kaswani, yang dibenarkan temannya Simanjuntak.

Keduanya memastikan, memasukki musim panas nanti akan berkurang uap airnya. Uap panas itu sebenarnya sangat penting kalau dipasang guna mengangkat turbin listrik.

Mengenai bahaya terhadap lingkungan dan tanaman, Bambang Sulaiman mengatakan, ia memastikan tidak ada zat kimia yang ada dari semburan tersebut. Yang ada hanya uap air. "Tidak ada zat kimia yang ada di dalam lokasi panas bumi," kata Bambang.

Ketiganya mengaku, fenomena alam seperti munculnya uap panas bercampur air adalah hal yang biasa terjadi dan selama ini telah menjadi perhatian geologi. "Kami akan pantau terus guna melakukan proteksi sehingga tidak keluar dari zona yang telah ditetapkan," kata Kaswani. (ris/pk edisi selasa 27 januari 2009 hal 1)
Selanjutnya...