Selasa, 23 September 2008

Membangun Kemandirian Lokal

Berawal dengan Cinta (1)

Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape

INSTITUTE of Cross Timor for Common Property Resources Development (InCrEaSe) bekerja sama dengan Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang menyelenggarakan diskusi bertajuk, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT. Kegiatan dalam rangka memperingati 50 Tahun NTT ini dilaksanakan di ruang Redaksi Pos Kupang, Rabu (10/9/2008. Sekitar 30 orang dengan berbagai latar belakang hadir saat diskusi itu.

NUANSA lokal hadir di ruangan berukuran 12 x 7 meter lantai II Kantor Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang di Jalan Kenari 1, Kupang, Rabu (10/9/2008). Kesan pertama tertangkap dari selembar kain latar sepanjang 2,5 x 1 meter. Pada kain yang ditempel pada dinding itu tertera tulisan, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT.
Tulisan itu 'dibingkai' dengan tujuh foto. Semuanya menggambarkan aktivitas masyarakat NTT. Ada foto warga sedang membuat gula lempeng. Ada yang sementara menenun. Ada juga yang sedang memasak garam, mengalirkan air dengan bambu serta membuat keramik. Indah nian.

"Wah, ini kegiatan tanpa dana, tapi persiapannya luar biasa. Semoga kita dapat menghasilkan hal-hal yang luar biasa untuk membangun daerah," ujar Farry DJ Francis dari InCreaSe, yang selama diskusi bertindak sebagai moderator.
Kesan kedua, ditangkap dari latar belakang peserta diskusi. Dari tiga puluhan peserta, hanya Mr. Matzui Kasuhiza dan Petrarca Karetji (DZF-Sofei/Bakti) yang non NTT. Matzui adalah peneliti senior i-i net/Expert JICA berkebangsaan Jepang. Sedangkan Petrarca keturunan Ambon-Papua. Selebihnya adalah putra-putri NTT. Semua peserta duduk di belakang meja yang ditata membentuk 'U'.

Nuansa lokal memang sengaja dimunculkan. Itu karena topik yang didiskusikan adalah Membangun Kemandirian Masyarakat NTT. Hal-hal yang dipercakapkan tidak bisa lepas dari lokalitas daerah. Tentang potensi lokal.
Diskusi diawali dengan pemutaran sebuah film (video streaming) berdurasi 15 menit. Film itu menampilkan warga Desa Tunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, yang bergotong royong membuka jalan raya untuk menghubungkan beberapa desa. Di akhir cerita, masyarakat Tunbaun berhasil membangun jalan. Dengan jalan, mobilisasi manusia dan barang dari dan ke Tunbaun menjadi lancar.

Fakta potensi lokal beserta nilai-nilai budaya yang tersaji sebenarnya mau menepis stigma NTT sebagai daerah miskin. Pada tahun 1960-an, NTT dikenal sebagai panghasil kopra nomor empat di Indonesia. Sebagian besar orang Flores hidup dari kopra. Banyak orangtua menyekolahkan anaknya ke Jawa, tapi mereka tidak mati kelaparan di kampung. Tahun 1960-an Pulau Timor dikenal sebagai penghasil sapi. Presiden Soeharto sampai manjadikan Timor sebagai penghasil bibit ternak nasional.

Anggaran yang digelontorkan untuk membiayai pelaksanaan program-program pembangunan di NTT dari tahun ke tahun terus meningkat. Umumnya dikelola oleh pemerintah, swasta dan LSM.

Pada tahun 2008, misalnya, NTT mendapat anggaran dari APBN senilai Rp 10,7 triliun. Jumlah ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2007 yaitu Rp 9,2 triliun lebih. Ironisnya, angka kemiskinan di NTT semakin meningkat.

"Lebih ironis lagi, sekarang orang NTT perlu minyak goreng mesti beli bimoli (merek sebuah minyak goreng kemasan, Red). Mau makan daging harus datangkan ayam dari Surabaya. NTT mengalami kekurangan pangan hingga saat ini. Generasi NTT sekarang, generasi kurang gizi," kata Damyan Godho, saat memberi pengantar diskusi.

"Teman-teman LSM perlu introspeksi, apakah kehadiran LSM juga menolong masyarakat kita untuk mambangun dirinya sebaik mungkin sehingga ketika ia menghadapi masalah, mampu menolong dirinya?" sambung Damyan.
Semasa biduk NTT dinakhodai Gubernur El Tari, NTT bertekad menjadi daerah swasembada pangan. "Tanam, tanam dan tanam," demikian semboyan yang digelorakan El Tari kala itu. Masyarakat diwajibkan menanam.

Beberapa bupati menindaklanjuti program swasembada pangan dengan menggerakkan warga untuk bergotong-royong membangun irigasi. Di Manggarai, misalnya, masyarakat mambangun irigasi Lembor. Begitu juga di Mbay. Namun, tekad ini menjadi tidak jelas sepeninggal El Tari. Setelah dibangun irigasi, orang NTT tetap kelaparan. NTT menjadi daerah yang bergantung pada komoditi pangan yang dihasilkan daerah lain. Beras diimpor. Ubi dan jagung juga demikian.

Kondisi NTT dulu dan sekarang sebagaimana dipaparkan Damyan tidak berbeda dengan apa yang direkam Matzui Kasuhiza. Matzui mengatakan, pembangunan daerah-daerah di Indonesia mesti mulai dari desa. Pembangunan itu seyogyanya terdorong oleh rasa cinta. Cinta dapat menghasilkan motivasi yang kuat.

