Rabu, 25 Februari 2009

Diskusi Kedaulatan Pangan (1)

Krisis di Lumbung Pangan

POS KUPANG menyelenggarakan diskusi terbatas bertajuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan di NTT, di ruang Redaksi Pos Kupang, awal Februari 2009 lalu. Narasumber lima orang, tiga diantaranya petani. Sedangkan dua yang lainnya adalah Ir. Zet Malelak, MP (Dosen Faperta UKAW Kupang) dan Ir. Zainal Arifin, MP (Dosen Politani Negeri Kupang). Kegiatan yang dihadiri akademisi, aktivis LSM dan unsur pemerintah dan kru Pos Kupang itu dimoderator, saya sendiri. Hasil diskusi dirumuskan Hyeron Modo, Marsel Ali, Apolonia Methil Dhiu dan Yoseph Sudarso Sogen. Laporannya diturunkan secara serial.
***

IBARAT tikus mati di lumbung padi. Pepatah itu tepat untuk melukiskan kondisi kita di NTT. Pada satu sisi kita memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, tetapi di sisi lain, saban tahun rakyat di daerah ini selalu mengalami rawan pangan. Apakah kita tidak mampu mengelolanya karena sumber daya manusia (SDM) yang di sektor pertanian belum cukup memadai? Apakah petani kita sudah tidak berniat lagi untuk bercocok tanam karena orientasi pemenuhan kebutuhan pangan kita sudah bergeser dari pangan lokal dan cenderung mendatangkan bahan pangan dari luar, seperti beras melalui Badan Usaha Logistik (Bulog)? Ataukah karena ketidakseimbangan dalam kebijakan pertanian?

Akademisi dari Politani Negeri Kupang, Ir. Zainal Arifin, MP, yang empat tahun terakhir ini lebih banyak bergelut bersama petani mengelola lahan mamar di Baumata dan Oeteta, menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi kita di NTT mengalami rawan bahan pangan. Sebab, potensi pangan lokal kita melimpah, hanya kita belum kelola optimal. "Jadi. tidak pantas kita rawan pangan, dan saya pikir itu tidak perlu terjadi. Sama artinya dengan kita krisis pangan di atas lumbung pangan. Punya potensi lahan yang luas, tapi tidak dikelola optimal," tegasnya.

Nahor Taklal, salah seorang petani asal Oetata, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, sependapat dengan Zainal Arifin. Menurut Nahor, potensi NTT khususnya lahan kering cukup besar, tetapi sumber daya manusia agak kurang sehingga lahan tidur terlalu banyak.

Selama lima tahun mengumpulkan data di lapangan, kata Zainal Arifin, kami melihat bahwa salah satu penyebab rawan pangan khususnya rawan pangan kronis adalah potensi sumber daya alam yang belum dikelola optimal. Tetapi, ini bukan satu-satunya, masih banyak hal. Mungkin kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan hal-hal lainnya.

Menurut dia, lahan-lahan potensial di NTT ini cukup banyak, misalnya, di Konga, Kabupaten Flores Timur (Flotim), produksi padi masih di bawah standar antara, yakni antara satu ton sampai dua ton ton per hektar. Padahal produksi terendah saja empat ton per hektar. Artinya, kita masih bisa tingkatkan sampai enam ton per hektar karena sumber air tersedia.

Begitu juga di dekat pusat informasi seperti di Baumata, Oenesu, dan yang paling luas di Oeteta dan kawasan sekitarnya seperti Bipolo dan Pariti, bisa ribuan hektar. "Saya pernah kunjung bersama direktur Politani. Saya katakan pada masyarakat di sana, kalau ada yang rawan pangan maka itu rawan pangan di atas lumbung. Karena apa yang bisa kita lakukan, lahan subur, tetapi dikelola tidak optimal. Sumber air tersedia, tetapi dikelola pun tidak optimal. Itu salah satu sumber rawan pangan kronis," kata Zainal.

Pola penggarapan yang dilakukan selama ini, demikian Zainal, dalam satu tahun hanya satu kali tanam. Kadang-kadang tiga tahun baru ditanam lagi karena dianggap tidak subur. Anehnya, musim kemarau tidak ditanami, padahal air tersedia. Karena itu, dalam tahun ini Politani Negeri Kupang mencoba dengan kelompok tani Maosofa untuk tanam jagung dengan mengadopsi model Baumata. Untuk sementara ini empat hektar dan lumayan hasilnya, ada penghasilan bulanan (jagung), tahunan (sapi).

Tinggal dipikir apa yang perlu ditanam lagi, seperti pisang, kelapa, sirih, pinang. Kalau ada yang punya pinang 200 pohon, dia bisa sejahtera. Jadi, kalau sudah begitu tidak ada rawan pangan. Pola pertanian yang dikembangkan oleh Politani Negeri Kupang di Baumata dan Oeteta merupakan pola pertanian tumpang sari. Di dalam satu areal lahan ditanami berbagai jenis tanaman, seperti sayur-sayuran (untuk panen mingguan), jagung (untuk panen bulanan), pisang (untuk tahunan), dan sapi (panen tahunan).

