Minggu, 06 Maret 2011

Basira di Pusaran Ketertinggalan


BAYANGKAN Pulau Flores. Abaikan bagian tengah dan baratnya. Arahkan pikiran ke ujung timur. Pada 'kepala burung' yang kerap disebut Tanjung Kopong Dei, nah disitulah desa Patisira Walang.

Patirisa Walang lebih dikenal dengan Basira. Menjadi desa definitif tahun 1995, setelah tiga tahun melakukan persiapan. Basira berada di Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. Sebelumnya, Basira yang saat ini didiami sekitar 250 kepala keluarga, dalam pelukan Desa Latonliwo.

Mendatangi Basira, so pasti tidak segampang membayangkannya. Pasalnya, infrastruktur sangat tidak layak. Jalan rusak parah. Angkutan umum pedesaan tidak ada. Perjalanan menghabiskan waktu yang lama, melelahkan, dan nyawa taruhannya.

Saya berkesempatan mengunjungi Basira pada akhir Juli 2010. Terlibat dalam kegiatan Kemah Kerja Kitab Suci (K3S) Aktivitas Pendalaman Iman (API) Renha Rosari Mahasiswa Katholik Dioses Larantuka-Kupang.

Bersama tiga teman, Kris Hayon, Alo Lebuan dan Feris Koten, menjajal perjalanan darat dengan menunggang sepeda motor. Perjalanan dimulai dari Larantuka, melewati Waiklibang, ibu kota Kecamatan Tanjung Bunga. Larantuka-Waiklibang ditempuh dengan 45 menit, sedikit lebih cepat jika dibandingkan dengan menumpang angkutan pedesaan.

Sekitar satu kilometer selepas Waiklibang, tepatnya di Riangpigang, belok kanan menuju Basira. Kondisi jalan Waiklibang-Basira, memang tidak semua rusak. Satu dua kilometer pertama, jalan masih bagus. Rabat beton masih utuh. Setelah itu, jalan rusak parah. Ada ruas jalan yang sudah diaspal, namun aspal terkelupas sehingga meninggalkan lubang di sana sini. Ada juga ruas jalan rabat beton, namun kondisinya sama parah dengan ruas jalan tanah. Selain karena konstruksinya kurang bagus, diduga karena pada saat campuran semen masih basah, sudah dilewati kendaraan. Jejak kendaraan terlihat jelas pada rabat beton.

Selain rusak, umumnya jalan sempit, berkelok-kelok, mendaki dan menurun. Kerikir berserakan. Melintasinya, membutuhkan kehati-hatian. Jika tidak, terpeleset dan jatuh, sebagaimana dialami Kris Hayon dan Alo Lebuan. Motor lecet, badan luka-luka. "Ini resiko perjalanan," celetuk Feris Koten, sambil tertawa.

Memasuki Basira, mulai dari Koten, Desa Latonliwo, jalan baru dikerjakan, memotong bukit dan gunung. Jalan tanah dengan lebar empat meter, sepanjang tiga kilometer. Jalan tembus Basira pada tanggal 27 Juli 2010. Pengerjaan jalan berhenti persis di tengah desa.

Dengan dibukanya jalan, memudahkan kendaraan mencapai Basira. Jauh sebelumnya, kendaraan dari Waiklibang berhenti di Latonliwo. Selanjutnya, warga berjalan kaki. Sekarang, untuk bepergian, warga bisa menggunakan sepeda motor ojek. Ongkos ojek Waiklibang-Basira Rp 50.000, belum termasuk ongkos barang bawaan. Waiklibang-Basira berjarak sekitar 30 kilometer, ditempuh 1,5 jam.

"Indonesia sudah lama merdeka tapi Basira belum merdeka. Jalan baru saja dibuka, belum diaspal. Kalau musim hujan, sangat parah karena berlumpur," ujar Simon Suda Soge (50), tokoh masyarakat Basira.

Jalur darat bukan satu-satunya pilihan ke Basira. Basira bisa juga diakses lewat jalur laut. Moda transportasi yang menjadi andalan adalah perahu motor. Hanya ada dua perahu motor, itu pun tidak setiap hari beroperasi. Adapun jadwalnya, Senin dan Kamis berangkat dari Basira, sedangkan dari Larantuka setiap hari Selasa dan Jumat, naik di Lewerang, dekat pelabuhan pendaratan ikan. Tarif Rp 20.000 per penumpang, belum termasuk barang bawaan. Kalau membawa semen atau beras, setiap satuannya dikenai ongkos angkut Rp 5.000. Untuk seng, ongkos angkutnya Rp 2.500 per lembar. Ongkos angkut ini berlaku juga saat tiba di Basira, dari pelabuhan ke rumah warga. Jalan mendaki dan jaraknya sedikit jauh, menjadi alasan warga meminta bayaran kepada pemilik barang. Ongkos pikul satu sak semen Rp 5.000, seng Rp 2.500 per lembar.

Selain jalan yang rusak dan sarana transportasi yang tidak memadai, masalah listrik turut mempertegas kondisi memprihatinkan Basira. Saat ini, menggunakan listrik tenaga surya atau solar raise, bantuan pemerintah Propinsi NTT. Tidak semua rumah tangga menikmatinya, karena solar raise hanya 31 paket. Satu paket dipasang di kantor desa dan 30 paket lainnya di rumah warga. Pemasangan dilakukan Oktober 2009.

Arus listriknya yang terbatas, membuat setiap rumah tangga yang memiliki solar raise, hanya bisa menyalakan lampu berdaya 10 Watt. Meski dengan tiga lampu, tidak cukup untuk membaca buka karena cahanya suram. Menyalakan televisi, sudah tentu tidak mungkin.

