Senin, 29 September 2008

Aneka Pangan Lembata Bergizi Tinggi


POS KUPANG/EUGENIUS MOA MAKANAN LOKAL-- Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Lembata, Ny. Margaretha Manuk (kanan) mengamati makanan lokal yang dipajang dalam perlombaan makanan lokal antardesa tingkat Kecamatan Lebatukan, di Hadakewa, Sabtu (27/9/2009).

ANEKA pangan lokal di Kabupaten Lembata memiliki kualitas dan nilai gizi yang tinggi. Lantaran pengolahan dan penyajian yang kurang tepat dan kurang kreatif menyebabkan pangan lokal hanya dikonsumsi apa adanya sehingga membosankan. Melihatnya saja tidak menimbulkan selera makan.

Pada Sabtu (27/9/2008), bertempat di Sekolah Dasar Katholik (SDK) St. Laurensius Hadekewa, Kecamatan Lebatukan diadakan lomba memasak bahan pangan lokal antar desa. Diketahui, begitu banyak pangan lokal Lembata. Namun, dibutuhkan kreatifitas pengolahan agar bahan-bahan pangan tersebut menjadi makanan sangat enak dan bergizi tinggi.

Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk dan Wakil Bupati Lembata, Drs. Andreas Nula Liliweri yang hadir dalam kegiatan tersebut memuji kreativitas para ibu yang menyediakan masakan lokal dalam acara perlombaan itu.

Ny. Mace Tukan, dan Ice Kaona, asal Desa Lamatuka meraih juara pertama dalam lomba ini cukup kreatif mengolah bahan pangan lokal. Tanpa campuran bahan makanan pabrikan, Mace dan Ice mampu memberi kreasi yang lain pada bahan pangan lokal yang dibuat menjadikan citarasa cukup enak. Pengolahan daging siput laut menjadi sate. Pengolahannya relatif sederhana.

Kerang siput dibuka diambil dagingnya dan dibersihkan, dipotong-potong kemudian diberi bumbu secukupnya lalu dibakar. Ketika matang diberi kecap dan daun jeruk sitrum, nilai rasanya tak kalah dengan sate dari hewani lainnya. Daging sate siput karya Mace dan Ive diberi nama sate hawu blaa.

"Kebiasaan masyarakat di desa kalau dapat siput laut dilawar mentah. Atau dijemur kering untuk konsumi sehari-hari. Kami coba ramu daging siput menjadi sate. Kami belajar dari buku resep masakan," kata Mace.

Kedua ibu rumah tangga ini juga kreatif meramu daun singkong dicampur santan, dan beberapa bumbu lokal menjadikan daun ubi berasa bumbu daging rendang yang diberi nama sayur baigopa. Selain itu, snack lewura dari campuran buah singkong direbus kemudian di mol diberi gula merah menjadi makanan enak sehabis konsumsi panganan utama.

Ketua Tim Penggerak PKK Lembata, Ny. Margaretha Manuk memuji kreativitas pengeolahan makan yang diramu kaum ibu di pedesaan. Juara pertama tingkat desa akan tampil pada lomba masak makanan lokal antarkecamatan menjelang peringatan HUT Otonomi Lembata.

Label masakan lokal lain asal Desa Lamatuka, yakni bubur waepiri terbuat dari biji jawewut. Masakan ini mengandung karbohidrat juga cocok untuk pengobatan penderita luka dalam. "Bahan dasar dihasilkan di kebun dan di laut kalau diolah dengan baik rasanya sangat enak. Yang harus didorong kreativitas para ibu untuk memenuhi kebutuhan konsumi di rumah tangga," kata Ny. Margaretha.

Bupati Lembata, Andreas Duli Manuk memuji pertisipasi Dinas Pertanian Tanaman, Plan Lembata dan Tim Penggerak PPK Lembata yang memprakarasi perlombaan yang langsung menyentuh langsung dengan aktivitas dan kebutuhan masyarakat. Menurutnya potensi bahan pangan lokal bila dikelola bervariasi terasa sangat enak.

Ia berharap kaum ibu memiliki ketrampilan dan pengetahuan bisa mempraktekannya di rumah tangga dan menyediakan panganan bagi kebutuhan makan sehari-hari.

"Di Lembata hanya satu anak gizi buruk, itupun karena penyakit bawaan sejak lahir. Lebih banyak kurang gizi. Kita bisa atasi dengan panganan lokal. Kreativitas ibu-ibu harus didorong agar mampu menyediakan makanan yang berkualitas kepada keluarga," ujar Ande Manuk. (ius/Pos Kupang edisi Selasa 18 September 2008 hal 18)
Selanjutnya...

Mesin Pengering Kacang Mete di Ile Padung Mubazir

SATU unit mesin pengering kadar air kacang jambu mete bantuan Dinas Perkebunan Propinsi NTT tahun anggaran 1995/1996 untuk Kelompok Tani Puna Liput, di Desa Ile Padung, Kecamatan Lewolema (dahulu Tanjung Bunga, Red), kini mubazir. Hingga saat ini peralatan tersebut tidak bisa digunakan karena di Desa Ile Padung belum ada listrik PLN.

Genzet (generator zet) yang dimiliki kelompok masyarakat setempat kekuatan/dayanya sangat kecil sehingga tidak mampu mengoperasikan peralatan itu.

Pembantu Sekretaris Puna Liput (kelompok pengelola kacang mete, Red) di Desa Ile Padung, Aloysius Maran, didampingi anggota kelompok, Ny.Lusia Kelen (53), mengakui hal ini saat ditemui di sela-sela kegiatan mengupas kacang mete di gedung Puna Liput, Jumat (27/9/2008).

Maran menjelaskan, pada TA 1995/1996 kelompok Puna Liput beranggotakan 12 orang mendapat bantuan paket peralatan penunjang kerja mengelola kacang mete. Misalnya, enam meja dilengkapi alat pemecah, menggunting kulit luar biji mete, juga alat mencungkil kacang dari kulit, termasuk alat/mesin pengering kadar air kacang mete yang telah dikupas dan dibersihkan kulit arinya.

"Dari paket bantuan Dinas Perkebunan NTT hanya satu peralatan belum kami manfaatkan, yakni mesin oven pengering kadar air kacang mete untuk siap diekspor," ujar Maran.

Mesin pengering kadar air kacang mete merk Memmert buatan Jerman hanya dipajang. Dalam mesin disimpan alat bongkar pasang seperti pemukul, pencabut paku, pisau, parang, gergaji dan obeng. Peralatan mesin senilai ratusan juta itu hanya dimanfaatkan sebagai lemari untuk simpan perkas kelompok kacang mete Puna Liput di Ile Padung.

Maran mengatakan, peralatan itu tidak digunakan untuk pres kadar air kacang mete karena selama ini kelompok Puna Liput hanya andalkan sinar matahari sebagai kekuatan alami untuk kurangi kadar air dengan cara kacang mete yang telah dipisahkan dari kulit luarnya dijemur dibawah terik matahari. Namun kelompok ini kesulitan saat musim hujan sehingga mengurang produksi karena keterbatasan tenaga untuk menjemur serta cuaca mendung sehingga kacang mete lama kering.

Ia mengharapkan bantuan Pemkab Flotim menghadirkan jaringan listrik PLN di Desa Ile Padung, Sinarhading dan Belogili agar ke depan bisa membantu produksi pengolahan kacang mete asal Flotim yang lebih berkualitas menggunakan mesin pres kadar air kacang mete.

"Kacang mete yang hendak diekspor kualitasnya harus tetap terjamin dan kadar airnya hanya 10 persen. Lebih dari itu tergolong kualitas buruk," katanya sembari menambahkan harga kacang mete utuh yang diproduksi kelompok Tuna Liput Ile Padung Rp 80.000/kg dan kacang mete yang tidak utuh/pecah Rp 50.000/kg. (art/Pos Kupang edisi Selasa 30 September 2008 hal 16)
Selanjutnya...

Calon Sementara Anggota DPRD NTT 1.088 Orang


POS KUPANG/REDDY NGERA
KOMPOSISI BARU -- Komisi Pemilihan Umum Propinsi NTT dengan komposisi keanggotaan yang baru. Dari kiri ke kanan, Drs. Djidon de Haan, M.Si, Yoseph Dasi Djawa, S. H, Drs. Johanes Depa, M.Si (ketua) dan Drs. Gasim, saat memberi penjelasan kepada pimpinan parpol di Sekretariat KPUD, Sabtu (27/9/2008). Mariyati Luturmas Adoe, S.E, M.Si tidak hadir.


SEBANYAK 1.088 calon anggota legislatif (caleg) DPRD Propinsi NTT ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD) NTT masuk dalam daftar calon sementara (DCS). Sedangkan caleg yang dinyatakan gugur karena tidak memenuhi syarat sebanyak 122 orang.

Demikian data yang diterima dari Kelompok Kerja (Pokja) Pencalonan pada KPUD NTT, Senin (29/9/2008). Senin kemarin, KPUD NTT telah mengumumkan DCS yang terdiri dari nama caleg dan partai pengusung per daerah pemilihan, diantaranya dengan menempelkan pada papan informasi yang ada di sekretariat KPUD NTT dan pengumuman lewat media massa. Pada DCS itu tidak disertakan dengan foto caleg.

Jumlah caleg yang masuk DCS lebih sedikit dari target caleg yang ditetapkan yaitu 120 persen per alokasi kursi setiap daerah pemilihan atau setara secara keseluruhan berjumlah 2.508 orang. Pada masa pendaftaran, caleg yang didaftar 38 parpol sebanyak 1.396 orang. Pada masa perbaikan, yang memasukkan berkas sebanyak 1.210 caleg. Dari jumlah itu yang memenuhi syarat 1.088 orang, dengan rincian 750 laki-laki (68,93 persen) dan 338 perempuan (31,07 persen).

Ketua KPU Provinsi NTT, Drs. Johanes Depa, M.Si mengatakan, caleg yang lolos memenuhi delapan hal prinsip, diantaranya semua dokumen caleg yang masuk harus lengkap dan bobot hukumnya sama. Yang berstatus PNS harus membuat surat pernyataan pengunduran diri dan surat pernyataan bahwa surat pengunduran diri sedang dalam proses. Dokumen yang difotokopi yaitu ijazah legalisir basah ditambah 2 fotokopi ijazah yang dilegalisir basah, serta SKCK harus sesuai dengan tempat domisili.

Berbeda dengan KPUD NTT, KPUD Timor Tengah Selatan hingga kemarin belum mengumumkan daftar nama-nama caleg. Belum ditetapkannya DCS terjadi lantaran masih terdapat partai yang belum memberikan paraf pada daftar caleg yang ada serta masih ada kesalahan penulisan nama caleg.

Anggota KPUD TTS, Ir. Rambu Mella yang dikonfirmasi di SoE, Senin (29/9/2008) membenarkan hal tersebut. Rambu mengakui sejak Jumat (26/9/2008) KPUD TTS sudah menghubungi pengurus partai untuk memparaf daftar nama dan urutan caleg.

"Hingga kini ada tiga partai yang belum memparaf daftar nama dan urutan calegnya. Ketiga partai itu yakni, Partai Pelopor, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Pemuda Indonesia. Kami sudah menghubungi pengurus ketiga partai tersebut namun sampai sekarang belum ada yang datang," ujar Rambu.

Untuk kesalahan penulisan nama, lanjut Rambu, KPUD TTS memutuskan nama yang dipakai sesuai dengan yang ada diijazah masing-masing caleg. Pasalnya ijazah dapat dijadikan sebagai patokan kebenaran penulisan nama seseorang.

Tentang jumlah DCS yang akan diumumkan, Rambu mengatakan sesuai hasil verifikasi KPUD TTS sebanyak 789 caleg sementara dari 37 partai akan diumumkan ke publik. Jumlah angka itu didapatkan setelah menyeleksi 798 berkas caleg yang masuk ke KPUD TTS.

Rambu merincikan dari 789 itu terdiri dari 562 caleg pria dan sisanya, 227 caleg perempuan. Dengan demikian total keterwakilan perempuan untuk sementara dalam pemilu 2009 sebesar 28,77 persen. Sementara bila dilihat dari masing-masing partai hanya 19 partai saja yang memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen. (aca/aly/Pos Kupang edisi Selasa 30 September 2008)
Selanjutnya...

Minggu, 28 September 2008

4 Parpol Tidak Penuhi Keterwakilan Caleg Perempuan

KOMISI Pemilihan Umum mengumumkan sebanyak empat partai politik tidak berhasil memenuhi sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara anggota DPR.

"Keempat partai tersebut adalah Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Patriot," kata anggota KPU Endang Sulastri, di Jakarta, Minggu (28/9/2008).

Setelah melaksanakan verifikasi berkas bakal calon anggota DPR yang diajukan 38 partai politik nasional peserta pemilu, keempat partai tersebut dinyatakan tidak memenuhi keterwakilan caleg perempuan.

Bakal calon anggota DPR dari Partai Peduli Rakyat Nasional cerjumlah 288 orang, yang jumlah bakal caleg perempuan yaitu 77 orang atau 27 persen. Sementara, calon anggota DPR dari Partai Gerindra berjumlah 397 orang dengan jumlah caleg perempuan 106 calon atau 27 persen.

Jumlah bakal caleg perempuan Partai Persatuan Pembangunan yakni 124 calon atau 27 persen dari total caleg yang memenuhi syarat yaitu 452 orang.

Sedangkan jumlah bakal caleg perempuan Partai Patriot yaitu 23 calon atau 19 persen dari 118 caleg.

Endang mengatakan sebagian besar caleg perempuan yang gugur disebabkan tidak memenuhi persyaratan.

Dalam proses verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, maka KPU juga melakukan verifikasi terhadap terpenuhinya sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan.

Apabila tidak terpenuhi, maka KPU memberikan kesempatan pada parpol untuk memperbaiki daftar bakal calon. Perbaikan tersebut dilakukan sebelum KPU menetapkan Daftar Calon Sementara anggota DPR.

Jika tetap tidak dapat memenuhi keterwakilan perempuan, maka KPU mengumumkan nama partai yang tidak berhasil memenuhi kuota caleg perempuan.

Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2008 tentang pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dalam pemilu 2009 pasal 27 huruf d menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan secara luas melalui media cetak dan media elektronik nama-nama partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30 persen dalan DCS.

Sementara itu, partai-partai yang telah memenuhi persentase keterwakilan bakal caleg perempuan diantaranya adalah Partai Amanat Nasional 31 persen, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 35 persen, dan Partai Golongan Karya 31 persen.

Selain itu, Partai Kebangkitan Bangsa 34 persen, Partai Keadilan Sejahtera 37 persen, dan Partai Demokrat 33 persen.

