Rabu, 16 Desember 2009

Media Massa, Pertanian dan Isu Seksi

BERBICARA mengenai pers atau media massa, NTT boleh dibilang 'gudangnya'. Gairah masyarakat untuk mendirikan pers terlihat jelas setelah berakhirnya Orde Baru yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998. Semua ketentuan era Orde Baru yang menghambat pers, dicabut dan disahkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Meskipun sedang dilanda krisis ekonomi, gairah masyarakat tidak surut. Beberapa yang bisa kita sebut, adalah Harian Umum Surya Timor. Tidak bertahan lama, akhirnya orang yang hengkang dari Surya Timor kemudian ada yang mendirikan Harian Independen NTT Ekspres. Ada juga yang mendirikan harian Suara Timor dan Metro Kupang. Lahir juga harian Sasando Pos.

Pada tahun 2000, terbit Harian Umum Radar Timor. Lahir juga harian Kupang News (akhir 2003). Tahun 2001/2002, terbit pula Harian Cendana Pos dan Harian Suara Masyarakat.

Ketika Harian NTT Ekpres menghilang pada akhir tahun 2002 atau awal tahun 2003, lahir Harian Kursor. Selanjutnya, pada pertengahan tahun 2003 terbit Harian Pagi Timor Express.

Masih banyak lagi media yang terbit pada masa reformasi. Selain harian, banyak juga terbit mingguan dan bulanan, baik di Kupang maupun di daerah-daerah di NTT. Contohnya, Mingguan Berita Rote Ndao Pos, Swara Lembata, Viesta Nusa yang kemudian berganti nama menjadi Vista, Aktualita NTT.



Media cetak lainnya adalah Flotim Pos/Asas, mingguan Suara Flobamora (Kupang), Duta Flobamora (Waingapu), Sinar Alor Pos (Kalabahi), Ngada Pos, Udik (Kupang), Duta Flobamor (Kupang), Alor Pos (Kalabahi), Media Entete, Sabana (Waikabubak), Global (Atambua), Buser Timur, Expo Lamaholot (Kupang), Belu Pos (Atambua), Bentara (Kupang), Gelora Info (SoE), Talenta (Kupang), Solusi (Kefamenanu), Lontar (Kupang), Delegasi (Lewoleba), Media Info (Larantuka), Biinmaffo (Kefamenanu), Media Rakyat (Ruteng), Tamsis (Kupang) dan Spirit NTT. Jauh sebelum media-media ini ada, NTT sudah punya Surat Khabar Harian (Skh) Pos Kupang.

 Tabloid yang terbit mingguan, umumnya berumur pendek. Selain karena tidak didukung modal yang kuat, media-media ini umumnya kalah bersaing atau kurang diminati pembaca. Setelah satu media berhenti terbit, personelnya menerbitkan media baru dengan pemodal yang baru pula. Dengan demikian, meski jumlah media banyak, tidak diikuti dengan semakin banyak jumlah wartawan. 

Satu hal positif yang bisa diambil dari muncul tenggelamnya usaha media cetak di NTT, bahwa ternyata orang memiliki jiwa perintis dan minat besar dalam bidang pers. Semangat ini bukan hal baru dalam lintasan sejarah NTT. Hanya di masa lalu, para perintis itu terbentur dengan keterbatasan fasilitas dan rezim.

Tidak hanya di NTT, wartawan NTT juga banyak merintis penerbitan pers nasional. Kita kenal Gerson Poyk sebagai perintis berdirinya Harian Sinar Harapan pada tahun 1960-an sekaligus menjadi wartawan andalan. Frans Seda adalah orang yang berada dibalik berdirinya Harian Umum Kompas. Aco Manafe, selain menjadi wartawan Sinar Harapan sejak tahun 1968, juga menjadi peirntis berdirinya Harian Sore Suara Pembaruan tahun 1989.

NTT juga masih punya nama-nama seperti Petrus Kanisius Pari (Indonesia Raya, Penabur), Hendrik Ola Handjon (Asas, terbit di Surabaya), regy Weking (Antara), Pius Karo (Kompas), Damyan Godho (Kompas), Louis Taolin (Suara Karya), Marcel Weter Gobang (Suara Karya, Surya, Pos Kupang), Cypri Aoer (Suara Pembaruan).

Saat ini pun sejumlah orang NTT tampil sebagai pemimpin media-media terkemuka di Jakarta, seperti Rikard Bagun (Kompas), Piter Gero (Kompas), Cyrilus Kerong (Bisnis Indonesia), Laurens Tato, Kleden Suban (Media Indonesia), Hermin Kleden (Tempo), Claudius Boekan (Metro TV), dan masih banyak lagi.

Tidak hanya di media cetak, orang NTT pun harus mulai melirik media elektronik, seperti radio, televisi dan terlebih internet (media online).

Kehadiran media di NTT akan terus dibutuhkan untuk mendorong pembangunan. Ini berkaitan dengan fungsinya, yakni informasi, edukasi, koreksi, rekreasi dan mediasi. 

a. Informasi : Pers menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat seluas-luasnya. Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar, aktual, akurat, faktual, menarik atau penting, benar, lengkap, utuh, jelas-jernih, jujur-adil, berimabng, elvean, bermanfaat, etis.

b. Edukasi : Apapun informasi yang disebarluaskan pers hendaknya dalam kerangka mendidik. Inilah antara lain yang membedakan pers sebagai lembaga kemasyarakatan dengan lembaga kemasyarakatan yang lain. Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersial untuk memperoleh keunguntan finansial. Namun orientasi dan misi komersial itu, sama sekali tidak boleh mengurangi, apalagi meniadakan fungsi dan tanggungjawab sosial pers. Dalam istilah sekarang, pers harus mau dan mampu memerankan dirinya sebagai guru bangsa.

c. Koreksi : Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam kerangka ini, kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif agar kekuasaan mereka tidka menjadi korup dan absolut. Seperti ditegaskan Lord Acton, pujanggan Inggris abad 18, kekuasaan cendrung disalahgunakan dan kekuasaan yang bersifat obsolut cendrung disalahgunakan secara absolut.

Untuk itulah, dalam negara demokrasi, pers mengembang fungsi sebagai pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan senantiasa menyalak ketika melihat berbagai penyimpangan dan ketidakadilan dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan fungsi kontrol sosial yang dimilikinya itu, pers bisa disebut sebagai institusi sosial yang tidak pernah tidur. Ia juga senantiasa bersikap independen atau menjaga jarak yang sama terhadap semua kelompok dan organisasi yang ada.

d. Rekreasi : Fungsi keempat pers adalah menghibur. Pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat. Artinya, apapun pesan rekreatif yang disajikan mulai dari ceritra pendek, sampai kepada teka-teki silang dan anekdot, tidak boleh bersifat negatif apalagi destrutif.

e. Mediasi : Mediasi atrinya penghubung. Bisa juga disebut sebagai mediator. Setiap hari pers melaporkabn berbagai peritiwa yang terjadi. Dengan kemampuan yang dimiliki,nya, pers telah menghubungkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi dengan kita ayng sedang duduk di ruang tamu, atau sedang bersantai di sofa. Karena perslah, kita mengetahui aneka peristiwa lokal, nasional, regional dan mondial dalam waktu singkat dan bersamaan.

Apakah pers atau media massa di NTT, sudah optimal menjalankan fungsinya? Anda sebagai pembaca yang lebih pantas menilai.


'Mirip'

Meski banyak media massa, namun tidak ada satupun media di NTT yang punya segmen pemberitaan khusus pertanian. Sosok media massa di NTT mirip alias nyaris sama. Untuk media cetak, umumnya memilih hal-hal umum. Media berusaha menyajikan hampir semua informasi yang dibutuhkan publik, mulai dari masalah politik ekonomi hingga entertain (hiburan). Dari kasus perkosaan hingga konsultasi kesehatan, juga ada ruang puisi dan cerpen. Hal yang membedakan hanya soal sebaran, jangkauan pelayanan terhadap masyarakat sesuai kemampuan media masing-masing.

Bahwa ada rubrikasi yang 'khas' degan ketersediaan ruang yang berbeda-besa, substansi sajiannya belum sungguh-sungguh memperlihatkan perbedaan. Pernah ada media yang memilih segmen sebagai koran ekonomi (Sasando Pos), tetapi media tersebut tidak bertahan lama. 

Menyimak program-programnya, media eletronik (radio) di NTT pun hampir sama. Program utamanya adalah hiburan dan berita dengan porsi bervariasi. Ada yang mengutamakan segmen kalangan muda (remaja), ada yang memilih kelompok dewasa (usia produktif) dan manula.

Mengapa media masa cetak dan elektronik di NTT cendrung media umum? Jawabannya memerlukan penelitian mendalam. Sejauh pengalaman saya, mungkin memang demikianlah yang dapat dikerjakan atau kemampuan praktisi media di NTT baru sebatas itu. Praktisi pers di daerah ini belum melihat sisi lain yang lebih spesifik untuk digarap, termasuk hal-hal pertanian. Belum menemukan kebutuhan publik yang seharusnya mendapat ruang yang layak.


Doyan Politik?

Dari media cetak harian, mingguan dan media elektornik yang ada, dapat disimpulkan bahwa kurang bahkan tidak ada orientasi media terhadap isu-isu pertanian. Sektor pertanian masih kurang mendapat ruang di halaman surat kabar dan media elektronik. Setiap halaman koran dan program siaran didominasi berita-berita pemerintahan, suksesi kepala daerah, kenaikan pangkat, pelantikan kepala dinas, kunjungan gubernur, hingga dugaan korupsi. Tidak cukup banyak petani atau lembaga pertanian yang memperoleh liputan dari media.

Jika pun ada berita mengenai pertanian (petani), sebagian besar bersumber dari pemerintah dan bersifat seremonial. Selain itu, pemberitaan pertanian ada karena terjadi kasus, misalnya, hama menyerang padi, atau tender proyek pertanian yang bermasalah. Jarang ada berita tentang kesuksesan seorang petani, serta tidak ada berita tentang bagaimana menanam singkong, jagung dan padi yang baik. Jarang sekali kita temukan.

Media massa di NTT lebih doyan berita politik! Itu tampak jelas dalam rubrikasi koran, majalah maupun program acara radio. Laporan media tentang masalah politik rata-rata mencapai 60 persen. Sisanya mengenai sosial lainnya seperti hukum dan kriminalitas, ekonomi, budaya, olahraga, hiburan. Berita pertanian mendapat porsi yang masih sangat sedikit. 

Informasi soal mutasi pejabat menjadi headline koran-koran dan jadi laporan utama majalah/tabloid di Kupang. Bagi media lain di luar NTT (Jawa), berita mutasi PNS itu mungkin sekedar info sekilas atau maslah tidak diberitakan sama sekali.

Mengapa demikian? Jawabannya simpel. Media massa menulis atau melaporkan suatu kejadian/peristiwa sesuai kebutuhan pembaca/pendengar/pemirsanya. Media tidak menulis untuk dirinya sendiri. Media massa di NTT menyajikan berita untuk pembacanya. Siapakah pembaca/pendengarnya? NTT propinsi PNS bung! Jadi, dapat dimengerti bila kasak-kusuk, rumor atau informasi tentang birokrasi pasti menarik dan penting (punya nilai berita).

Pelanggan koran, majalah atau pendengar radio di daerah ini umumnya masyarakat perkotaan. Kota kabupaten dan kecamatan. Tidak lebih dari itu. Dan, PNS adalah elit perkotaan. Maaf saja, petani dan praktisi pertanian masih merupakan warga 'kelas dua'.

Survai untuk kebutuhan intern Redaksi Pos Kupang pada tahun 2004 dan kembali dilakukan pada periode Juni - Agustus 2009, membuktikan bahwa pembaca Pos Kupang doyan berita politik. Berita politik menempati tangga teratas disusul berita hukum dan kriminalitas, olahraga, bisnis (ekonomi), hiburan, budaya.

Agar tetap bertahan, media massa tidak bisa berpaling. Berita politik menjadi garapan utama karena itulah yang dibutuhkan sebagian besar pembaca. Maka, lihatlah isi koran atau siaran berita radio. Tema Pilkada, misalnya, mendapat porsi besar. Dikupas tuntas dari berbagai sudut pandang (angle). Disajikan pada tempat utama.


Kurang Seksi

Sekitar tahun 2007, Yayasan Pantau bekerjasama dengan Swisscontact melakukan penelitian tentang media massa dan UKM (termasuk sektor pertanian). Pantau- Swisscontact menemukan kenyataan sektor UKM dipandang media sebagai berita yang kurang seksi. Demikianlah yang terjadi di NTT. Begitulah adanya.

Kondisi yang sama tidak jauh berbeda dengan sektor pertanian. Praktisi media di daerah ini tidak bisa menyangkalinya. Media di NTT sangat sedikit memberi ruang untuk perluasan informasi mengenai isu-isu pertanian. Padahal, jujur harus diakui, NTT adalah adaerah agraris, sekitar 80 persen dari 4 juta jiwa penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. 
 
Selain menganggap berita pertanian kurang seksi, media punya kendala internal, sumber daya manusia dan manajemen. Jumlah wartawan sedikit, itupun dengan mutu dan kemampuan yang rendah. Sebagian besar wartawan bekerja secara otodidak. 

Pengetahuan wartawan tentang isu pertanian pun tidak memadai. Media di NTT kesulitan meliput soal-soal pertanian karena tidak punya wartawan pertanian. Persoalan kualitas wartawan yang tidak memahami isu pertanian menjadi kendala minimnya berita tentang pertanian.

Persoalan lain adalah hubungan media dan mereka yang terliibat dalam sektor pertanian terlihat canggung. Wartawan mengeluhkan susahnya akses untuk mempeorleh informasi tentang pertanian, baik dari petani maupun lembaga dan praktisi pertanian. Di sisi lain, wartawan juga seringkali tidak memahami secara utuh isu-isu pertanian, sehingga menyulitkan mereka untuk menulis.