NTT sebagai daerah agraris memiliki luas lahan 1,6 juta hektar. Dari jumlah itu, seluas 1,5 juta hektar lahan pertanian kering dan 227 ribu hektar lahan pertanian basah. Sementara data dari Badan Ketahanan Pangan NTT menyebutkan, lahan bakar seluas 262.407 hektar, dan saat ini yang sudah difungsikan hanya 77 ribu hektar. Menurut Zainal, kalau saja menaikkan produksi perhektar menjadi empat ton, maka NTT bisa surplus pangan.

Tetapi, kenyataannya selama lima tahun terakhir, hasil pertanian hanya 2,6 ton per hektar untuk satu kali tanam per tahun. Kalau tanam satu kali setahun mencapai empat ton per hektar standar produksi rendah, maka NTT bisa surplus beras, walau kita beralih dari jagung ke beras.

Lahan kering di NTT lebih luas lagi jumlahnya. Misalnya, lokasi persawahan Tarus lahan potensial yang sudah difungsikan baru 45 persen. Kalau dinaikan menjadi 60 persen, kita bisa swasembada. Selain itu, kata Zainal, pada umumnya di NTT lahan yang difungsikan sebagian tidak optimal bila dibandingkan dengan jumlah anggota keluarga. Jumlah keluarga rawan pangan sampai Agustus 2008 mencapai 66.000 jiwa per kepala keluarga (empat jiwa).

Hasil kajian baik melalui penelitian sendiri dan mahasiswa terkait lahan potensial tercatat sekitar 1.500.000 hektar menyebar di Pulau Timor seperti, Besikama, Biboki Utara, Dataran Bena, Polo, Pariti, Oesao, Baumata dan Oenesu. Di Flores lebih banyak lagi lahan potensial yang belum digarap optimal. Misalnya, di Konga, Flores Timur. Konga itu mungkin satu ton lebih satu hektar, karena air tersedia.

"Saya lihat Oeteta, Pariti bisa ribuan hektar lahan tidak dikelola optimal. Potensi air tanah mencukupi. Lahan potensial itu dikelola tiga tahun sekali pada musim penghujan," ujar Zainal.

Politani Negeri Kupang, lanjutnya, sempat mencoba menanam jagung musim kemarau di Oeteta. Hasilnya cukup menggembirakan. Komoditasnya ditata sedemikian rupa.

Menurut dia, ada banyak lahan mamar di NTT yang jika dikelola dengan baik akan memberikan hasil yang menggembirakan bagi petani. Mamar itu semacam hutan tani tradisional yang di dalamnya ada tanaman pisang, pinang, kelapa, ubi-ubian dan lain-lain. Kalau ada mamar pisang, berarti dominan pisang, tetapi ada kelapa, pinang dan ubi-ubianan. Sekarang kita coba menata kembali mamar pisang. Saya sebut menata kembali dengan teknologi, pisang diletakan di mana, pinang di mana dan lain-lain. Ini semacam tanaman sela.

Pengalamannya di lapangan, banyak lahan potensial di NTT yang belum ditata kembali secara baik sejak zaman Belanda. Yang perlu diperhatikan adalah menata kembali lahan-lahan mamar, bukan mengubah. Misalnya, mamar pinang dan mamar kelapa yang sudah tua diubah dengan tanaman lain sehingga lebih produktif. Untuk mencapai itu tidak mudah karena harus diskusi intensif dengan para petani.

Kalau petani bisa panen setiap minggu dari tanaman tumpang sari di lahan mamar, kata Zainal, petani kita tidak mungkin rawan pangan. Pisang bisa jadi kebutuhan harian, kemudian kelapa, pepaya, kangkung air, pakan ternak, ayam petelur, kambing dan sapi paron. Pisang bisa menjadi penghasilan harian petani; penghasilan triwulan petani, seperti jagung, kol dan sebagainya; Penghasilan tahunan petani, yakni sapi, ubi-ubian, nangka dan lain-lain.

Jadi, yang kami terapkan dalam pengelolaan lahan mamar di Baumata dan Oeteta denganc ara mengunjungi beberapa petani dan mendiskusikan dengan mereka untuk mengelola lahan-lahan mamar yang ada. Ini dilakukan setiap tahun dan tidak pernah berubah. Lalu kami coba hadir di kantor desa di salah satu desa di Kabupaten Kupang, kami mengelompokkan dalam hutan mamar tersebut, mana yang menjadi hasil harian petani.

Politani mencoba mengembangkan kompetensi dengan perguruan tinggi se- Indonesia, baik swasta maupun negeri. Kegiatanya, Iwub (inkubator wirausaha baru), Sibermas (sinergi pemberdayaan potensi masyarakat), unit Uji (usaha jasa dan industri) dengan cara mengurangi kegiatan pelatihan. Kebun Unit Uji Baumata sudah dikerjakan tahun 2004. Kini terdapat 300 rumpun pisang beranga dan setiap hari siap panen.

