Jumat, 05 Juni 2009

Rengkahan Mencapai 12 KM


MENGKHAWATIRKAN -- Lebar, dalam dan luar rengkahan tanah di Desa Tolnaku, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang semakin mengkhawatirkan. Warga setempat sudah mengungsi di rumah darurat. Gambar diambil Jumat (5/6/2009).


RENGKAHAN tanah akibat pergeseran kulit bumi yang terjadi di wilayah Kecamatan Fatuleu- Kabupaten Kupang, sudah mencapai sekitar 12 kilometer mulai dari Desa Oebola Dalam sampai ke wilayah Bipolo.

Bergesernya tanah sejak Februari 2009 itu, sejauh ini sudah menimbulkan longsor di beberapa tempat, termasuk Desa Tolnaku yang merusak rumah-rumah penduduk dan memaksa warga setempat mengungsi.

Pantauan Jumat (5/6/2009) di Dusun I Pua'ana, terlihat rengkahan yang memanjang dari utara ke selatan. Menurut warga setempat, tanah dengan kemiringan sekitar 10-15 derajat itu terus bergerak. Awalnya menimbulkan retakan kecil namun makin lama makin lebar dan dalam membentuk rengkahan. Lempengan wilayah yang bergerak turun itu membuat batu-batu berpindah tempat, pohon-pohon mulai miring dan ada yang sudah tumbang. Di beberapa titik terlihat seperti longsor.

Kerusakan paling parah terjadi pada pemukiman warga. Di Dusun Pua'ana itu terdapat 26 rumah warga yang hancur akibat longsoran, satu di antaranya tertimbun tanah. Gedung Gereja Kemah Injil Koinonia Pua'ana bahkan bergeser dari tempatnya semula, sejauh sekitar 100 meter dan ambruk rata tanah. Warga setempat sudah mendapat bantuan tenda guna membangun tempat darurat untuk ibadah.

Bentangan longsor yang memanjang dari utara ke selatan nampak berada persis di tengah-tengah tiga batuan besar masing-masing batu Nekon, Bolbesi dan Fatumonas. Di kaki batu-batu ini merupakan hulu dari longsoran itu. Longsoran ini bisa mengancam warga hingga wilayah Bipolo dan sekitarnya.

Di Desa Tolnaku, luas wilayah longsoran mencapai sekitar 400 meter persegi dan tidak lama lagi lokasi pemukiman itu hanya tinggal kenangan. Tidak bisa dihuni lagi karena porak poranda. Sejauh mata memandang, kampung yang yang dulunya dipenuhi rumah warga dan tanaman pekarangan maupun perkebunan lainnya, kini tersisa puing-puing.

Sementara di Desa Oebola Dalam, rengkahan tanah dan longsor di beberapa titik sudah "mengobrak-abrik" ratusan pohon jati milik warga. Longsor dan rengkahan tanah sudah membentuk genangan air seluas 50-60 meter persegi. Air yang tergenang dalam longsoran itu tetap keruh meski tidak ada hujan.

Belahan-belahan tanah yang pecah itu tidak beraturan dengan lebar pecahan atau keretakan mencapai 1-2 meter dan dalam 1,5 meter. Tepat di antara longsoran itu terdapat sebuah sungai yakni Sungai Fatutasu. Alur sungai ini sebagian sudah tertimbun bongkahan tanah yang runtuh.
Pergerakan tanah itu pun mengakibatkan dataran di bawahnya yang selama ini dipakai untuk areal persawahan, muncul gundukan tanah baru.

Warga sudah mengungsi dari rumah mereka yang sudah rusak dan kini mereka membuat rumah darurat berdinding bebak dan atap daun lontar dengan ukuran 5 x 4 meter persegi.
Camat Fatuleu, Batarudin Rosna yang ditemui terpisah meminta warga tetap waspada. "Pantauan kami terakhir, longsor sudah mencapai 10 sampai 12 kilometer," kata Rosna. (yel)


Sehari Bergeser 1 Meter

DUSUN Puaana di Desa Tolnaku dihuni 117 warga. Wilayah dusun itu, mungkin akan tinggal nama. Rumah-rumah tinggal puing. Pepohonan pada miring sana-sini di sela-sela bebatuan dan bongkahan tanah yang longsor.

Kini semua warga sudah pindah. Dalam trauma dan was-was mereka memetik hikmah bencana itu. Bahkan warga menyatakan syukur karena longsor tidak terjadi sekejab. Mereka yakin itu adalah campur tangan Tuhan.

"Kalau Tuhan tidak tolong kami maka saat kejadian itu kami semua pasti meninggal, namun rencana Tuhan begitu indah sehingga kami bisa luput dari bencana itu," kata
Fredik Mau kepada Pos Kupang di lokasi pemukiman baru. Di sana, warga secara gotong royong membuat rumah sangat sederhana untuk tinggal. "Kalau saat itu longsor datang satu kali dengan cepat maka tidak tahu apakah kita masih bertemu atau tidak," katanya.

Karena tanah yang tadinya hanya retak kemudian timbul rengkahan, katanya, maka warga berkesempatan mengevakuasi barang-barang mereka dari dalam rumah untuk dipindahkan ke tempat yang aman.

Longsor pertama kali terjadi pada hari Kamis 12 Juni 2009. Longsor terjadi pada malam hari dan tidak disadari warga. Keesokan pagi sampai siang, warga terperangah karena tanah semakin bergerak turun, bergeser dan mulai timbul rengkahan. Pohon-pohon mulai terlihat miring, tanah mulai runtuh. Warga bergegas memindahkan barang-barangnya, termasuk ternak.

"Saya akhirnya membuat tanda dengan menancap batang kayu di sekat bibir retakan tanah. Satu hari saya lihat retakan makin mendekati kayu dan dua hari kemudian sudah mencapai kayu yang saya tanam itu. Akhirnya saya tempatkan patok lagi dengan jarak enam meter dan pada hari keenam pergeseran lempengan tanah yang longsor itu sudah mencapai patok tersebut sehingga saya perkirakan dalam satu hari pergeseran itu mencapai satu meter," jelasnya.
Benyamin Kono dan Gabriel Kase, dua warga setempat, menuturkan, warga bersyukur kepada Tuhan
karena bencana yang menimpa mereka tidak sama seperti tanah longsor di tempat lain yang terjadi begitu mendadak dan singkat sampai menelan banyak korban jiwa. Keduanya mengatakan, kejadian yang sama pernah dialami tahun 1975 silam namun itu akibat gempa bumi.