Sementara petani, praktisi pertanian kurang membangun komunikasi saling menguntungkan dengan media. Tidak sedikit forum formal maupun informal - termasuk diselenggarakan pemerintah - yang membicarakan persoalan pertanian tapi lembaga-lembaga ini tidak memanfaatkan media sebagai sarana sosialisasi, promosi dan komunikasi. Interaksi yang kaku itu disebabkan asummsi bawah media-media lebih cocok untuk iklan, tidak untuk pemberitaan. Kalau mau diberitakan maka harus membayar. Padahal, tidak semestinya demikian. 

Media tampaknya butuh peningkatan kapasitas awak redaksi, sempentara praktisi pertanian dan petani memelrukan informasi yang memadai dan ditulis dengan benas. Di sini perlu inisiatif untuk menjembatani komunikasi antara media dan petani dan praktisi pertanian. Antara lain, dengan membentuk tim kecil untuk menggerakkan dan menfasilitasi komunikasi tersebut, mengidentifikasi apa saja yang diperlukan petani dan praktisi pertanian. Bisa juga memaksimalkan lembaga-lembaga setempat sebagai medium komunikasi dan sosialisasi.

Demikian beberapa hal yang dapat disampaikan. Sebagamana potret yang tak utuh menampilkan kondisi seseorang atau suatu obyek, catatan ini masih jauh dari yang diharapkan panitia. Sekadar pengantar untuk dikusi kita lebih lanjut, untuk sharing pengetahuan dan pengalaman agar kita saling melengkapi untuk tujuan sama.


* Disampaikan dalam seminar bertajuk Pertanian dan Masa Depan NTT, di Aula Undana Kupang, Sabtu (12/12/2009). Kegiatan ini diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Katholik (KMK) St. Arnoldus Jansen Faperta Undana.
Selanjutnya...

Petani Masih Jadi Objek Perencanaan


POS KUPANG/HERMINA PELLO
SEMINAR PERTANIAN
--Dari kiri ke kanan, P. Yulius Yasinto, SVD (Rektor Unwira Kupang), Alfons Nedabang (Wartawan Pos Kupang), Ir. Yohanes Tay Ruba, (Kepala Bidang Produksi Tanaman pada Distambun Propinsi NTT) sebagai pemateri dan Pius Rengka, S.H (moderator) dalam acara seminar bertajuk Pertanian dan Masa Depan NTT, di Aula Undana Penfui, Sabtu (12/12/2009).


PETANI di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menjadi obyek perencanaan pembangunan pertanian. Seharusnya, petani menjadi aktor atau pelaku utama perencanaan.

Demikian dikatakan Rektor Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, P. Yulius Yasinto, SVD dalam seminar bertajuk Pertanian dan Masa Depan NTT di Aula Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Sabtu (12/12/2009). Pater Yulius berbicara tentang pengembangan sektor pertanian dalam kerangka dasar perencanaan pembangunan di NTT.

Pemateri lainnya, Kepala Bidang Produksi Tanaman pada Distambun Propinsi NTT, Ir. Yohanes Tay Ruba, berbicara tentang Strategi Pembangunan Pertanian NTT, dan Alfons Nedabang (wartawan Pos Kupang) dengan topik Peran Media Massa dalam Pembangunan Pertanian NTT. Bertindak sebagai moderator, Pius Rengka, S.H. Kegiatan ini diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) St. Arnoldus Janssen Faperta Undana.

Pater Yasinto menjelaskan, tiga hal yang diperhatikan untuk mencapai keberhasilan, yaitu perencanaan, implementasi dan ketersediaan sumber daya.

Menurut Pater Yasinto, petani harus menjadi pusat atau aktor utama dalam perencanaan pembangunan pertanian. Penghargaan terhadap cara pandang dan teknologi lokal juga penting dilakukan. Berikutnya, adalah peluang untuk menggunakan pengetahuan dan metode dan ruang secukupnya untuk mengelola sistem pertanian.

"Di NTT, petani jadi obyek perencanaan dan bukan pelaku perencanaan karena keterbatasan waktu, dana dan kemauan pemerintah untuk mereduksi. Perencanaan di NTT seringkali tidak fokus karena terlibatnya berbagai kepentingan yang bertentangan serta seringkali terciptanya kebijaksanaan yang reaktif. Begitu ada masalah, langsung menganjurkan tindakan yang harus diambil tanpa analisis yang mendalam," katanya.

Masalah lainnya adalah koordinasi. Menurutnya, salah satu penyebab utama rendahnya mutu perencanaan adalah koordinasi.

Yohanis Tay Ruba mengatakan, pemerintah bertekad mewujudkan NTT sebagai propinsi jagung, ternak sapi, koperasi dan cendana.

Mengenai jagung, dijelaskan, pemerintah mengambil komoditas jagung karena jagung sudah biasa ditanam oleh masyarakat sehingga tinggal dipoles dan diperbaiki. Dikatakan, petani di NTT masih banyak yang menggunakan jagung lokal, padahal produksinya rendah, yaitu hanya 1,6 ton/ha.

"Kalau menggunakan jagung hibrida bisa mencapai tujuh sampai delapan ton/ha. Saat ini, sedang digalakan gerakan masyarakat agribisnis jagung. Musim tahun 2009 ini adalah start awal menuju keberhasilan tahun 2010," katanya.

Alfons Nedabang mengatakan, berita-berita tentang pertanian masih sangat kurang dalam media massa. Media massa di NTT, baik cetak maupun elektronik, juga tidak ada yang secara khusus dengan segmen pemberitaan pertanian. "Media massa lebih doyan berita politik ketimbang berita pertanian. Isu-isu pertanian masih dianggap 'kurang seksi' oleh media," kata Nedabang.

Selain itu, lanjut Nedabang, media punya kendala internal, di antaranya sumber daya manusia (wartawan). Pengetahuan wartawan tentang isu-isu pertanian yang tidak memadai menjadi kendala dalam meliput soal-soal pertanian. (ira/pos kupang edisi senin, 14 Desember 2009).
Selanjutnya...

Kamis, 19 November 2009

Urgensi Nama Sebuah Jalan

HARIAN Pos Kupang edisi Rabu, 19 November 2009, memberitakan, masih banyak jalan lingkungan di Kota Kupang belum memiliki nama. Hal itu diakui sejumlah lurah dan masyarakat. Ada beragam alasan dikemukakan, di antaranya karena jalan baru dibuka serta belum ada kesepakatan antarmasyarakat soal nama jalan.

Ketiadaan nama jalan menyulitkan siapa saja untuk mencari rumah keluarga atau kerabat kenalan. Bayangkan bagaimana caranya kalau mencari rumah yang berada di jalan kecil atau gang tanpa nama? Pasti sulit dan ada yang nyasar. Dampak lanjutnya, waktu terbuang banyak. Energi pun terkuras. Syukur-syukur kalau dapat. Jika tidak, maka perasaan kecewa yang muncul.

Nama suatu jalan diberikan untuk mengidentifikasi suatu jalan, sehingga dapat dengan mudah dikenali. Bahkan dicantumkan dalam peta jalan. Untuk lebih mempermudah identifikasi rumah, gedung atau kantor diberi nomor. Nama jalan juga merupakan identifikasi informasi yang penting dalam penulisan alamat surat, pada kartu tanda penduduk, kartu identifikasi lainnya.

Dalam pemberian nama suatu ruas jalan maupun gang, diperlukan mekanisme secara terperinci seperti konsultasi dengan warga masyarakat. Diperlukan persetujuan dari berbagai pihak seperti masyarakat sekitar. Setelah urung rembuk masyarakat, diusulkan ke pemerintah untuk disahkan. Selanjutnya, pemasangan plang nama jalan.

Sejauh ini, dasar penamaan jalan adalah nama yang umum diberikan. Pemberian nama jalan tergantung pada pendekatan yang digunakan, kadang tidak gampang sehingga sering dikombinasi dengan nomor jalan. Umumnya nama jalan yang biasa digunakan yaitu nama pahlawan, biasanya ditetapkan pada jalan-jalan utama kota. Ada juga nama hewan, nama bunga, nama tanaman, nama tempat kalau jalan tersebut menuju tempat/daerah yang bersangkutan dan nama tokoh yang tinggal di kawasan yang bersangkutan.

Pemakaian nama pahlawan karena disadari betapa pentingnya membangkitkan dan menghargai jasa para pahlawan, termasuk sebagai tokoh perintis daerah ini. Pemberian nama jalan juga mesti menghindari agar tidak terjadi duplikasi nama jalan yang sering terjadi di daerah lainnya. Kalau perlu, untuk memperjelas alamat biasanya ditambahkan kode pos ataupun nama kelurahan. Pada nama jalan sering diberi informasi tambahan untuk menjelaskan secara lebih rinci informasi lain yang diperlukan oleh masyarakat.

Secara jujur kita akui bahwa, kondisi-kondisi ini belum semuanya kita temukan pada jalan-jalan di Kota Kupang. Bahkan, ada nama ruas jalan masih menggunakan nama lama waktu Kota Kupang masih bestatus kota madya, bahkan jauh sebelumnya masih bergabung dengan Kabupaten Kupang. Mestinya, setelah dimekarkan diharapkan dapat memiliki nama ruas jalan sendiri. Begitupun dampak dari pemekaran kecamatan dan kelurahan juga tidak diikuti dengan perubahan nama ruas jalan dalam wilayah pemerintahan itu.

Bahkan ada nama ruas jalan yang masih simpang siur namanya sehingga diharapkan dengan penetapan, nama ruas jalan dapat dibakukan sehingga tidak membingungkan.
Salah satu kelemahan kita sendiri adalah tidak populernya nama-nama jalan, meski keberadaannya sudah bertahun-tahun lamanya. Justru yang paling populer atau terkenal adalah nama daerah atau kompleks perumahan seperti BTN, Liliba, Baumata, Alak, dan lain-lain.

Hal ini dikarenakan kurang atau minimnya informasi mengenai nama jalan itu sendiri. Pihak pemerintah sudah mensosialisasikan lewat pemasangan plang nama yang cukup bagus di awal maupun di akhir ruas jalan, tetapi sosialisasi ini tidak didukung oleh bangunan-bangunan atau toko-toko, kantor-kantor yang berada di ruas jalan tersebut. Hendaknya pemerintah bisa mengimbau toko-toko atau bangunan mencantumkan nama jalan dan diikuti nama kompleks dan seterusnya.

Di mana-mana, letak suatu bangunan, baik bank, hotel, toko atau tempat-tempat umum lainnya tak lepas dari jalan. Karena jalan inilah nanti menjadi jalur menuju tempat yang dituju. Di mana-mana jalan haruslah diberi nama. Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Bagaimana kita mau cinta dengan Kota Kupang sementara kita sendiri tak kenal dengan nama-nama jalan?

Pada aras ini, Pemerintah Kota Kupang melalui Dinas Perhubungan perlu melakukan survai pemberian nama ruas jalan dan gang yang selama ini tanpa nama. Harus diingat, nama adalah penanda. Dengan penanda yang jelas, setiap orang dapat menjangkau tempat yang diinginkan dengan mudah. Sebagai penanda suatu tempat, nama jalan harus dibuat sistematis dan teratur. Pemerintah Kota Kupang harus mempunyai pedoman dalam mengatur nama jalan.*
Selanjutnya...

Jumat, 13 November 2009

Jurnalisme, Gender dan Trauma

BIRO Pemberdayaan Perempuan (PP) Propinsi NTT bekerjasama dengan The United Population Fund (UNFPA) menyelenggarakan pelatihan jurnalisme gender dan trauma bagi wartawan media cetak dan elektronik di Kupang.

Kegiatan ini berlangsung di Hotel Kristal Kupang mulai Kamis - Jumat (12-13/11/2009). Kegiatan ini diikuti 20 orang wartawan media cetak dan elektronik yang tergabung dalam Forum Wartawan Peduli Gender.

Kepala Biro PP Setda NTT, Yovita Mitak mengatakan, pemahaman akan konsep kesetaraan dan kehadiran gender masih sangat terbatas di semua kalangan, termasuk kalangan perencana dan pelaksana pembangunan.

"Hal inilah yang memperlambat upaya mengintegrasikan konsep tersebut ke dalam berbagai kebijakan, strategi, program dan kegiatan dalam pelaksanaan pembangunan," ujar Mitak.

Persoalan lain, katanya, masih banyaknya produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminasi terhadap perempuan, dan belum peduli anak.

Di samping itu, perundangan yang ada belum dilaksanakan secara konsekwen untuk menjamin dan melindungi termasuk memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak dari tindak kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi.

"Kekerasan ini dapat kita temui dimana saja tanpa dibatasi oleh status sosial, baik itu berupa kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga baik oleh perorangan, keluarga atau kelompok yang ada dalam rumah tangga," katanya.

Untuk melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan, katanya, sejumlah undang-undang dan peraturan telah dibuat pemerintah, antara lain UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Mitak menambahkan, untuk menanggulangi, mengurangi dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk tindak kekerasan, dibutuhkan peran serta seluruh komponen masyarakat, lembaga organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, swasta, pegiat massa, forum wartawan dan organisasi peduli perempuan dan anak.

"Peran yang dilakukan, yakni memberikan sosialisasi, edukasi dan advokasi tentang keutamaan gender, perlindungan perempuan dan anak," katanya.

Selain Yivita Mitak, tampil sebagai pembicara adalah Pius Rengka yang berbicara tentang etika profesi wartawan. Sedadangkan Farida dan Mario dari Yayasan Pulih Indonesia berbicara mengenai pemberitaan yang berperspektif gender serta pemberitaan yang meminimalisir trauma bagi korban. *
Selanjutnya...

Adu Konsep Desain Alun-Alun Kota Kupang


LIMA tim dari empat Badan Pekerja Rayon (BPR) saling adu konsep dan hasil desain di hadapan dewan juri lomba desain alun-alun Kota Kupang yang digelar di Kampus Fakultas Teknik Unwira Kupang, Senin (19/10/2009).