Sejumlah partai politik berhasil memenuhi keterwakilan perempuan diatas 40 persen dari jumlah calon sementara anggota DPR, diantaranya adalah Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia 48 persen keterwakilan perempuan, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah 47 persen, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 45 persen. (LKBN Antara)
Selanjutnya...

KPUD Tidak Serentak Umumkan DCS Caleg

KOMISI Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di NTT tidak mengumumkan daftar calon sementara (DCS) calon anggota legislatif (Caleg) secara serentak. Padahal, jadwal pengumuman ditetapkan pada tanggal 26 September 2008 dan dilakukan serentak di seluruh Indonesia. KPUD yang telah mengumumkan DCS kepada pengurus partai politik (Parpol) dan publik melalui media massa adalah Sikka dan Sumba Timur.

Pengumuman DCS caleg DPRD Propinsi NTT belum dilakukan karena anggota KPUD NTT yang baru dilantik di Jakarta, Drs. Johanes Depa, M.Si, Drs. Gasim, Drs. Djidon de Haan, M.Si, Mariyati Luturmas Adoe, S.E, M.Si dan Yoseph Dasi Djawa, S.H, baru tiba di Kupang pada Jumat (26/9/2008) malam.

Anggota KPUD NTT/Ketua demisioner Pokja Pencalonan, Hans Ch Louk, mengatakan, jumlah caleg yang telah mengembalikan berkas sebanyak 1.210 orang - terdiri dari 821 laki-laki dan 389 perempuan - diusul 38 parpol. Jumlah ini lebih sedikit dari jumlah caleg ketika mendaftar yaitu 1.396 orang, terdiri dari laki-laki 975 orang dan 421 perempuan.

"Kemungkinan, jumlahnya akan berkurang karena ada beberapa caleg yang tidak memenuhi persyaratan. Kami serahkan kepada KPUD yang baru untuk memutuskan dan mengumumkan DCS," kata Hans Louk. Menurut rencana, Sabtu (27/9/2008) hari ini, KPUD NTT mengumumkan DCS kepada pengurus parpol dan selanjutnya kepada masyarakat.

Di Sikka, KPUD setempat mengumumkan jumlah caleg DPRD Kabupaten Sikka yang masuk dalam DCS sebanyak 580 orang dari 812 caleg yang diajukan 37 partai politik. Sebanyak 232 orang caleg dinyatakan gugur.

Ketua Pokja Pencalonan KPUD Sikka, Vivano Bogar, mengatakan, 580 caleg akan memperebutkan 30 kursi yang dialokasikan untuk DPRD Sikka periode 2009-2014.
Vivano menjelaskan, 232 caleg yang dinyatakan tidak lolos verifikasi tahap II karena beberapa alasan, yaitu mengundurkan diri, tidak melengkapi berkas yang masih kurang dan karena tidak penuhi syarat calon misalnya umur.

Vivano mengatakan, dari 37 parpol yang mengajukan caleg, Partai Matahari Bangsa yang paling sedikit memiliki caleg yakni hanya 5 orang. Sementara caleg terbanyak masuk DCS adalah dari Partai Golkar yaitu 34 orang.
Menurut Vivano, KPUD memberi kesempatan bagi masyarakat umum untuk memasukkan sejumlah saran dan tanggapan terhadap 580 caleg yang masuk DCS, selama 26 - 9 Oktober. Pada tahapan itu juga akan dilakukan klarifikasi dari parpol atas masukan dan tanggapan masyarakat itu.

Jika ada hal-hal krusial yang menyebabkan 580 caleg yang sudah masuk DCS itu harus diganti, maka KPUD memberikan kesempatan kepada parpol bersangkutan untuk mengajukan dan mengganti para caleg yang sudah masuk DCS itu dengan caleg lainnya selama tanggal 11-21 Oktober. KPU Sikka akan melakukan verifikasi terakhir caleg yang masuk DCS itu pada tanggal 12-24 Oktober 2008. Dan pada tangal 13-30 Oktober 2008 akan dilakukan penyusunan dan penetapan daftar calon tetap (DCT) caleg Kabupaten Sikka. "Pengumuman DCT caleg Kabupaten Sikka akan dilakukan tanggal 31 Oktober 2008," jelas Vivano.

Di Sumba Timur, KPUD setempat menetapkan 458 caleg yang masuk dalam DCS, sedangkan 23 lainnya dinyatakan gugur karena tidak memenuhi syarat. Penetapan DCS dilakukan dalam rapat pleno yang dihadiri anggota KPUD. Sebagian besar caleg yang tidak lolos verifikasi karena tidak memiliki ijazah atau belum memiliki surat keterangan kelulusan dari Dinas Pendidikan Nasional Sumba Timur.

"Yang kita minta itu bukti kelulusan atau surat keterangan lulus dari instansi terkait. Namun yang dimasukkan para caleg sebagai persyaratan hanya surat keterangan telah mengikuti ujian Paket C dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sumba Timur. Jelas tidak bisa kita akomodir karena hasil ujian belum diketahui," kata Ketua KPUD Sumba Timur, Dr. Siliwoloe Ndjoeroemana, Kamis (25/9/2008) malam.

Ia mengatakan, jumlah caleg yang tidak lolos verifikasi ini di luar Partai Bintang Reformasi (PBR) karena caleg dari partai ini tidak mengambil berkas perbaikan pada verifikasi pertama. Dari 23 calon anggota legislatif yang tidak lolos, 17 di antaranya dari Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Hari Jumat (26/9/2008) kemarin, KPUD telah mengumumkan DCS kepada pengurus partai politik.

Dari Labuanbajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) dilaporkan, ada 75 orang dari 648 caleg yang diajukan ke KPUD, dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan. Para caleg yang tidak lolos ini terutama berasal dari parpol yang memiliki dualisme kepemimpinan, selain ada yang belum mencapai usai 21 tahun.

Gugurnya 75 caleg ini dinyatakan melalui rapat pleno penetapan daftar caelg sementara oleh KPUD Mabar yang berlangsung di Aula Kemala Polres Mabar, Jumat ( 26/9/2008 ). Pleno ini dipimpin langsung Ketua KPUD Mabar, Thomas Dohu, S.Hut, didampingi Ketua Pokja Pencalonan, Hironimus Suhardi, S.S dan Vitus Suharman, S.Pd. Hadir pula Bupati Mabar, Drs. Wilfridus Fidelis Pranda, serta para pemimpin parpol setempat.

Dari 75 caleg itu, 30 orang digugurkan karena berasal dari parpol yang memilkii dualisme kepengurusan yakni dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Demokrasi Indonesai (PPDI). Dari PKB sebanyak 18 orang yang bukan berasal dari kepengurusan Muhaimin Iskandar-Lukman Edy, sedangkan 12 caleg lainnya berasal dari PPDI yang bukan pimpinan Endung Sutrisno dan Joes Pranoto.

Penuhi 8 Prinsip

Ketua KPUD NTT, Drs. Johanes Depa, M.Si, mengatakan, untuk bisa lolos verifikasi sehingga masuk dalam DCS, seorang caleg harus memenuhi delapan hal prinsip.

"Tidak selamanya semua calon yang diajukan, ditetapkan dalam DCS. Kemungkinan berkurang karena tidak memenuhi syarat," kata John Depa saat memberi penjelasan kepada pimpinan 38 parpol di Sekretariat KPUD NTT, Sabtu (27/9/2008).

Ikut mendampingi John Depa adalah anggota KPUD, Yosep Dasi Djawa, S. H, Drs. Djidon de Haan, M.Si dan Drs.Gasim. Sementara Mariyati Luturmas Adoe, SE, M.Si tidak berada ditempat. Sebelum rapat dengan pimpinan parpol, ketua dan anggota KPUD menggelar rapat pleno penetapan caleg untuk DCS. Rapat bersifat tertutup. Ketua Panwaslu NTT, Ir. Dominggus D Osa, MP yang sempat masuk ruangan rapat untuk melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan, justru diarahkan keluar.

John Depa mengatakan, ada 1.210 caleg yang memasukkan berkas. Rinciannya, 821 laki-laki dan 389 perempuan. Secara umum, total keterwakilan perempuan mencapai 32,58 persen. Proses pemetaan masih berlangsung untuk mengetahui berapa banyak caleg yang tidak lolos. Menurutnya, semua dokumen caleg yang masuk bobot hukum sama.

John mengatakan, delapan hal prinsip dimaksud di antaranya adalah, pertama, semua dokumen caleg yang masuk bobot hukumnya sama. Kedu, semua dokuman harus lengkap. Jika kurang satu syarat maka dinyatakan tidak lolos. Ketiga, terkait status PNS. PNS yang menjadi caleg harus membuat surat pernyataan pengunduran diri dan surat pernyataan bahwa surat pengunduran diri sedang dalam proses.

Keempat, hubungan formulir BA (daftar nama caleg yang dibuat parpol) dan formulir BB (daftar nama yang diisi caleg) tidak sinkron. Oleh karena itu, KPUD menggunakan data yang ada pada formulir BA.

Kelima, dokumen yang difotokopi yaitu ijazah legalisir basah ditambah 2 fotokopi ijazah yang dilegalisir basah. Keenam, SKCK tidak sesuai dengan tempat domisili. Artinya, KPUD mengakui SKCK sesuai dengan tempat domisili.
John Depa juga menjelaskan beberapa hal teknis lainnya yaitu tentang nama caleg yang panjang. Menurutnya, dari pengalaman Pemilu 2004, penyelenggara memasukkan nama caleg secara utuh (lengkap). Tapi secara teknis tidak menunjang. Dari sisi ruang dinilai kurang efektif karena nama yang panjang akan membentuk dua baris. "Oleh karena itu, pada DCS kita nama panjang namun pada penetapan DCT sudah tidak," katanya.

Lebih lanjut John juga mengingatkan dua hal yang harus dipahami pengurus parpol dan masyarakat. Pertama, terkait dengan persentase keterwakilan perempuan serta prinsip 1dalam 3 yang artinya pada setiap kelipatan tiga ada satu caleg perempuan. Selain itu, tentang uji publik terhadap caleg yang masuk DCS.

John Depa menjelaskan tentang alur klarifikasi hingga penetapan caleg terkait keterwakilan perempuan dan prinsip 1 dalam 3. Menurutnya, KPUD akan meminta klarifikasi pada parpol. Selanjutnya, pimpinan parpol klarifikasi secara tertulis kepada caleg yang bersangkutan. Hasil klarifikasi parpol dimaksud akan diumumkan KPUD kepada publik melalui media.

Serah Terima

Setelah rapat dengan pimpinan parpol di Sekretariat KPUD NTT berlangsung acara perpisahan yang ditandai dengan serah terima memori tugas dari anggota lama kepada anggota KPUD yang baru.

\Tiga anggota KPUD NTT 2003 - 2008 yaitu, Ir. Robinson Ratukore, John Lalongkoe dan Hans Ch Louk hadir. Sementara lima anggota KPUD yang baru, Johanes Depa, Djidon de Haan, Maryanti Luthurmas, Gasim dan Yos Dasi Djawa juga hadir. Penyerahan memori dari Robinson Ratu Kore kepada John Depa, disaksikan staf sekretariat KPUD.

John Depa menyampaikan terima kasih kepada anggota KPUD yang telah mengakhiri masa tugas. Ia mengharapkan agar anggota KPUD yang baru beserta staf sekretariat senantiasa menjaga kekompakan.

Pada acara perpisahan itu, KPUD NTT memberi cinderamata berupa cincin emas seberat 5 gram kepada tiga anggota yang lama. (aca/yel/vel/dea) (Pos Kupang edisi Sabtu 27 September 2008 hal 1)
Selanjutnya...

Anggota Panwaslu 10 Kabupaten Ditetapkan

PANITIA Pengawas Pemilu (Panwaslu) Propinsi NTT menetapkan anggota Panwaslu 10 kabupaten/kota masing-masing daerah berjumlah tiga orang. Sementara pelantikannya belum bisa dilaksanakan karena hingga saat ini Panwaslu NTT terkendala dana.

Ketua Panwaslu Propinsi NTT, Dominggus B Osa, saat ditemui Sabtu (27/9/2008) menjelaskan, penetapan dilakukan dalam rapat pleno Panwaslu NTT yang dihadiri anggota, Pdt. Hery G Mauboi dan Burhanudin Gesi di Sekretariat sementara Panwaslu NTT di Jalan WJ Lalamentik No 108 Kelurahan Oebufu, Kamis (25/9/2008).

Adapun anggota Panwaslu kabupaten/kota yang ditetapkan adalah Adrifina Ndjurumbaha, S.Sos, Ir. Ellen SM Pello dan Yeremian F Ndolu, S. H (Kota Kupang); Novel S.Sos, Romanus Ramone, S. H dan Simon Robert Muhu, S.Th (Sumba Timur); Drs. Aloysius Poleng, M.Si, Drs. Jeheo Benediktus dan Pius Panifino Jewaru, S.Fil (Manggarai); Evensius Jandri Anggal, SE, Hubertus Servus, S.Ag dan Mansiutus Saverius Dodu Dagos, S.Sos (Manggarai Timur); Abdul Majir, S.Ag, M.KPd, Maksimus Waris, S.Ip dan Roberthus Verdimus Din, S.Sos (Manggarai Barat).

Kabupaten Ngada terdiri dari Drs. Andreas Wuda, Maria Angelina DN Kumi, S.Sos dan Maria Theresia Yosefa Nona Lapu, SE. Kabupaten Sikka terdiri dari Alfonsus Gaudensius Sero, SE, Fredy Oswaldus, S. H dan Maria Kornelia, S.Sos. Kabupaten Lembata terdiri dari Maria Margareta Ida Korebima, SE, Neneng Ariantu Usman, SE dan Petrus Payong Pati, S.Fil.

Sedangkan dari Flores Timur, Agnes Yosefina Ema Koten, S.Sos, Kosmas Motong Langkamau, S. H dan Mardan Patiraja, S. H. Kabupaten TTU terdiri dari Athanasius Taek, S.Ip, Dominggus Lopis, S. H dan Viktor Emanuel Manbait, S. H.

Keanggotaan panwaslu dari sepuluh kabupaten/kota ini ditetapkan dengan surat keputusan Pleno Panwaslu Provinsi NTT No : 11/Pawaslu-NTT/IX/2008 tentang Penetapan Anggota Pawaslu Kabupaten/Kota Se-Provinsi NTT. Penetapan anggota Panwaslu juga dalam rangka memenuhi pasal 98 ayat 4 UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu.

"Pelantikan Panwas masih menanti keberadaan sekretariat, kepala dan staf sekretariat serta dana. Mengingat sampai saat ini Pemprov NTT kurang beri perhatian yang serius kepada Panwaslu Provinsi," kata Osa. (aca/POs Kupang edisi Senin 29 September 2008 hal 8)
Selanjutnya...