Masyarakat di Oeteta, Kecamatan Sulamu, untuk mencegah rawan bahan pangan, maka mau tidak mau harus memanfaatkan lahan yang selama ini belum tersentuh sama sekali. "Saya lihat lahan di Oeteta itu potensial. Kalau warga setempat setiap tahun kekurangan pangan berarti sebenarnya mereka itu rawan pangan dalam lumbung pangan, atau orang kelaparan dalam lumbung," kata Zainal.

Moch. Hasan dari Politani Negeri Kupang berpendapat bahwa untuk pertanian lahan kering perlu diakukan pola pertanian terpadu. Jadi, walaupun menaman jagung, pasti ada ternak. Kalau pola pertanian terpadu, maka diharapkan keluarga itu mau berusaha di dalam usaha tani itu.

Pola perkebunan tumpang sari yang dikembangkan Politani Negeri Kupang hasilnya menggembirakan. Tokoh masyarakat Baumata yang pertama memberi contoh mengubah kebun mamar menjadi areal tanaman pisang beranga. Ini contoh untuk mengingatkan kita bahwa petani sangat sulit termotivasi bila tidak memberi contoh praktis. Jika pola ini dikembangkan di NTT secara luas, maka diyakini suatu saat nanti NTT tidak lagi krisis pangan.

Sementara itu, Nikson Balukh, dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan NTT mengatakan, rawan pangan di NTT disebabkan beberapa hal. Pertama, kegagalan tanam dan kegagalan panen. Hal ini karena kondisi alam dan serangan penyakit. Kedua, produksi dan stok pangan, karena masalah produkivitas pertanian rumah tangga yang rendah disebabkan oleh masih diminati usaha tani yang subsistem dari semi komersil menuju ke komersil.

Ketiga, pendapatan yang masih rendah. Makanya perlu diversifikasi usaha, tidak bisa tidak karena kalau hanya satu usaha gagal, selesai sudah. Keempat, harga pangan yang tinggi akibat distribusi antar wilayah yang masih belum bisa berjalan dengan baik. Selain itu, ternyata ternak yang dimiliki masyarakat belum digunakan secara intensif sebagai keperluan konsumsi sehari-hari.

Menurut dia, pendekatan yang harus kita lakukan kalau kita mau mengatasi masalah ketahanan pangan di NTT, yakni pengembangan pangan untuk ketahanan pangan, dan pendekatan pengembangan pangan untuk peningkatan akses atau pendapatan masyarakat. (bersambung)



Selanjutnya...

Diskusi Kedaulatan Pangan (2)

Kapan Petani Cukup Pangan?

PANGAN menjadi masalah klasik di NTT yang dari tahun ke tahun selalu terjadi. Usia NTT sudah 50 tahun, tetapi masalah pangan tidak semakin baik, malah cenderung makin parah. Memang ada upaya dari pemerintah, tapi tidak optimal. Sebetulnya kita punya potensi pangan cukup banyak di daerah ini, tapi belum di kelola optimal oleh masyarakat kita. Dinas Pertanian Tanaman Pangan juga sudah melakukan itu, tetapi semua itu masih jauh dari harapan.

Demikian disampaikan oleh Pemimpin Umum Pos Kupang, Damyan Godho, dalam diskusi tersebut. Menurut dia, pada tahun 1969, Gubernur NTT, El Tari, mencanangkan tekad swasembada pangan, tetapi tekad itu tidak pernah berhasil dan hingga beliau meninggal tidak ada evaluasinya. Kemudian Gubernur NTT, Ben Mboi melanjutkannya dengan program Operasi Nusa Makmur (ONM) dan Operasi Nusa Hijau (ONH). Dari perspektif ONM, jagung arjuna pernah menjadi topik menarik. Saat terjadi surplus jagung, tetapi petani berang karena ternyata jagung tersebut mudah rusak.

Pihak Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, demikian Damyan, menanggapi itu dengan mendirikan Fakultas Pertanian. Salah satu fokus program dari fakultas ini yaitu pola ilmiah pokok pertanian lahan kering. Obsesi itu luar biasa. Mungkin sejumlah persoalan tersebut di atas menjadi penyebab sehingga pola pertanian tumpang sari yang menjadi tradisi masyarakat hilang. Padahal, kata Damyan, sistem pertanian tumpang sari itu cocok bagi petani di NTT. Jadi, untuk membangun kedaulatan pangan, kita perlu mencari jalan keluar.

Ia melihat persoalan pertanian disebabkan karena banyak tenaga kerja produktif meninggalkan desanya. Faktanya, banyak orang yang mengurus pasport ke luar negeri. Di desa hanya tinggal tenaga tidak produktif lagi. Akibatnya, kelapa tidak dipetik, cengkeh tidak dipetik, kakao tidak dipetik.