Keempat BPR itu diantaranya BPR I Jakarta yang diwakili oleh Universitas Indonesia, Rayon II Jawa Barat diwakilkan oleh Universitas Pendidikan Indonesia, dan Institut Teknologi Bandung, BPR V Jawa Timur yang diwakili oleh ITS Surabaya dan Universitas Brawijaya Malang, serta BPR 16 NTT diwakili dua tim dari Unwira Kupang.

Dihadapan dewan juri yang terdiri dari Ir. Benyamin. S. D. Pandie, IAI (anggota Ikatan Arsitek Indonesia Daerah NTT), Jhon Bell, ST, MT (Dinas Perumahan Rakyat dan Tata Kota), Ir. Robert M. Rayawulan, MT (Fakultas Teknik Unwira), Alfons Nedabang (Pos Kupang) dan Stenly Boimau (Timor Expres), para peserta menawarkan aneka konsep desain yang dituangkan dalam rancangan alun-alun Kota Kupang yang green and clean.


Ketua dewan juri Ir. Benyamin. S. D. Pandie, IAI kepada wartawan usai memberikan penilaian mengatakan, kriteria yang menjadi faktor penilai adalah konsep desain, aplikasi konsep dalam desain alun-alun kota, juga yang terpenting adalah kemampuan berkomunikasi dalam mempresentasikan hasil desainnya.

Dikatakannya, kemampuan peserta dari seluruh tim menampilkann konsep yang berbeda. "Masing-masing mereka dengan ide yang berbeda, ini sangat kuat mereka tampilkan, cuma yang menjadi kelemahan ketika mengaplikasikan konsep dalam bentuk desain itu menurut kami masih kurang. Soal prsentase gambar semua cukup bagus," katanya.

Benyamin Pandie yang adalah bendahara IAI NTT ini mengatakan, dari hasil lomba desain itu dan jika disepakati untuk dijadikan desain alun-alun kota yang siap dibangun, maka IAI Daerah NTT secara lembaga akan memberikan masukan untuk melengkapi hasil yang telah ada.

"Hasil saat ini kan belum 100 persen memenuhi kriteria, sehingga kita beri masukan supaya apa yang diinginkan pemerintah kota Kupang bisa terakomdir dalam desain yang dibuat ini," ujarnya.

Ia menambahkan, dari hasil penilaian dewan juri, ada tiga besar yang punya nilai yang tidak bedah jauh, dan akan diumumkan pada acara penutupan yang sekaligus dilakukan penyerahan hadia oleh walikota Kupang.

Dihubungi terpisah, Katua Jurusan Arsitektur Unwira, Ir. Ricahrdus Daton, MT menilai, pemerintah Kota Kupang sangat tanggap terhadap rencana kegiatan TKI MAI XXV ini sehingga produk yang dihasilkan ini betul-betul dimanfaatkan oleh pemerintah kota.

"Itu saya lihat kesiapan pemerintah dalam menanggapi rencana kegiatan ini. Ini juga menjadi salah satu usaha, memadukan semua konsep pemikiran dari berbagai daerah untuk menjadi satu out put baik konsep maupun desain yang optimal untuk dipersembahkan bagi pemerintah," katanya.

Ditambahkannya, tidak mungkin satu produk digunakan secara utuh tetapi akan ada perpaduan dari semua desain yang masuk dalam kategori penilaian juri untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Daton menjelaskan, selanjutnya, jurusan Arsitektur Unwira akan menyerahkan hasil desain itu kepada pemerintah Kota Kupang dan yang terbaik akan menjadi master dan dilegkapi dengan konsep perencana bersama pemenang-pemenang lain.

Peserta Lomba Desain dari Rayon I, Universitas Indonesia: Robin Hartanto, Andro Kaliandi, dan Rangga Suryadi
"Yang terpenting bukan menang atau kalah tetapi ini menjadi ajang pembelajaran bagi kami dan menjadi masukan. Kami tidak kejar menang, tapi kami optimis bahwa apa yang kami tawarkan ini menjadi kebanggan warga Kota Kupang. Wujudnya, kalau kita pindahkan alun-alun ini ke tempat lain maka tidak cocok tetapi kalau di Kupang akan menjadi ciri khas Kota Kupang. Konsep yang kami tawarkan adalah lil au nol dael banan (Bangun Aku Dengan Hati Yang Tulus) yang menjadi semboyan Kota Kupang, dan sebenarnya kami dapat inspirasi dari visi misi walikota Kupang Drs. Daniel Adoe dalam membangun kota Kupang yang harus punya komitmen, ini yang kami tawarkan dalam desain bahwa alaun-alun ini menjadi milik aku orang Kota Kupang.

Elemen yang menarik dalam desain kita adalah dalam alaun-alun itu ada 49 pohon flamboyan yang akan disumbangkan oleh 49 Kelurahan di Kota Kupang. Pohonya dari kecil dan tumbuh dan tiap keluarahn bisa lihat dari tumbuhnya pohon tersebut. Selain itu, pola tapaknya kami mengambil konsep dari kain tentun motif NTT dari Sabu.***

Rayon II Jawa Barat: Dimas Agung Kurnia (Universitas Pendidikan Indonesia)
Optimisme kami Rayon II sangat tinggi karena kami melakukan pendekatan desain sesuai dengan kearifan lokal. Lokalitasnya itu ada di kerajinan tradisioal yang ada di Kota Kupang, yang kami soroti yaitu sasando, tii langga dan tenun ikat. Bentuk yang ada di tiga kerajinan itu kami transformasikan dalam bentuk desain sehingga secara makna filosofis bentukan desain kami memiliki pendekatan lokalitas Kota Kupang. Besar harapan kami agar masyarakat Kota Kupang merasa memiliki alun-alun Kota Kupang yang kedepannya akan dibangun oleh Pemkot Kupang. Satu yang jadi landasan kami, bahwa alun-alun dikatakan menjadi baik apapabila masyarakatnya merasa memiliki secara penuh melalui kegiatan-kegiatan baik temporer atau berkesinambungan yang dilakukan di alun-alun tersebut. Secara global, dalam konsep desain, kami menggunakan sebuah bentukan plasa sebagai area penangkap massa, secara tersirat, bentukan dari plasa itu mengambil bentuk dasar dari sasando. Kami juga membuat sebuah ram, yang mengambil bentukan dasar dari tii langga, juga kain tentunya kami terapkan pada pola penggunaan material dari plasa itu. Ketiga aspek ini sengaja kami letakan secara resirat supaya ada sebuah keingin tahuan yang besar dari masyarakat untuk memaknai arti dari alun-alun yang kami desain.

Rayon V Jawa Timur: ITS Surabaya: Fadila Ayu, Yusuf Ariyanto, Universitas Brawijaya Malang: Vembi Fernando. Kami sangat optimis, karena berangkat dari Jawa Timur, kami sudah persiapkan segala sesuatunya mengenai lomba ini, tetapi karena ada perubahan teknis dari pantia, kami coba desain ulang, dan kami bekerja sama dengan semua di rayon V untuk mengahsilkan rancangan desain itu.

Konsep yang kami tawarkan adalah hyper green karena alun-alun yang kami rancang menunjang segala kegiatan masyarakat mulai dari kumpul-kumpul sampai mengadakan acara-acara kesenian adat atau pagelaran acara lainnya. Namun, kami juga berpedoman dari tema panitia TKI MAI, alun-alun Kota yang green and clean. Juga desain kami yang Respect to site, artinya site yang ada sekarang sedapat mungkin kami tidak rubah, tetapi dieksplor serta dikembangkan dengan tambahan pohon-pohon agar alun-alun menjadi hijau.

Folosofi desainnya dari bentuk ume kebubu (Arsitektur atoni/dawan) yang kami terapkan di gasebo taman dan pos satpam. Kami juga mengambil bentukan ume kebubu itu dalam bentuk gerabang utama pada laun-alun Kota Kupang itu. Selain itu kami juga mengambil bentukan sasando, pada bentuk scklupture.

Rayon 16 NTT, Unwira Kupang: Johan Nggebu : dari hasil desain itu, secara konsep, kami optimis bahwa Unwira Kupang bisa menjadi yang terbaik. Tetapi secara desain, kami menyadari bahwa kami masih belum optimal. Itu terlihat dan kami rasakan sendiri dari penyajian gabar.
Konsep yang kami tawarkan itu adalah pengawinan dari berbagai arsitektur tradisional NTT diantaranya Dawan, Rote, Alor, dan Manggarai. Arsitektur Manggarai kami hadirkan dalam desain agora, sedangkan arsitektur Rote kami hadirkan bentuk sasando di tugu yang kami hadirkan dalam bentuk sasando berada di atas moko. Juga ada land mark komodo yang dihadirkan diatas ketinggian site.* Selanjutnya...

Jumat, 05 Juni 2009

Rengkahan Mencapai 12 KM


MENGKHAWATIRKAN -- Lebar, dalam dan luar rengkahan tanah di Desa Tolnaku, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang semakin mengkhawatirkan. Warga setempat sudah mengungsi di rumah darurat. Gambar diambil Jumat (5/6/2009).


RENGKAHAN tanah akibat pergeseran kulit bumi yang terjadi di wilayah Kecamatan Fatuleu- Kabupaten Kupang, sudah mencapai sekitar 12 kilometer mulai dari Desa Oebola Dalam sampai ke wilayah Bipolo.

Bergesernya tanah sejak Februari 2009 itu, sejauh ini sudah menimbulkan longsor di beberapa tempat, termasuk Desa Tolnaku yang merusak rumah-rumah penduduk dan memaksa warga setempat mengungsi.

Pantauan Jumat (5/6/2009) di Dusun I Pua'ana, terlihat rengkahan yang memanjang dari utara ke selatan. Menurut warga setempat, tanah dengan kemiringan sekitar 10-15 derajat itu terus bergerak. Awalnya menimbulkan retakan kecil namun makin lama makin lebar dan dalam membentuk rengkahan. Lempengan wilayah yang bergerak turun itu membuat batu-batu berpindah tempat, pohon-pohon mulai miring dan ada yang sudah tumbang. Di beberapa titik terlihat seperti longsor.

Kerusakan paling parah terjadi pada pemukiman warga. Di Dusun Pua'ana itu terdapat 26 rumah warga yang hancur akibat longsoran, satu di antaranya tertimbun tanah. Gedung Gereja Kemah Injil Koinonia Pua'ana bahkan bergeser dari tempatnya semula, sejauh sekitar 100 meter dan ambruk rata tanah. Warga setempat sudah mendapat bantuan tenda guna membangun tempat darurat untuk ibadah.

Bentangan longsor yang memanjang dari utara ke selatan nampak berada persis di tengah-tengah tiga batuan besar masing-masing batu Nekon, Bolbesi dan Fatumonas. Di kaki batu-batu ini merupakan hulu dari longsoran itu. Longsoran ini bisa mengancam warga hingga wilayah Bipolo dan sekitarnya.

Di Desa Tolnaku, luas wilayah longsoran mencapai sekitar 400 meter persegi dan tidak lama lagi lokasi pemukiman itu hanya tinggal kenangan. Tidak bisa dihuni lagi karena porak poranda. Sejauh mata memandang, kampung yang yang dulunya dipenuhi rumah warga dan tanaman pekarangan maupun perkebunan lainnya, kini tersisa puing-puing.

Sementara di Desa Oebola Dalam, rengkahan tanah dan longsor di beberapa titik sudah "mengobrak-abrik" ratusan pohon jati milik warga. Longsor dan rengkahan tanah sudah membentuk genangan air seluas 50-60 meter persegi. Air yang tergenang dalam longsoran itu tetap keruh meski tidak ada hujan.

Belahan-belahan tanah yang pecah itu tidak beraturan dengan lebar pecahan atau keretakan mencapai 1-2 meter dan dalam 1,5 meter. Tepat di antara longsoran itu terdapat sebuah sungai yakni Sungai Fatutasu. Alur sungai ini sebagian sudah tertimbun bongkahan tanah yang runtuh.
Pergerakan tanah itu pun mengakibatkan dataran di bawahnya yang selama ini dipakai untuk areal persawahan, muncul gundukan tanah baru.

Warga sudah mengungsi dari rumah mereka yang sudah rusak dan kini mereka membuat rumah darurat berdinding bebak dan atap daun lontar dengan ukuran 5 x 4 meter persegi.
Camat Fatuleu, Batarudin Rosna yang ditemui terpisah meminta warga tetap waspada. "Pantauan kami terakhir, longsor sudah mencapai 10 sampai 12 kilometer," kata Rosna. (yel)


Sehari Bergeser 1 Meter

DUSUN Puaana di Desa Tolnaku dihuni 117 warga. Wilayah dusun itu, mungkin akan tinggal nama. Rumah-rumah tinggal puing. Pepohonan pada miring sana-sini di sela-sela bebatuan dan bongkahan tanah yang longsor.

Kini semua warga sudah pindah. Dalam trauma dan was-was mereka memetik hikmah bencana itu. Bahkan warga menyatakan syukur karena longsor tidak terjadi sekejab. Mereka yakin itu adalah campur tangan Tuhan.

"Kalau Tuhan tidak tolong kami maka saat kejadian itu kami semua pasti meninggal, namun rencana Tuhan begitu indah sehingga kami bisa luput dari bencana itu," kata
Fredik Mau kepada Pos Kupang di lokasi pemukiman baru. Di sana, warga secara gotong royong membuat rumah sangat sederhana untuk tinggal. "Kalau saat itu longsor datang satu kali dengan cepat maka tidak tahu apakah kita masih bertemu atau tidak," katanya.

Karena tanah yang tadinya hanya retak kemudian timbul rengkahan, katanya, maka warga berkesempatan mengevakuasi barang-barang mereka dari dalam rumah untuk dipindahkan ke tempat yang aman.