Domi

Oleh Dion DB Putra

Perjalanan ke kampung leluhur pekan lalu. Kutemukan kampung-kampung sunyi. Kampung dengan kaum lelaki pergi. Sepi. Tersisa wanita, sekelompok pria renta serta bocah-bocah. Perempuan...betapa kuat menjaga dan merawat. Dalam kesendirian.

Malaysia, tempat di mana pria-pria Flores, Timor, Lembata, Sumba, Rote, berkelana. Mereka lupa pulang...

NAMANYA Dominikus. Biasa disapa Domi. Umur 44 tahun. Delapan tahun lalu, dia merantau. Pergi mengikuti ajakan orang sekampung yang bertutur indah tentang Nunukan, Sabah, Tawao, Kuala Lumpur. Malaysia itu tanah terjanji. Mudah memetik ringgit, berlimpah ruah menjadi rupiah.

Domi pergi tanpa surat-surat resmi. Tidak melalui PJTKI berlisensi dan kredibel. Domi merantau bermodal otot. Impiannya memperbaiki nasib karena merasa lelah berladang, letih menyadap nira, memasak moke (minuman alkohol dari bahan nira) yang harganya sulit melonjak di pasar Lio, Lela, Paga dan Sikka.

Sri Bintan Pura Tanjungpinang, itulah tempat terakhir Indonesia yang dijejakinya. Domi berhasil masuk hutan Malaysia. Menjadi pemetik kepala sawit. Hampir sepanjang tahun tinggal di kamp perkebunan sawit milik majikan. Jarang pergi ke kota terdekat. Sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal, Domi tidak berhak jalan-jalan ke kota untuk berbelanja atau sekadar cuci mata.

Tempat yang layak hanya di hutan agar jauh dari intaian polisi Malaysia. Begitu yang selalu diingatkan majikan. Domi mengirim uang Rp 700 ribu untuk istri dan anak di kampung. Dan, cuma sekali itu dalam lima tahun. Tiga tahun terakhir dia beradu gesit dengan polisi yang rajin mengusir TKI. Dalam pelarian melelahkan di belantara Malaysia, Domi "jatuh cinta" dengan wanita Flores yang sama-sama berstatus TKI ilegal. Domi lupa istri sah dan kedua anaknya di kampung. Wanita itu melahirkan seorang anak laki-laki. Wajahnya persis Domi. Kulit hitam manis, rambut keriting, bibir agak tebal sedikit. Wajah khas Lio.

Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Segesit-gesitnya Domi dan istri mudanya berkelit dari kejaran polisi Malaysia, akhirnya keok juga. Awal September 2008, Domi tertangkap. Cuma dua pilihan, masuk penjara atau segera pulang ke nuaola (artinya, kampung halaman).

"Saya digiring sampai ke kapal hanya dengan baju di badan. Tidak diberi kesempatan kembali ke kamp mengambil tas pakaian dan lain-lain. Sampai sekarang saya belum tahu bagaimana nasib istri dan anak di sana. Mungkin mereka juga sudah ditangkap polisi," kata Domi lima hari lalu. Domi bukan orang lain. Dia masih saudaraku. Lama kami tak bersua. Saat jumpa, Domi bukan lagi pria yang dulu beta kenal rajin berkebun, pintar membuat moke kualitas nomor satu.

Merantau delapan tahun, Domi pulang dengan hasil nihil. Bercelana pendek dekil dan kaus oblong. Jauh lebih bagus baju yang dipakainya saat pergi delapan tahun lalu. Tiba malam hari di kampung 20 September lalu, Domi mengetuk pintu rumah berdinding bambu, dipeluk sang istri dengan senyum dan air mata.

"Lebih baik kau pulang, saya tidak butuh kau bawa apa-apa," kata istrinya. Mendengar pengakuan Domi tentang istri muda dan anak, istri yang dinikahi Domi secara resmi di gereja tahun 1991 hanya bisa diam. Diam seribu bahasa. Kisah lanjut tak ada yang tahu.

***
DOMINIKUS, saudaraku itu adalah bagian dari 26.122 TKI ilegal yang diusir pemerintah Malaysia selama tahun 2008. Seperti dirilis Kantor Berita ANTARA dua hari lalu, mereka pulang ke Indonesia melalui pelabuhan internasional Sri Bintan Pura Tanjungpinang, Propinsi Kepri.

Menurut data Imigrasi Tanjungpinang, TKI bermasalah yang diusir dari Malaysia pada bulan Januari sebanyak 2.851 orang; Februari 2.402 orang; Maret 1.929 orang, April 3.262 orang; Mei 3.211 orang; Juni 2.967 orang; Juli 2.829 orang; bulan Agustus 3.903 orang dan bulan September sebanyak 2.768 orang. Domi masuk data bulan September itu.

Di kampung leluhur, kutemukan kera menggasak pisang di bibir kampung, babi hutan merusak singkong dan jagung. Banyak lahan tidur dan anjing tak lagi menggonggong. Pria-pria produktif berkelana. Anak-anak hidup tanpa ayah.

Dicambuk, dihina, diusir sebagai bangsa kuli...mereka tak peduli. Pergi dan pergi lagi. Malaysia, entah sampai kapan menjadi tanah terjanji. Siapa yang peduli?

Teringat para calon bupati-wakil bupati yang kini getol sosialisasi diri. Terkenang anggota DePeEr, DePeDe yang kini giat tunjuk muka di kampung. Semoga menemukan Domi-Domi yang lain. (dionbata@poskupang.co.id/Pos Kupang edisi Senin 29 September 2008 hal 1)
Selanjutnya...

Pariwisata di Rote Masihkah Menjadi Ikon?

Oleh Ferry Ndoen

ANEKA kekayaan di bidang pariwisata di Bumi Flobamora tidak terkira. Mungkin juga tak tertandingi di bumi nusantara. Namun aneka obyek pariwisata yang menyebar di ratusan pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki ciri khas, dan berdaya tarik wisata yang sangat tinggi itu belum mendapat sentuhan optimal dari para pengelola dan pelaku pariwisata di NTT.

Kita di NTT memiliki wisata alam yang sangat banyak. Juga aneka budaya dan adat istiadat, serta ritual adat yang bisa dijual kepada wisatawan, baik wisatawan mancanegara, wisatawan nusantara (domestik) serta wisatawan lokal.

Kita juga memiliki aneka wisata pantai/bahari, aneka tarian dan beragam kesenian yang bisa "dijual". Setiap etnik, sub etnik yang menyebar di seluruh wilayah NTT memiliki kekhasan tersendiri. Semuanya menarik, berdaya tarik wisata tinggi karena wisata sudah menjadi salah satu kebutuhan manusia.

Salah satu contoh keunggulan pariwisata yang kini semakin redup adalah wisata bahari/pantai selancar di Pantai Nemberala, Kecamatan Rote Barat Daya. Selama lima tahun terakhir, tidak lagi digelar even bertaraf internasional untuk mempromosikan keindahan pantai itu. Pemerintah setempat, khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Rote Ndao beralasan ketiadaan dana untuk menggelar even bertaraf internasional. Dinas ini selalu mengusulkan anggaran untuk menggelar even wisata bertaraf internasional di Nemberala, namun mentok dalam pembahasan di DPRD setempat. Dewan setempat menilai kegiatan macam itu hanya menghambur-hamburkan anggaran.

Pantai Nemberala yang sangat indah dengan gulungan ombaknya sangat bagus untuk selancar. Sudah mendunia. Bahkan Nemberala sudah menjadi ikon pariwisata di Rote Ndao.

Saya ingin menceritakan sedikit pengalaman ketika meliput even Selancar Internasional di Pantai Nemberala, Agustus 2000 silam. Even ini digelar Pemkab Kupang. Saat itu Rote Ndao masih masuk dalam wilayah Kabupaten Kupang. Even bertaraf internasional ini digelar dengan melibatkan event organizer dari Propinsi Bali, menelan dana Rp 500 juta lebih. Gaung yang dihasilkan even ini luar biasa. Nemberala langsung mendunia. Apalagi saat itu, panitia pelaksana mampu menghadirkan jaringan internet --yang saat itu masih menjadi "barang aneh" di Rote-- di lokasi kegiatan. Internet, sudah disadari, sebagai salah satu kebutuhan wisatawan, juga sebagai salah satu perangkat paling efektif untuk "menduniakan" sebuah kegiatan. Maka perkembangan even tersebut langsung bisa diakses masyarakat dunia.

Even Selancar Nemberala 2000 silam itu mampu menyedot ratusan wisatawan yang datang dengan sejumlah kapal. Saat itu, Nemberala diakui sebagai salah satu tempat wisata kelas dunia karena gelombang lautnya tak kalah indahnya seperti di pantai Pulau Hawai, Pantai Kuta-Bali. Tidak sedikit wisatawan yang mengakui irama musik Sasando tak kalah indahnya dengan petikan musik Hawaian yang sudah mendunia itu.

Lalu, apa kabar Nemberala saat ini? Menyedihkan. Potensi wisata kelas dunia itu dibiarkan tak terurus. Tak ada lagi even-even dunia dengan alasan ketiadaan dana. Di saat kabupaten-kabupaten lainnya di NTT begitu gencar menghidupkan sektor pariwisatanya, Rote Ndao malah "mengabaikan" Nemberala. Mestinya pantai ini harus tetap dipertahankan sebagai ikon pariwisata di kabupaten terselatan ini.

Tengoklah Kabupaten Alor, yang dalam tujuh tahun terakhir mampu menghidupkan aset-aset pariwisatanya. Pemerintah bersama masyarakat bergandengan tangan menggelar Expo Alor secara rutin setiap tahun. Dan, even ini sudah mendunia karena sudah masuk dalam rangkaian Sail Indonesia.

Kini, Alor sudah mampu memikat hati wisatawan dunia. Misalnya, dengan "menjual" obyek wisata diving di Pulau Kepa. Tenun ikat Alor dan perkampungan adat di daerah itu sudah mendunia.

Nah, daya pikat Nemberala jauh lebih kuat. Kita berharap ke depan, ikon pariwisata ini dihidupkan lagi agar tetap bersinar ke seluruh penjuru dunia. Investasi bidang pariwisata berdampak luas dan jangka panjang. Nilai ekonomis dari hidupnya sektor pariwisata akan mendongkrak pendapatan rakyat kecil, selain pemasukan bagi daerah. (Pos Kupang edisi Minggu 28 September 2008 hal 1)
Selanjutnya...

Jumat, 26 September 2008

Mengatasi Krisis Listrik dengan Energi Alternatif

Oleh Agus Sape

KESAL, itulah yang dialami warga Kota Kupang dan daerah-daerah lain di NTT akhir-akhir ini. Betapa tidak, listrik di rumah ataupun di kantor kita sering padam. Baik pemadaman terjadwal (bergilir) maupun pemadaman mendadak.

Sejumlah alasan klasik dikemukakan PT PLN. Antara lain pemeliharaan mesin atau bagian dari upaya menghemat bahan bakar solar. Tapi, kita tidak hendak membahas masalah ini di sini. Kita hanya mau mengatakan bahwa kekesalan kita terhadap pemadaman listrik di rumah atau kantor pertanda kita sudah sangat bergantung pada listrik. Listrik sudah ibarat nafas hidup kita. Begitu tidak ada listrik, mati rasanya, tidak bisa berbuat apa-apa. Kita hanya bisa tidur mengorok dan bermimpi.

Apakah dengan kondisi ini, kita mundur? Boleh jadi. Tapi, coba kita tengok ke tahun 1958 ketika Propinsi NTT mulai berdiri. Apakah NTT ketika itu sudah hidup di bawah gemerlap listrik? Orang-orang yang hidup pada masa itu tahu baik.
Yang jelas kondisi saat itu belum semaju saat ini. Bahkan bisa dikatakan belum ada apa-apanya. Kalaupun sudah ada listrik, itu sangat terbatas. Mungkin hanya ada di biara-biara atau gereja-gereja atau di rumah-rumah pejabat atau rumah raja, menggunakan genset. Warga pada umumnya masih menggunakan lampu pelita.

Penggunaan lampu petromax atau biasa kita sebut lampu gas masih dianggap mewah. Tapi, semata-mata untuk penerangan di rumah malam hari. Di luar itu gelap-gulita.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) memang secara resmi berdiri pada tahun 1955, berasal dari penggabungan beberapa perusahaan listrik daerah pada zaman Belanda, yang dinasionalisasikan. Tapi, tentu saja jangkauan pelayanannya masih terbatas. NTT sudah pasti belum tersentuh.

Dengan Peraturan Pemerintah (PP) 18 Tahun 1972, PLN dibentuk menjadi Perusahaan Umum (Perum) dengan modal yang dipisahkan dari keuangan negara. Selanjutnya, PP 23 Tahun 1994 mengubah PLN menjadi PT (Persero) yang seluruh modalnya dimiliki negara.

Dipastikan pada tahun 1970-an, masyarakat NTT sudah mulai menikmati listrik. Bupati Timor Tengah Utara (TTU), Yakobus Ukat, BA, yang menjabat pada tahun 1970 - 1975, punya program menjadikan Kota Kefamenanu sebagai Kota Neon di daratan Timor. Jaringan listrik berlampu neon dipasang di ruas jalan utama Kota Kefamenanu. Kota yang dulunya gelap dan cuma diterangi temaram lampu minyak dari beranda rumah-rumah penduduk, bersalin rupa menjadi terang-benderang (Pos Kupang, 15/9/2008).

Dengan informasi ini dipastikan semua kota kabupaten di NTT sudah diterangi lampu listrik pada tahun 1970-an. Apalagi Kupang sebagai kota propinsi. Hanya memang listrik itu belum dimanfaatkan untuk kepentingan industri.

Kondisi itu masih berlanjut pada tahun 1980-an awal, sebagaimana tergambar dalam laporan Pemerintah Propinsi NTT pada akhir Pelita III. Kendati demikian, listrik termasuk sektor yang mengalami peningkatan di NTT pada masa itu.

Pada pertengahan tahun 1980-an atau memasuki Repelita IV, pembangunan bidang energi listrik terus ditingkatkan. Dilakukan peningkatan dan perluasan eksplorasi dan produksi sumber energi utama seperti panas bumi dan tenaga air serta melanjutkan usaha konservasi energi secara luas di segala bidang. Terjadi peningkatan sarana pusat listrik tenaga diesel (PLTD) yang tersebar, antara lain di Ende, Kupang, dan SoE. Dibangun pula jaringan distribusi yang dapat menunjang terlaksananya program listrik masuk desa.