Sungai Bawah Tanah

Longsoran yang terjadi di Desa Oebola dalam dan Dusun Nunpisa Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang karena adanya pergeseran kulit bumi. Pergeseran itu, menurut data base yang ada di Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) Jakarta, akibat kondisi tanah yang pada lapisan atasnya berupa batu kapur dan di bagian bawahnya terdapat tanah lempung yang berupa rongga-rongga.
Melalui rongga-rongga tanah itu ada aliran air atau sungai di bawah tanah. Kemungkinan longsoran terjadi karena adanya amblasan pergeseran bebatuan disebabkan karena ada sungai di bawah tanah.

Demikian Kepala Bagian Sosial Kabupaten Kupang, Dominggus Bulla, kemarin, mengutip penjelasan tim peneliti dari Badan Geologi Nasional Bandung yang telah meneliti wilayah yang saat ini terkena longsor. Bulla mendampingi tim peneliti itu saat berada di lokasi penelitian di daerah block sistim atau daerah patahan, termasuk di Desa Oebola dan Dusun Nunpisa Kecamatan Fatuleu.

Bulla menjelaskan, longsor di Oebola dan Dusun Nunpisa itu tidak ada korban jiwa. Warga mengalami kerugian antara lain rusaknya rumah dan harta benda lainnya. "Saat ini semua warga telah di pindahkan ke tempat pengungsian," katanya.

Panjang longsoran, katanya, diperkirakan mencapai 10 - 14 km. Sedangkan panjang patahan bisa mencapai puluhan kilometer.

Sesuai penjelasan tim peneliti, katanya, tanah akan terus bergerak dan diikuti longsoran. Bila longsoran terus terjadi maka, 63 KK atau 240 jiwa yang tinggal di Dusun IV Kiusak, Desa Oelatimo Kecamatan Kupang Timur, juga akan terancam. "Saat ini lokasi bencana tanah longsor sudah sampai di perbatasan antara Kecamatan Fatuleu dan Kecamatan Kupang Timur dan kecamatan Amfoang Tengah," katanya.

Ditanya tentang bantuan yang sudah diberikan Bulla mengatakan, Pemkab telah memberikan bantuan yang sifatnya darurat yakni 500 kg beras 300 kg kacang hijo. Sedangkan, bantuan jangka panjang yang sangat dibutuhkan yakni sarana dan prasarana, relokasi serta sarana air bersih.

Bulla mengimbau kepada warga di sekitar daerah bencana agar tidak membaut pemukiman baru di sekitar wilayah longsoran. Apabila hujan, warga dilarang melintas di kawasan yang labil karena sesewaktu akan runtuh. (yel/den/pk edisi sabtu 6 juni 2009 hal 1)

Selanjutnya...

Longsor di Fatuleu, 117 Warga Dipindahkan

SEBANYAK 31 kepala keluarga (KK) atau 117 warga Dusun I, Desa Tolnaku, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, dipindahkan ke pemukiman Fatukoto di wilayah setempat akibat tanah longsor yang terjadi di wilayah itu sejak Februari lalu sampai sekarang.

Warga yang terkena longsor membangun rumah darurat di Fatukoto. Tanah longsor juga menyebabkan ratusan tanaman perkembunan milik warga rusak. Sampai Kamis (4/6/2009), masih ada sembilan KK yang bertahan di lokasi longsoran.

Fredik Mau, salah satu korban bencana longsor yang ditemui Pos Kupang di sekitar lokasi pemukiman, Kamis (4/6/2009) sore, mengatakan, tanah longsor yang terjadi di desa mereka itu sudah berlangsung sejak Februari lalu dan sampai sekarang masih terus terjadi.

Menurut Mau, para korban semuanya adalah petani yang kebanyakan memiliki rumah semi permanen dan semuanya rusak akibat tanah longsor tersebut.

"Yang kami heran longsoran itu terjadi bukan saja musim hujan tetapi pada saat sekarang juga masih terjadi sehingga kami pindah ke Fatukoto. Di sana kami buat rumah darurat dari daun lontar untuk tinggal," kata Mau.

Dia menuturkan, awalnya tanah longsor mengancam 26 rumah warga dan satu bangunan gereja. Kini semua rumah warga itu sudah tidak dihuni lagi karena sudah rusak dan warga takut. Gereja itu pun sudah tidak dipakai lagi.

"Dua puluh enam rumah itu milik 31 KK itu. Mereka semua sudah pindah ke lokasi yang tidak terlalu jauh dari pemukiman yang terkena longsoran sebelumnya. Sampai sekarang kami semua yang mengungsi sekitar 117 orang. Sedangkan ada sembilan KK lagi yang masih bertahan di lokasi longsoran itu," katanya.

Mau juga mengakui, lokasi tempat mereka direlokasi itu hanya berjarak sekitar 1,5 km saja dari lokasi pemukiman mereka yang terkena longsoran sehingga mereka masih dilanda was-was. Mereka khwwatir longsoran akan meluas dan menjangkau tempat mereka direlokasi.

Dia mengatakan, tidak ada korban jiwa akibat bencana tersebut. Hanya masyarakat menderita kerugian material antara lain kerusakan rumah dan tanaman perkebunan serta rumah ibadah.
"Lokasi yang kami tempati baru itu memang agak dekat, hanya saja kita perkirakan jika longsoran terjadi dari titik utama longsoran atau di pemukiman lama maka kemungkinan agak sulit untuk sampai ke pemukiman baru itu," tuturnya.

Ketua RW V Desa Oebola Dalam, Charles Utan yang ditemui di kediamannya kemarin petang, membenarkan terjadinya longsoran yang sudah berlangsung di wilayah desa tetangganya itu.
Dia menyebut kejadian longsoran itu sebagai kejadian yang aneh karena tidak hanya terjadi pada musim hujan namun terjadi juga pada musim kemarau saat ini. Bahkan, katanya, dalam satu minggu bisa dua kali terjadi longsor. Kadang satu bulan hanya satu kali terjadi longsor.