Petani asal Naimata, Petrus Pebe mengatakan, ia seorang petani lahan kering dan hanya mengelola lahan seluas 3.000 meter persegi. Lahan tersebut ditanami jagung, ubi-ubian dan kacang-kacangan. Masih ada juga tanaman umur panjang sesuai dengan program Walikota Kupang. Hasil jagung setiap tahun hanya sekitar 400 bulir. Semuanya dikonsumsi untuk kebutuhan keluarga dan 30 bulir untuk persiapan bibit musim tanam tahun berikutnya. Ladang tersebut dikerjakan tanpa sentuhan teknologi. Semua dikerjakan berdasarkan kemampuan dia sendiri.

Untuk menghidupi enam orang anak, tutur Petrus, ia terpaksa harus mencari pekerjaan lain pada musim kemarau. Terkadang ia harus bekerja ekstra keras memecahkan batu untuk dijual. Pekerjaan memecahkan batu selama empat hari baru menghasilkan uang Rp 90.000. Malah Petrus harus menjadi tukang batu dan menjual krei keliling Kota Kupang untuk menambah penghasilan keluarga.

Sementara itu, Damyan Godho tertarik dengan cerita Petrus Pebe yang mengelola lahan seluas 3.000 meter persegi. Damyan mengatakan, dengan luas lahan seperti itu mengguunakan teknlogi pertanian yang canggih sekalipun, produktivitas pertanian seperti apa. Mampukah untuk kebutuhan dia dan keluarganya?

Menurut dia, salah satu masalah pertanian kita di NTT adalah luas kepemilikan lahan. Jadi, terbatasnya luas lahan garapan petani merupakan salah satu sebab sehingga apa yang dilakukan petani tidak menjawab kebutuhan pangan petani di desa. Karena itu,
salah satu rekomendasi dari simposium ini adalah perlunya program memperluas kepemilikan tanah petani di desa. Pemerintah perlu memperhatikan hal itu.

Berbeda dengan Petrus Pebe, petani lainnya Marthen Taklal, asal Desa Oeteta, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang merupakan tuan tanah di wilayah itu. Setiap tahunnya, ia hanya mengerjakan lahan seluas tiga hektar. Lahan selebihnya dibiarkan 'tidur' tanpa seorang pun yang menggarapnya. Saat ini, ia hanya bisa menghibahkan lahan kepada warga pendatang seperti, Marthen Missa asal TTS.

Marthen Taklal menuturkan, petani setempat sudah mendapat pendampingan dari LSM sehingga pola pertanian tradisional perlahan-lahan mulai berubah. Diantaranya, Plan Internasional sempat membimbing 25 orang petani di Oeteta. Marthen Taklal menjadi pemimpin kelompok itu.
Kelompok tani yang dipimpinnya itu berhasil mengerjakan empat hektar lahan basah. Setelah LSM pergi, bantuan silih berganti mendatangi warga setempat. Diantaranya, terbentuknya kelompok tani binaan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT sehingga petani bisa menggarap 13 hektar lahan. Pemerintah Kabupaten Kupang membantu dalam bentuk benih unggul. Terakhir, kata Marthen, Politani Negeri Kupang mendatangi warga setempat. Menurut Taklal, bantuan teknologi telah mendorong peningkatan hasil pertanian.

Anggota Kelompok Tani asal Oeteta, Nahor Taklal mengakui hal itu. Menurut dia, kerja kelompok bisa mendorong peningkatan hasil pertanian. Petani setempat merasakan hal itu. Pengakuan para petani tersebut diatas menjadi sumber kajian menarik. Para petani kita bukan tidak mau bekerja tetapi keterbatasan yang ada pada mereka menjadi persoalan yang rumit dan butuh pendampingan dalam waktu cukup lama.

Mulai tahun 2008 Politani Negeri Kupang sudah mendatangi warga Oeteta. Ada bantuan stimulan bagi warga setempat, yakni biaya sewa traktor, bibit, pupuk dan pompa air. Semua bantuan tersebut hanya merangsang agar petani bisa melakukan lebih dari sekedar apa yang dibuat selama ini.

Dekan Fakultas Pertanian (Faperta) Undana Kupang, Prof. Dr. Samuel Pakan, M.S, mengatakan, menjadi tugas kita semua mengubah orientasi petani menuju komersial. Petani harus dapat diubah sehingga nasib anak cucunya tidak seperti nasib petani saat ini. Menurut dia, sentuhan teknologi menjadi penting bagi petani untuk mengubah keadaannya saat ini menjadi lebih baik.

Kasubdin Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) NTT, Ir. Nixon M Balukh, mengatakan, NTT Food Summit 2008 di Maumere, Kabupaten Sikka sudah menghasilkan konsep dan aksi bersama dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan di NTT. Rumusannya sudah bagus, tinggal bagaimana implementasinya dan pola pendekatan yang dilakukan.