Pada tahun-tahun berikutnya, penyediaan dan pemakaian energi listrik di NTT terus meningkat. Menurut data dari PT PLN (Persero) Wilayah NTT -- disampaikan dalam sosialisasi UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dengan mass media di NTT pada tanggal 16 Desember 2003 -- jumlah pelanggan listrik PLN di NTT pada tahun 1998 sebanyak 168.264, dengan daya terpasang 80,65 MW dan unit pembangkit sebanyak 353. Tahun berikutnya jumlah pelanggan naik menjadi 179.350 dengan daya terpasang 80,94 MW, dan pada tahun 2002 naik menjadi 201.469 pelanggan dengan daya terpasang 97,42 MW, dan pada semester I tahun 2003 pelanggan menjadi 202.942 dengan daya terpasang 100,22 MW.

Para pelanggan listrik PLN di wilayah NTT terdiri dari empat kategori, yaitu rumah tangga, bisnis, industri, sosial dan pemerintah. Menurut posisi tahun 2002, pelanggan terbanyak berasal dari rumah tangga 185.639 (92,14 persen), diikuti pelanggan bisnis 8.433 (4,19 persen), lalu pelanggan sosial dan pemerintah 7.274 (3,61 persen). Sedangkan pada semester I tahun 2003, pelanggan rumah tangga sebanyak 186.878, pelanggan bisnis 8.550, pelanggan sosial dan pemerintah 7.393, dan pelanggan industri 121.

Dari grafik yang ditunjukkan PT PLN Wilayah NTT, terlihat sejak tahun 1995 sampai tahun 2000 jumlah pelanggan naik cukup signifikan. Lalu dari tahun 2001 sampai semester I 2003 kenaikan tidak begitu besar.

Dengan melihat perkembangan jumlah penduduk di NTT dan kecenderungan perkembangan wilayah perkotaan dan banyaknya pembangkit tenaga listrik sampai di kota kecamatan bahkan desa, dipastikan jumlah pelanggan listrik PLN Wilayah NTT sudah jauh lebih banyak dari posisi tahun 2003.

Sayangnya, kecepatan pertumbuhan jumlah pelanggan ini tidak bisa mengimbangi kecepatan naiknya persediaan daya listrik dari PLN. Lagi pula produksi listrik masih mengandalkan tenaga diesel (PLTD) yang menggunakan bahan bakar solar. Ketika harga BBM cenderung meningkat, beban biaya PLN semakin berat. Sementara itu mesin-mesin pembangkit milik PLN semakin tua, tanpa segera diikuti pengadaan mesin-mesin baru.

Kondisi ini sangat terasa ketika memasuki jam puncak antara pukul 18.00 - 22.00, daya listrik di rumah-rumah cenderung drop. Lebih buruk lagi, ketika PLN melakukan pemadaman bergilir, sebagaimana sedang kita alami saat ini, baik di Kota Kupang maupun beberapa daerah di luar Kota Kupang.

Sebagai pelanggan kita pasti kecewa. Tetapi, mungkin tidak berimbang kalau kita semata-mata mempersalahkan PLN. Kita juga harus bisa menyadari perilaku kita dalam memanfaatkan energi listrik. Kita seringkali menggunakan listrik untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.

Sementara itu, pemanfaatan listrik di rumah-rumah kita pun sudah mengalami diversifikasi. Listrik tidak lagi hanya untuk penerangan malam, tetapi juga untuk menghidupkan televisi, tape recorder, setrika, freezer, kompor listrik, charger handphone, komputer dan lain-lain.

Kalau melihat perluasan pemanfaatan energi listrik ini, kita mesti bersyukur bahwa memasuki usia 50 tahun NTT kita sudah bisa menikmati energi listrik sekian jauh, lebih jauh daripada ketika propinsi ini dibentuk 50 tahun lalu.

Yang perlu kita lakukan pada tahun emas ini adalah, bagaimana kita mencari dan mengembangkan energi alternatif. Kita tidak cukup mengandalkan produksi listrik dari PLTD yang menggunakan bahan bakar solar. Selain karena harga BBM terus melonjak, kita pun perlu mengikuti trend, yakni mengurangi pemakaian bahan bakar yang menimbulkan pencemaran lingkungan.

PLN sendiri, selain terus melakukan pengembangan transmisi, juga terus melakukan eksplorasi panas bumi (geothermal), tenaga uap dan batu bara sebagai sumber tenaga listrik. Sudah lama PLN mengeksplorasi potensi panas bumi (PLTP) di Ulumbu, Manggarai, yang berkapasitas 1 X 2,5 MW, PLTP Mataloko 1 X 2,5 MW dan PLTU Atapupu 2 X 5 MW.

Pada tanggal 15 April 2008, Dirut PT PLN (Persero), Fahmi Mochtar, meresmikan pembangunan PLTU Ropa di Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende. Dengan kapasitasnya 2 X 7 MW, PLTU ini bisa memenuhi kebutuhan listrik wilayah Ende, Sikka dan Flores Timur.

Di Desa Nurabelen, Flores Timur, PT PLN bekerja sama dengan Pemda Flores Timur membangun listrik tenaga batu bara dengan kapasitas 14 MW.

PLN Wilayah NTT juga mengeksplorasi energi air untuk memproduksi listrik. Beberapa tempat yang sudah diketahui potensinya adalah PLTM Reo, Kabupaten Manggarai (6 MW), PLTM Ndungga di Kecamatan Ndona-Ende (3 MW), PLTM Mbuliloo di Kecamatan Wolowaru, Ende (0,1 MW), PLTM Wolodesa di Kecamatan Paga, Sikka (1 MW).

Energi listrik yang cukup menjanjikan di masa depan adalah energi angin. Dari suvai PT PLN, potensi listrik tenaga angin terdapat di Desa Nangalili, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, dengan potensi energi angin 0,1 MW. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTT juga sudah membangun dua unit kincir angin di Rote pada tahun 2005. Di TTS juga sudah dibangun sejumlah kincir angin kerja sama dengan Australia. Potensi yang sama terdapat di Sumba.

Melihat perkembangan di NTT akhir-akhir ini, tampaknya potensi listrik tenaga angin akan semakin menjanjikan. Angin kencang yang terus melanda wilayah NTT akhir- akhir ini kiranya tidak semata-mata dilihat sebagai gangguan. Kita pun bisa menangkap nilai positifnya dengan menjadikannya sebagai sumber tenaga listrik.

Keunggulan listrik tenaga angin sudah dirasakan oleh beberapa negara di Eropa dan Australia. Di Australia, misalnya, dibangun di Bald Hill, daerah South Gippsland, Negara Bagian Victoria. Di kawasan berbukit Bald Hill telah dibangun 84 kincir angin dengan tinggi masing-masing 125 meter. Kincir angin sebanyak itu mampu menghasilkan listrik dengan kapasitas 104 megawatt. Listrik yang dihasilkan kincir angin ini melayani kebutuhan 60.000 rumah tangga di Negara Bagian Victoria.

Kondisi di Bald Hill sebenarnya tidak lebih hebat dari kondisi NTT. Daerah kita yang terdiri dari bukit-bukit sangat potensial untuk pembangunan kincir-kincir angin. Yang paling penting ada di antara kita yang memberi perhatian terhadap potensi ini. Investor dari Belanda saja sudah melihat potensi energi angin di wilayah Kota Kupang dengan mulai menjalin kerja sama dengan Pemkot Kupang.

Yang tidak kalah menjanjikan adalah pembangunan listrik tenaga surya. Banyak pihak swasta di NTT sudah merintis pembangunan listrik tenaga surya ini. Hal ini mestinya terus dikembangkan ke arah kapasitas yang lebih besar melihat potensi sinar matahari selama 12 jam di NTT. Ketika wilayah NTT diprediksikan bakal menjadi daerah padang gurun, mestinya tidak semata-mata mencemaskan kita, tetapi di pihak lain menjadi sinyal bahwa daerah akan menjadi pusat pengembangan energi matahari di masa mendatang.

Untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi-potensi energi listrik ini, tentu saja kita jangan semata-mata mengharapkan peran PT PLN yang selama ini mendominasi pelayanan listrik dari wilayah kita. Kita membutuhkan peran aktif dari pemerintah daerah dan swasta untuk mengembangkan hal ini. UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan memberi peluang kepada instansi selain PLN untuk mengembangkan energi listrik, tentu saja setelah memenuhi sejumlah syarat. Dengan cara demikian, kenapa tidak, NTT akan mampu mengatasi masalah keterbatasan energi listrik, yang akan membawah masyarakat NTT menuju kesejahteraan. (Pos Kupang edisi Sabtu 27 September 2008 hal 1)
Selanjutnya...

Ndauk

Oleh Kanis Jehola

LANGKAH nenek Martha Ndinde (alm) terlihat berpacu cepat. Tak berapa lama ia sudah memasuki tangga rumah yang saya tinggal. "Tok.. tok.. tok.., " nenek Martha Ndinde mengetuk pintu dapur sambil menyapa nia ngaok (apa kabar). Ia pun masuk ke dalam dapur rumah yang saya tinggal dan langsung duduk di samping mamaku (mama besar) yang memeliharaku.

"Mai cee gite bo kudut tegi hi nana ngo lompong le mbaru to'ong/saya datang meminta izin (sama mama besar) supaya nana (panggilan untuk laki-laki di Manggarai, red) makan di rumah sebentar," kata nenek Martha Ndinde.

Mendengar permintaan itu, hati saya berbunga-bunga. Sebab biasanya, kalau dipanggil seperti itu pasti ada makanan yang enak. Ya, biasanya makan daging, ikan atau setidaknya makanan jenis lain yang rasanya enak ala kampung. Sebab saya adalah cucu sulung dari putra nenek yang sulung. Dan, saat itu, tinggal bersama mama besar. Rasanya memang sangat beruntung. Dimanja di mana-mana.

Setelah permintaan dikabul, saya pun tak lama menunggu. Mohon izin mama besar dan langsung angkat kaki. Hanya dalam tempo hitungan menit, saya sudah berada di rumah nenek yang jaraknya hanya sekitar 25 meter dari rumah yang saya tinggal.
"Mai ga (masuk sudah)," kata nenek Ndinde mempersilahkan saya masuk. Baru semenit duduk, nenek Ndinde membawa dua buah piring ke hadapan saya. Satu piring berisi nasi putih (ndauk bakok sebutan warga setempat), dan satu piring berisi mie yang baru dimasaknya. Hang ga (makan sudah). Saya pun langsung memakannya.

Saat itu memang belum semua warga di kampung yang rutin makan ndauk sehari. Tapi bagi kami -- setidaknya saat saya mulai mengenal makan -- makan ndauk bukan hal baru. Itu makanan kami sehari-hari. Maklum di kampung itu, keluarga kami tergolong yang punya sawah cukup banyak. Yang beda cuma karena ndauk yang disuguhkan sang nenek adalah ndauk bakok. Rasanya lebih lembut, karena hasil penggilingan. Sedangkan ndauk yang kami makan sehari-hari adalah ndauk dari beras tumbuk di lesung. Sudah tentu rasanya beda. Dan, yang istimewa, karena ndauk bakok yang dimakan saat itu disuguhkan bersamaan dengan mie.

Itulah kondisi yang terjadi di Kampung Rentung, Desa Goreng Meni, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai, sekitar tahun 1970-an. Saat itu saya belum masuk SD.

Kehidupan di kampung saat itu masih tergolong susah. Makan ndauk dari beras hasil penggilingan termasuk barang langka. Ndauk tersebut tidak bisa didapatkan di desa atau di ibukota kecamatan, karena saat itu belum ada kios. Begitu pun mie, minyak goreng, ikan kering dan berbagai jenis makanan enak lainnya.

Untuk mendapatkan barang tersebut, orang harus pergi ke Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai atau ke Reo. Untuk ke Ruteng atau ke Reo biasanya harus jalan kaki sepanjang hari dari pagi sampai sore. Dan, untuk ke Ruteng atau ke Reo pun kalau ada perlu penting.

Misalnya, saat menjual kacang hijau, kemiri atau kopi.
Dan, ketika mencium aroma goreng ikan kering atau melihat orang makan mie, bisa dipastikan bahwa ada di antara keluarga tersebut yang baru pulang dari Kota Ruteng atau dari Reo. Kalau tidak, di rumah tersebut ada tamu istimewa. Dan, urusan goreng menggoreng saat itu tidak sembarang orang. Masih sebatas orang tertentu, orang yang dipandang cukup 'berada' di kampung.
Itu cerita masa lalu. Cerita puluhan tahun yang lalu.

Kehidupan masyarakat di kampung itu saat ini sudah jauh berbeda. Urusan goreng menggoreng dan makan mie bukan lagi barang yang istimewa atau luar biasa. Juga bukan lagi makanan keluarga tertentu yang dinilai 'berada.' Barang tersebut juga bukan lagi termasuk barang langka. Semuanya dengan mudah didapat. Kios- kios di kampung sudah bertumbuh. Persaingan usaha antar satu keluarga dengan keluarga lain sangat terasa.

Mendapat penerangan listrik bukan lagi sekadar mimpi. Mereka sudah bisa menikmatinya karena sudah bisa membeli genset sendiri. Beras putih hasil penggilingan pun tidak lagi sulit didapatkan. Di kampung sudah ada mesin giling. Gabah kering yang baru dipanen langsung digiling untuk mendapatkan beras. Ibu-ibu dan nona- nona kini sudah bermanja. Tidak lagi harus capek menumbuk padi. Tangan mereka tidak lagi melepuh karena memegang alu menumbuk padi. Semuanya digiling. Untuk pembayarannya, tergantung negosiasi dengan pemilik mesin giling. Dibayar dengan uang atau dibarter dengan beras.

Makan ndauk, kini bukan lagi hanya dirasakan oleh keluarga yang punya sawah. Warga yang tidak punya sawah pun sudah rutin makan ndauk bakok. Meski masih makan jagung dan ubi-ubian, tapi rasanya belum cukup kalau setiap kali makan mereka belum makan ndauk.

Untuk mendapatkan ndauk, mereka berlomba-lomba mencari uang. Caranya macam-macam. Bisa dengan menjadi tenaga buruh pada proyek-proyek pemerintah, juga bisa dengan menjadi pedagang. Singkat cerita, untuk mendapatkan ndauk mereka bisa bekerja apa saja, asalkan setia hari makan ndauk. (Pos Kupang edisi Sabtu 27 September 2008 hal 10)
Selanjutnya...