Pantauan Pos Kupang, lokasi longsor yang terjadi di wilayah Tolnaku memanjang hingga ke Desa Oelatimu, Kecamatan Kupang Timur. Longsoran juga terjadi di perbatasan antara Desa Tolnaku dan Desa Oebola Dalam, Kecamatan Fatuleu Barat. Beberapa titik longsoran cukup parah. Di salah satu titik longsor terlihat tanaman perkebunan dan kayu jati milik warga ikut ambruk. Longsor memanjang dan luasnya mencapai sekitar 500 meter persegi. Di bawah bentangan longsoran ini terdapat Sungai Lubus. (yel)

Terjadi Setiap Jam Enam

JALAN menuju Desa Oebola Dalam di Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, adalah jalan berbatu dan sebagiannya berupa jalan tanah. Desa dengan ratusan penduduk itu pada Kamis (4/6/2009) petang, bagai wilayah tak bertuan. Rumah-rumah yang terdapat di sisi kiri dan kanan jalan seperti tidak berpenghuni. Jarak antara satu rumah dengan yang lainnya sekitar 50 meter hingga 100 meter.

Cahaya matahari senja yang kian suram menjemput malam menambah seram suasana sepi di desa itu. Warga enggan keluar rumah karena hari menjelang malam. Desa itu belum terjangkau aliran listrik sehingga warga hanya mengandalkan lampu dari minyak tanah untuk penerangan malam.
Desa ini bertetangga dengan Dusun I, Desa Tolnaku yang tertimpa tanah longsor sejak Februari sampai sekarang. Kejadian longsor di desa tetangga itu dianggap aneh karena tidak hanya terjadi pada musim hujan tetapi terjadi pula pada musim kemarau saat ini. Tak heran, warga merasa was-was, apa gerangan yang sedang atau akan menimpa wilayah mereka.

Apalagi titik utama longsor di Desa Tolnaku itu telah memicu munculnya beberapa titik longsor dan rengkahan atau tanah terbelah di beberapa desa tetangga termasuk Desa Oebola Dalam. Untuk mencapai lokasi longsoran tepatnya di perbatasan wilayah Kecamatan Fatuleu Barat dan Kecamatan Fatuleu, harus ditempuh dengan berjalan kaki, kecuali melalui wilayah Oelbitena yang jalannya bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor.

Kemarin sore, Kamis (4/6/2009), Pos Kupang mengajak beberapa warga untuk pergi melihat langsung wilayah longsoran. Namun warga enggan karena takut. Menurut mereka, longsor selalu terjadi pada jam enam, pagi maupun sore hari. Itu sebabnya pada sore hari menjelang pukul 18.00 Wita, tidak ada lagi warga yang berani keluar rumah. Mereka takut ikut terjerembab saat tanah longsor.

Salah satu warga, Marthen Padama, akhirnya bersedia menemani Pos Kupang ke lokasi tanah longsor setelah diberi "uang jasa". Padama tidak bisa menyembunyikan rasa was-wasnya saat menemani Pos Kupang. Setelah berjalan kaki beberapa lama, tibalah kami pada lokasi terjadinya tanah longsor di wilayah Tolnaku. Longsoran memanjang hingga ke Desa Oelatimu, Kecamatan Kupang Timur.

Dalam perjalan Padama pun nampaknya tergesa-gesa, namun Pos Kupang tetap memberi pengertian, tidak akan mendekati titik longsoran apabila ada tanda-tanda longsor. Ketakutan Padama dan warga lainnya di wilayah beralasan karena sejak 12 Februari 2009 sampai saat ini, tanah longsor selalu terjadi pada jam enam pagi atau sore. Warga setempat selalu diliputi was-was akan terjadinya longsor susulan.

Ketua RW V, Desa Oebola Dalam, Charles Utan membenarkan bahwa tanah longsor yang terjadi di desa tetangga hingga meluas sampai ke sebagian wilayah mereka itu terjadi sejak Februari.

"Longsoran yang terjadi ini memang agak aneh karena terjadi bukan saja saat hujan tapi saat ini pun masih terjadi. Kita tidak bisa tahu persis kapan longsor itu terjadi, karena bisa saja dalam satu minggu itu satu kali atau dua kali, bahkan bisa juga dalam satu bulan satu kali. Warga di sini sangat heran, kenapa selalu terjadi pada jam enam," katanya.

Apapun gejala alam yang sedang terjadi di wilayah itu, yang jelas warga setempat membutuhkan pertolongan. (yakobus lewanmeru/pe edisi jumat 5 juni 2009 hal 1)



Selanjutnya...

Beny Oko, Penjaga Hutan yang Bisa Terbang



MOBIL Kijang warna biru, Sabtu (30/5/2009), membawa Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Alor, Drs. RJS. Huan, wartawan Kompas Kornelis Kewa Ama dan Pos Kupang menuju Otvai dan Omtel di kawasan puncak Kota Kalabahi. Di dua kawasan itu terdapat hutan milik Dinas Kehutanan, ditumbuhi berbagai tanaman, termasuk ribuan pohon cendana.
Waktu tempuh menuju Otvai dan Omtel antara 30-50 menit, padahal jaraknya hanya 10 km.

Maklum, jalannya cenderung menanjak sampai pada ketinggian 600 kaki di atas permukaan laut. Kendati demikian, perjalanan terasa nikmat. Selain karena udaranya sejuk, mata rombongan juga dimanjakan oleh hijaunya hutan tanaman kemiri, cengkeh, kopi, jati, mahoni, johar dan cendana di kiri-kanan jalan.

Saat tiba di kawasan hutan Otvai, wartawan lebih memilih melihat langsung lokasi cendana yang dikembangkan di atas lahan seluas 54 hektare sejak tahun 1986 itu. Cendana di hutan itu tingginya bervariasi 3-7 meter dengan diameter 30-80 cm. Mobil lalu bergerak menuju kawasan hutan Omtel. Di hutan Omtel terdapat pohon-pohon cendana yang dikembangkan sejak tahun 2007.