Longsor pertama kali terjadi pada hari Kamis 12 Juni 2009. Longsor terjadi pada malam hari dan tidak disadari warga. Keesokan pagi sampai siang, warga terperangah karena tanah semakin bergerak turun, bergeser dan mulai timbul rengkahan. Pohon-pohon mulai terlihat miring, tanah mulai runtuh. Warga bergegas memindahkan barang-barangnya, termasuk ternak.

"Saya akhirnya membuat tanda dengan menancap batang kayu di sekat bibir retakan tanah. Satu hari saya lihat retakan makin mendekati kayu dan dua hari kemudian sudah mencapai kayu yang saya tanam itu. Akhirnya saya tempatkan patok lagi dengan jarak enam meter dan pada hari keenam pergeseran lempengan tanah yang longsor itu sudah mencapai patok tersebut sehingga saya perkirakan dalam satu hari pergeseran itu mencapai satu meter," jelasnya.
Benyamin Kono dan Gabriel Kase, dua warga setempat, menuturkan, warga bersyukur kepada Tuhan
karena bencana yang menimpa mereka tidak sama seperti tanah longsor di tempat lain yang terjadi begitu mendadak dan singkat sampai menelan banyak korban jiwa. Keduanya mengatakan, kejadian yang sama pernah dialami tahun 1975 silam namun itu akibat gempa bumi.

Sungai Bawah Tanah

Longsoran yang terjadi di Desa Oebola dalam dan Dusun Nunpisa Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang karena adanya pergeseran kulit bumi. Pergeseran itu, menurut data base yang ada di Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) Jakarta, akibat kondisi tanah yang pada lapisan atasnya berupa batu kapur dan di bagian bawahnya terdapat tanah lempung yang berupa rongga-rongga.
Melalui rongga-rongga tanah itu ada aliran air atau sungai di bawah tanah. Kemungkinan longsoran terjadi karena adanya amblasan pergeseran bebatuan disebabkan karena ada sungai di bawah tanah.

Demikian Kepala Bagian Sosial Kabupaten Kupang, Dominggus Bulla, kemarin, mengutip penjelasan tim peneliti dari Badan Geologi Nasional Bandung yang telah meneliti wilayah yang saat ini terkena longsor. Bulla mendampingi tim peneliti itu saat berada di lokasi penelitian di daerah block sistim atau daerah patahan, termasuk di Desa Oebola dan Dusun Nunpisa Kecamatan Fatuleu.

Bulla menjelaskan, longsor di Oebola dan Dusun Nunpisa itu tidak ada korban jiwa. Warga mengalami kerugian antara lain rusaknya rumah dan harta benda lainnya. "Saat ini semua warga telah di pindahkan ke tempat pengungsian," katanya.

Panjang longsoran, katanya, diperkirakan mencapai 10 - 14 km. Sedangkan panjang patahan bisa mencapai puluhan kilometer.

Sesuai penjelasan tim peneliti, katanya, tanah akan terus bergerak dan diikuti longsoran. Bila longsoran terus terjadi maka, 63 KK atau 240 jiwa yang tinggal di Dusun IV Kiusak, Desa Oelatimo Kecamatan Kupang Timur, juga akan terancam. "Saat ini lokasi bencana tanah longsor sudah sampai di perbatasan antara Kecamatan Fatuleu dan Kecamatan Kupang Timur dan kecamatan Amfoang Tengah," katanya.

Ditanya tentang bantuan yang sudah diberikan Bulla mengatakan, Pemkab telah memberikan bantuan yang sifatnya darurat yakni 500 kg beras 300 kg kacang hijo. Sedangkan, bantuan jangka panjang yang sangat dibutuhkan yakni sarana dan prasarana, relokasi serta sarana air bersih.

Bulla mengimbau kepada warga di sekitar daerah bencana agar tidak membaut pemukiman baru di sekitar wilayah longsoran. Apabila hujan, warga dilarang melintas di kawasan yang labil karena sesewaktu akan runtuh. (yel/den/pk edisi sabtu 6 juni 2009 hal 1)

Selanjutnya...

Longsor di Fatuleu, 117 Warga Dipindahkan

SEBANYAK 31 kepala keluarga (KK) atau 117 warga Dusun I, Desa Tolnaku, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, dipindahkan ke pemukiman Fatukoto di wilayah setempat akibat tanah longsor yang terjadi di wilayah itu sejak Februari lalu sampai sekarang.

Warga yang terkena longsor membangun rumah darurat di Fatukoto. Tanah longsor juga menyebabkan ratusan tanaman perkembunan milik warga rusak. Sampai Kamis (4/6/2009), masih ada sembilan KK yang bertahan di lokasi longsoran.

Fredik Mau, salah satu korban bencana longsor yang ditemui Pos Kupang di sekitar lokasi pemukiman, Kamis (4/6/2009) sore, mengatakan, tanah longsor yang terjadi di desa mereka itu sudah berlangsung sejak Februari lalu dan sampai sekarang masih terus terjadi.

Menurut Mau, para korban semuanya adalah petani yang kebanyakan memiliki rumah semi permanen dan semuanya rusak akibat tanah longsor tersebut.

"Yang kami heran longsoran itu terjadi bukan saja musim hujan tetapi pada saat sekarang juga masih terjadi sehingga kami pindah ke Fatukoto. Di sana kami buat rumah darurat dari daun lontar untuk tinggal," kata Mau.

Dia menuturkan, awalnya tanah longsor mengancam 26 rumah warga dan satu bangunan gereja. Kini semua rumah warga itu sudah tidak dihuni lagi karena sudah rusak dan warga takut. Gereja itu pun sudah tidak dipakai lagi.

"Dua puluh enam rumah itu milik 31 KK itu. Mereka semua sudah pindah ke lokasi yang tidak terlalu jauh dari pemukiman yang terkena longsoran sebelumnya. Sampai sekarang kami semua yang mengungsi sekitar 117 orang. Sedangkan ada sembilan KK lagi yang masih bertahan di lokasi longsoran itu," katanya.

Mau juga mengakui, lokasi tempat mereka direlokasi itu hanya berjarak sekitar 1,5 km saja dari lokasi pemukiman mereka yang terkena longsoran sehingga mereka masih dilanda was-was. Mereka khwwatir longsoran akan meluas dan menjangkau tempat mereka direlokasi.

Dia mengatakan, tidak ada korban jiwa akibat bencana tersebut. Hanya masyarakat menderita kerugian material antara lain kerusakan rumah dan tanaman perkebunan serta rumah ibadah.
"Lokasi yang kami tempati baru itu memang agak dekat, hanya saja kita perkirakan jika longsoran terjadi dari titik utama longsoran atau di pemukiman lama maka kemungkinan agak sulit untuk sampai ke pemukiman baru itu," tuturnya.

Ketua RW V Desa Oebola Dalam, Charles Utan yang ditemui di kediamannya kemarin petang, membenarkan terjadinya longsoran yang sudah berlangsung di wilayah desa tetangganya itu.
Dia menyebut kejadian longsoran itu sebagai kejadian yang aneh karena tidak hanya terjadi pada musim hujan namun terjadi juga pada musim kemarau saat ini. Bahkan, katanya, dalam satu minggu bisa dua kali terjadi longsor. Kadang satu bulan hanya satu kali terjadi longsor.

Pantauan Pos Kupang, lokasi longsor yang terjadi di wilayah Tolnaku memanjang hingga ke Desa Oelatimu, Kecamatan Kupang Timur. Longsoran juga terjadi di perbatasan antara Desa Tolnaku dan Desa Oebola Dalam, Kecamatan Fatuleu Barat. Beberapa titik longsoran cukup parah. Di salah satu titik longsor terlihat tanaman perkebunan dan kayu jati milik warga ikut ambruk. Longsor memanjang dan luasnya mencapai sekitar 500 meter persegi. Di bawah bentangan longsoran ini terdapat Sungai Lubus. (yel)

Terjadi Setiap Jam Enam

JALAN menuju Desa Oebola Dalam di Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, adalah jalan berbatu dan sebagiannya berupa jalan tanah. Desa dengan ratusan penduduk itu pada Kamis (4/6/2009) petang, bagai wilayah tak bertuan. Rumah-rumah yang terdapat di sisi kiri dan kanan jalan seperti tidak berpenghuni. Jarak antara satu rumah dengan yang lainnya sekitar 50 meter hingga 100 meter.

Cahaya matahari senja yang kian suram menjemput malam menambah seram suasana sepi di desa itu. Warga enggan keluar rumah karena hari menjelang malam. Desa itu belum terjangkau aliran listrik sehingga warga hanya mengandalkan lampu dari minyak tanah untuk penerangan malam.
Desa ini bertetangga dengan Dusun I, Desa Tolnaku yang tertimpa tanah longsor sejak Februari sampai sekarang. Kejadian longsor di desa tetangga itu dianggap aneh karena tidak hanya terjadi pada musim hujan tetapi terjadi pula pada musim kemarau saat ini. Tak heran, warga merasa was-was, apa gerangan yang sedang atau akan menimpa wilayah mereka.

Apalagi titik utama longsor di Desa Tolnaku itu telah memicu munculnya beberapa titik longsor dan rengkahan atau tanah terbelah di beberapa desa tetangga termasuk Desa Oebola Dalam. Untuk mencapai lokasi longsoran tepatnya di perbatasan wilayah Kecamatan Fatuleu Barat dan Kecamatan Fatuleu, harus ditempuh dengan berjalan kaki, kecuali melalui wilayah Oelbitena yang jalannya bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor.

Kemarin sore, Kamis (4/6/2009), Pos Kupang mengajak beberapa warga untuk pergi melihat langsung wilayah longsoran. Namun warga enggan karena takut. Menurut mereka, longsor selalu terjadi pada jam enam, pagi maupun sore hari. Itu sebabnya pada sore hari menjelang pukul 18.00 Wita, tidak ada lagi warga yang berani keluar rumah. Mereka takut ikut terjerembab saat tanah longsor.

Salah satu warga, Marthen Padama, akhirnya bersedia menemani Pos Kupang ke lokasi tanah longsor setelah diberi "uang jasa". Padama tidak bisa menyembunyikan rasa was-wasnya saat menemani Pos Kupang. Setelah berjalan kaki beberapa lama, tibalah kami pada lokasi terjadinya tanah longsor di wilayah Tolnaku. Longsoran memanjang hingga ke Desa Oelatimu, Kecamatan Kupang Timur.

Dalam perjalan Padama pun nampaknya tergesa-gesa, namun Pos Kupang tetap memberi pengertian, tidak akan mendekati titik longsoran apabila ada tanda-tanda longsor. Ketakutan Padama dan warga lainnya di wilayah beralasan karena sejak 12 Februari 2009 sampai saat ini, tanah longsor selalu terjadi pada jam enam pagi atau sore. Warga setempat selalu diliputi was-was akan terjadinya longsor susulan.

Ketua RW V, Desa Oebola Dalam, Charles Utan membenarkan bahwa tanah longsor yang terjadi di desa tetangga hingga meluas sampai ke sebagian wilayah mereka itu terjadi sejak Februari.

"Longsoran yang terjadi ini memang agak aneh karena terjadi bukan saja saat hujan tapi saat ini pun masih terjadi. Kita tidak bisa tahu persis kapan longsor itu terjadi, karena bisa saja dalam satu minggu itu satu kali atau dua kali, bahkan bisa juga dalam satu bulan satu kali. Warga di sini sangat heran, kenapa selalu terjadi pada jam enam," katanya.

Apapun gejala alam yang sedang terjadi di wilayah itu, yang jelas warga setempat membutuhkan pertolongan. (yakobus lewanmeru/pe edisi jumat 5 juni 2009 hal 1)



Selanjutnya...

Beny Oko, Penjaga Hutan yang Bisa Terbang



MOBIL Kijang warna biru, Sabtu (30/5/2009), membawa Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Alor, Drs. RJS. Huan, wartawan Kompas Kornelis Kewa Ama dan Pos Kupang menuju Otvai dan Omtel di kawasan puncak Kota Kalabahi. Di dua kawasan itu terdapat hutan milik Dinas Kehutanan, ditumbuhi berbagai tanaman, termasuk ribuan pohon cendana.
Waktu tempuh menuju Otvai dan Omtel antara 30-50 menit, padahal jaraknya hanya 10 km.

Maklum, jalannya cenderung menanjak sampai pada ketinggian 600 kaki di atas permukaan laut. Kendati demikian, perjalanan terasa nikmat. Selain karena udaranya sejuk, mata rombongan juga dimanjakan oleh hijaunya hutan tanaman kemiri, cengkeh, kopi, jati, mahoni, johar dan cendana di kiri-kanan jalan.

Saat tiba di kawasan hutan Otvai, wartawan lebih memilih melihat langsung lokasi cendana yang dikembangkan di atas lahan seluas 54 hektare sejak tahun 1986 itu. Cendana di hutan itu tingginya bervariasi 3-7 meter dengan diameter 30-80 cm. Mobil lalu bergerak menuju kawasan hutan Omtel. Di hutan Omtel terdapat pohon-pohon cendana yang dikembangkan sejak tahun 2007.

Sesudah mendapatkan data yang cukup, wartawan dan Kadis Huan hendak kembali ke Kalabahi. Waktu menunjukkan pukul 11.00 Wita. Dalam perjalanan pulang, masih di kawasan puncak hutan Omtel, Kadis Huan mengajak wartawan rehat sebentar di sebuah pondok milik Dishut di kawasan hutan. Pondok itu berdinding bambu, berlantai semen kasar dan beratap seng.

Di dekat pintu masuk dapur pondok itu, seorang anak muda berkepala botak, bercelana pendek, berbaju kaos bundar leher, lengan potong tengah sedang duduk di balai-balai bambu sambil menyandarkan bahunya di dinding.