Emas OSN Momentum Kebangkitan Kita

Oleh Apolonia Matilde Dhiu

GO, Get, Gold (pergi, dapat, emas) atau yang dikenal dengan 3G memang tidak asing lagi bagi anak-anak NTT yang ingin mengikuti Olimpiade Sains Nasional OSN). Istilah ini diperkenalkan oleh seorang pembina OSN, Don Kumanireng, kepada peserta OSN saat memotivasi anak-anak NTT untuk berprestasi di tingkat nasional. Setiap anak yang mengikuti OSN harus bertekad untuk mendapatkan emas, karena menurutnya medali perak dan perunggu hanyalah akibat ketika tidak mendapatkan emas.

Dengan gayanya yang berapi-api, terkadang meledak-ledak, Don Kumanireng memompa semangat anak-anak asuhannya saat belajar matematika dan IPA untuk mengikuti OSN. Tahun 2008, adalah tahun bersejarah bagi anak NTT karena dua putra NTT, Samuel Sampe dari SDK Sta. Maria Assumpta dan Julian AW Purba dari SD Kristen Tunas Bangsa berhasil membawa pulang dua medali emas untuk bidang IPA di ajang bergengsi tersebut.

Prestasi ini mendongkrak NTT ke posisi delapan dari 33 propinsi peserta OSN atau urutan kedua setelah Sumatera Utara untuk peserta luar Jawa dan Bali. Selain emas, kontingen NTT membawa pulang empat medali yang dipersembahkan oleh Ahmad Iksan Ashari (IPA) dari SDN Bonipoi II Kupang dan Paulus Tomy Satriadi (Matematika) dari SDK Ruteng VI. Dua perunggu lainnya diperoleh Risky Chandra (Fisika) dari SMP Kristen Wailoba, Sumba Barat, dan Yosep Japi (Geologi) dari SMA Katolik Giovanni Kupang.

Dengan prestasi ini membuktikan bahwa anak-anak NTT patut diperhitungkan dalam soal adu keenceran otak. Prestasi ini juga mestinya menjadi momentum kebangkitan kita untuk menumbuhkan rasa percaya diri bahwa kita bisa. Tidak perlu lagi ada rasa minder memperkenalkan diri sebagai anak-anak NTT. Prestasi ini sekaligus juga menjadi bahan refleksi untuk menggugat mengapa tahun ini hasil ujian nasional kita di posisi paling bawah dari 33 propinsi.

Memang, masih banyak anak-anak NTT yang tidak dapat menikmati pendidikan, antara lain karena ketiadaan biaya dan tradisi. Tak heran, angka buta aksara masih cukup mengkhawatirkan, sekitar 14 persen (2007). Lulusan SD masih mendominasi penduduk daerah ini (87 persen). Mereka hanya bisa menjadi petani dengan tingkat penghasilan yang jauh dari cukup.

Angka partisipasi kasar program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun cukup melegakan, 114 persen, meski di tingkat SMP baru mencapai 81,37 persen, jauh di bawah rata-rata nasional 85 persen.

Kita juga masih bergulat dengan sarana prasarana pendidikan. Kondisi bangunan SD 47,32 persen rusak ringan dan berat, SLTP 23,41 persen rusak berat dan ringan. Belum lagi "ratapan" soal kekurangan tenaga guru, tidak hanya dari sisi jumlah (kwantitas) tapi juga kwalitas. Data menunjukkan dari 50.521 orang guru, 85 persen-nya belum berpendidikan S1 kependidikan. Tingkat SD/MI, hanya hanya 3 persen guru yang berkualifikasi S1, SMP/MTs 25 persen dan SLTA 55 persen.

Dengan momentum kebangkitan ini, kita tak boleh memaafkan kealpaan kita dengan berlindung di balik kekurangan guru, sarana dan prasana. Tidak sedikit anak-anak NTT menjadi orang-orang cerdas tingkat nasional, bahkan internasional yang justeru lahir dan tumbuh di saat kondisi pendidikan di daerah ini masih sangat jauh dari keadaan sekarang. Sebut saja Herman Yohanes salah seorang pendiri UGM, pakar MIPA, Dr. Kebamoto di UI, pakar kimia dari ITB, Jeskiel Ahmad, bahkan ada putra NTT yang bekerja di lembaga antariksa AS, NAZA.

Saya jadi ingat saat-saat sekolah dulu. Kalau dikatakan feodal, ya memang feodal. Guru-guru mendidik dengan cara keras, bahkan kasar. Kata-kata kasar, bahkan makian sampai menggunakan sapu dan kayu memukul anak-anak didiknya. Duapuluh lima tahun lalu ketika saya masih berada di Desa Ubedolumolo, Kecamatan Bajawa. Sebuah desa subur, sekitar lima kilometer dari Kota Bajawa. Tamat pendidikan yang keras di SD di kampung, setiap hari saya berjalan kaki lima kilometer untuk sampai di SMP Negeri 1 Bajawa. Pukul 05.00 subuh harus sudah bangun, membantu ibu mencuci piring dan menyapu halaman dan mengambil air bersih ke kali. Setelah itu baru ke sekolah.

Di sekolah, saya menghadapi guru-guru yang lumayan keras untuk ukuran waktu itu. Kalau tidak kerja PR, misalnya, siswa pasti dipukul dengan kayu, berlutut di lantai yang disirami kerikil, dijewer telinga sampai bengkak dan sebagainya. Tapi tidak ada yang bersungut. Semua itu diterima sebagai bagian dari pendidikan. Supaya bisa jadi orang. Dan tidak ada orangtua yang protes. Tak ada guru yang harus berurusan dengan aparat berwenang karena memukuli siswanya. Guru-guru mengajar dan mendidik sepenuh hati. Tak ada yang bersungut-sungut meski gaji tentu saja kecil. Mereka hidup apa adanya. Menjadi tokoh dalam masyarakat. Panutan masyarakat. Tidak pernah ada aksi demo guru menuntut kenaikan gaji dan sebagainya. Dan dengan suasana pendidikan yang demikian itu justeru membuat saya dan teman-teman saya berhasil "menjadi orang". Berhasil dan berbudi pekerti!

Mari kita bandingkan dengan kondisi saat ini, dimana kita bergelimpangan program/proyek peningkatan ini dan itu, pembangunan ini dan itu, pengadaan sarana dan prasarana pendukung untuk memacu kualitas pendidikan kita. Boleh jadi kita terlena. Terjerumus ke dalam segala yang berbau instan. Akhirnya kita lupa bahwa untuk meraih sesuatu harus melalui kerja keras. Butuh perjuangan, kerja keras dan pengorbanan. (Pos Kupang edisi Minggu 21 September 2008 hal 1) Selanjutnya...

Stop Stigma Propinsi TKI

Oleh Yosep Sudarso

DURANTE degli Alighieri, alias Dante (1 Juni 1265 - 13/14 September 1321), penyair dari Firenze, Italia, itu pernah berkata, "Kalau Anda memberi orang cahaya, ia akan menemukan jalannya sendiri." Menjelang usia emas NTT Desember nanti, petuah Dante ini bisa memberi inspirasi terutama dihubungkan dengan fakta 98.230 penganggur masih menyebar di 20 kabupaten/kota se-NTT (data Dinas Nakertrans NTT per 13 September 2008).

Persoalan tenaga kerja memang bukan persoalan NTT semata melainkan permasalahan global. Rasio yang tidak seimbang antara lapangan kerja yang tersedia dengan penambahan usia produktif menjadi penyebab utama masalah ini. Di NTT, rata-rata lowongan kerja setiap tahun hanya mampu menyerap sekitar belasan ribu tenaga kerja. Itu pun sebagiannya disumbangkan dari pos penerimaan CPNSD.

Walaupun demikian, data dari Dinas Nakertrans NTT juga memperlihatkan fakta lain yang menarik. Di tengah-tengah kesulitan pencari kerja mendapatkan pekerjaan, ternyata hingga September masih ada 206 lowongan kerja pada sektor swasta yang belum terisi.

Pelaksana Tugas (Plt) Kadis Nakertrans NTT, Lanang Ardike, berpendapat, lowongan kerja yang belum terisi ini disebabkan antara lain tidak tersedianya tenaga sesuai dengan kebutuhan. Beberapa kontraktor, misalnya, membutuhkan tenaga sopir alat-alat berat, namun di NTT berlimpah sopir angkot dan bus. Demikian pula tenaga-tenaga khusus untuk mencuci mutiara masih dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan pengembang mutiara di NTT.

Merujuk pada penjelasan ini, ternyata persoalan tidak terserapnya sejumlah lowongan terkait erat dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Tentang hal ini, saya teringat pada ucapan Frans Seda, salah satu tokoh nasional asal NTT. Pada sebuah kesempatan di Hotel Kristal, ketika menemani Direktur Kelomok Kompas Gramedia (KKG), Yacob Utama, ia berucap, pemerintah dan seluruh rakyat sebaiknya memfokuskan perhatian pada pendidikan, entah formal maupun informal. Dengan topografi NTT seperti ini, menurutnya, sumber dana yang terbatas sebaiknya "diboroskan" pada peningkatan SDM.

Seda, saat itu, menyoroti perlunya disiapkan tenaga-tenaga terampil pada bidang yang cocok dengan alam NTT, seperti tenaga PPL pertanian, peternakan dan kelautan. Tetapi ia juga tidak lupa menggarisbawahi pentingnya ditanamkan keuletan bekerja, semangat gotong royong, pola hidup sederhana dan gemar menabung. Watak-watak ini dibutuhkan dalam membentuk karakter seseorang agar berdaya saing dan survive dalam persaingan dewasa ini.

Problematika tenaga kerja di NTT dewasa ini memang jauh lebih kompleks dari beberapa dekade lalu. Di kampung-kampung di beberapa kabupaten seperti Lembata, Flores Timur, Sikka, dan Ende, persoalan tenaga kerja sudah hampir sama usianya dengan perjalanan propinsi ini. Tidak ada dokumen tertulis, tetapi pengalaman menunjukkan di daerah-daerah itu fakta pengiriman tenaga kerja (baca: merantau) sudah berlangsung sejak tahun enam puluhan. Nama-nama tempat seperti Tawau, Kinabalu, Johor tidak lagi asing bagi warga-warga di pedalaman Adonara, Flores Timur, di daerah timur Sikka ataupun di sebagian wilayah Lio, Ende.

Awalnya, perantauan dilakukan oleh segelintir orang tetapi sejak dasawarsa 70-an hingga saat ini, perantauan sudah menjadi tren yang digemari warga NTT tidak saja dari kabupaten-kabupaten yang disebutkan tadi. Beberapa tahun terakhir, dengan agak gampang kita menyaksikan pengiriman tenaga kerja baik legal maupun ilegal dari kabupaten lain di daratan Timor, Sumba, Alor, Rote Ndao serta Manggarai, Ngada dan Nagekeo di Pulau Flores.

Bila dicermati lebih jauh, perantauan atau dalam bahasa birokrasi pengiriman TKI adalah strategi untuk mengatasi kemelut ekonomi. Artinya, faktor ekonomi masih menjadi pemicu utama keputusan seorang perantau pergi ke Tawau ataupun kebijakan pemerintah setempat mengirim TKI. Data terakhir menunjukkan, selama 2008 sudah 7.476 TKI (di antaranya 6.558 perempuan) yang dikirim ke luar negeri. Jumlah yang tidak jauh berbeda, terjadi setiap tahun dalam lima tahun belakangan.

Tetapi pada titik ini, kita dihadapkan dengan sebuah ironi. Setiap tahun, tidak kecil juga jumlah orang dari daerah lain di negeri ini yang menyerbu NTT. Para pedagang bakso dari Jawa, pengusaha rumah-rumah makan dari Padang, pedagang beras dan kayu dari Makassar adalah fakta di depan mata kita bahwa bumi NTT ternyata masih bisa memberikan kehidupan, bahkan berlimpah, kepada anak-anaknya.

Di saat kita merayakan emas NTT, bisakah ironi ini menjadi pijak permenungan kita bersama? Mengapa kita tidak berani membalikkan kebijakan untuk tidak terlalu gencar mengampanyekan pengiriman TKI? Bukankah persoalan perantauan tidak sedikit meninggalkan pula ekses sosial dalam rumah tangga dan masyarakat?

Radzi Saleh, dalam bukunya, "Breaking Fee, Harga Sebuah Kesuksesan," mengisahkan perjuangannya sebagai seorang anak desa yang mampu membawa ribuan orang mencapai impiannya masing-masing. Mengutip Denis Waitley, ia menulis, dalam hidup ini hanya ada dua pilihan: menerima keadaan hidup sebagaimana adanya atau menerima tanggung jawab untuk mengubah keadaan itu.

"Kunci sukses saya, ialah, saya memilih yang kedua, bahkan saya merasa bertanggung jawab untuk selalu mendorong siapa pun untuk memilih hal itu--menerima tanggung jawab untuk mengubah keadaan hidup kita," kata Radzi Saleh.

Jiwa enterpreneur. Semangat kewirausahaan. Barangkali inilah kekurangan kita rakyat NTT. Tidak perlu semua tenaga kerja produktif memiliki jiwa ini. Namun dari 4 juta lebih penduduk NTT, sekiranya satu sampai lima persen di antaranya berjiwa wirausaha, bisa dipastikan taraf dan mutu hidup masyarkat kita jauh lebih baik.

Tidak fair bila ikhtiar ini kita bebankan semata pada pemerintah. Meskipun duet Lebu Raya-Esthon Foenay ketika dalam kampanye mencari simpati masyarakat sudah menjanjikan membuka lapangan kerja, tanggung jawab mestinya tetap dibebankan pada pundak kita bersama. Tentu untuk satu tujuan: demi generasi NTT lima puluh tahun ke depan. (Pos Kupang edisi Sabtu 20 September 2008 hal 1) Selanjutnya...

Kamis, 25 September 2008

11 Kawasan NTT Untuk Pengembangan Jagung

GUBERNUR Provinsi Nusa Tenggara Timur, Drs. Frans Lebu Raya mengatakan ada sebelas kawasan di NTT - tersebar di Pulau Flores, Timor, Sumba dan Alor - berpotensi untuk pengembangan tanaman jagung. Untuk mewujudkannya, saat ini pemerintah provinsi melalui Dinas Pertanian sedang mengkaji pelaksanaan program dimaksud.

Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, mengatakan hal ini kepada wartawan saat menggelar jumpa pers di Rumah Jabatan Gubernur, Kamis (25/9/2008).

"Kita punya 13 kawasan. Ada Kapet Mbay dan Kawasan Industri Bolok. Sedangkan 11 kawasan lainnya yang tersebar di Flores, Timor, Sumba dan Alor berpotensi untuk pengembangan jagung. Atau kita menggunakan lahan mana? Apakah lahan masyarakat, pemerintah atau lahan tidur yang ada? Jadi, kita perlu mempersiapkannya secara baik," kata Lebu Raya.