Sesudah mendapatkan data yang cukup, wartawan dan Kadis Huan hendak kembali ke Kalabahi. Waktu menunjukkan pukul 11.00 Wita. Dalam perjalanan pulang, masih di kawasan puncak hutan Omtel, Kadis Huan mengajak wartawan rehat sebentar di sebuah pondok milik Dishut di kawasan hutan. Pondok itu berdinding bambu, berlantai semen kasar dan beratap seng.

Di dekat pintu masuk dapur pondok itu, seorang anak muda berkepala botak, bercelana pendek, berbaju kaos bundar leher, lengan potong tengah sedang duduk di balai-balai bambu sambil menyandarkan bahunya di dinding.

Ketika melihat Kadis Huan, anak muda itu langsung menyapa dan menyampaikan keluh-kesahnya mengenai kebutuhan dapurnya. Kadis Huan sempat mengobrol dengannya, menanyakan kondisi hutan dan anakan berbagai tanaman yang disemaikan di lokasi tersebut.

"Anak muda ini namanya Beny Oko (27). Dialah yang menjaga hutan di kawasan ini. Dia telah menyatu dengan alam hutan ini sejak tahun 2000. Dia mendiami pondok ini sendiri," kata Huan memperkenalkan Beny sambil bercanda bahwa anak muda itu bisa terbang.

Canda Huan ini langsung ditanggapi serius oleh wartawan, mengaitkannya dengan kekuatan magis. Wartawan menanyakan kepada sejumlah orang yang kebetulan berada di pondok itu mengenai ilmu yang dimiliki Beny. Namun mereka enggan memberi jawaban. Mereka minta wartawan menanyakan langsung kepada Beny.

Obrolan langsung terjadi dengan Beny. Menurut Beny, rumah orangtuanya terdapat di wilayah Kenarilang, Kota Kalabahi. Dia putra bungsu dari empat bersaudara. Tidak tamat SD, hanya sampai di kelas V. Namun Beny mengaku bisa membaca dan menulis.

Dia tidak melanjutkan sekolah karena kondisi tubuhnya yang cacat. Kakinya pincang. Kalau berjalan, dia harus dibantu dengan tongkat. Cacat itu dialaminya sejak masih kecil, akibat hela step.

Beny melanjutkan, dirinya mulai menempati pondok di kawasan hutan Omtel sejak tahun 2000. Ketika itu dia bersama sejumlah warga datang ke kawasan hutan itu untuk mengerjakan proyek penghijauan Dinas Kehutanan Kabupaten Alor.

Setelah proyek selesai, dirinya tetap berada di pondok itu seorang diri. Beny mengungkapkan, pada saat awal tinggal di pondok itu, perasaan takut menyelimutinya. Setiap malam dia mendengar bunyi-bunyi aneh di hutan. Ada anak kecil menangis, orangtua marah anak-anaknya. Juga terdengar suara banyak orang yang tengah pesta pora.

Beny melanjutkan, dia mulai berani tinggal di hutan tersebut sejak mendapat ilmu dalam sebuah mimpi tidur malam. "Pada suatu malam ketika saya tertidur, saya bermimpi. Ada beberapa orangtua datang menghampiri saya. Mereka memeluk saya sambil mengatakan, 'Kami ini nenek moyang kamu.' Mereka pun mulai memutar film adegan berkelahi. Lalu mereka menanyakan,
'kamu mau yang ini?' Namun saya menolak.

Berikutnya, mereka memutar film orang bisa terbang. Setelah selesai film itu, mereka kembali tanya, 'kamu mau ilmu ini?' Saya langsung menyatakan mau, dan ketika bangun pagi, dalam diri saya seperti ada kekuatan," ujar Beny.

Bekal ilmu yang didapatnya itu, kata Beny, sangat membantunya bepergian ke tempat jauh, seperti ke Kota Kalabahi atau desa-desa lain di daerah itu. Dia bisa jalan cepat dalam kondisi kaki pincang. Dia bisa terbang menuju ke suatu tempat. "Kekuatan yang saya dapat bukan hanya untuk jalan saja, tetapi membantu saya bekerja di hutan ini. Sebelumnya -- karena cacat-- saya tidak bisa mengangkat kayu, tetapi setelah mendapat ilmu itu, meskipun dengan kondisi cacat, saya bisa mengangkat kayu," tutur Beny.

Selain mendapat ilmu terbang, Beny juga mengaku, selama menempati hutan itu dia berteman dengan makhluk halus, arwah orang yang telah meninggal dan kuntilanak.

"Makhluk halus biasanya datang pada saat saya sendiri. Kalau ada orang yang mau meninggal dunia, biasanya hutan ini ramai seperti orang pesta. Namun saya tidak melihat wujud mereka. Kadang-kadang orang-orang mati ini menemani saya pada pagi hari yang masih gelap ketika saya membuat perapian untuk berdiang. Ada yang datang membunyikan pohon bambu di hutan ini," tutur Beny lagi.

Sedangkan kuntilanak, kata Beny, menjadi temannya hampir setiap saat. Datangnya kuntilanak biasa ditandai dengan suara tikus di luar pintu. Ketika dibuka, mahkluk ini sudah ada. Busana kuntilanak semuanya warna putih, rambutnya air panjang sampai di bokong.

"Cantiknya luar biasa, paling cantik di dunia. Kulitnya putih seperti Cina. Lebih cantik daripada nona-nona di Kalabahi, di Kupang atau Jakarta. Ini Cina, Taiwan," ujar Beny sambil mengatakan nama kuntilanak itu Lin.

Beny mengatakan, hubungannya dengan kuntilanak yang datang hanya sebatas teman cerita, tidak lebih dari itu. "Lin biasa membawa makanan untuk saya. Makanan mereka seperti yang biasa orang makan: ada daging ayam, ikan, sayur. Pokoknya enak. Tapi saya tidak mau. Kita cerita saja. Kita sudah anggap saudara," ungkap Beny.

Di akhir ceritanya Beny berharap ada perhatian dari pemerintah terhadap dirinya. Sebab, meskipun dengan kondisi cacat, dia bisa menjaga kelstarian hutan di kawasan itu. (okto manehat/pk edisi 4 juni 2009 hal 1).