Ketika bicara soal ketahanan pangan ke depan kembali ke potensi di masing-masing wilayah itu. Yang terjadi selama ini, kata Nixon, kita merumuskan kebijakan tanpa mempertimbangkan secara matang tentang potensi yang ada. Kalau dikatakan ada kebijakan pemerintah yang salah, itu benar. Salah satunya kalau saja dari dulu kebijakan orientasi pangan di NTT sudah kepada pangan lokal, maka persoalannya mungkin relatif sedikit.

Tetapi kita di NTT terjebak pada kebijakan nasional yang mengangkat padi sebagai makanan utama. "Kita ikut tidak apa-apa, tetapi bagaimana secara regional kita mengangkat jagung dan ubi kayu jauh lebih tinggi dari beras.

Selain itu, kondisi sekarang sekitar 120 ribu ton beras didatangkan dari luar. Mungkin 10-20 tahun ke depan mereka tidak akan suplai beras lagi untuk NTT karena kebutuhan mereka sendiri meningkat. Karena itu, kita harus menetapkan orientasi kedaulatan pangan ini ke suatu strategi jangka panjang. Sekarang kita sudah harus meningkatkan nilai sosial apakah jagung, ubi atau kacang menjadi sejajar, bahkan lebih tinggi dari beras. Menurut dia, meningkatnya konsumsi beras dipengaruhi perubahan orientasi.

Sedangkan Yudith dari BKPP NTT mengatakan, bicara soal ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga aspek, yakni ketersediaan pangan, distribusi pangan, dan pola konsumsi.

Kapuslit Budpar Undana, Ignas Sinu, menyatakan, bicara kedaulatan pangan atau ketahanan pangan akan berujung pada upaya bagaimana menanggulangi kelaparan di NTT. Itu berarti juga kita menghargai tanaman yang diwariskan masyarakat NTT. Sinu pernah meneliti soal kacang hijau di Belu tahun 1996, semuanya roboh diterpa angin. Ternyata kacang yang ditanam berasal dari luar, sementara tanaman lokal sudah hilang.

Kebiasaan lain di Flores Timur, demikian Sinu, orang tidak mau makan padi yang ditumbuknya, tetapi menukarkannya dengan beras di toko. Penelitian di kampung-kampung di Ende juga mendapatkan kalau data jagung sulit diperoleh karena sebagian warga tidak lagi menanam jagung.

Kekuatan paling besar sebenarnya ada pada pemerintah, apakah kita bisa mengakali dana dari Jakarta untuk kepentingan daerah dengan mengangkat potensi lokal. Menurut dia, kesalahan besar pemerintah selama ini, kaget ketika mengetahui masyarakat lapar. Saat itu orang lalu bicara tentang beras dan padi. Saat lapar diberi beras sehingga kenyang. Saat itu tidak bicara soal potensi wilayah dan teknologi.

Konkritnya, kita kampanye kembali soal jagung dan ubi-ubian. Kita harus menyadari potensi lahan basah cukup. Kita mulai sepakat untuk kampanye terus menerus soal pangan lokal. Gubernur NTT sudah mengawali itu dengan mengumandangkan agar konsumsi pangan lokal paling kurang sehari dalam sepekan.

Dalam diskusi terungkap bahwa NTT sebagai daerah agraris dengan luas lahan pertanian 1,6 juta hektar. Rinciannya, 1,5 juta hektar lahan pertanian kering dan 227 ribu hektar lahan pertanian basah.Tetapi, ironisnya pangan masih tetap menjadi masalah bagi masyarakat NTT.

Padahal, lahan dan potensi pangan lokal kita di daerah ini mampu mengatasi kekurangan pangan jika dikelola optimal. Sampai kapankah petani di NTT bisa memiliki kecukupan pangan? Pertanyaan ini hendaknya menjadi perhatian kita semua, terutama pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus melihat hal ini sebagai persoalan serius. (bersambung)



Selanjutnya...

Diskusi Kedaulatan Pangan (3)

Tanam Jagung Tidak Harus Makan Jagung

"KITA tanam jagung untuk makan telur dan daging. Batang jagung, tongkol jagung dan biji jagung bisa menjadi pakan ternak seperti sapi dan kambing. Sapi dan kambing menghasilkan daging, susu dan kulit. Kencing dari sapi dan kambing bisa menghasilkan nitrat yang berfungsi sebagai pupuk, bio urine dan gas metana."

Pernyataan itu disampaikan oleh Ir. Zet Malelak, dosen dan peneliti dari Fakultas Pertanian (Faperta) Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang dalam diskusi terbatas tentang Kedaulan Pangan di NTT.

Menurut dia, seseorang yang menanam jagung tidak harus makan jagung. Ini sebuah thesis yang selalu ia kembangkan dalam rangka membuka wawasan bersama bahwa betapa tanaman lokal seperti jagung bukan hal yang sederhana. Jagung bisa menjadikan segala-galanya.

Zet mencontohkan orang di Amerika Serikat menanam jagung bukan untuk mengkonsumsi jagung. Orang Amerika menanam jagung untuk peternakan.
Biji jagung bisa menghasilkan tepung, bahan dasar bubur jagung beras, beras jagung, makan ringan (cemilan) dan pakan ternak. Jadi, konversi dan diversifikasi jagung menjadi sarat mutlak.