Lebu Raya mengatakan, program jagung terus didorong. Oleh karena itu, dirinya telah meminta Kepala Dinas Pertanian untuk segera memaparkan rencana dan merumuskan program pengembangan jagung. "Akan ada presentasi program secara keseluruhan, bersama dengan institusi terkait lainnya," katanya.

Dikatakan, produktivitas jagung NTT hanya 2,3 ton per hektar. Kondisi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan daerah lain.

"Ke depan kita harapkan produktivitas jagung kita lebih besar. Saat ini semakin banyak orang yang berminat kembangkan jagung. Oleh karena itu, kesiapan kita harus lebih," ujar Lebu Raya.

Gubernur mengungkapkan tentang rencana kunjungan Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad. Menurutnya, Fadel akan tiba di Kupang pada minggu ketiga Oktober. "Kita ingin kerja sama antar propinsi NTT dengan Gorontalo," ujarnya.

Gubernur mengakui, berdasarkan data produksi jagung di Indonesia, NTT merupakan daerah produksi jagung lebih banyak daripada Propinsi Gorontalo. NTT berada pada peringkat 6, sedangkan Gorontalo berada pada peringkat 8 atau 9. Meski demikian, kedatangan Gubernur Gorontalo penting karena kita perlu belajar hal lainnya dari Gorontalo yaitu tentang pasca panen dan pemasaran jagung.

Untuk pengembangan jagung, Lebu Raya mengatakan, pada APBD Perubahan dialokasikan anggaran senilai Rp 1 miliar untuk persiapan pelaksanaan program pengembangan jagung.
Alokasi dana Rp 1 miliar itu juga diakui anggota DPRD NTT, John Umbu Deta. Umbu Deta mengatakan, Dewan menyetujui dana untuk program pengembangan jagung di NTT sebesar Rp 1,1 miliar untuk pengadaan bibit dan persiapan lahan.

Sebelumnya Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura mengajukan dana kurang lebih Rp 5 miliar, namun Dewan meminta untuk rasionalisasi. Setelah dirasionalisasi, Dewan menyetujui dana senilai Rp 1.190.000.00,00. (aca/ira/Pos Kupang edisi Jumat 26 September 2008) Selanjutnya...

Selasa, 23 September 2008

Membangun Kemandirian Lokal

Berawal dengan Cinta (1)

Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape

INSTITUTE of Cross Timor for Common Property Resources Development (InCrEaSe) bekerja sama dengan Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang menyelenggarakan diskusi bertajuk, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT. Kegiatan dalam rangka memperingati 50 Tahun NTT ini dilaksanakan di ruang Redaksi Pos Kupang, Rabu (10/9/2008. Sekitar 30 orang dengan berbagai latar belakang hadir saat diskusi itu.

NUANSA lokal hadir di ruangan berukuran 12 x 7 meter lantai II Kantor Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang di Jalan Kenari 1, Kupang, Rabu (10/9/2008). Kesan pertama tertangkap dari selembar kain latar sepanjang 2,5 x 1 meter. Pada kain yang ditempel pada dinding itu tertera tulisan, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT.
Tulisan itu 'dibingkai' dengan tujuh foto. Semuanya menggambarkan aktivitas masyarakat NTT. Ada foto warga sedang membuat gula lempeng. Ada yang sementara menenun. Ada juga yang sedang memasak garam, mengalirkan air dengan bambu serta membuat keramik. Indah nian.

"Wah, ini kegiatan tanpa dana, tapi persiapannya luar biasa. Semoga kita dapat menghasilkan hal-hal yang luar biasa untuk membangun daerah," ujar Farry DJ Francis dari InCreaSe, yang selama diskusi bertindak sebagai moderator.
Kesan kedua, ditangkap dari latar belakang peserta diskusi. Dari tiga puluhan peserta, hanya Mr. Matzui Kasuhiza dan Petrarca Karetji (DZF-Sofei/Bakti) yang non NTT. Matzui adalah peneliti senior i-i net/Expert JICA berkebangsaan Jepang. Sedangkan Petrarca keturunan Ambon-Papua. Selebihnya adalah putra-putri NTT. Semua peserta duduk di belakang meja yang ditata membentuk 'U'.

Nuansa lokal memang sengaja dimunculkan. Itu karena topik yang didiskusikan adalah Membangun Kemandirian Masyarakat NTT. Hal-hal yang dipercakapkan tidak bisa lepas dari lokalitas daerah. Tentang potensi lokal.
Diskusi diawali dengan pemutaran sebuah film (video streaming) berdurasi 15 menit. Film itu menampilkan warga Desa Tunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, yang bergotong royong membuka jalan raya untuk menghubungkan beberapa desa. Di akhir cerita, masyarakat Tunbaun berhasil membangun jalan. Dengan jalan, mobilisasi manusia dan barang dari dan ke Tunbaun menjadi lancar.

Fakta potensi lokal beserta nilai-nilai budaya yang tersaji sebenarnya mau menepis stigma NTT sebagai daerah miskin. Pada tahun 1960-an, NTT dikenal sebagai panghasil kopra nomor empat di Indonesia. Sebagian besar orang Flores hidup dari kopra. Banyak orangtua menyekolahkan anaknya ke Jawa, tapi mereka tidak mati kelaparan di kampung. Tahun 1960-an Pulau Timor dikenal sebagai penghasil sapi. Presiden Soeharto sampai manjadikan Timor sebagai penghasil bibit ternak nasional.

Anggaran yang digelontorkan untuk membiayai pelaksanaan program-program pembangunan di NTT dari tahun ke tahun terus meningkat. Umumnya dikelola oleh pemerintah, swasta dan LSM.

Pada tahun 2008, misalnya, NTT mendapat anggaran dari APBN senilai Rp 10,7 triliun. Jumlah ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2007 yaitu Rp 9,2 triliun lebih. Ironisnya, angka kemiskinan di NTT semakin meningkat.

"Lebih ironis lagi, sekarang orang NTT perlu minyak goreng mesti beli bimoli (merek sebuah minyak goreng kemasan, Red). Mau makan daging harus datangkan ayam dari Surabaya. NTT mengalami kekurangan pangan hingga saat ini. Generasi NTT sekarang, generasi kurang gizi," kata Damyan Godho, saat memberi pengantar diskusi.

"Teman-teman LSM perlu introspeksi, apakah kehadiran LSM juga menolong masyarakat kita untuk mambangun dirinya sebaik mungkin sehingga ketika ia menghadapi masalah, mampu menolong dirinya?" sambung Damyan.
Semasa biduk NTT dinakhodai Gubernur El Tari, NTT bertekad menjadi daerah swasembada pangan. "Tanam, tanam dan tanam," demikian semboyan yang digelorakan El Tari kala itu. Masyarakat diwajibkan menanam.

Beberapa bupati menindaklanjuti program swasembada pangan dengan menggerakkan warga untuk bergotong-royong membangun irigasi. Di Manggarai, misalnya, masyarakat mambangun irigasi Lembor. Begitu juga di Mbay. Namun, tekad ini menjadi tidak jelas sepeninggal El Tari. Setelah dibangun irigasi, orang NTT tetap kelaparan. NTT menjadi daerah yang bergantung pada komoditi pangan yang dihasilkan daerah lain. Beras diimpor. Ubi dan jagung juga demikian.

Kondisi NTT dulu dan sekarang sebagaimana dipaparkan Damyan tidak berbeda dengan apa yang direkam Matzui Kasuhiza. Matzui mengatakan, pembangunan daerah-daerah di Indonesia mesti mulai dari desa. Pembangunan itu seyogyanya terdorong oleh rasa cinta. Cinta dapat menghasilkan motivasi yang kuat.

"Kalau kita membahas pembangunan desa atau pembangunan kampung, kita harus mencintai kampung kita. Kalau benci sama kampungnya, tidak mungkin kita bisa memperbaikinya," kata penasihat otonomi daerah di Provinsi Sulawesi Selatan yang cukup fasih berbahasa Indonsia ini.

Pertanyaan berikutnya, apakah Anda bangga atau malu dengan kampung halaman Anda. Kalau Anda malu, bagaimana bisa memperbaikinya. "Apalagi kalau merasa malu dan benci dengan tradisi-tradisi," kata Matzui.
Pembangunan tidak harus menjadikan kampung-kampung kita seperti Jakarta atau Singapura. Hal-hal yang dianggap kuno di desa-desa tidak harus diganti dengan yang baru yang dianggap modern.

Atas nama pembangunan, kita selalu mengadakan pelatihan atau kesempatan belajar S2 dan S3 kepada orang-orang kita ke luar negeri. "Tapi, jangan lupa sekolah atau pendidikan itu harus sambung dengan daerah setempat. Karena mereka yang belajar di luar negeri mendapatkan ilmu-ilmu yang belum tentu sama dengan ilmu setempat. Jadi sebenarnya perkembangan pendidikan bisa berfungsi agar siswanya tidak lari dari daerah setempat. Berapa banyak lulusan S2 dan S3 yang kembali ke kampung halamannya dan memberi kontribusi bagi pembangunan desa dan daerahya? Matzui mengajukan pertanyaan menggelitik.

Dari Makan dan Minum (2)

PEMBANGUNAN mulai dari makan. Demikian dikatakan Matzui Kashiza. Mengapa? "Karena makan merupakan kegiatan manusia yang paling pokok. Manusia harus makan untuk hidup dan sehat. Makanan yang sehat menciptakan manusia yang sehat. Selanjutnya, daerah yang sehat menciptakan negara yang sehat. Dan, negara menjadi sehat jika daerahnya sehat," kata Matzui memberi alasan.

Matzui betul. Kita hidup tidak hanya untuk makan. Tetapi untuk hidup, kita membutuhkan makanan. Karena makanlah kita bisa bekerja produktif. Karena terpenuhinya kebutuhan gizi, maka kita bisa mengembangkan diri dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi diri, daerah dan bagi kehidupan manusia. Sebaliknya, kita tahu bahwa orang-orang lapar cenderung destruktif. Karena laparlah, maka orang bisa bermata gelap dan tidak bisa menghasilkan karya apa-apa.

Matzui lantas memberi pertanyaan lanjutan yang membuat peserta diskusi terperangah. Sederhana formulasinya, tapi bermakna dalam. Masyarakat sehari-hari makan apa? Apakah makanan dan cara makannya sehat dari segi ilmu gizi? Makanan tersebut berasal dari mana? Dari desa sendiri atau dari luar desa? Usaha tani atau nelayan untuk dikonsumsi/dimakan oleh siapa?

Semua kita tahu bahwa NTT adalah daerah pertanian. Ada sekitar 80 persen masyarakat NTT menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Umumnya mereka tinggal di desa-desa. Tapi soal mengurus pertanian, kita melakukannya tapi tidak secara serius. Sektor pertanian kita abaikan. Selama ini kita selalu berpikir sepotong-sepotong apabila membicarakan soal pembangunan pertanian. Tidak heran kalau NTT sering dilanda kelaparan. Dan, itu terjadi terus menerus seolah-olah menjadi ciri khas daerah berpenduduk 4 juta jiwa ini. Kita sendiri lebih percaya hal-hal dari luar ketimbang hal-hal yang kita punya. Makanya kita terima makanan dari luar tapi tidak mau bikin makanan sendiri. Sekarang, warga sudah tidak menyimpan jagung, kacang dan ubi. Yang ada di rumah adalah supermi dan sebagainya yang siap saji. Yang serba instan. Kalau supermi dan jagung diletakkan di meja lalu disuruh memilih, seorang anak pasti memilih supermi. "Supermi lebih enak," demikian komentar anak-anak!

Sektor pertanian betul-betul diabaikan. Selama ini kita selalu berpikir sepotong-sepotong apabila membicarakan pembangunan pertanian. Kalaupun ada produk pertanian yang dihasilkan, tidak untuk dikonsumsi sendiri. Kalaupun ada yang dijual, uang yang diperoleh digunakan membeli handphone (HP), televisi, judi dan mabuk-mabukan. Semestinya digunakan untuk menghidupkan usaha tani dan membangun wadah meningkatkan pendapatan petani. Karena, biarpun tidak ada uang petani bisa hidup dengan mengonsumsi hasil pertanian sendiri. Hubungan antara petani/nelayan di desa dan konsumen di kota juga tidak indah. Orang kota selalu menganggap orang desa tidak berarti.

Matzui sungguh menggugah. Dia mengritik pola makan kita. Menurutnya, pola makan kita tidak sesuai dengan ilmu gizi. Saat makan biasanya yang paling banyak diambil adalah nasi, sementara lauknya sedikit. Sesuatu yang sangat berbeda dengan orang Jepang. Untuk orang Jepang, yang paling banyak diambil adalah lauk, bukan nasi.

Kita jujur mengakui bahwa selama ini memang kita mengandalkan beras sebagai pangan pokok. Bagi masyarakat NTT ternyata selain dijadikan sebagai sumber karbohidrat, beras juga menjadi sumber protein. Akibat kemiskinan dan krisis ekonomi, banyak penduduk tidak bisa mengonsumsi pangan sumber protein (daging, ikan dan telur) secara cukup. Akhirnya, beras menjadi sasaran untuk dijadikan pangan sumber protein yang makin banyak dikonsumsi.

Dari berbagai latar belakang itu, mau tidak mau perhatian terhadap makanan harus diberikan. Kita punya potensi pangan lokal. Andai saja kita fokus, maka pasti ada makanan khas daerah yang dihasilkan dan menjadi produk unggulan.

"Saya mau tanya, Gubernur NTT makan beras apa? Siapa yang bikin? Sayurnya itu siapa yang bikin? Kenapa saya mengatakan begitu, karena apa pun yang petani bikin, dikonsumsi oleh gubernur bukanlah hal yang begitu besar. Berarti petani dianggap teladan yang menghasilkan beras yang bagus karena bisa diterima oleh gubernur. Ini sangat bermanfaat dan mendorong semangat petani. Yang terpenting dari makan adalah kita membahagiakan masyarakat," kata Matzui.

Sementara Romo Maxi Un Bria memperkenalkan gagasan pembangunan mulai dari minum, dengan bercermin dari kisah kemandiran masyarakat Desa As Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Belu.

Desa As Manulea berada di dataran tinggi. Masyarakatnya mengalami kesulitan air bersih sejak ratusan tahun. Di sekitar daerah itu, memang ada sumber air, tetapi letaknya berada di dataran rendah yang jarak jangkauan dari rumah penduduk 2-5 km. Anak-anak sekolah dasar, kaum perempuan termasuk para ibu hamil, harus menghabiskan 2 sampai 6 jam setiap hari untuk mengambil air dari sumber air di dataran rendah menuju tempat pemukiman yang semuanya berada di dataran tinggi. Air itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masak dan minum. Sudah pasti mereka yang malas tidak turun ke dataran rendah, mereka cukup membasuh wajah dengan embun atau air hujan yang kebetulan ditampung. Kekurangan air bersih turut membuat anak-anak sekampung merasa minder jika ada tamu yang datang ke desa itu. Tubuh mereka kotor karena tidak mandi.