Ketika melihat Kadis Huan, anak muda itu langsung menyapa dan menyampaikan keluh-kesahnya mengenai kebutuhan dapurnya. Kadis Huan sempat mengobrol dengannya, menanyakan kondisi hutan dan anakan berbagai tanaman yang disemaikan di lokasi tersebut.

"Anak muda ini namanya Beny Oko (27). Dialah yang menjaga hutan di kawasan ini. Dia telah menyatu dengan alam hutan ini sejak tahun 2000. Dia mendiami pondok ini sendiri," kata Huan memperkenalkan Beny sambil bercanda bahwa anak muda itu bisa terbang.

Canda Huan ini langsung ditanggapi serius oleh wartawan, mengaitkannya dengan kekuatan magis. Wartawan menanyakan kepada sejumlah orang yang kebetulan berada di pondok itu mengenai ilmu yang dimiliki Beny. Namun mereka enggan memberi jawaban. Mereka minta wartawan menanyakan langsung kepada Beny.

Obrolan langsung terjadi dengan Beny. Menurut Beny, rumah orangtuanya terdapat di wilayah Kenarilang, Kota Kalabahi. Dia putra bungsu dari empat bersaudara. Tidak tamat SD, hanya sampai di kelas V. Namun Beny mengaku bisa membaca dan menulis.

Dia tidak melanjutkan sekolah karena kondisi tubuhnya yang cacat. Kakinya pincang. Kalau berjalan, dia harus dibantu dengan tongkat. Cacat itu dialaminya sejak masih kecil, akibat hela step.

Beny melanjutkan, dirinya mulai menempati pondok di kawasan hutan Omtel sejak tahun 2000. Ketika itu dia bersama sejumlah warga datang ke kawasan hutan itu untuk mengerjakan proyek penghijauan Dinas Kehutanan Kabupaten Alor.

Setelah proyek selesai, dirinya tetap berada di pondok itu seorang diri. Beny mengungkapkan, pada saat awal tinggal di pondok itu, perasaan takut menyelimutinya. Setiap malam dia mendengar bunyi-bunyi aneh di hutan. Ada anak kecil menangis, orangtua marah anak-anaknya. Juga terdengar suara banyak orang yang tengah pesta pora.

Beny melanjutkan, dia mulai berani tinggal di hutan tersebut sejak mendapat ilmu dalam sebuah mimpi tidur malam. "Pada suatu malam ketika saya tertidur, saya bermimpi. Ada beberapa orangtua datang menghampiri saya. Mereka memeluk saya sambil mengatakan, 'Kami ini nenek moyang kamu.' Mereka pun mulai memutar film adegan berkelahi. Lalu mereka menanyakan,
'kamu mau yang ini?' Namun saya menolak.

Berikutnya, mereka memutar film orang bisa terbang. Setelah selesai film itu, mereka kembali tanya, 'kamu mau ilmu ini?' Saya langsung menyatakan mau, dan ketika bangun pagi, dalam diri saya seperti ada kekuatan," ujar Beny.

Bekal ilmu yang didapatnya itu, kata Beny, sangat membantunya bepergian ke tempat jauh, seperti ke Kota Kalabahi atau desa-desa lain di daerah itu. Dia bisa jalan cepat dalam kondisi kaki pincang. Dia bisa terbang menuju ke suatu tempat. "Kekuatan yang saya dapat bukan hanya untuk jalan saja, tetapi membantu saya bekerja di hutan ini. Sebelumnya -- karena cacat-- saya tidak bisa mengangkat kayu, tetapi setelah mendapat ilmu itu, meskipun dengan kondisi cacat, saya bisa mengangkat kayu," tutur Beny.

Selain mendapat ilmu terbang, Beny juga mengaku, selama menempati hutan itu dia berteman dengan makhluk halus, arwah orang yang telah meninggal dan kuntilanak.

"Makhluk halus biasanya datang pada saat saya sendiri. Kalau ada orang yang mau meninggal dunia, biasanya hutan ini ramai seperti orang pesta. Namun saya tidak melihat wujud mereka. Kadang-kadang orang-orang mati ini menemani saya pada pagi hari yang masih gelap ketika saya membuat perapian untuk berdiang. Ada yang datang membunyikan pohon bambu di hutan ini," tutur Beny lagi.

Sedangkan kuntilanak, kata Beny, menjadi temannya hampir setiap saat. Datangnya kuntilanak biasa ditandai dengan suara tikus di luar pintu. Ketika dibuka, mahkluk ini sudah ada. Busana kuntilanak semuanya warna putih, rambutnya air panjang sampai di bokong.

"Cantiknya luar biasa, paling cantik di dunia. Kulitnya putih seperti Cina. Lebih cantik daripada nona-nona di Kalabahi, di Kupang atau Jakarta. Ini Cina, Taiwan," ujar Beny sambil mengatakan nama kuntilanak itu Lin.

Beny mengatakan, hubungannya dengan kuntilanak yang datang hanya sebatas teman cerita, tidak lebih dari itu. "Lin biasa membawa makanan untuk saya. Makanan mereka seperti yang biasa orang makan: ada daging ayam, ikan, sayur. Pokoknya enak. Tapi saya tidak mau. Kita cerita saja. Kita sudah anggap saudara," ungkap Beny.

Di akhir ceritanya Beny berharap ada perhatian dari pemerintah terhadap dirinya. Sebab, meskipun dengan kondisi cacat, dia bisa menjaga kelstarian hutan di kawasan itu. (okto manehat/pk edisi 4 juni 2009 hal 1).


Selanjutnya...

Tradisi Menangkap Ikan Paus


WATO KOTEKLEMA -- Saya bersama Maha Adi (bertopi), wartawan Majalan Tempo, melihat ritual adat yang dilaksanakan tuan tanah suku Fujon di Wato Koteklema - batu yang menyerupai ikan paus, di Dusun Lamanu, Desa Lamalera, Jumat (1/5/2009).


Memanggil Roh Ikan (1)


Oleh Alfons Nedabang

BATAR. Demikian suku Fujon menamai tempat itu. Berada di bukit sekitar 1,5 Km dari perkampungan Lamalera. Untuk mencapai batar dengan berjalan kaki, butuh waktu sekitar dua jam. Waktu tempuh cukup lama karena jalannya mendaki, melintasi beberapa bukit.

Batar diyakini sebagai tempat tinggal nenek moyang suku Fujon, tuan tanah di Desa Lamalera.
Dari sinilah ritual adat penangkapan ikan paus dimulai. Tempat itu diberi sesajen, diantaranya membakar tembakau, tuang tuak, menabur beras jagung giling serta memecah telur ayam. Syair adat juga mulai dikumandangkan dari tempat ini, sembari membunyikan gong.

Peserta ritual adat enam orang, dipimpin Agustinus Olak Fujon. Agus adalah generasi ketujuh suku Fujon. Lima lainnya adalah Yeremias Bala, Arnoldus Gesi, Alexander Manu, Gaspar Boli dan Marsianus Dua. Mereka adalah adik dan anak Agus Olak.

Dari lima peserta itu, dua diantaranya memegang tombak, dan dua lainnya menenteng gong. Kepala mereka dimahkotai dedaunan. Setiap mereka memakai singlet dengan bawaannya novi (kain sarung).

Dari batar, tuan tanah berjalan satu-satu menuruni bukit, lalu berhenti di Wato Koteklema. Wato Koteklema adalah batu yang bentuknya menyerupai ikan paus. Warnanya hitam. Panjang batu itu sekitar 10 meter, dengan lebar dua meter dan tinggi sekitar 1,5 meter. Sama seperti di batar, di Wato Koteklema juga dibuat sesajen.

Perjalanan dilanjutkan menuju laut. Setiap kali perjalanan, syaratnya tidak boleh menoleh atau melihat ke belakang. Syair adat pun tetap dirapalkan Agus Olak dan disahut lainnya.
Sebelum sampai di laut, mereka berhenti di empat tempat, dua tempat diantaranya adalah rumah adat suku Fujon di Dusun Lamanu, Desa Lamalera A dan lango kelake, rumah milik suku Bataona di Desa Lamalera B, sekitar 50 meter dari pantai.

Menurut Agustinus Olak, beberapa tempat persinggahan itu merupakan tempat peristirahatan nenek moyang karena hidup mereka selalu berpindah-pindah tempat (nomaden). Di setiap tempat persinggahan, mereka makan sirih pinang sembari menenggak tuak.

Setelah sampai di pantai, empat orang menceburkan diri ke laut, sebagai ritual memanggil ikan. Sementara dua orang pemegang tombak menanti di pantai. Upacara berakhir ketika empat orang itu keluar dari laut dan berkumpul di depan Kapela Santo Petrus dan Paulus yang ada di pantai.

Seremoni adat dengan tujuan memanggil roh ikan paus, yang diselenggarakan Jumat (1/5/2009) dari pagi hingga siang itu, dikenal dengan sebutan iyegerek. Ritual ini dimulai dari gunung karena masyarakat Lamelera meyakini bahwa ikan paus sesungguhnya berasal dari gunung. Paus adalah perwujudan dari nenek moyang yang memberikan diri sebagai makanan.

Sebelumnya, Kamis (30/4/2009), juga dilaksanakan seremoni adat di lango kelake. Tujuannya untuk perdamaian. Kalau ada tutur kata, sikap dan perbuatan yang salah, termasuk perbedaan pendapat soal konservasi, diselesaikan. Permasalahan harus diselesaikan sebelum dimulainya misa arwah dan misa lefa.

Pihak-pihak yang terlibat adalah tuan tanah suku Fujon dan suku Tufan serta lika telo yang meliputi suku Bataona, Blikololong dan Lewotukan. Meski yang hadir suku Fujon dan suku Bataona, ritual adat tetap dilaksanakan, diakhiri dengan minum darah ayam.

Bagi masyarakat Lamalera, perdamaian harus terjadi sebelum dimulai penangkapan ikan paus. Jika tidak, maka akan berpengaruh pada hasil tangkapan di laut. Ada ceritra, beberapa waktu lalu, pernah terjadi perselisihan antara tuan tanah dan lika telo. Akibatnya, selama tiga tahun nelayan tidak menangkap ikan paus. Namun, setelah berdamai, hasil tangakap banyak.
Ini menandakan masyarakat Lamalera meyakini bahwa hubungan antara yang di darat dan di laut merupakan hubungan sebab akibat. Keduanya saling mendukung dan saling menentukan. Oleh karena itu, harmoni harus tercipta sebelum memasuki musim lefa atau olanua.

Prosesi ritual tradisi sebelum musim lefa ini menjadi menarik karena mendapat bentuk baru dengan upaya inkulturasi dari gereja Katolik. Setelah upacara iyegerek, digelar misa arwah di Kapela Santo Petrus dan Paulus di pantai pada Jumat (1/5/2009) sore. Jauh sebelumnya, selama tiga hari berturut-turut (27-29 April 2009) telah dilaksanakan sembayang. Masyarakat menyebutnya dengan Tridum.

Misa lefa dipimpin Rm. Bartolomeus Na Helan, Pr, pastor pembantu, dengan ujud mendoakan para nelayan yang telah meninggal. Selesai upacara ekaristi, Romo Bartol mengarahkan umat menghadap ke laut sambil memegang lilin bernyala di tangan. Bersamaan dengan itu, dibacakan nama-nama nelayan yang meninggal di laut. Perayaan misa arwah ditutup dengan penaburan bunga di laut dan pemasangan lilin. Masyarakat Lamalera percaya, jika orang yang sudah meninggal tidak diperhatikan maka arwahnya akan marah.

Di hari pelaksanaan misa arwah, masyarakat Lamalera tidak melaut. Bunyi-bunyian juga tidak terdengar. Desa Lamalera A dan Lamalera B yang terletak di kaki bukit gopo, bedilolo dan bukit kapasono, itu sunyi.

"Masyarakat menyakini bahwa saat itu arwah nenek moyang datang. Tanda-tanda kedatangan arwah tercium lewat bau terumbu karang," kata Dion Bediona.

Keesokan harinya, Sabtu (2/5/2009) pagi, bertempat di kapela, digelar misa lefa dipimpin Rm. Yacobus Adobala Dawan, Pr, pastor paroki. Misa lefa menandai memulai musim turun ke laut. Upacara berlanjut dengan pemberkatan laut dan peledang (perahu yang digunakan untuk menangkap ikan paus). Pastor memercikkan air pada peledang Praso Sapang. Usai diberkat, Praso Sapang didorong ke laut dan berlayar menangkap ikan paus. Sebelum Praso Sapang melaut, air laut dianggap 'steril'. Satu kejadian di hari misa lefa, sebuah speed boat yang mengangkut turis hendak menepi tapi diusir masyarakat yang dimotori Kepala Desa Lamalera A, Hendrikus Keraf. Speed boat memutar haluan, lalu bergerak menjauh meninggalkan laut Lamalera.

Hal lainnya yang dilarang adalah ikan paus yang muncul pada hari misa arwah dan waktu misa lefa, tidak ditangkap. Bagi masyarakat Lamalera, kemunculan ikan paus pada saat-saat itu pertanda baik.

Selanjutnya, Romo Yakobus memberkati satu per satu peledang yang tertambat di rumah peledang (naje). Ada 37 naje di pantai sepanjang sekitar 150 meter itu. Sembilanbelas naje dibangun di sisi kiri kapela dan sisanya di sisi kanan. Peledang-peledang itu bisa melaut setelah peledang Praso Sapang pulang.

Misa lefa merupakan upacara puncak penangkapan ikan paus. Setelah misa lefa, masyarakat Lamalera selama tiga bulan ke depan (Mei-Oktober) mengawasi Laut Sawu. Apabila melihat semburan paus, maka masyarakat akan berteriak bersahut-sahutan "baleo..., baleo..., baleo..." Peledang pun segera didorong ke laut untuk mengejar ikan paus.*


Puasa Hubungan Suami Istri (2)


PLEDANG bukan perahu biasa, sebagaimana kebanyakan perahu milik nelayan lainnya di sejumlah daerah. Setidaknya, hal ini diketahui dari proses pembuatannya hingga tata cara pemanfaatannya.