"Petani kita hidup dengan 0,15 dolar Amerika Serikat (AS) per hari. Padahal, standar Bank Dunia 2 dolar AS per hari. Kita ini tergolong sangat miskin. Ini semua terkait soal menentukan kebijakan birokrasi. Petani tidak, kami peneliti lebih tidak dihargai, untuk apa mau meneliti," ujarnya.

Menurut Zet, solusi yang harus dilakukan adalah diversifikasi dan konversi pangan lokal, misalnya, jagung. Kalau kita makan jagung seperti yang kita makan sekarang ini, itu namanya gila. Kalau kita orangtua tidak masalah, tetapi anak-anak pasti tidak bergizi.

Zainal Arifin, dosen Politani Kupang, setuju dengan pemikiran Zet Malelak. Ia menyatakan, kalau masyarakat (petani) tanam jagung tidak berarti harus makan jagung. Tetapi, bagaimana jagung yang dihasilkan oleh petani itu bisa menjadi uang, dan uang itu bisa beli telur atau daging. Karena itu, kalau masyarakat tanam jagung lalu tidak mampu beli telur, tidak mampu beli daging, maka rawan pangan tidak akan habis. Jadi, tanam jagung tidak untuk makan jagung, tapi makan daging, makan telur, dan makan beras (nasi).

Kasubdin Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) NTT, Ir. Nixon M Balukh, juga sependapat dengan Zet Malelak bahwa yang perlu dilakuan adalah pola pengembangan diversifikasi usaha sebagai sumber pendapatan masyarakat. Pola ini dengan mengkonversi hasil limbah pangan menjadi nilai tambah dan pengembangan usaha lainnya.

Untuk diversifikasi usaha ini, kata Nixon, ada beberapa tahapan yang dilakukan. Pertama, diversifikasi produski pangan melalui intensifikasi. Kedua, diversifikasi ketersediaan pangan. Kenapa tidak semua wilayah tidak mampu menghasilkan pangan yang dibutuhkan masyarakatnya? Itu karena keterbatasan sumber daya. Ketiga, diversifikasi konsumsi pangan. Ketahanan pangan lebih bermain pada area itu. Pada tataran konsumsi pangan, kita harus menghasilkan penataan menu lokal.

Diversifikasi konsumsi pangan, misalnya, buat jagung instan seperti mie instan, yang kalau makan tinggal celup di air. Mengapa kita tidak berpikir ke sana. Untuk itu, sosialisasi diversifikasi pangan jagung ini perlu dilakukan secara kontinyu. Kalau ini jalan, minimal kita sudah mengurangi ketergantungan pada beras.

Mantan Kepala Dinas Perkebunan NTT, Ir. Umbu Pura Woha berpendapat, masalah pangan di NTT adalah makanan pokok kita berubah dari jagung ke beras, yang nota bene membutuhkan air lebih banyak untuk irigasi. Jadi, mengubah pola makan ini juga malapetaka. Dalam ketahanan pangan, makanan pokok kita adalah jagung dan jenis jagung lainnya seperti sorgum dan ubi-ubian. Jeni-jenis tanaman ini tidak membutuhkan banyak air, tetapi itu semua kita lupakan.

Dosen Politani Kupang, Moch Hasan, mengatakan, yang perlu dilakukan tidak hanya mengajak masyarakat untuk tanam jagung, tetapi bagaimana mengubah image makan jagung seperti makan roti sehingga gengsi naik dan orang yang menanam bangga. Untuk bisa menciptakan kedaulatan pangan, demikian Hasan, kalau tiap keluarga memiliki lahan defintif, baik berupa sertifikat tanah dan sewa maupun hak guna.

Dekan Fakultas Pertanian (Faperta) Undana Kupang, Prof. Dr. Samuel Pakan, M.S, mengatakan, menjadi tugas kita semua mengubah orientasi petani menuju komersial. Petani harus dapat diubah sehingga nasib anak cucunya tidak seperti nasib petani saat ini. Menurut dia, sentuhan teknologi menjadi penting bagi petani untuk mengubah keadaannya saat ini menjadi lebih baik.

Pakan berpendapat, menanam jagung tidak saja untuk produksi, tapi ada aspek lain, yakni aspek pendidikan. "Kenapa generasi muda kita tidak tahu lagi jagung yang mana. Dengan kita menanam kembali jagung, suatu saat generasi muda kita tahu bahwa kita punya potensi. Jadi, ada efek pendidikan yang perlu ditularkan kepada anak cucu kita," ujarnya.