Kesulitan air mendorong masyarakat As Manulea untuk mengatasinya. Muncul inisiatif yang ditindaklanjuti dengan membentuk wadah sebagai forum urun rembuk warga. Bagaimana menghadirkan air bagi masyarakat As Manulea? "Kami sepakat bahwa masyarakat harus mulai dari diri sendiri. Bergerak membangun secara swadaya. Panitia bersinergi dengan gereja, masyarakat adat dan pemerintah. Masyarakat termotivasi dan akhirnya secara swadaya masing-masing kepala keluarga menyumbangkan dana Rp 250 ribu. Dari 640 KK masyarakat 4 desa, terhimpunlah dana sebesar Rp 160 juta," kata Romo Maxi.

Inisiatif masyarakat As Manulea direspons pemerintah kabupaten dengan memberi bantuan stimulan berupa 1 genset listrik. Semenjak itu masyarakat secara swadaya membangun rumah genset, membeli pipa dan membangun bak penampung utama.

Para tua adat mengawali pengerjaan penarikan air bersih mulai dari pembersihan lokasi sumber air masyarakat adat, pemindahan alur sungai sampai selesainya pekerjaan dengan menggunakan ritus-ritus adat. Banyak pihak juga mulai ikut berpartisipasi, hingga selesai dan diresmikan pada tanggal 13 Januari 2005.

Sejak hadirnya air -- sekarang sudah tiga tahun -- masyarakat Desa As Manulea mengalami perubahan pola hidup. Pembangunan rumah-rumah dilengkapi langsung dengan toilet. Anak-anak sudah lebih ceria dan bersih. Ada cukup waktu bagi anak-anak untuk bermain dan belajar, tidak harus membuang banyak waktu untuk mengambil air. Kaum perempuan juga dapat menggunakan waktu secara produktif untuk menenun dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain. Air juga dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Pekarangan ditata dan ditanami tanaman penghasil pangan sehingga jarang terdengar kabar masyarakat As Manulea rawan pangan.

Kisah kemandirian masyarakat As Manulea dalam mendekatkan air dari dataran rendah ke dataran tinggi telah menggugah sebagian orang untuk datang dan belajar di Desa As Manulea.

"Ternyata kita bisa membangun desa mulai dari makan dan minum. Apa yang kita makan dan minum? Menaman tanaman tidak untuk mendapatkan uang dan membeli makanan. Tetapi menghasilkan makanan untuk kita makan. Ini menjadi penting untuk pembelajaran. Berpikir untuk maju satu langkah. Kembali ke dasar, bukan berarti kembali ke belakang," kata Farry Francis, moderator dikusi.

Tanpa Pendampingan, Percuma! (3)

NAMA
lengkapnya Bertolomeus Metkono. Dipanggil Pak Berto. Dia seorang petani tambak di Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang. Perjuangannya menjadi seorang petani tambak dikisahkan oleh Justen Lalan, petani tambak lainnya dari Desa Bipolo dalam diskusi tentang Membangun Kemandirian Masyarakat NTT di ruang Redaksi Harian Pos Kupang, Rabu (10/9/2008).

Pada suatu hari Pak Berto memperhatikan pembuangan air yang mengalir sia-sia ke hamparan lahan tidur di desanya. Timbul dalam benaknya keinginan untuk memanfaatkan lahan itu. Mau dijadikan sawah tentu tidak cocok, sebab lahan tersebut dekat dengan pantai. Pasti airnya payau. Mau ditanami palawija atau kelapa juga tidak cocok karena tanahnya terlalu basah. Dia akhirnya tertantang untuk membangun tambak ikan bandeng.

Itu pada tahun 1986, setelah Pak Berto menonton teknik pembuatan tambak bandeng di televisi. Dia mulai dengan membuat tambak sendiri. Dan, untungnya pada tahun yang sama Pak Berto mendapat kesempatan mengikuti pelatihan tentang pengelolaan tambak bandeng di Bali. Atas rekomendasi Dinas Pertanian Kabupaten Kupang.

Sepulang dari Bali, Pak Berto mulai berani mengajak teman- temannya dalam kelompok tani (102 orang) untuk membuka tambak bandeng dengan memanfaatkan lahan tidur tadi. Mereka sepakat setiap petani menggarap 0,25 sampai 1 hektar lahan.

Namun pada tahun 1987 kepala desa setempat mempersoalkan pemanfaatan lahan itu karena dianggap liar (tanpa izin). Banyak petani tambak mengundurkan diri. Yang bertahan hanya 15 orang, termasuk Pak Berto sendiri.

Masalah tidak habis. Pada tahun 1989 banjir menyapu bersih kawasan pertambakan itu. Kejadian ini membuat kelompok tani bubar. Hanya Pak Berto sendiri yang bertahan dan setia pada cita-citanya. Pak Berto ingin membuktikan bahwa apa yang diyakininya pada suatu saat akan membuahkan hasil.

Pada tahun 1990, apa yang diimpikannya menjadi kenyataan ketika ia mulai memanen hasil tambaknya sebanyak 25 kg bandeng. Masyarakat pun melihat hasil kerja dan keuntungan yang diperoleh dari usaha tambak bandeng itu. Pak Berto mengajak kembali teman-temannya untuk menggeluti usaha tambak. Alhasil, 15 orang bersedia ikut kembali dan membentuk kelompok yang diberi nama Tunas Baru.

Tapi, begitu mulai lagi, mereka langsung berhadapan dengan kesulitan dana untuk memperbaiki tambak yang rusak disapu banjir sebelumnya. Lalu mereka membangun kerja sama dengan seorang pengusaha bernama Abu Hera. Namun, karena sistem bagi hasil dan bagi tanah dianggap merugikan mereka, maka kerja sama tersebut tidak berlangsugn lama.

Pada tahun 1997, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Herman Musakabe, berkunjung dan melihat langsung keberhasilan usaha tambak bandeng mereka. Gubernur memberikan bantuan modal usaha sebesar Rp 18.000.000 dan perbaikan jalan sepanjang tiga kilometer atas keberhasilan kelompok ini mengelola tambak bandeng.

Dalam perjalanan selanjutnya, tantangan tetap mereka hadapi sampai Pak Berto ditahan polisi selama tiga hari. Namun, mereka tetap semangat untuk melanjutkan usahanya karena banyak juga yang tetap mendukung mereka. Kepercayaan masyarakat Bipolo terhadap usaha ini pun makin besar. Pada tahun 2000, Yayasan Alfa Omega (YAO) juga mulai melakukan pendampingan. Meskipun pada tahun 2003 musibah banjir kembali melanda Desa Bipolo, namun berkat pendampingan perlahan-lahan semangat mereka pulih kembali.

Kini bukan hanya Pak Berto dan kelompoknya yang membuka usaha tambak bandeng, tetapi beberapa kelompok baru pun sudah bermunculan, baik di Desa Bipolo sendiri maupun di desa tetangga, seperti Nunkurus, Oeteta dan Pariti. Mereka berguru dan belajar dari pengalaman Pak Berto.

***
KISAH perjuangan masyarakat Bipolo, sebagaimana juga kisah perjuangan masyarakat As Manulea, sengaja diangkat dalam diskusi ini sebagai contoh kemandirian lokal. Cerita ini hanya mau menegaskan bahwa masyarakat desa bisa bertahan dan berkembang dari kemampuannya sendiri dalam kelompok. Mereka juga bisa belajar dari pengalaman kegagalan dan keberhasilan mereka sendiri untuk semakin maju. Tanpa bantuan dari luar mereka bisa mengatasi sendiri masalahnya.

Menurut Justen Lalan, pengembangan mata pencaharian alternatif bukanlah hal yang luar biasa bagi masyarakat desa.

"Kalau kita bicara tentang perubahan pola pikir masyarakat, itu kita bicara tentang perubahan satu gerenarasi. Masyarakat tidak trauma. Mereka berulang-ulang mengatasi hambatan yang ada," kata Yusten.

Cerita yang hampir sama disampaikan Jonathan Lassa, peserta dari Forum Akademia NTT (FAN). Ketika jalan-jalan ke Palue baru-baru ini, Jonathan menemukan sekitar 75 persen gereja stasi Nara dibangun menggunakan air dari batang pisang. Bahkan untuk minum dan cuci, masyarakat di sana menggunakan air dari batang pisang. Bagaimana hal itu mungkin, masyarakat yang tahu. Buktinya mereka bertahan.

Melianus Toy, tokoh masyarakat Oelnasi, Kabupaten Kupang, melihat bahwa kita sekarang hanya mengandalkan ilmu yang kita peroleh. Kita melupakan budaya dan adat-istiadat kita.
Dia memberi contoh proyek bendungan Tilong yang dibangun dengan teknologi tinggi. Tapi, dalam kenyataan tetap saja ada persoalan yang tidak bisa diatasi dengan teknologi tinggi.

"Mereka (kontraktor proyek Tilong) datangi saya. Saya katakan bahwa bapak mengandalkan ilmu. Alam tidak bisa dikuasai dengan ilmu. Saya orang desa yang tahu bagaimana desa itu," kata Melianus. Akhirnya dia membuat ritual menurut budaya setempat, maka bendungan Tilong pun bertahan sampai saat ini.

"Nenek moyang kita dulu cuma dengan ritual adat dapat mengatasi persoalan alam," tambah Melianus.

Namun beberapa kisah kemandirian di atasi mungkin menjadi kisah yang langka saat ini. Belum tentu kita bisa menemukan kisah yang sama di desa-desa lain. Dulu semangat gotong royong masyarakat kita sangat tinggi. Tanpa uang masyarakat bisa membangun berbagai fasilitas umum.

Apakah semangat itu masih ada di desa-desa saat ini. Kita harus katakan bahwa masyarakat sudah menjadi manja oleh berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah. Masyarakat kita berubah orientasi menjadi mental proyek. Merka tidak lagi mau kerja kalau tidak dibayar dengan uang atau beras. Padahal apa yang mereka kerjakan manfaatnya untuk mereka sendiri.

Apa yang disebut partisipasi saat ini menjadi sangat mahal. Ini menjadi refleksi bagi pemerintah, LSM dan lembaga-lembaga apa pun yang selama ini membantu masyarakat dengan uang atau beras. Ternyata bantuan-bantuan itu tidak untuk meningkatkan kemandirian, malah melemahkan dan memupuk mental ketergantungan.

Forum diskusi sepakat dengan kecenderungan ini. Tetapi forum juga tidak ingin hanya sebatas omong-omong lalu selesai. Forum ini harus bisa membuat aksi nyata sebagai tindak lanjut.

Matzui Kazuhisa mengajak kita untuk mencari apa yang ada di daerah kita. Tetapi untuk menemukan apa yang kita cari, tidak semuanya kita sendiri mampu. Kehadiran orang luar bisa menyadarkan kita akan ketidaktahuan kita. Dengan kehadiran orang luar kita pun bisa belajar dan mendapat temuan-temuan baru.

Dengan kata lain, masyarakat kita perlu pendampingan, sebagaimana dilakukan Yayasan Alfa Omega terhadap masyarakat Bipolo. Pendamping membantu masyarakat menemukan persoalan dan solusi atas persoalan.

"Sepanjang pendamping tidak ada, percuma jadi orang pintar, tapi tidak tahu masyarakatnya butuh apa," kata Raymundus Lema. (habis/Pos Kupang edisi 22-24 September 2008 hal 1) Selanjutnya...

Selasa, 16 September 2008

Proyek Pembuatan Jukung Senilai Rp 1,5 M Belum Selesai

PROYEK pengadaan/pembuatan 55 unit jukung (sarana penangkap ikan, Red) di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Flores Timur (Flotim) tahun anggaran 2007 senilai Rp 1,5 miliar yang ditangani CV Nusantara Jaya hingga September 2008 ini belum selesai. Hasil pantauan DPRD Flotim di lapangan, kontraktor pelaksana baru menyelesaikan 16 unit jukung dari 55 unit yang mestinya sudah selesai dikerjakan 31 Desember 2007.

Wakil Ketua DPRD Flotim, Drs. Silvester Demon Sabon, selaku Koordinator Komisi A, B dan C DPRD Flotim menyampaikan temuan itu kepada Pos Kupang di Larantuka, Senin (15/9/2008).

Terkait masalah ini, kata Silvester, Komisi B DPRD Flotim telah memanggil pimpinan pengguna anggaran, yakni Dinas Perikanan dan Kelautan Flotim, Drs. Basir Kia Teron dan panitianya untuk mengecek sejauh mana instansi tersebut menyikapi proyek yang terkesan ditelantarkan kontraktor asal Kupang tersebut. Selain itu, lanjutnya, untuk menanyakan sanski apa yang diberikan kepada kontraktor itu.

"Sebab ada ketidakadilan dari Pemkab Flotim terhadap kontraktor di Flotim. Ini terbukti, ada kontraktor yang diawasi ketat dengan aturan untuk disiplin dan terus diancam untuk dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika sedikit saja lalai mengerjakan proyek sesuai kontrak kerja. Sementara ada kontraktor yang terkesan dilindungi dan dielus serta kebal terhadap disiplin dan aturan, meskipun lalai mengerjakan proyek seperti CV Nusantara Jaya pimpinan Epi asal Kupang yang lalai mengerjakan proyek pengadaan 55 jukung di Dinas Perikanan dan Kelauatan sekarang," papar Silvester.

Secara terpisah, Ketua Komisi B DPRD Flotim, Simon Sina Ritan, Selasa (16/9/2008) di DPRD Flotim, menjelaskan, Komisi B telah memanggil Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Flotim, Basir Kia Teron bersama panitia tender proyek pengadaan 55 jukung TA 2007 senilai Rp 1,5 miliar pada Sabtu (13/9/2008).

Dalam pertemuan dengan Komisi B, kata Sina Ritan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelauatan Flotim, Basir Kia Teron mengakui lambannya pengadaan 55 jukung oleh CV Nusantara Jaya asal Kupang dan beralamat di samping Kantor Dinas Perhubungan Flotim di Kelurahan Sarotari-Kota Larantuka.