Pledang terbuat dari kayu krapa, sejenis kayu besi. Dikerjakan orang khusus, atamola. Pledang tidak dibuat sembarang, termasuk sambungan kayu atau papan dan pemasangan ketilo. Hal yang dilarang adalah ketilo tidak boleh sebaris, tapi harus selang-seling. Sebelum pledang dicat, atamola harus dipanggil kembali untuk memastikan tidak ada yang salah dalam proses pembuatannya.

Jika pledang dibuat salah atau keliru, maka akan membawa dampak buruk terhadap proses penangkapan. Kesalahan itu akan ditunjuk oleh ikan paus dengan 'mengetuk' pledang. Dalam konteks ini, paus dianggap sebagai cermin. Setelah itu, nanti sampai di darat baru atamola dipanggil untuk memperbaiki pledang.

"Kesalahan pledang akan ditunjuk paus. Paus pukul pledang. Setelah pulang baru diperbaiki. Paus sebagai cermin besar. Kalau tidak ada kesalahan, maka pledang dianggap lulus ujian," kata Frans Kedang, matros (anak buah) pledang Tite Keri.

Untuk menyelesaikan satu pledang, memakan waktu lebih dari satu bulan. Meski demikian, setiap tahun belum tentu ada pledang baru. Panjang pledang sekitar 10 meter. Kru pledang berkisar sembilan sampai 13 orang. Setiap pledang dibagi untuk tempat duduk juragan, matros dan tempat lamafa.

Pledang bukan satu-satunya peralatan tradisional yang digunakan. Peralatan lainnya adalah layar, tali yang dibuat dari benang kapas, daun gebang dan serat kulit pohon waru. Ada juga kafe yaitu tempuling atau harpoon, galah terbuat dari bambu sebagai tempat menancapkan harpoon untuk menombak. Alat untuk menggayung air, gentong air, maupun faye (alat untuk mendayung). Semua perlengkapan ini disiapkan dan diletakkan dalam pledang, di tempatnya masing-masing. Dalam satu pledang terdapat enam tempuling dan satu kenate. Tempuling untuk menikam paus, sedangkan kenate untuk menarik paus merapat ke pledang.

Pemilik pledang adalah suku. Umumnya satu suku satu pledang. Ada juga suku yang memiliki lebih dari satu pledang. Sebaliknya, ada suku yang tidak punya pledang.
Untuk pledang baru, sebelum beroperasi harus dibuat seremoni dengan memberi makan masyarakat satu kampung.

Martinus Lelaona mengatakan, setiap orang yang makan bagian di pledang, seperti lamafa, juragan dan matros, masing-masing menanggung bahan makanan, diantaranya tuak, nasi dan jagung titi serta binatang. Suku pemilik pledang juga menyiapkan makanan. Tidak selesai di sini. Pledang baru bersama pledang lain akan diberkati oleh pastor pada upacara misa lefa.
Selanjutnya, saat ada baleo....,pledang bergerak ke tengah laut, ke arah semburan ikan paus. Lamafa bersiap di depan. Semakin dekat, orang pledang sudah bisa menetapkan di mana keberadaan kelompok paus tersebut. Para nelayan sudah bisa mengetahui paus yang akan ditikam.

Kalau sampai di tempat yang ditandai, kelompok ikan paus tersebut tiba-tiba menghilang ditelan laut, itu artinya rezeki belum datang. Atau, pada saat lamafa akan menghujamkan tempuling, paus mengangkat ekornya, maka lamafa akan urung melompat menikam paus tersebut. Orang pledang meyakini paus menolak untuk ditikam.

Namun, apabila paus menyerahkan diri, maka dengan sigap lamafa menghujamkan tempuling ke tubuh paus. "Serentak di dalam perahu bersorak. Hirkae, lefo hirkae. Sorakan ini akan mengecilkan nyali paus," kata Martinus.

Ketika paus sudah tidak berdaya, para nelayan mengikat hidungnya dengan kenate yang tersambung tali plastik. Kemudian, paus itu diseret ke pantai. Dalam perjalanan pulang, demikian Martinus, para nelayan bernyanyi bersahutan, sora tarre bala (raksasa bertanduk gading), dan dijawab, tala lefo rae tai (mari kita masuk kampung).

Sepanjang musim lefa, pledang tidak mendapat hasil apa pun kalau di suku ada anak gadis hamil atau pemuda menghamili gadis di luar nikah. Pantangan lainnya adalah orang pledang termasuk lamafa harus puasa seks.

"Selama musim lefa, kami tidak melakukan hubungan suami istri. Ini pantangannya. Kalau dilanggar maka akan ada dampaknya saat proses penangkapan," ujar Aloysius Genesa Tapaona, lamafa.

Selain terikat pada tradisi dan tata cara adat yang mencakup pembuatan pledang, penyiapan peralatan perahu, alat penangkap ikan, proses turun ke laut serta pantangan-pantangan yang harus dihindari, nelayan Lamalera juga memberlakukan tata cara adat pada pembagian hasil tangkapan ikan paus. Seluruh hasil tangkapan ikan, pertama-tama diperuntukkan bagi para janda, fakir miskin, dan para yatim piatu. Mereka mendapat tempat utama dalam seluruh proses perburuan ikan. Selanjutnya dibagikan kepada tuan tanah, lamafa, rumah adat, matros, dan pemilik perahu sesuai bagian-bagian ikan paus yang ditetapkan. Misalnya, sebagaimana diungkap Stefanus Fotu dari pledang Java Tena, bagian mata dan rahang milik tuan tanah. Juru tikam dapat nova’k (bagian leher). Ikan paus juga dibagikan kepada sejumlah warga.
Dalam proses pembagiannya tidak ada kecurangan.

Selain untuk makan, ikan paus juga digunakan sebagai alat transaksi. Ikan dibarter dengan hasil-hasil pertanian yang dibawa masyarakat dari gunung. Begitu tersiar kabar paus ditangkap, berbondong-bondong orang gunung yang pekerjaannya bertani turun ke pantai. Mereka membawa hasil pertanian seperti jagung, ubi dan kacang untuk ditukar dengan daging paus. Misalnya, tiga lempeng dendeng ikan paus seharga satu piring jagung yang sudah dipipil. Transaksi dilakukan tidak ada tawar menawar.

Kulit ikan paus juga dimakan. Sementara minyaknya bisa untuk minyak goreng dan pengganti minyak tanah. Satu-satunya bagian yang sampai sekarang belum dimanfaatkan optimal adalah tulang ikan paus. Kebanyakan tulang ikan paus dibuang, bahkan ada yang menjadikannya pagar rumah.

Masyarakat Lamalera meyakini bahwa dengan menangkap ikan paus, dapat menghidupkan seluruh masyarakat Lamalera. Dengan ikan paus, masyarakat Lamalera dapat menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Lebih dari itu, dalam nama kulit, darah, daging, dan minyak ikan paus, setiap orang di Lamalera dan sekitarnya bersatu.*


Agar Tidak Tinggal Cerita (3)

NELAYAN Lamalera dikenal sebagai penangkap ikan paus yang tangguh. Mereka lebih memilih paus yang dalam bahasa Lamalera disebut Koteklema. Dalam ilmu perikanan, Koteklema sering disebut paus jenis sperm atau Physeter macrocephalus.

Nelayan Lamalera tidak menikam paus jenis Seguni (Killer Whale atau orca) dan Klaru (paus biru atau Balaenoptera musculus) yang juga lalu lalang di perairan Laut Sawu, di depan perkampungan Lamalera. Jenis Klaru justru ditikam oleh nelayan Lamakera di Pulau Solor.

Dari literatur, Koteklema dikenal sangat kuat. Dia sanggup menyelam hingga lebih 1.000 meter. Ukuran tubuh dewasa mencapai 19 meter (jantan) dan 12 meter (betina). Bobotnya mencapai 30 ton hingga 60 ton. Koteklema juga terkenal dengan ganasnya. Tidak mengherankan, sebagaimana diungkap beberapa nelayan, ketika ditikam Koteklema mengamuk membuat peledang terbalik.

"Kadang nelayan pulang bawa dengan mayat," kata kepala Desa Lamalera A, Hendrikus Keraf.

Namun, jika dibandingkan dengan Paus Biru, Koteklema kurang kuat. Paus biru dianggap sebagai binatang terbesar. Beratnya mencapai 130 ton -- hampir sama dengan 30 ekor gajah atau 1.600 manusia. Panjangnya bisa mencapai lebih dari 30 meter.

Meski kadang bermigrasi sama-sama di Laut Sawu, nelayan Lamalera bisa membedakan paus biru dengan Koteklema. Perbedaan terletak pada model semburannya. Kalau paus biru semburannya lurus ke atas, sedangkan Koteklema tidak. Hal lainnya yang membedakan adalah paus biru memiliki jumbai-jumbai rambut, sedangkan Koteklema tidak.

Hendrikus Keraf mengatakan, Paus Biru tidak boleh dibunuh karena menurut cerita orang tua, dia penolong nenek moyang suku Soge Paga dari Kabupaten Sikka ke Lamalera. "Klaru (Paus Biru) pengantar leluhur kami ke Lamalera. Sedangkan jenis Seguni tidak dipilih karena Suku Ebonna di Lamalera tidak memakannya. Orang tua meminta kami untuk tidak menangkap Klaru dan Seguni," kata Keraf.

Nelayan Lamalera juga bisa membedakan mana Koteklema betina dan jantan. Betina yang hamil, apalagi. Namun, itu hanya bisa dilakukan orang tua zaman dulu. Dengan demikian, Koteklema betina maupun betina yang hamil tidak boleh ditangkap.

Menurut Keraf, generasi sekarang sangat sulit membedakan betina dan jantan, serta mana betina yang sedang hamil, karena menikam saat ikan ada di dalam air. Untuk membedakan jantan dan betina, orang tua melihat sirip atas.

"Sangat sulit untuk membedakan paus yang jantan dan betina, begitu juga yang hamil atau tidak. Kalau dulu zamannya nenek moyang bisa bedakan. Nelayan selalu dapat betina dengan anaknya yang di dalam. Masalahnya, kita kurang mengenal," aku Keraf.

Satu hal yang masih bisa dikenali nelayan Lamalera generasi sekarang adalah Koteklema betina yang sedang menyusui. Untuk kategori ini, tidak ditikam nelayan. Karena, nelayan paham ikan yang sedang menyusui paling ganas.

Tentang betina yang hamil tertangkap, diketahui pada Jumat (1/5/2009). Beberapa nelayan menjaring ikan belelang, jenis ikan pari. Ternyata, setelah dibelah ada anak pari. Meski dalam kondisi hidup, anak pari tidak dilepas. Karena, diyakini membawa rezeki. "Ini rezeki. Kalau lepas maka perahu tidak tikam lagi. Dari dulu orang tua tidak lepas," ujar Keraf.

Perlakuan terhadap anak ikan, termasuk anak ikan pari, tidak sembarang. Seorang turis yang sempat memegang ekor anak pari langsung ditegur. "Tidak boleh raba di situ (ekor, Red). Dia ini tidak boleh diperlakukan sembarang. Diletakkan sembarang juga tidak boleh. Keramat sekali. Begitu juga anak ikan paus," katanya.

Nah, bagi nelayan Lamalera, pengetahuan tentang jenis ikan paus yang ditangkap dan mana yang tidak ditangkap, sudah berlangsung lama, sama dengan mereka telah melaksanakan konservasi secara alami. Makanya tidak heran jika mereka menolak pelaksanaan konservasi dengan versi pemerintah dan LSM. Bagi masyarakat Lamalera, konservasi yang dilaksanakan pemerintah dianggap sebagai upaya untuk membatasi 'ruang gerak' nelayan.

Lebih dari itu, konservasi dengan pelarangan penangkapan ikan paus sama saja dengan menghentikan mata pencaharian masyarakat Lamalera. Sama dengan melarang masyarakat Lamalera untuk berhubungan dengan nenek moyangnya karena ikan paus diyakini sebagai nenek moyang yang menyerahkan dirinya untuk generasi sekarang.

Tidak mengherankan ketika Agus Dermawan, Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi dan Taman Laut Nasional pada Departemen Kelautan dan Perikanan, membuat pernyataan tentang Konservasi di Zona II Laut Sawu (Lembata, Alor dan Solor), memicu kemarahan masyarakat Lamalera.

Kemarahan semakin menjadi tatkala WWF (World Wildlife Fund) lewat orang-orangnya menginformasikan bahwa masyarakat Lamalera akan 'beralih profesi'.

"Kami stop tangkap lalu suruh kerja lain. Kami tanam apa? Kami sekolahkan anak dari ikan paus. Kami menolak konservasi," kata Stefanus Fotu.

"Penolakan konservasi ini merupakan yang pertama di Indonesia," kata Maha Adi, wartawan Majalah Tempo yang kini sedang studi pasca serjana bidang lingkungan, saat berkunjung bersama saya di Lamalera. Maha Adi kini menjadi staf Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Laut (Tim PP KKL) Laut Sawu - Solor - Lembata - Alor (SOLAR).

Karena reaksi penolakan terus muncul, dalam perjalanan Depertemen Kelautan dan Perikanan (DKP) 'melunak'. Agus Dermawan menyatakan Deklarasi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu di Word Ocean Conference (WOC) bulan Mei 2009 tidak memasukkan perairan Laut Lambata dan sekitarnya sehingga KKPN Laut Sawu hanya mencakup perairan Selat Sumba dan sekitarnya, serta wilayah perairan Pulau Sabu, Rote, Timor, Batek dan sekitarnya seluas 3,5 juta hektar.