Selain itu, kalau mengembangkan kembali jagung berarti kita membuat saving terhadap sumber daya alam yang ada. Sebab, jika tidak dibuat dengan program yang jelas, lama kelamaan akan hilang semua. Ia menilai apa yang sudah dikembangkan sekarang adalah suatu upaya tidak hanya dalam kontesk untuk produksi dan konsumsi, tetapi kita mewarisi potensi dan nilai-nilai yang baik untuk anak cucu kita. Sebab, kalau anak cucu kehilangan nilai-nilai yang baik yang diberikan leluhur kita, ini akan menjadi stagnasi budaya yang membahayakan bagi mereka.

Pakan dan dosen Fakultas Pertanian (Faperta) Undana Kupang, Ir. Rafael Leta Levis, M.Si, mengatakan, orientasi konsumsi masyarakat NTT sudah beralih dari pangan lokal ke beras.

Menurut Pakan dan Rafael, Indonesia paling tinggi konsumsi beras di dunia, 100 kg beras/kapita per tahun, sedangkan Jepang 60 kg dan Thailand 50 kg. Ini persoalan bagi bangsa kita karena 20 tahun sampai 30 tahun ke depan ada persaingan beras, dimana negara-negara di Asia Selatan beralih dari gandum ke beras.

Rafael menegaskan, pemerintah perlu mencari solusi agar masyarakat kembali ke pangan lokal. "Kita ajak petani agar kembali ke pangan lokal. Pemerintah sudah melakukan itu, tetapi pendekatannya proyek sehingga jadi masalah".

Pakan dan Rafael menyampaikan, tahun 2007 Faperta Undana bekerja sama dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTT ke Lembor dan Satar Mese untuk mencoba mengembangkan pola tanam padi ke palawija, terutama saat musim kemarau. Ini tidak berjalan baik karena pemerintah tidak mendukung.

Untuk kembali ke pangan lokal, misalnya, jagung, kata Pakan, perlu ada gebrakan guna mengembalikan persepsi masyarakat bahwa kadar vitamin dan protein jagung lebih tinggi daripada beras. Dengan cara itu secara perlahan 10 tahun akan datang masyarakat berorientasi menjadikan jagung sebagai konsumsi lokal.

Menurut Pakan, petani kita masih lemah di pasca panen. Dan. dalam aspek budidaya, petani masih lemah di pemupukan. Petani tahu pemupukan, tapi tidak tahu bagaimana memupuk yang baik, bagaimana memelihara yang baik, petani belum tahu. Juga perbenihan merupakan kelemahan lain bagi petani kita karena mereka masih menggunakan benih alamiah. (bersambung)


Selanjutnya...

Diskusi Kedaulatan Pangan (4)

PPL Harus Berada di Lapangan

"SAYA minta pemerintah propinsi bisa menekan pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa agar tenaga penyuluh pertanian lapangan (PPL) perlu ada di setiap desa. Di desa kami hanya ada satu orang PPL tetapi dia tinggal di kota. Dua atau tiga hari baru turun ke desa. Itu tidak maksimal memberi penyuluhan kepada petani. Apalagi kami ini petani berpendidikan rendah."

Inilah permintaan Marthen Taklal, petani dari Oeteta, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, dalam diskusi terbatas tentang Kedaulatan Pangan NTT.

Menurut dia, dengan kehadiran PPL di tiap desa diharapkan bisa meningkatkan kapasitas petani dalam menggarap lahan pertanian yang ada. Ia menyadari bahwa untuk menggarap lahan pertanian secara optimal dengan harapan agar hasilnya juga bisa memuaskan, maka para petani perlu ada pendampingan. Dan, PPL merupakan pendamping yang diharapkan petani.

Apa yang disampaikan oleh Marthen Taklal, itulah kenyataan yang terjadi di NTT. Banyak PPL tinggal di kota kecamatan atau kabupaten. Mereka turun ke desa sebulan sekali, bahkan dua atau tiga bulan baru ke desa. Itupun lebih sering bertemu aparat desa, bukan dengan petani yang harus didampinginya.

Pola pendampingan bagi petani agar mereka benar-benar mengerti bagaimana menjadi petani yang berhasil, memang mutlak perlu. Dan, itulah yang sekarang ini mulai dilakukan pemerintah, yakni PPL diupayakan ada di tiap desa. Dengan menempatkan PPL di tiap desa, kata Marthen, maka program "Anggur Merah" Gubernur NTT, dengan tekanan pada jagung bisa berjalan. Namun, tegasnya, tekanan pada jagung tidak berarti semua harus jagung, tapi budidaya ubi-ubian sehingga nanti petani tidak monokultur.

Sementara itu, Kasubdin Produksi Dinas Pertanian dan Perkebunan NTT, M Abola, menyatakan, daerah yang tidak cocok tanam jagung jangan dipaksakan tanam jagung. Selama ini, tanaman keras cocok di Flores dan Alor sehingga sebaiknya pola ini diteruskan ketimbang membuat hal baru yang bisa merusak tanaman.

Marthen berharap pola pendampingan kepada petani dengan menempatkan PPL perlu menjadi perhatian serius ke depan. Ia mengaku bahwa warga Oeteta sangat menyadari bagaimana ikut bertanggung jawab terhadap harapan pemerintah propinsi terkait peningkatan produktivitas jagung.