Terhadap alasan yang dikemukakan Dinas Perikanan tersebut Komisi B DPRD Flotim bersikap tegas menuntut agar kontraktor/CV Nusantara Jaya yang wanprestasi dalam mengerjakan proyek itu harus dikenakan denda maksimum lima persen dari nilai proyek, yakni Rp 1,5 milar.
"Proyek pengadaan 55 jukung itu sesuai kontrak kerja sudah harus selesai 31 Desember 2007, tetapi molor sampai September 2008. Anehnya sampai September 2008 ini fisik proyek masih nol persen karena di lapangan, yakni di Pantai Mokantarak baru ditemukan 16 dari 55 jukung yang diparkir di tepi pantai itu. Itupun belum lengkap bagian-bagiannya," jelas Sina Ritan.

Solusinya, kata Sina Ritan, CV Nusantara Jaya membayar denda maksimum lima persen kepada daerah, dan memindahkan lokasi pekerjaan dari Pantai Mokantarak-Flotim ke Surabaya untuk menyelesaikan 39 jukung yang belum ada sampai saat ini.

Alasan kontraktor memindahkan lokasi pengerjaan jukung ke Surabaya, Jawa Timur untuk lebih dekat dengan material pembuatan jukung di Surabaya.Karena menurut kontraktor bahan baku/material pembuatan jukung yang diangkut dari Surabaya ke Larantuka sangat mahal ongkos angkutnya, sehingga kontraktor belum berhasil menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu.

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Flotim, Drs.Basir Kia Teron kepada Pos Kupang mengakui kontraktor CV Nusantara Jaya lamban menyelesaikan proyek tersebut sesuai kontrak kerja.
Hingga September ini baru diselesaikan 16 dari 55 jukung yang harus diadakan. Dengan demikian, tinggal 39 unit jukung yang sedang diselesaikan. Jukung tersebut sudah tersedia mesin merk Yanmark buatan Jepang. "Kontraktor berjanji harus selesai dalam 2008 ini," kata Basir. (art/Pos Kupang edisi Rabu 17 September 2008 hal 1) Selanjutnya...

WVI-PKBI Beberkan Hasil Survai HIV/AIDS di Flotim

WAHANA Visi Indonesia (WVI) menggandeng Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah NTT, Kamis (18/9/2009), menggelar workshop membeberkan hasil survai terhadap perilaku warga 12 desa di Flores Timur (Flotim) yang berisiko terhadap HIV/AIDS. Dari data-data yang akan dipaparkan besok itu, diharapkan ada intervensi secara serius dan sungguh-sungguh terhadap masalah HIV/AIDS di Flotim.

Koordinator Program HIV/AIDS WVI ADP Flotim, Yohanes Lewonama Hayong, ketika dihubungi Pos Kupang melalui telepon dari Kupang, Selasa (16/9/2008), menjelaskan, survai itu mengambil metode rappid assesment response (RAR) selama lebih dari dua minggu terhadap warga di 12 desa binaan WVI di Flotim.

Ke-12 desa yang disurvai itu adalah Riangkoli, Waiklibang (Kecamatan Tanjung Bunga), Bama, Lewokluok, Lamika (Demon Pagong), Lewolaga, Lato, Ilegerong (Titehena), Boru, Hokeng Jaya, Nuri, Konga (Wulanggitang). "Kelompok sasaran adalah remaja (putra/i), ibu rumah tangga dan PSK dan pelanggan PSK," kata Hayong.

Survai ini, jelas Hayong, dilakukan untuk beberapa tujuan. Pertama, mengetahui tingkat pengetahuan, persepsi dan perilaku kesehatan reproduksi, seksualitas, HIV/AIDS dan IMS pada semua sub populasi penduduk; kedua, mengetahui secara khusus perilaku seksual remaja dan perilaku mencari layanan kesehatan; ketiga, mengidentifikasi profil pekerja seks dan pelanggan termasuk mengidentifikasi jaring seksual komersial maupun tradisional dalam komunitas; keempat, mengetahui pola menghindari IMS dan pengobatan serta cara menghindari HIV/AIDS yang dilakukan oleh pekerja seks dan pelanggan.

Menurut Hayong, hasil survai itu agak mengagetkan, terutama untuk populasi remaja. Dari survai itu, jelas Hayong, banyak remaja yang masih memahami bahwa pacaran selalu berarti berhubungan seks. "Remaja juga sangat familiar dengan tempat hiburan," kata Hayong. Hayong bahkan menyebutkan bahwa anak sekolah dasar saja sudah tahu bagaimana menggugurkan kandungan.

Untuk ibu rumah tangga, sebut Hayong, mereka pernah mendengar tentang HIV/AIDS. "Tetapi apa itu HIV/AIDS, bagaimana dia menular, bagaimana pencegahannya, itu mereka tidak tahu apa-apa. Karena itu mereka meminta agar para kader posyandu juga diberi pelatihan sehingga saat posyandu mereka bisa menjelaskan kepada para ibu rumah tangga," kata Hayong.

Menurut rencana, workshop sehari ini akan dibuka oleh Wakil Bupati Flotim, Yosni Herin, yang sekaligus membawakan materi Kebijakan Pemkab Flotim terhadap HIV/AIDS. (len/Pos Kupang edisi Rabu 17 September 2008 hal daerah) Selanjutnya...

Abrasi Serius Landa Ndori


KERUSAKAN serius akibat abrasi (pengikisan oleh air laut) melanda kawasan pantai selatan Kabupaten Ende, tepatnya di wilayah Desa Maubasa, Maubasa Timur dan Serandori, Kecamatan Ndori. Tanggul penahan gelombang sudah jebol, jalan raya nyaris putus dan perumahan warga di pesisir pantai itu terancam.

Tanggul penahan/pemecah gelombang nyaris tak tersisa akibat dihantam gelombang laut. Bahu jalan raya sudah terkikis. Badan jalan yang sudah diaspal baik itu terancam. Jika tidak ada penanggulangan segera, maka pada musim barat tahun ini, ruas jalan menuju wilayah tiga desa itu pun bisa putus digerus air laut.

Demikian pantauan Pos Kupang di wilayah tersebut, Sabtu (13/9/2008) siang. Jebolnya tanggul pemecah gelombang tidak hanya membuat ruas jalan raya di tepi pantai itu yang rusak, tetapi juga membuat ratusan rumah warga di pesisir pantai itu pun terancam dihantam gelombang laut. Sebuah masjid yang terletak hanya sekitar 20 meter dari bibir pantai, juga terancam.
Beberapa warga setempat mengatakan, mereka menyadari adanya abrasi sebagai gejala alam yang sulit dihentikan. Namun mereka juga sulit untuk pindah atau mencari lokasi pemukiman yang baru karena mereka tidak punya lahan di tempat lain untuk dijadikan lokasi pemukiman.

"Kalau musim barat, air laut naik sampai sekitar 100 meter ke darat dan menggenangi rumah-rumah. Kalau saat sekarang ini laut masih normal. Lihat saja, tembok penahan gelombang sudah rusak dan sebagian jalan raya juga sudah rusak. Pohon kelapa di pantai ini juga sudah banyak yang tumbang karena abrasi pantai," kata Zaid MS Pareira, warga Dusun II Ipi, Desa Serandori.

Ahmad Ahad, juga warga setempat, menambahkan, abrasi dan terjangan gelombang sudah membawa kekhawatiran setiap tahun bagi warga setempat. Tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak. "Kami memang berpikir untuk mencari pemukiman baru tapi untuk pindah tidak mudah, harus ada lahan dan harus membangun rumah di lokasi pemukiman yang baru," katanya.

Camat Ndori, Konstantinus Djara yang ditemui di rumahnya di wilayah Desa Maubasa, Sabtu (13/9/2008) siang, membenarkan bahwa ratusan rumah warga di pesisir pantai di kecamatan itu terancam akibat abrasi yang terus terjadi.

"Memang tembok penahan ombak yang dibangun di pesisir pantai di wilayah ini sudah rusak akibat adanya abrasi. Begitu juga dengan ruas jalan masuk yang melintas di wilayah pantai menuju ke tiga desa itu juga sudah rusak. Kami dari pemerintah kecamatan sudah mengusulkan ke tingkat kabupaten untuk dilakukan perbaikan tembok atau tanggul penahan ombak. Hanya saja sampai saat ini belum mendapat jawaban karena begitu banyaknya permasalahan yang harus menjadi perhatian pemerintah kabupaten," kata Djara.

Dia menambahkan bahwa pihaknya terus berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah abrasi pantai di wilayahnya. "Kami juga terus berharap agar ada perhatian dari pemerintah kabupaten untuk mengatasi masalah ini," katanya. (mar/Pos Kupang edisi Senin 15 September 2008 hal 1)


Pemkab Ende Kaji Penanganan Abrasi

PEMERINTAH Kabupaten (Pemkab) Ende akan mengkaji penanganan kerusakan beberapa kawasan pantai akibat abrasi (pengikisan oleh air laut). Sebab, abrasi tidak hanya terjadi di kawasan pantai selatan di Kecamatan Ndori, tetapi juga di kawasan pantai di Kecamatan Maukaro dan Kecamatan Ende.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswwil) Kabupaten Ende, Agustinus Naga, S.H, saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (15/9/2008). "Di wilayah Pantai Jagapo-Desa Nabe, Kecamatan Maukaro dan di Mbomba, Kecamatan Ende sekitar tujuh kilometer arah barat Kota Ende terjadi abrasi. Di sana ada ruas jalan yang hampir putus karena abrasi. Jadi, abrasi terjadi di beberapa tempat, sementara anggaran daerah Kabupaten Ende terbatas," kata Agustinus.

Ia menjelaskan, Dinas Kimpraswil Kabupaten Ende pernah mengajukan anggaran untuk penanganan pantai yang mengalami abrasi. Namun, lanjutnya, penanganan terhadap abrasi pantai ini harus dikaji lagi karena abrasi tidak hanya terjadi di wilayah Kecamatan Ndori, tetapi juga di wilayah kecamatan lainnya seperti di pantai utara di Kabupaten Ende.

Agustinus mengemukakan, Dinas Kimpraswil Ende sudah bangun tembok penahan gelombang di pesisir pantai Ndori, namun tetapi karena ombak deras dan air laut terus naik sehingga tembok roboh. Untuk memperbaiki jalan raya yang rusak karena abrasi, kata Agustinus, juga belum tentu menyelesaikan masalah karena ruas jalan terletak di dekat pantai.

"Kalau dulu, waktu jalan raya dibangun, bibir pantai masih cukup jauh. Namun karena air laut terus naik dan terjadi abrasi, saat ini jalan raya sudah digenangi air laut. Apakah ruas jalan raya yang harus dipindah, ini pun harus dikaji lagi. Menyangkut penanganan terhadap pemukiman penduduk, yang jadi masalah adalah warga setempat tidak mau pindah dari tempat tinggal mereka di bibir pantai. Kalaupun mereka mau pindah berarti harus ada lahan baru untuk permukiman karena warga di pantai beralasan tidak punya lahan untuk membangun rumah di tempat baru," kata Agustinus.

Ia menjelaskan, Pemkab Ende pernah beberapa kali melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang bermukim di wilayah pantai, termasuk di Ndori untuk mencari pemukiman baru. Tetapi, warga setempat beralasan tidak punya lahan dan tidak punya biaya untuk membangun rumah di tempat yang baru. Sementara anggaran Pemkab Ende terbatas sehingga sulit menanganinya.

Meski demikian, kata Agustinus, hal ini akan dipikirkan lagi penanganan masalah abrasinya.
Diberitakan sebelumnya, ratusan rumah warga di pesisir pantai di tiga desa di Kecamatan Ndori, Kabupaten Ende saat ini terancam kenyamanannya akibat abrasi pantai yang terus mengikis wilayah tersebut. Tembok tanggul penahan ombak sudah rusak, bahkan ombak di pantai tersebut telah merusak ruas jalan aspal menuju wilayah itu.

Ratusan rumah warga ini berada di wilayah pesisir pantai Desa Maubasa, Desa Maubasa Timur dan Desa Serandori. Selain rumah warga, jika abrasi terus terjadi, maka rumah ibadah seperti masjid di wilayah itu yang letaknya sekitar 20 meter dari bibir pantai akan terancam abrasi.

Beberapa warga setempat yang ditemui mengatakan, mereka menyadari adanya abrasi pantai sebagai gejala alam yang sulit dihentikan. Tetapi, mereka juga sulit untuk pindah atau mencari lokasi permukiman baru karena mereka tidak punya lahan di tempat lain untuk dijadikan lokasi permukiman. (mar/Pos Kupang edisi 16 September 2008 hal 1)

Tak Ada Dana Tangani Abrasi

KETUA Komisi Anggaran DPRD Kabupaten Ende, Yustinus Sani, S.E, mengatakan, tahun anggaran 2008 ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ende tak ada dana lagi untuk penanganan abrasi pantai.

Yustinus Sani yang ditemui di kediamannya, Selasa (16/9/2008), mengatakan, pengalokasian anggaran untuk penanganan masalah abrasi baru akan dibahas pada sidang pembahasan APBD Kabupaten Ende tahun anggaran 2009 mendatang.

Meski demikian, lanjut Sani, Pemkab Ende harus tetap berupaya untuk memfasilitasi masyarakat di kecamatan Ndori dan wilayah lainnya yang terancam abrasi pantai untuk mencari pemukiman baru bagi warga. Terus menetap di permukiman lama di bibir pantai seperti di Ndori, lanjutnya, tidak bisa dibiarkan terus berlangsung karena kondisi air laut saat ini terus naik.

Sani dihubungi menyangkut penanganan masalah abrasi karena posisinya sebagai komisi anggaran. "Masyarakat Ndori itu seharusnya sudah pindah ke permukiman yang baru. Pemerintah harus memfasilitasi masyarakat untuk mendapatkan permukiman yang layak," katanya.

Menurut dia, kalaupun Pemkab Ende mengalokasikan angaran untuk penanganan abrasi, maka aksi penanganan abrasi baru bisa dilakukan April 2009 setelah pembahasan anggaran APBD Kabupaten Ende tahun anggaran 2009.

"Saran saya, untuk jangka pendek penanganan abrasi bisa dilakukan dengan cara membangun tembok pemecah dan penahan gelombang. Namun, untuk jangka panjang seharusnya dilakukan upaya penanaman hutan bakau di pesisir pantai. Dan, yang paling bagus memfasilitasi masyarakat yang bermukim di daerah pantai untuk pindah ke permukiman yang baru. Pemerintah harus bisa mencari tempat permukiman baru bagi warga yang terancam abrasi pantai," kata Sani.

Sani mengungkapkan, saat ini Pemkab Ende tidak punya dana sehingga tidak bisa terlalu memaksa pihak pemerintah untuk segera menangani abrasi ini. "Dana baru bisa dialokasikan untuk penanganan abrasi pada tahun 2009 mendatang," ujarnya. (mar/Pos Kupang edisi Rabu 17 September 2008 hal 1) Selanjutnya...