Keputusan ini permanen? Jangan-jangan taktik DKP untuk meredam emosi masyarakat saat menjelang penyelenggaraan Word Ocean Conference (WOC) di Manado. Terbesit ada kekhawatiran Indonesia tidak mau kehilangan muka di hadapan peserta WOC dari luar negeri hanya karena penolakan.

Dugaan ini beralasan, apalagi jauh sebelumnya, KKPN Laut Sawu sudah ditetapkan dan menjadi satu kesatuan, termasuk perairan Solor, Lembata, Alor dan Rote (SOLAR).

Terkait dengan konservasi ini, memang penting untuk memberikan pengertian kepada masyarakat untuk melestarikan paus. Masyarakat perlu diingatkan untuk mewaspadai masa paceklik paus. Jangan sampai budaya memburu paus ini nanti hanya akan tinggal cerita. Sebalikya, pemerintah juga dingatkan bukan karena atas nama konservasi lantas menghilangkan tradisi menangkap ikan paus oleh nelayan Lamalera.

Persoalan ini mesti dilihat secara arif dan bijaksana. MUngkin, salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah membolehkan nelayan Lamalera menangkap ikan paus tapi jumlah tangkapan setiap tahun harus dibatasi. Untuk hal ini, pemerintah melalui pihak terkait, termasuk Tim Konservasi Laut Sawu harus bisa memastikan berapa banyak Koteklema yang bermigrasi di laut Sawu dalam satu musim. Dari data ini, disarankan berapa yang ditangkap nelayan. Beriktunya, yang ditangkap adalah koteklema jantan, bukan betina atau yang sedang menyusui.

Kotaro Kojima, orang Jepang yang mendalami tentang tradisi penagkapan ikan paus, mengatakan, "Memang laut harus konservasi. Tidak boleh sembarang dan seenaknya. Tapi Lamalera itu warisan kebudayaan manusia. Jadi, tradisi ini tidak boleh hilang." (pk edisi 1, 2, 3 juni 2009, hal 1)


Selanjutnya...

Minggu, 26 April 2009

Selamat Jalan Pak Piet



Mantan Gubernur NTT, Herman Musakabe (kiri) menjenguk Piet A Tallo






TIDAK ada yang kebetulan di bawah kolong langit. Semuanya sudah dalam rencana Tuhan. Itulah salah satu ungkapan khas yang selalu diucapkan oleh Piet Alexander Tallo, S.H, dalam banyak kesempatan ketika memimpin NTT selama dua periode. Kini, Gubernur NTT periode 1998-2008, itu telah tiada. Bupati TTS dua periode itu telah menghadap Sang Khalik pada Sabtu (25/4/2009) malam di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

Piet Tallo menjadi Bupati Timor Tengah Selatan (TTS) 1983-1988. Selama lima tahun memimpin TTS, rakyat setempat masih mencintainya sehingga melalui DPRD setempat dipilih kembali menjadi Bupati TTS untuk periode 1988-1993. Ketika memimpin TTS 1983 - 1993, Piet Tallo menjadi sangat populer tatkala ia mencetuskan Program Cinta Tanah Air.

Di daerah yang terkenal sebagai penghasil kayu cendana di NTT itu, kepopuleran Piet Tallo muncul ketika ia memberi makan lumpur kepada rakyat yang malas bekerja dan tidak mau mengolah lahan untuk bercocok tanam.

Ternyata program ini tidak serta merta diterima oleh masyarakat. Piet Tallo dikecam dan dihujat habis-habisan karena memberi makan lumpur kepada rakyatnya. Namun, dengan tenang Piet Tallo menampik hujatan itu dengan menyebutnya sebagai "lumpur kasih sayang kepada rakyat TTS".

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) ketika itu, Soepardjo Rustam (Alm) turun langsung ke SoE, Ibukota Kabupaten TTS untuk mendengar langsung kisah "Operasi Cinta Tanah Air" sampai membuat Piet Tallo harus memberi makan lumpur kepada rakyatnya yang malas bekerja.

Akhirnya, semua orang pun menyadari bahwa tindakan yang diambil Piet Tallo, itu semata-mata untuk membangkit semangat rakyatnya untuk bekerja meski terasa kejam dan sadis, karena tidak mencerminkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Setelah mengakhiri masa tugasnya di TTS, hampir dua tahun Piet Tallo tidak menduduki jabatan dalam pemerintahan. Namun, pada 1995-1996, Piet Tallo dipercayakan oleh Gubernur NTT (waktu itu), Herman Musakabe, menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) NTT.

Selepas dari BKPMD, Piet Tallo ditunjuk menjadi Wakil Gubernur NTT menggantikan SHM Lerrick sampai tahun 1998 mendampingi Herman Musakabe, yang saat itu menjabat sebagai gubernur.

Habis masa jabatan Herman Musakabe sebagai Gubernur NTT, Piet Tallo maju menjadi calon Gubernur NTT bersama Gaspar Parang Ehok dan Daniel Woda Palle. Namun, Piet Tallo, akhirnya mendapat dukungan suara mayoritas di DPRD NTT menjadi Gubernur NTT periode 1998-2003.

Posisi Wakil Gubernur NTT saat itu dijabat oleh Johanis Pake Pani, mantan Bupati Ende dua periode dan Kadis Pariwisata NTT. Posisi wakil gubernur hanya ditunjuk oleh Mendagri berdasarkan usulan dari DPRD NTT. Ketika babak berikutnya suksesi kepemimpinan NTT digelar pada 2003, Piet Tallo juga kembali mencalonkan diri. Sebagai anggota dewan pertimbangan Partai Golkar NTT, Piet Tallo, ketika itu kesulitan mendapatkan pintu masuk.

Pasalnya, Ketua DPD Partai Golkar NTT saat itu, Daniel Woda Palle, juga mencalonkan diri. Woda Palle akhirnya mengundurkan diri dan menunjukkan Esthon L Foenay sebagai kandidat Gubernur NTT dari Partai Golkar untuk berhadapan dengan Piet Tallo.

Piet Tallo akhirnya memilih Frans Lebu Raya, Ketua DPD PDI Perjuangan NTT dan Wakil Ketua DPRD NTT pada saat itu untuk mendampinginya sebagai wakil gubernur.

Ketika pentas politik suksesi kepemimpinan NTT digelar pada Juni 2003, Piet Tallo dan Frans Lebu Raya, akhirnya keluar sebagai pemenangnya dengan menyingkirkan paket dari Partai Golkar atas nama pasangan Esthon L Foenay dan Gaspar Parang Ehok, serta pasangan dari Gabungan Fraksi NTT Bersatu DPRD NTT, atas nama Victor Bungtilu Laiskodat dan Simon Hayon.

Di penghujung akhir masa jabatannya sebagai Gubernur NTT, Piet Tallo mulai jatuh sakit, sehingga operasional pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada Wakil Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, yang kini telah menjabat sebagai Gubernur NTT periode 2008-2013.

Ketika memimpin daerah ini, ada banyak petuah yang disampaikan Piet Tallo kepada masyarakat dan para pejabat dalam banyak kesempatan. Misalnya, kearifan lokal. Ini mengajak rakyat untuk memberdayakan potensi-potensi lokal yang ada pada rakyat itu untuk kesejahterannya. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Piet Tallo mencanangkan program Tiga Batu Tungku, yakni pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Selama masa tugasnya, Piet Tallo mendapat penghargaan Parasamya Purna Karya Nugraha dari Presiden Soeharto pada 21 Agustus 1989, Manggala Karya Kencana Kelas II dari Kepala BKKBN Haryono Suyono pada tahun yang sama, Anugrah Korpri Abdi Negara dari Ketua Umum Korpri H Feisal Tamin pada 2000.

Selain itu, mendapat Satya Lencana Karya Setia 20-30 tahun dari Presiden Megawati Soekarnoputri pada 28 Oktober 2002 dan penghargaan dari Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR), tropi dari Paus Johannes Paulus II pada 1997 serta medali imamat 25 tahun Kepausan dari Paus Johannes Paulus II pada 2004.

Dari Dusun Kecil

Piet Tallo dilahirkan di Tefas, sebuah dusun kecil di wilayah Kabupaten TTS pada 27 Mei 1942, dari pasangan Ch B Tallo dan Ny M Tallo-Lodo. Ketika masih duduk di bangku sekolah rakyat (SR), pria pemilik rambut perak ini sudah menampakkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang ditunjukkannya lewat sikap disiplin.

Setelah tamat dari SR GMIT SoE di Ibukota Kabupaten TTS pada 1955, ia melanjutkan pendidikan di SMP Negeri Kupang. Setelah tamat di SMP Negeri tersebut pada 1958, Piet Tallo melanjutkan ke SMA Negeri Kupang dan tamat pada 1970.

Ia pun merantau ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studinya di kota "Gudeg" Yogyakarta itu, Piet Tallo kemudian menyunting seorang wanita Jawa, Erny Christian.

Pada 15 Maret 1967, Piet Tallo dan Erny melangsungkan pernikahan suci sampai akhirnya dikarunia tiga orang anak, yakni Ch S Tallo, John Christian Tallo dan HO Tallo.

Selama masa muda, Piet Tallo dikenal banyak orang sebagai sosok seorang pria yang suka hidup berorganisasi, baik organisasi kepemudaan, keagamaan dan sosial politik. Ia pernah menjadi anggota GMKI antara 1961-1970, anggota Golkar sejak 1970, anggota Law Asian Conference (LAC) 1979.

Ia juga menjabat Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) sejak 2004, Sekretaris Dewan Pertimbangan Partai Golkar NTT antara 1994-1998 serta Ketua Dewan sesepuh SOSKI NTT dari 1990 sampai 1996.

Ketika masih duduk di bangku kuliah pun, Piet Tallo dipercayakan menjadi ajudan Rektor UGM Yogyakarta antara 1965-1967. Setelah tamat di UGM Yogyakarta, ia kembali ke NTT untuk mencari pekerjaan. Pada 1 September 1970, ia mulai meniti karirnya sebagai seorang pamong praja ketika diterima menjadi pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah daerah NTT.

Tenaga sarjana ketika itu masih tergolong langka di NTT sehingga ia dipercayakan menjadi dosen di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Kupang antara 1972-1983 dan menjadi Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang antara 1972-1978.

Dalam kurun waktu tersebut, Piet Tallo mendapat banyak tugas di lingkungan pendidikan dan kepemudaan. Antara lain menjadi Ketua Komisariat Daerah (Komda) PSSI NTT dan Ketua Andalan Daerah Urusan Putra pada Kwartir Daerah Pramuka NTT. Antara tahun 1974-1983, Piet Tallo dipercayakan menjadi Kepala Dinas Pendapatan Daerah NTT.

Selamat jalan Pak Piet, jasa dan pengabdianmu tetap akan dikenang oleh seluruh rakyat NTT. (lorens molan/ant/gem)
Selanjutnya...

NTT Berkabung


POS KUPANG/REDDY NGERA
UANG TASPEN -- Wakil Gubernur NTT, Ir. esthon L Foenay, M.Si menyerahkan uang Taspen kepada mantan Gubernur NTT, Piet A Tallo, SH di kediamannya di Jalan Amabi, Oebufu, awal Maret 2009 lalu.


SEKITAR 4,4 juta penduduk Nusa Tenggara Timur berkabung. Pada pukul 20.25 WIB, Sabtu (25/4/2009), Piet Alexander Tallo, S.H, Gubernur NTT periode 1998-2008, meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta.

Piet Tallo yang meninggal dunia dalam usia 67 tahun, menderita penyakit asma kronis hingga mengganggu paru-paru dan jantungnya. Pada 22 September 2007, sebelum mengakhiri masa jabatan kedua, Piet Tallo jatuh sakit hingga dirawat di RS Dr. Soetomo Surabaya, setelah sebelumnya sempat dirawat di RS Tebet, Jakarta.

Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya yang sedang bertugas di Jakarta langsung melayat Piet Tallo di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Saat dihubungi ke telepon selulernya semalam, Lebu Raya mengatakan, pencanang program Tiga Batu Tungku, itu disemayamkan di rumah duka Gatot Subroto. Dan, Minggu pagi dibawa ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng untuk diterbangkan ke Kupang, NTT menggunakan pesawat Mandala.

Jenasah tiba di Kupang siang ini sekitar pukul 12.30 Wita. Untuk pemakamanan akan dikoordinasikan dengan pihak keluarga soal jadwalnya. Sedangkan tata upacaranya akan ditangani oleh pemerintah karena beliau adalah mantan pejabat negara.

Atas nama pribadi, pemerintah dan masyarakat NTT, Lebu Raya menyatakan duka mendalam atas berpulangnya Gubernur NTT ke-7 itu. Menurut Lebu Raya, hampir seluruh hidupnya, Piet Tallo mengabdikan diri untuk NTT. "Pengabdiannya selama ini dan jasanya tetap dikenang. Kita doakan," kata Lebu Raya.

Hal penting lainnya, demikian Lebu Raya, keteladanan, kebapaan dan kerja kerasnya tentu menjadi nilai yang harus diwarisi oleh masyarakat NTT. Selama mendampingi almarhum lima tahun sebagai wakil gubernur, Lebu Raya mengaku menimba banyak pengalaman. Almarhum selalu memberikan nasihat, terutama soal kesejahteraan rakyat NTT.

"Sejak awal mendampingi beliau, saya menyampaikan hormat. Hormat karena beliau sebagai gubernur dan sebagai seorang bapak. Saya memetik banyak pengalaman soal kepemimpinan untuk diteruskan demi kemajuan NTT. Itulah kesan saya selama mendampingi beliau," kata Lebu Raya.

Menurut Lebu Raya, almarhum selalu memperhatikan staf dan mengingatkan dalam petuah-petuah.

"Saya bertemu beliau di TTS semasa menjabat bupati di sana, dan saya Ketua GMNI. Saya ingat betul petuahnya, "Nak Frans, kalau mau jadi besar harus keluar dari dalam batu.' Bagi saya itu luar biasa untuk sebuah perjuangan hidup. Saya tidak menduga beliau gubenur dan saya mendampingi sebagai wakilnya," kata Lebu Raya.

Lebu Raya mengatakan, banyak masyarakat NTT di Jakarta yang melayat. "Banyak masyarakat NTT memadati rumah sakit ini untuk melihat dari dekat jenazah beliau. Itu karena ketokohan dan keteladanan yang ditunjukkan semasa hidup. Kita doakan semoga arwah beliau diterima di sisi Tuhan," ujarnya.

Lebu Raya mengharapkan warga NTT, terutama masyarakat Kota Kupang menghargai beliau dengan menjemput jenazah di Bandara El Tari, Kupang. Selanjutnya partisipasi dalam keseluruhan proses hingga pemakaman perlu ditunjukkan.

Dalam suatu kunjungan ke Redaksi Pos Kupang tahun 2007, Piet Tallo sempat menyampaikan kondisi kesehatannya, yaitu paru-parunya bermasalah sehingga menyebabkan gangguan jantungnya.

Asma Kronis

Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT, dr. Stefanus Bria Seran, berdasarkan informasi yang diterimanya dari dr. Frans Humalesy (dokter pribadi Piet Tallo) di Jakarta, mengatakan, Piet Tallo meninggal karena menderita penyakit asma kronis.

Menurut Bria, Piet Tallo memasuki puncak masa kritis di ruang perawatan sekitar pukul 20.00 WIB, Sabtu (25/4/2009, kemudian dipindahkan ke ruang ICU. Sekitar pukul 20.23 WIB, Piet Tallo menghembuskan nafas terakhir.

Piet Tallo ke Jakarta pada 4 Maret 2008 untuk melakukan kontrol rutin di RSPAD Gatot Subroto sesuai skedul yang dibuat tim dokter. Tentang riwayat penyakitnya, Bria mengatakan, sakit sejak 24 Juli 2007. Sempat dilarikan ke RSU WZ Johannes Kupang, lalu dirujuk ke RS Tebet Jakarta. Selama hampir dua bulan dirawat, kondisinya membaik dan kembali ke Kupang, 22 Agutus 2008.

Namun, pada 22 September 2007, ia kembali menjalani perawatan di RS Dr. Soetomo Surabaya selama empat bulan hingga 30 Januari 2008. Selama di RS Dr. Soetomo, Piet Tallo dioperasi dan sebuah ventilator dipasang melalui tenggorokannya sebagai alat bantu pernafasan.
Di Kupang ia kembali menjalankan tugas sebagai Gubernur NTT, tetapi tidak maksimal. Sampai dengan berakhirnya masa jabatan gubernur 16 Juli 2008, ia berkantor di rumah jabatan Gubernur NTT.

Ketika Frans Lebu Raya dilantik menjadi Gubernur NTT menggantikan Piet Tallo, bersama keluarga ia pindah ke rumah pribadinya di Jalan Amabi-Maulafa-Kupang. Alat bantu pernafasan itu tetap menancap di lehernya. "Kamis (5/3/2009), beliau berangkat ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan rutin di RS Gatot Soebroto," kata Bria.

Asisten I Setda NTT, Drs. Yosep A. Mamulak, yang ditemui di rumah duka, di Jalan Amabi- Maulafat Kupang, menjelaskan, jenazah Piet Tallo akan diberangkatkan dari Jakarta ke Kupang, Minggu (26/4/2009) siang, dengan pesawat Mandala. Jenazah tiba di Bandara El Tari sekitar pukul 12.30 Wita. Tentang tempat dan rencana pemakaman, Mamulak mengatakan pemerintah masih melakukan koordinasi dengan pihak keluarga. "Sampai dengan malam ini, jenazah Piet Tallo disemayamkan di RSPAD Gatot Subroto.

Pantauan Pos Kupang hingga pukul 23.50 di rumah duka Jalan Amabi, Kelurahan Oebufu, tampak potret Piet Tallo terpampang di ruang tengah rumah duka. Potret itu diletakkan di atas sebuah meja kecil. Para kerabat dan kenalan terlihat sibuk, mempersiapkan ruangan itu. Rencananya di ruang itu menjadi tempat semayam jenazah Piet Tallo.

Sejumlah pejabat tampak hadir di rumah duka, antara lain Kadistamben Propinsi NTT, Drs. Yohannes Bria, Karo Umum Setda NTT, Drs. Bruno Kupok, Kasubdin PLS pada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga NTT, Marthen Dira Tome. Selain para pejabat, di sekitar rumah duka hingga badan jalan, banyak masyarakat yang datang. Di sisi jalan itu, dipadati mobil dan motor.

Sementara salah seorang putri Piet Tallo, Ina Tallo mengatakan, beliau ke Jakarta 4 Maret 2009 bersama Ny. Erni Tallo dan putri bungsunya, Vera Tallo serta dr.Frans Humalesi untuk check up dan memeriksa penyakit asma dan gangguan tenggorokan yang dideritanya sejak 24 Juli 2007 lalu, di RSPAD Gatot Subroto.

Menurut Ina, saat itu Piet Tallo dalam keadaan baik, namun setelah melakukan check up di RSPAD Gatot Subroto, asma dan gangguan tenggorokan kembali kambuh sehingga harus menjalani opname di ruang ICU RSPAD Gatot Subroto hingga menghembuskan nafas terakhir, disaksikan Ny. Erni Tallo dan Vera Tallo, anak bungsunya.

Pantauan Pos Kupang, Sabtu (25/4/2009) pukul 22.30 Wita, sanak saudara dan keluarga serta sahabat kenalan terus berdatangan di rumah duka di Jalan Amabi, Kupang menyalami Ina Tallo, sebagai tanda turut berduka. Diantara pengunjung hadir Asisten I Setda NTT, Yos Mamulak dan Kasubdin PLS Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Propinsi NTT, Ir.Marthen Luther Dira Tome.

Sambil memegang foto ayahnya, Ina terus meneteskan air mata. Sesekali ia menerima telepon yang datang dari berbagai daerah yang menanyakan keberadaan almahrum dan ia menjawab, bahwa bapak meninggal di Jakarta dan besok (hari ini) diterbangkan ke Kupang menggunakan pesawat Mandala Air. Tampak semua keluarga dan semua yang datang ke rumah duka langsung membersihkan dan membereskan ruangan bagian dalam dan luar. Puluhan warga yang datang tampak berdiri bergerombolan di halaman rumah di antara puluhan kendaraan roda dua dan empat. (gem/den/mas)



Riwayat Sakit:

24 Juli 2007: Dirujuk ke RS Tebet Jakarta karena menderita sakit asma kronis dan radang berat pada saluran pernapasan. Sebelum dirujuk dia sempat dilarikan ke RSU WZ Johannes Kupang.

22 Agustus 2007: Kembali ke Kupang dalam kondisi segar bugar

22 September 2007: Menjalani perawatan di RS Dr. Soetomo Surabaya. Di sana lehernya dioperasi untuk memasukkan ventilator sebagai alat bantu pernafasan melalui tenggorokannya.

30 Januari 2008: Kembali ke Kupang dengan ventilator di leher. Sampai dengan berakhirnya masa jabatan sebagai gubernur NTT pada 16 Juli 2008, ia menjalankan tugas sebagai gubernur dari rumah jabatan.

16 Juli 2008: Drs. Frans Lebu Raya dilantik menjadi Gubernur NTT menggantikan Piet Tallo. Ia dan keluarganya pindah ke rumah pribadi di Jalan Amabi, Maulafa, Kota Kupang.

4 Maret 2009: Ke RSPAD Gatot Subroto Jakarta untuk melakukan kontrol rutin.

25 April 2009: Meninggal dunia di ICU RS Gatot Soebroto.



Selanjutnya...

Kota Kasih Jangan Hanya Slogan

TANGGAL 25 April , diperingati sebagai hari ulang tahun Kota Kupang. Tahun 2009 ini, kota yang dikenal dengan sebutan kota KASIH, genap berusia 13 tahun. Usianya masih relatif muda. Oleh karena itu, sangat tidak fair jika kita membuat perbandingan lurus Kota Kupang dengan kota lainnya di Indonesia.

Kota Kupang memang masih jauh tertinggal, namun kita tidak bisa menutup mata dengan apa yang dicapai dalam perkembangan pembangunannya. Kota Kupang terus berbenah diri untuk layak disebut sebagai kota yang maju.

Berbagai cara dan upaya dilakukan untuk mempercantik Kota Kupang agar wajahnya gemerlap nan molek. Pusat-pusat perbelanjaan terbentuk, seperti halnya di Jalan Palapa, Jalan WJ Lalamentik, Jalan Timor Raya. Pusat-pusat hiburan juga menjamur. Harus diakui bahwa tanda-tanda kemajuan sudah mulai nampak.

Namun di sisi lain, masih banyak persoalan pembangunan yang belum teratasi secara baik. Sebagai kota yang sedang tumbuh, persoalan tata ruang menjadi masalah yang pelik. Sejauh ini, tata ruang kota masih tidak jelas. Tidak heran kalau peruntukan lahan-lahan di Kota Kupang dilakukan dengan sesuka hati. Sudah seharusnya dan selayaknya tata ruang ada dan Pemkot Kupang berupaya untuk mensosialisasikannya. Hal ini untuk menghindari salah tata letak dan fungsinya, serta ada kontrol dari warganya apabila ada penyimpangan peruntukan wilayah.

Sudah sewajarnya jika sejak dini Pemkot Kupang sebagai fasilitator mensosialisasikan terus menerus area mana yang direncanakan untuk perkantoran, area untuk bisnis, area terbuka untuk publik, dan area terbuka hijau. Yang dirasakan selama ini begitu cepat perkembangan kota namun kelihatannya masih belum ditata dengan mempertimbangkan keberlanjutan kota ke depan. Contoh nyata, dimana-mana tumbuh dan dibangun ruko yang kadang justru berada di lokasi yang dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas.

Pembangunan jalan dan drainase juga terkesan asal jadi. Ketika musim hujan, beberapa ruas jalan kota yang telah beraspal hotmix terendam banjir. Saluran drainase yang tidak baik, sempit, bergelombang dan buntu membuat air dan sampah meluber ke jalan. Kesadaran warga yang rendah untuk menjaga kebersihan lingkungan, seperti membuang sampah sembarangan, turut memperparah/merusak wajah kota. Hal lain yang cukup urgen untuk diperhatikan adalah, perlu dibangunnya hutan kota sebagai ajang rekreasi warga yang murah meriah. Hutan kota juga sebagai wahana meningkatkan tali silaturahmi dan kedekatan antar warga tanpa mengabaikan sisi keindahan kota. Pengelolaan kawasan terbuka hijau sebagai paru-paru kota perlu ditingkatkan sehingga tercipta hutan kota yang dapat mengurangi polusi.

Penataan pedagang kaki lima juga belum memperlihatkan hasil yang maksimal. Memang sudah ada pedagang kaki lima yang diarahkan untuk menempatkan kawasan tertentu, seperti di pusat jajan serba ada (Pujasera) di Kelurahan Kampung Solor. Namun masih banyak yang belum terakomodir sehingga mereka sesuka hati menentukan tempat jualan sendiri, seperti di jalan-jalan protokol, halaman kantor pemerintah dan swasta. Pemerintah semestinya membantu mereka dengan membuat tempat jualan yang rapi, artistik dan dijaga kebersihannya oleh para pedagang sehingga tidak mengurangi keindahan kota. Pemkot perlu memikirkan pengalokasian yang cukup untuk ruang/tempat jualan dilokasi yang strategis bagi para pedagang kaki lima namun mereka perlu diedukasi secara terus menerus untuk dapat berkontribusi menjaga keindahan dan kebersihan kota. Pemerintah sebaiknya lebih memberi ruang dan perkembangan pada pusat perbelanjaan tradisional namun modern dalam pengelolaannya.

Sampah juga masih menjadi persoalan pelik Kota Kupang. Selain dibuang sembarang, pengelolaan sampah belum baik. Masih belum adanya pengelolaan sampah yang terdesentralisasi dan selama ini masih terpusat di tempat pembuangan akhir (TPA) Alak, telah menambah persoalan ke depan karena sampah yang dihasilkan warga dari hari ke hari, dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun akan semakin menumpuk. Sudah sewajarnya Pemerintah mestinya mencari solusi bijak cara pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. Warga harus diedukasi sehingga muncul kesadaran untuk menangani sampah mulai dari rumah tangga.

Tidak cukup tersedianya ruang publik, didukung dengan gaya hidup orang kota yang cenderung individualis, telah menyebabkan longgarnya kekerabatan. Hal ini jika terus dibiarkan akan menyuburkan SARA, dan menghilangkan keberagaman. Perlu dipikirkan kegiatan yang dapat mempererat dan mempersatukan warga yang beragam sehingga tidak terjebak dalam kesempitan cara pandang serta mampu meningkatkan dialog antar suku, antar iman dan antar kaya-miskin.

Pola pemukiman yang cenderung berbasis etnis/suku diusahakan agar dikurangi dan diusahakan keanekaragaman dari SARA sehingga memudahkan warga dalam melakukan komunikasi lintas SARA sehingga dapat mengurangi kemungkinan konflik. Dialog lintas agama, suku dan golongan, antar orang kaya dan miskin hendaknya terus digalakkan sehingga warga tidak terjebak dalam cara berpikir yang keliru.

Peringatan HUT ke-13 Kota Kupang tahun ini hendaknya dijadikan momentum untuk refleksi. Apakah berbagai pencapaian saat ini dan kedepan nanti, mencerminkan KASIH? Kita tidak mau KASIH hanya slogan belaka. KASIH harus tercermin dalam setiap aktifitas pembangunan dan kehidupan kemasyarakatan. Berbagai persoalan pembangunan yang senantiasa melilit, hendaknya juga diselesaikan dengan semangat KASIH. (pk edisi 24 april 2009 hal 14)
Selanjutnya...