Nahor Taklal, petani dari Oeteta, mengatakan, pendampingan terhadap petani harus ada. Jika ada pendampingan maksimal, baik dari pemerintah maupun swasta, maka diyakini produktivitas jagung atau tanaman pertanian lainnya akan meningkat. Karena di satu sisi potensi NTT cukup besar, tapi sumber daya manusia pengelolanya masih rendah.

Mantan Kepala Dinas Perkebunan NTT, Ir. Umbu Pura Woha, berpendapat, pendampingan terhadap petani memang harus ada. Menurut dia, kebijakan pemerintah sekarang ini menciutkan struktur instansi birokrasi bertujuan agar mengembalikan ke fungsi-fungsi semula. Ini nanti jabatan paling rendah mantri pertanian seperti dahulu. Lebih tinggi pengamat, di tingkat menengah penyuluh dan paling tinggi penyuluh spesialis.

"Ini yang harus menjadi paling depan. Kepala dinas pasti sangat sulit turun ke petani. Dahulu saya juga rangkap menjadi penyuluh," ujarnya.

Dengan penggabungan struktur instansi pemerintah Pura Woha berharap mereka yang fungsional harus selalu berada di lapangan. Ia mencontohkan, petani di Thailand membayar penyuluh. Dengan cara itu lambat laun petani juga bisa pintar dalam bertani setelah mendapat pendampingan intensif dari penyuluh.

Jadi, pendampingan itulah yang dibutuhkan petani sehingga teknologi yang akan diterapkan bisa sampai di petani. Dan, ini harus dikawal terus karena tidak bisa satu hari tetapi bertahap.

"Pengalaman saya ketika mempelajari agribisnis di Thailand, justru PPL itu dibayar oleh petani. Seorang asisten di lapangan dibayar oleh petani. Petani yang membayar Rp 10.000, tetapi dari 500 orang sampai 600 orang petani. Pada saat musim kemarau, petani ini kembali belajar sehingga ilmunya bertambah," kata Pura Woha.

Direktur Politani Negeri Kupang. Ir. Jack Oematan, mengatakan, untuk mensejahterkan masyarakat lewat ketahanan pangan harus ada fokusnya.

Mengenai penyuluhan, demikian Jack, tahun lalu Politani kerja sama dengan Pemkab Kupang. Ada satu konsep yang bagus, tapi belum direalisasikan, yakni ada penyuluh lapangan dan swakarsa yang dididik untuk menjadi penyuluh swakarsa bagi kelompoknya sendiri di desanya. Ini dari segi anggaran pemerintah lebih ringan.

"Kita didik kemudian kita fasilitasi penyuluh tersebut karena dia ada di desanya. Kita mobilisasi dia untuk lebih baik dan bagaimana membina/mempengaruhi teman-temannya. Ini salah satu cara yang bila kita tata dengan baik akan membantu ketahanan pangan di tingkat desa," kata Jack.

Kapuslit Budpar Undana Kupang, Drs. Ignas Sinu, M.A, mengatakan, pola pendampingan yang dilakukan Politani Negeri Kupang sekarang ini juga harus menjadi model dalam memotivasi masyarakat petani di NTT ke depan.

Para PPL yang dahulu tinggal di desa, sebaiknya mereka kembali ke desa. Tetapi semua butuh waktu dan proses. Sinu menyebutkan, dari 2.758 desa di NTT baru ada 2.104 orang penyuluh. Tetapi masih ada yang tenaga kontrak. Pendidikan penyuluh juga belum memadai.

Zainal Arifin dari Politani Negeri Kupang berpendapat, dalam konteks kedaulatan pangan, pendampingan mutlak di lapangan. PPL itu minimal lima tahun mendampingi petani. Kalau 200 PPL, maka ada 2.000 model yang kita dapat. "Harapan kami, di NTT minimal satu desa satu model," katanya.

Ia mengatakan, banyak kebijakan di sektor petanian selama ini hanya di tingkat elite, tidak di lapangan. Teknologi hanya dipaparkan di hotel, atau mengantar bibit tanaman kepada masyarakat di desa, tapi tidak ada pendekatan kebun atau menetap bersama petani di desa. Jadi, tegas Zainal, PPL harus menetap bersama petani di desa.

Menetap bukan berarti tinggal tetap di desa, tetapi dibuat jadwal untuk kumpul bersama petani, memberi penyuluhan kepada mereka. Sebab, selama ini banyak kebijakan hanya di tingkat elit, tetapi di lapangan jalan masing-masing.

Pendampingan secara kontinyu terhadap petani di desa menjadi syarat mutlak, demikian Zainal, dengan alasan bahwa persoalan di sektor pertanian di NTT adalah sumber daya manusia petani yang belum memadai sehingga berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Politani sudah berjalan lima tahun terakhir mendampingi petani di Baumata dengan membuka kebun unit uji. (selesai)
Selanjutnya...