Sektor pendidikan Basira juga pincang. Ada satu taman kanak-kanak dan dua sekolah dasar, yaitu SD Negeri Tone dan SD Inpres Lantoliwo. Kondisi SD Negeri Tone sangat memprihatinkan. Dindingnya dari keneka, bambu yang dicincang dan dibelah. Murid dan guru bisa diliat dari luar lewat celah keneka. Lantai tanah. Bangku meja apa adanya, dan terbatas. Satu bangku dan meja yang seharusnya digunakan dua murid, dimanfaatkan empat orang. Duduknya berdesakan. SD Negeri Tone dibangun pasca gempa tahun 1992 pasca gempa, namun sampai saat ini tidak diperbaiki.

Jumlah guru juga masih kurang. SD Negeri Tone, misalnya, hanya ada empat guru PNS dan empat guru honorer. Jangan tanya soal fasilitas lainnya, seperti komputer karena memang tidak ada. Anak-anak yang tamat SD, melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Tanjung Bunga di Koten, Desa Latonliwo. Pergi pulang dengan berjalan kaki. Jauh sebelumnya, banyak anak dari Basira dan desa tetangga lainnya sekolah di SMP Negeri Tanjung Bunga di Waiklibang.

Sektor kesehatan juga bermasalah. Satu-satunya sarana kesehatan yang ada di Basira adalah poliklinik, dengan satu bidan. Jika warga sakit berat, maka berobat ke puskesmas pembantu di Desa Latonliwo dan ke puskesmas Waiklibang. Banyak juga yang berobat ke Larantuka. Anda bayangkan bagaimana jika seorang ibu hamil nifas membutuhkan pertolongan segera. "Idealnya ada puskesmas di Basira," ujar Damianus Bading Kesin (29).

Ketertinggalan Basira turut berpengaruh pada perekonomian dan pembangunan. Warga sulit membangun rumah permanen karena sulit memperoleh bahan bangunan. Pasir, misalnya, harus diangkut dengan menggunakan motor laut dari Tana Belen, Aransina dan Lewotutu, sekitar 10 kilometer dari Basira. Satu kubik pasir setara dengan 52 blek Khongguan besar, seharga Rp 200.000. Ongkos angkut dengan perahu Rp 300.000. Ongkos pikul dari pantai ke rumah warga Rp 5.000 per blek Khongguan.

"Saat membangun kantor desa tahun 2007, warga merasakan susah mengangkut material bangunan. Sekarang, warga yang adalah umat juga keberatan pembangunan gereja permanen karena khawatir gereja belum selesai umat sudah mati karena pikul barang," ujar Simon Soge.

Umumnya, masyarakat Basira hidup dari bercocok tanam. Hasil pertanian yang menonjol dan menjadi andalan adalah kacang tanah, jagung, padi serta jambu mete. Kacang tanah polong dijual Rp 50.000 per blek Khongguan. Gaplek atau ubi kayu kering dijual Rp 13.000 per blek Khongguan, dan jambu mente Rp 8.000 per kg. Basira juga sebagai daerah penghasil ikan. Selain untuk makan, hasil pertanian dan laut dijual tapi tidak seberapa banyak karena terkendala pasar. Untuk berjualan, harus ke Waiklibang dan Larantuka. Jarak yang jauh serta sarana yang terbatas, membuat jumlah barang yang dibawa juga terbatas. Ikan dan hasil pertanian lainnya seperti buah-buahan berpotensi rusak di perjalanan, sebelum dijual.

Kadang, ada pembeli datang di Basira. Umumnya, berasal dari Bugis/Makasar (Selawesi Selatan) dan Maumere, Kabupaten Sikka. Meski satu sisi menguntungkan, namun di sisi lain, kehadiran pembeli di Basira melemahkan posisi tawar petani/nelayan. Tidak sedikit petani/nelayan terjebak sistim ijon.

Kondisi Basira yang tertinggal khusus merupakan potret kesenjangan pembangunan desa dan kota. Selama ini pembangunan masih berorientasi kota, sementara desa semakin terabaikan. Tengok saja di kota, segala sesuatu menumpuk di sana. Aparatur pemerintah juga semuanya terkonsentrasi di kota. Jika hal ini terus dibiarkan maka pembangunan antara desa dan kota menjadi gap yang kian lebar. Kota semakin maju sementara desa kian tertinggal. Dikotomi desa dan kota semakin menguat. Sudah pasti, menimbulkan kecemburan dan menyuburkan benih-benih disintegrasi.

Keberadaannya jauh dari pusat pemerintahan, bukan menjadi alasan pemerintah daerah untuk tidak memperhatikan Basira atau desa lainnya. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah Kabupaten Flores Timur dan pemerintah Propinsi NTT bersinergi memprakarsai pengembangan desa dengan berbagai bentuk intervensi program pembangunan, dengan mengoptimalkan sumber daya serta kearifan lokal yang dimiliki, agar kondisi Basira dan atau desa lain, kedepannya lebih baik. Pada aras ini, dibutuhkan political will, yang diikuti dengan kebijakan pengalokasian anggaran pembangunan desa yang lebih banyak. Mari membangun dari desa, demikian koor yang harus terus dinyanyikan bersama. Hanya dengan begitu, Basira atau desa lain, bisa keluar dari pusaran ketertinggalannya. (diturunkan di Pos Kupang, 20 Januari 2011)

Tidak ada komentar: