Sabtu, 06 September 2008

Wartawan Kurang Paham Gender


PESERTA DISKUSI -- Wartawan/wati dari media cetak dan elektronik yang tergabung dalam Forum Wartawan Peduli Gender menjadi peserta Focus Group Discussion tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di ruang rapat Biro Pemberdayaan Perempuan Setda NTT, Sabtu (6/9/2008).

PEMAHAMAN wartawan/wati media cetak dan elektronik di NTT tentang gender atau hal yang sensitif/berpihak pada perempuan dan anak masih sangat kurang. Akibatnya, banyak karya jurnalistik yang bias gender.

Hal ini diakui wartawan/wati yang menjadi peserta Focus Group Discussion tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di ruang rapat Biro Pemberdayaan Perempuan Setda NTT, Sabtu (6/9/2008). Kegiatan ini diselenggarakan Biro Pemberdayaan Perempuan bekerja sama dengan United Nation Population Fund (UNFPA).

Wartawan yang hadir berjumlah 15 orang, yaitu Asis Tokan (LKBN Antara), Kornelis Kewa Ama (Kompas), Alberth Vinsent (Radio El Shinta), Ina Djara (TVRI Kupang), Alfons Nedabang (Pos Kupang), Yes Bale (Timor Express), Palce Amalo (Media Indonesia), Yos K Diaz (Viesta Nusa), Adi Adoe (RRI Kupang), Hiro Bifel (Fajar Bali), Leo Ritan (Flores Pos), John Seo (Erende Pos), Rudi Riwu Kaho (Kursor), Tere (Radio Madhika), Robert Ola Bebe (Buser Timur) dan Agus Badja (Suara Kupang). Kegiatan diskusi dipandu Ketua PWI NTT, Dion DB Putra, dengan pendamping Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan, Dra. Sisilia Sona. Asisten III Setda NTT, Simon P Mesah hadir membawakan materi tentang Kebijakan Pemerintah Dalam Upaya Perlindungan Pemberdayaan Perempuan.

"Selama ini tidak ada yang membekali wartawan tentang jurnalisme yang berperspektif gender sehingga pemberitaan media banyak yang bias. Wartawan malas dan media tidak punya komitmen terhadap pelindungan perempuan dan anak," kata Asis Tokan.

"Be (saya) son (tidak) tahu tulis berita yang berperspektif gender itu yang karmana," ujar Yes Bale polos dalam dialek Kupang yang kental.

Wartawan yang hadir juga mengakui pengetahuan masih minim tentang produk hukum, di antaranya Undang Undang No 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2006. Ketika panitia membagikan buku yang berisi dua jenis aturan ini, wartawan menerimanya dengan 'kaget'.

Diskusi selama kurang lebih dua jam itu menghasilkan beberapa rekomendasi, di antaranya Forum Wartawan Peduli Gender dan Biro Pemberdayaan Perempuan akan membedah berita-berita 'gender' yang sudah dilansir media, melakukan pendidikan dan pelatihan bagi wartawan tentang jurnalisme yang berperspektif gender, mengadakan perlombaan penulisan berita yang berperspektif gender.

"Media harus terus-menerus memberi terang. Demikian peran pers. Isu-isu gender, pelindungan perempuan dan anak, hendaknya dijadikan agenda peliputan media. Forum ini perlu memfasilitasi pertemuan dengan pemimpin redaksi masing- masing media, agar mereka juga berperspektif gender," kata Dion DB Putra.

Sisilia Sona mengatakan, berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi keprihatinan kita bersama, memerlukan upaya pencegahan serta penanggulangan.

Dikatakannya, walaupun UU No 23/2004 tentang KDRT dan PP No 4/2006 telah ada, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak telah ada di setiap Polres/Polresta di kabupaten/kota, namun belum memberikan perlindungan yang maksimal terutama kepada perempuan dan anak korban kekerasan.

"Peran media massa yang diharapkan dapat menjadi focal point yang memiliki corong diharapkan memberikan pemberitaan yang sensitif dan cukup berpihak pada perempuan dan anak. Media harus buat berita yang santun," kata Sisilia Sona.

Sementara itu, Simon P Mesah mengharapkan, media massa menjadi mitra pemerintah dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan dan anak. Penulisan dan pemberitaan harus berpihak pada perempuan dan anak. (aca/Pos Kupang edisi Minggu, 7 September 2008 hal 10) Selanjutnya...