Selanjutnya...

Tradisi Menangkap Ikan Paus


WATO KOTEKLEMA -- Saya bersama Maha Adi (bertopi), wartawan Majalan Tempo, melihat ritual adat yang dilaksanakan tuan tanah suku Fujon di Wato Koteklema - batu yang menyerupai ikan paus, di Dusun Lamanu, Desa Lamalera, Jumat (1/5/2009).


Memanggil Roh Ikan (1)


Oleh Alfons Nedabang

BATAR. Demikian suku Fujon menamai tempat itu. Berada di bukit sekitar 1,5 Km dari perkampungan Lamalera. Untuk mencapai batar dengan berjalan kaki, butuh waktu sekitar dua jam. Waktu tempuh cukup lama karena jalannya mendaki, melintasi beberapa bukit.

Batar diyakini sebagai tempat tinggal nenek moyang suku Fujon, tuan tanah di Desa Lamalera.
Dari sinilah ritual adat penangkapan ikan paus dimulai. Tempat itu diberi sesajen, diantaranya membakar tembakau, tuang tuak, menabur beras jagung giling serta memecah telur ayam. Syair adat juga mulai dikumandangkan dari tempat ini, sembari membunyikan gong.

Peserta ritual adat enam orang, dipimpin Agustinus Olak Fujon. Agus adalah generasi ketujuh suku Fujon. Lima lainnya adalah Yeremias Bala, Arnoldus Gesi, Alexander Manu, Gaspar Boli dan Marsianus Dua. Mereka adalah adik dan anak Agus Olak.

Dari lima peserta itu, dua diantaranya memegang tombak, dan dua lainnya menenteng gong. Kepala mereka dimahkotai dedaunan. Setiap mereka memakai singlet dengan bawaannya novi (kain sarung).

Dari batar, tuan tanah berjalan satu-satu menuruni bukit, lalu berhenti di Wato Koteklema. Wato Koteklema adalah batu yang bentuknya menyerupai ikan paus. Warnanya hitam. Panjang batu itu sekitar 10 meter, dengan lebar dua meter dan tinggi sekitar 1,5 meter. Sama seperti di batar, di Wato Koteklema juga dibuat sesajen.

Perjalanan dilanjutkan menuju laut. Setiap kali perjalanan, syaratnya tidak boleh menoleh atau melihat ke belakang. Syair adat pun tetap dirapalkan Agus Olak dan disahut lainnya.
Sebelum sampai di laut, mereka berhenti di empat tempat, dua tempat diantaranya adalah rumah adat suku Fujon di Dusun Lamanu, Desa Lamalera A dan lango kelake, rumah milik suku Bataona di Desa Lamalera B, sekitar 50 meter dari pantai.

Menurut Agustinus Olak, beberapa tempat persinggahan itu merupakan tempat peristirahatan nenek moyang karena hidup mereka selalu berpindah-pindah tempat (nomaden). Di setiap tempat persinggahan, mereka makan sirih pinang sembari menenggak tuak.

Setelah sampai di pantai, empat orang menceburkan diri ke laut, sebagai ritual memanggil ikan. Sementara dua orang pemegang tombak menanti di pantai. Upacara berakhir ketika empat orang itu keluar dari laut dan berkumpul di depan Kapela Santo Petrus dan Paulus yang ada di pantai.

Seremoni adat dengan tujuan memanggil roh ikan paus, yang diselenggarakan Jumat (1/5/2009) dari pagi hingga siang itu, dikenal dengan sebutan iyegerek. Ritual ini dimulai dari gunung karena masyarakat Lamelera meyakini bahwa ikan paus sesungguhnya berasal dari gunung. Paus adalah perwujudan dari nenek moyang yang memberikan diri sebagai makanan.

Sebelumnya, Kamis (30/4/2009), juga dilaksanakan seremoni adat di lango kelake. Tujuannya untuk perdamaian. Kalau ada tutur kata, sikap dan perbuatan yang salah, termasuk perbedaan pendapat soal konservasi, diselesaikan. Permasalahan harus diselesaikan sebelum dimulainya misa arwah dan misa lefa.

Pihak-pihak yang terlibat adalah tuan tanah suku Fujon dan suku Tufan serta lika telo yang meliputi suku Bataona, Blikololong dan Lewotukan. Meski yang hadir suku Fujon dan suku Bataona, ritual adat tetap dilaksanakan, diakhiri dengan minum darah ayam.

Bagi masyarakat Lamalera, perdamaian harus terjadi sebelum dimulai penangkapan ikan paus. Jika tidak, maka akan berpengaruh pada hasil tangkapan di laut. Ada ceritra, beberapa waktu lalu, pernah terjadi perselisihan antara tuan tanah dan lika telo. Akibatnya, selama tiga tahun nelayan tidak menangkap ikan paus. Namun, setelah berdamai, hasil tangakap banyak.
Ini menandakan masyarakat Lamalera meyakini bahwa hubungan antara yang di darat dan di laut merupakan hubungan sebab akibat. Keduanya saling mendukung dan saling menentukan. Oleh karena itu, harmoni harus tercipta sebelum memasuki musim lefa atau olanua.

Prosesi ritual tradisi sebelum musim lefa ini menjadi menarik karena mendapat bentuk baru dengan upaya inkulturasi dari gereja Katolik. Setelah upacara iyegerek, digelar misa arwah di Kapela Santo Petrus dan Paulus di pantai pada Jumat (1/5/2009) sore. Jauh sebelumnya, selama tiga hari berturut-turut (27-29 April 2009) telah dilaksanakan sembayang. Masyarakat menyebutnya dengan Tridum.

Misa lefa dipimpin Rm. Bartolomeus Na Helan, Pr, pastor pembantu, dengan ujud mendoakan para nelayan yang telah meninggal. Selesai upacara ekaristi, Romo Bartol mengarahkan umat menghadap ke laut sambil memegang lilin bernyala di tangan. Bersamaan dengan itu, dibacakan nama-nama nelayan yang meninggal di laut. Perayaan misa arwah ditutup dengan penaburan bunga di laut dan pemasangan lilin. Masyarakat Lamalera percaya, jika orang yang sudah meninggal tidak diperhatikan maka arwahnya akan marah.

Di hari pelaksanaan misa arwah, masyarakat Lamalera tidak melaut. Bunyi-bunyian juga tidak terdengar. Desa Lamalera A dan Lamalera B yang terletak di kaki bukit gopo, bedilolo dan bukit kapasono, itu sunyi.

"Masyarakat menyakini bahwa saat itu arwah nenek moyang datang. Tanda-tanda kedatangan arwah tercium lewat bau terumbu karang," kata Dion Bediona.

Keesokan harinya, Sabtu (2/5/2009) pagi, bertempat di kapela, digelar misa lefa dipimpin Rm. Yacobus Adobala Dawan, Pr, pastor paroki. Misa lefa menandai memulai musim turun ke laut. Upacara berlanjut dengan pemberkatan laut dan peledang (perahu yang digunakan untuk menangkap ikan paus). Pastor memercikkan air pada peledang Praso Sapang. Usai diberkat, Praso Sapang didorong ke laut dan berlayar menangkap ikan paus. Sebelum Praso Sapang melaut, air laut dianggap 'steril'. Satu kejadian di hari misa lefa, sebuah speed boat yang mengangkut turis hendak menepi tapi diusir masyarakat yang dimotori Kepala Desa Lamalera A, Hendrikus Keraf. Speed boat memutar haluan, lalu bergerak menjauh meninggalkan laut Lamalera.

Hal lainnya yang dilarang adalah ikan paus yang muncul pada hari misa arwah dan waktu misa lefa, tidak ditangkap. Bagi masyarakat Lamalera, kemunculan ikan paus pada saat-saat itu pertanda baik.

Selanjutnya, Romo Yakobus memberkati satu per satu peledang yang tertambat di rumah peledang (naje). Ada 37 naje di pantai sepanjang sekitar 150 meter itu. Sembilanbelas naje dibangun di sisi kiri kapela dan sisanya di sisi kanan. Peledang-peledang itu bisa melaut setelah peledang Praso Sapang pulang.

Misa lefa merupakan upacara puncak penangkapan ikan paus. Setelah misa lefa, masyarakat Lamalera selama tiga bulan ke depan (Mei-Oktober) mengawasi Laut Sawu. Apabila melihat semburan paus, maka masyarakat akan berteriak bersahut-sahutan "baleo..., baleo..., baleo..." Peledang pun segera didorong ke laut untuk mengejar ikan paus.*


Puasa Hubungan Suami Istri (2)


PLEDANG bukan perahu biasa, sebagaimana kebanyakan perahu milik nelayan lainnya di sejumlah daerah. Setidaknya, hal ini diketahui dari proses pembuatannya hingga tata cara pemanfaatannya.

Pledang terbuat dari kayu krapa, sejenis kayu besi. Dikerjakan orang khusus, atamola. Pledang tidak dibuat sembarang, termasuk sambungan kayu atau papan dan pemasangan ketilo. Hal yang dilarang adalah ketilo tidak boleh sebaris, tapi harus selang-seling. Sebelum pledang dicat, atamola harus dipanggil kembali untuk memastikan tidak ada yang salah dalam proses pembuatannya.

Jika pledang dibuat salah atau keliru, maka akan membawa dampak buruk terhadap proses penangkapan. Kesalahan itu akan ditunjuk oleh ikan paus dengan 'mengetuk' pledang. Dalam konteks ini, paus dianggap sebagai cermin. Setelah itu, nanti sampai di darat baru atamola dipanggil untuk memperbaiki pledang.

"Kesalahan pledang akan ditunjuk paus. Paus pukul pledang. Setelah pulang baru diperbaiki. Paus sebagai cermin besar. Kalau tidak ada kesalahan, maka pledang dianggap lulus ujian," kata Frans Kedang, matros (anak buah) pledang Tite Keri.

Untuk menyelesaikan satu pledang, memakan waktu lebih dari satu bulan. Meski demikian, setiap tahun belum tentu ada pledang baru. Panjang pledang sekitar 10 meter. Kru pledang berkisar sembilan sampai 13 orang. Setiap pledang dibagi untuk tempat duduk juragan, matros dan tempat lamafa.

Pledang bukan satu-satunya peralatan tradisional yang digunakan. Peralatan lainnya adalah layar, tali yang dibuat dari benang kapas, daun gebang dan serat kulit pohon waru. Ada juga kafe yaitu tempuling atau harpoon, galah terbuat dari bambu sebagai tempat menancapkan harpoon untuk menombak. Alat untuk menggayung air, gentong air, maupun faye (alat untuk mendayung). Semua perlengkapan ini disiapkan dan diletakkan dalam pledang, di tempatnya masing-masing. Dalam satu pledang terdapat enam tempuling dan satu kenate. Tempuling untuk menikam paus, sedangkan kenate untuk menarik paus merapat ke pledang.

Pemilik pledang adalah suku. Umumnya satu suku satu pledang. Ada juga suku yang memiliki lebih dari satu pledang. Sebaliknya, ada suku yang tidak punya pledang.
Untuk pledang baru, sebelum beroperasi harus dibuat seremoni dengan memberi makan masyarakat satu kampung.

Martinus Lelaona mengatakan, setiap orang yang makan bagian di pledang, seperti lamafa, juragan dan matros, masing-masing menanggung bahan makanan, diantaranya tuak, nasi dan jagung titi serta binatang. Suku pemilik pledang juga menyiapkan makanan. Tidak selesai di sini. Pledang baru bersama pledang lain akan diberkati oleh pastor pada upacara misa lefa.
Selanjutnya, saat ada baleo....,pledang bergerak ke tengah laut, ke arah semburan ikan paus. Lamafa bersiap di depan. Semakin dekat, orang pledang sudah bisa menetapkan di mana keberadaan kelompok paus tersebut. Para nelayan sudah bisa mengetahui paus yang akan ditikam.

Kalau sampai di tempat yang ditandai, kelompok ikan paus tersebut tiba-tiba menghilang ditelan laut, itu artinya rezeki belum datang. Atau, pada saat lamafa akan menghujamkan tempuling, paus mengangkat ekornya, maka lamafa akan urung melompat menikam paus tersebut. Orang pledang meyakini paus menolak untuk ditikam.

Namun, apabila paus menyerahkan diri, maka dengan sigap lamafa menghujamkan tempuling ke tubuh paus. "Serentak di dalam perahu bersorak. Hirkae, lefo hirkae. Sorakan ini akan mengecilkan nyali paus," kata Martinus.

Ketika paus sudah tidak berdaya, para nelayan mengikat hidungnya dengan kenate yang tersambung tali plastik. Kemudian, paus itu diseret ke pantai. Dalam perjalanan pulang, demikian Martinus, para nelayan bernyanyi bersahutan, sora tarre bala (raksasa bertanduk gading), dan dijawab, tala lefo rae tai (mari kita masuk kampung).

Sepanjang musim lefa, pledang tidak mendapat hasil apa pun kalau di suku ada anak gadis hamil atau pemuda menghamili gadis di luar nikah. Pantangan lainnya adalah orang pledang termasuk lamafa harus puasa seks.

"Selama musim lefa, kami tidak melakukan hubungan suami istri. Ini pantangannya. Kalau dilanggar maka akan ada dampaknya saat proses penangkapan," ujar Aloysius Genesa Tapaona, lamafa.

Selain terikat pada tradisi dan tata cara adat yang mencakup pembuatan pledang, penyiapan peralatan perahu, alat penangkap ikan, proses turun ke laut serta pantangan-pantangan yang harus dihindari, nelayan Lamalera juga memberlakukan tata cara adat pada pembagian hasil tangkapan ikan paus. Seluruh hasil tangkapan ikan, pertama-tama diperuntukkan bagi para janda, fakir miskin, dan para yatim piatu. Mereka mendapat tempat utama dalam seluruh proses perburuan ikan. Selanjutnya dibagikan kepada tuan tanah, lamafa, rumah adat, matros, dan pemilik perahu sesuai bagian-bagian ikan paus yang ditetapkan. Misalnya, sebagaimana diungkap Stefanus Fotu dari pledang Java Tena, bagian mata dan rahang milik tuan tanah. Juru tikam dapat nova’k (bagian leher). Ikan paus juga dibagikan kepada sejumlah warga.
Dalam proses pembagiannya tidak ada kecurangan.

Selain untuk makan, ikan paus juga digunakan sebagai alat transaksi. Ikan dibarter dengan hasil-hasil pertanian yang dibawa masyarakat dari gunung. Begitu tersiar kabar paus ditangkap, berbondong-bondong orang gunung yang pekerjaannya bertani turun ke pantai. Mereka membawa hasil pertanian seperti jagung, ubi dan kacang untuk ditukar dengan daging paus. Misalnya, tiga lempeng dendeng ikan paus seharga satu piring jagung yang sudah dipipil. Transaksi dilakukan tidak ada tawar menawar.

Kulit ikan paus juga dimakan. Sementara minyaknya bisa untuk minyak goreng dan pengganti minyak tanah. Satu-satunya bagian yang sampai sekarang belum dimanfaatkan optimal adalah tulang ikan paus. Kebanyakan tulang ikan paus dibuang, bahkan ada yang menjadikannya pagar rumah.

Masyarakat Lamalera meyakini bahwa dengan menangkap ikan paus, dapat menghidupkan seluruh masyarakat Lamalera. Dengan ikan paus, masyarakat Lamalera dapat menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Lebih dari itu, dalam nama kulit, darah, daging, dan minyak ikan paus, setiap orang di Lamalera dan sekitarnya bersatu.*


Agar Tidak Tinggal Cerita (3)

NELAYAN Lamalera dikenal sebagai penangkap ikan paus yang tangguh. Mereka lebih memilih paus yang dalam bahasa Lamalera disebut Koteklema. Dalam ilmu perikanan, Koteklema sering disebut paus jenis sperm atau Physeter macrocephalus.

Nelayan Lamalera tidak menikam paus jenis Seguni (Killer Whale atau orca) dan Klaru (paus biru atau Balaenoptera musculus) yang juga lalu lalang di perairan Laut Sawu, di depan perkampungan Lamalera. Jenis Klaru justru ditikam oleh nelayan Lamakera di Pulau Solor.

Dari literatur, Koteklema dikenal sangat kuat. Dia sanggup menyelam hingga lebih 1.000 meter. Ukuran tubuh dewasa mencapai 19 meter (jantan) dan 12 meter (betina). Bobotnya mencapai 30 ton hingga 60 ton. Koteklema juga terkenal dengan ganasnya. Tidak mengherankan, sebagaimana diungkap beberapa nelayan, ketika ditikam Koteklema mengamuk membuat peledang terbalik.

"Kadang nelayan pulang bawa dengan mayat," kata kepala Desa Lamalera A, Hendrikus Keraf.

Namun, jika dibandingkan dengan Paus Biru, Koteklema kurang kuat. Paus biru dianggap sebagai binatang terbesar. Beratnya mencapai 130 ton -- hampir sama dengan 30 ekor gajah atau 1.600 manusia. Panjangnya bisa mencapai lebih dari 30 meter.

Meski kadang bermigrasi sama-sama di Laut Sawu, nelayan Lamalera bisa membedakan paus biru dengan Koteklema. Perbedaan terletak pada model semburannya. Kalau paus biru semburannya lurus ke atas, sedangkan Koteklema tidak. Hal lainnya yang membedakan adalah paus biru memiliki jumbai-jumbai rambut, sedangkan Koteklema tidak.

Hendrikus Keraf mengatakan, Paus Biru tidak boleh dibunuh karena menurut cerita orang tua, dia penolong nenek moyang suku Soge Paga dari Kabupaten Sikka ke Lamalera. "Klaru (Paus Biru) pengantar leluhur kami ke Lamalera. Sedangkan jenis Seguni tidak dipilih karena Suku Ebonna di Lamalera tidak memakannya. Orang tua meminta kami untuk tidak menangkap Klaru dan Seguni," kata Keraf.

Nelayan Lamalera juga bisa membedakan mana Koteklema betina dan jantan. Betina yang hamil, apalagi. Namun, itu hanya bisa dilakukan orang tua zaman dulu. Dengan demikian, Koteklema betina maupun betina yang hamil tidak boleh ditangkap.

Menurut Keraf, generasi sekarang sangat sulit membedakan betina dan jantan, serta mana betina yang sedang hamil, karena menikam saat ikan ada di dalam air. Untuk membedakan jantan dan betina, orang tua melihat sirip atas.

"Sangat sulit untuk membedakan paus yang jantan dan betina, begitu juga yang hamil atau tidak. Kalau dulu zamannya nenek moyang bisa bedakan. Nelayan selalu dapat betina dengan anaknya yang di dalam. Masalahnya, kita kurang mengenal," aku Keraf.

Satu hal yang masih bisa dikenali nelayan Lamalera generasi sekarang adalah Koteklema betina yang sedang menyusui. Untuk kategori ini, tidak ditikam nelayan. Karena, nelayan paham ikan yang sedang menyusui paling ganas.

Tentang betina yang hamil tertangkap, diketahui pada Jumat (1/5/2009). Beberapa nelayan menjaring ikan belelang, jenis ikan pari. Ternyata, setelah dibelah ada anak pari. Meski dalam kondisi hidup, anak pari tidak dilepas. Karena, diyakini membawa rezeki. "Ini rezeki. Kalau lepas maka perahu tidak tikam lagi. Dari dulu orang tua tidak lepas," ujar Keraf.

Perlakuan terhadap anak ikan, termasuk anak ikan pari, tidak sembarang. Seorang turis yang sempat memegang ekor anak pari langsung ditegur. "Tidak boleh raba di situ (ekor, Red). Dia ini tidak boleh diperlakukan sembarang. Diletakkan sembarang juga tidak boleh. Keramat sekali. Begitu juga anak ikan paus," katanya.

Nah, bagi nelayan Lamalera, pengetahuan tentang jenis ikan paus yang ditangkap dan mana yang tidak ditangkap, sudah berlangsung lama, sama dengan mereka telah melaksanakan konservasi secara alami. Makanya tidak heran jika mereka menolak pelaksanaan konservasi dengan versi pemerintah dan LSM. Bagi masyarakat Lamalera, konservasi yang dilaksanakan pemerintah dianggap sebagai upaya untuk membatasi 'ruang gerak' nelayan.

Lebih dari itu, konservasi dengan pelarangan penangkapan ikan paus sama saja dengan menghentikan mata pencaharian masyarakat Lamalera. Sama dengan melarang masyarakat Lamalera untuk berhubungan dengan nenek moyangnya karena ikan paus diyakini sebagai nenek moyang yang menyerahkan dirinya untuk generasi sekarang.

Tidak mengherankan ketika Agus Dermawan, Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi dan Taman Laut Nasional pada Departemen Kelautan dan Perikanan, membuat pernyataan tentang Konservasi di Zona II Laut Sawu (Lembata, Alor dan Solor), memicu kemarahan masyarakat Lamalera.

Kemarahan semakin menjadi tatkala WWF (World Wildlife Fund) lewat orang-orangnya menginformasikan bahwa masyarakat Lamalera akan 'beralih profesi'.

"Kami stop tangkap lalu suruh kerja lain. Kami tanam apa? Kami sekolahkan anak dari ikan paus. Kami menolak konservasi," kata Stefanus Fotu.

"Penolakan konservasi ini merupakan yang pertama di Indonesia," kata Maha Adi, wartawan Majalah Tempo yang kini sedang studi pasca serjana bidang lingkungan, saat berkunjung bersama saya di Lamalera. Maha Adi kini menjadi staf Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Laut (Tim PP KKL) Laut Sawu - Solor - Lembata - Alor (SOLAR).

Karena reaksi penolakan terus muncul, dalam perjalanan Depertemen Kelautan dan Perikanan (DKP) 'melunak'. Agus Dermawan menyatakan Deklarasi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu di Word Ocean Conference (WOC) bulan Mei 2009 tidak memasukkan perairan Laut Lambata dan sekitarnya sehingga KKPN Laut Sawu hanya mencakup perairan Selat Sumba dan sekitarnya, serta wilayah perairan Pulau Sabu, Rote, Timor, Batek dan sekitarnya seluas 3,5 juta hektar.

Keputusan ini permanen? Jangan-jangan taktik DKP untuk meredam emosi masyarakat saat menjelang penyelenggaraan Word Ocean Conference (WOC) di Manado. Terbesit ada kekhawatiran Indonesia tidak mau kehilangan muka di hadapan peserta WOC dari luar negeri hanya karena penolakan.

Dugaan ini beralasan, apalagi jauh sebelumnya, KKPN Laut Sawu sudah ditetapkan dan menjadi satu kesatuan, termasuk perairan Solor, Lembata, Alor dan Rote (SOLAR).

Terkait dengan konservasi ini, memang penting untuk memberikan pengertian kepada masyarakat untuk melestarikan paus. Masyarakat perlu diingatkan untuk mewaspadai masa paceklik paus. Jangan sampai budaya memburu paus ini nanti hanya akan tinggal cerita. Sebalikya, pemerintah juga dingatkan bukan karena atas nama konservasi lantas menghilangkan tradisi menangkap ikan paus oleh nelayan Lamalera.

Persoalan ini mesti dilihat secara arif dan bijaksana. MUngkin, salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah membolehkan nelayan Lamalera menangkap ikan paus tapi jumlah tangkapan setiap tahun harus dibatasi. Untuk hal ini, pemerintah melalui pihak terkait, termasuk Tim Konservasi Laut Sawu harus bisa memastikan berapa banyak Koteklema yang bermigrasi di laut Sawu dalam satu musim. Dari data ini, disarankan berapa yang ditangkap nelayan. Beriktunya, yang ditangkap adalah koteklema jantan, bukan betina atau yang sedang menyusui.

Kotaro Kojima, orang Jepang yang mendalami tentang tradisi penagkapan ikan paus, mengatakan, "Memang laut harus konservasi. Tidak boleh sembarang dan seenaknya. Tapi Lamalera itu warisan kebudayaan manusia. Jadi, tradisi ini tidak boleh hilang." (pk edisi 1, 2, 3 juni 2009, hal 1)


Selanjutnya...