"Kalau kita membahas pembangunan desa atau pembangunan kampung, kita harus mencintai kampung kita. Kalau benci sama kampungnya, tidak mungkin kita bisa memperbaikinya," kata penasihat otonomi daerah di Provinsi Sulawesi Selatan yang cukup fasih berbahasa Indonsia ini.

Pertanyaan berikutnya, apakah Anda bangga atau malu dengan kampung halaman Anda. Kalau Anda malu, bagaimana bisa memperbaikinya. "Apalagi kalau merasa malu dan benci dengan tradisi-tradisi," kata Matzui.
Pembangunan tidak harus menjadikan kampung-kampung kita seperti Jakarta atau Singapura. Hal-hal yang dianggap kuno di desa-desa tidak harus diganti dengan yang baru yang dianggap modern.

Atas nama pembangunan, kita selalu mengadakan pelatihan atau kesempatan belajar S2 dan S3 kepada orang-orang kita ke luar negeri. "Tapi, jangan lupa sekolah atau pendidikan itu harus sambung dengan daerah setempat. Karena mereka yang belajar di luar negeri mendapatkan ilmu-ilmu yang belum tentu sama dengan ilmu setempat. Jadi sebenarnya perkembangan pendidikan bisa berfungsi agar siswanya tidak lari dari daerah setempat. Berapa banyak lulusan S2 dan S3 yang kembali ke kampung halamannya dan memberi kontribusi bagi pembangunan desa dan daerahya? Matzui mengajukan pertanyaan menggelitik.

Dari Makan dan Minum (2)

PEMBANGUNAN mulai dari makan. Demikian dikatakan Matzui Kashiza. Mengapa? "Karena makan merupakan kegiatan manusia yang paling pokok. Manusia harus makan untuk hidup dan sehat. Makanan yang sehat menciptakan manusia yang sehat. Selanjutnya, daerah yang sehat menciptakan negara yang sehat. Dan, negara menjadi sehat jika daerahnya sehat," kata Matzui memberi alasan.

Matzui betul. Kita hidup tidak hanya untuk makan. Tetapi untuk hidup, kita membutuhkan makanan. Karena makanlah kita bisa bekerja produktif. Karena terpenuhinya kebutuhan gizi, maka kita bisa mengembangkan diri dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi diri, daerah dan bagi kehidupan manusia. Sebaliknya, kita tahu bahwa orang-orang lapar cenderung destruktif. Karena laparlah, maka orang bisa bermata gelap dan tidak bisa menghasilkan karya apa-apa.

Matzui lantas memberi pertanyaan lanjutan yang membuat peserta diskusi terperangah. Sederhana formulasinya, tapi bermakna dalam. Masyarakat sehari-hari makan apa? Apakah makanan dan cara makannya sehat dari segi ilmu gizi? Makanan tersebut berasal dari mana? Dari desa sendiri atau dari luar desa? Usaha tani atau nelayan untuk dikonsumsi/dimakan oleh siapa?

Semua kita tahu bahwa NTT adalah daerah pertanian. Ada sekitar 80 persen masyarakat NTT menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Umumnya mereka tinggal di desa-desa. Tapi soal mengurus pertanian, kita melakukannya tapi tidak secara serius. Sektor pertanian kita abaikan. Selama ini kita selalu berpikir sepotong-sepotong apabila membicarakan soal pembangunan pertanian. Tidak heran kalau NTT sering dilanda kelaparan. Dan, itu terjadi terus menerus seolah-olah menjadi ciri khas daerah berpenduduk 4 juta jiwa ini. Kita sendiri lebih percaya hal-hal dari luar ketimbang hal-hal yang kita punya. Makanya kita terima makanan dari luar tapi tidak mau bikin makanan sendiri. Sekarang, warga sudah tidak menyimpan jagung, kacang dan ubi. Yang ada di rumah adalah supermi dan sebagainya yang siap saji. Yang serba instan. Kalau supermi dan jagung diletakkan di meja lalu disuruh memilih, seorang anak pasti memilih supermi. "Supermi lebih enak," demikian komentar anak-anak!

Sektor pertanian betul-betul diabaikan. Selama ini kita selalu berpikir sepotong-sepotong apabila membicarakan pembangunan pertanian. Kalaupun ada produk pertanian yang dihasilkan, tidak untuk dikonsumsi sendiri. Kalaupun ada yang dijual, uang yang diperoleh digunakan membeli handphone (HP), televisi, judi dan mabuk-mabukan. Semestinya digunakan untuk menghidupkan usaha tani dan membangun wadah meningkatkan pendapatan petani. Karena, biarpun tidak ada uang petani bisa hidup dengan mengonsumsi hasil pertanian sendiri. Hubungan antara petani/nelayan di desa dan konsumen di kota juga tidak indah. Orang kota selalu menganggap orang desa tidak berarti.

Matzui sungguh menggugah. Dia mengritik pola makan kita. Menurutnya, pola makan kita tidak sesuai dengan ilmu gizi. Saat makan biasanya yang paling banyak diambil adalah nasi, sementara lauknya sedikit. Sesuatu yang sangat berbeda dengan orang Jepang. Untuk orang Jepang, yang paling banyak diambil adalah lauk, bukan nasi.

Kita jujur mengakui bahwa selama ini memang kita mengandalkan beras sebagai pangan pokok. Bagi masyarakat NTT ternyata selain dijadikan sebagai sumber karbohidrat, beras juga menjadi sumber protein. Akibat kemiskinan dan krisis ekonomi, banyak penduduk tidak bisa mengonsumsi pangan sumber protein (daging, ikan dan telur) secara cukup. Akhirnya, beras menjadi sasaran untuk dijadikan pangan sumber protein yang makin banyak dikonsumsi.

Dari berbagai latar belakang itu, mau tidak mau perhatian terhadap makanan harus diberikan. Kita punya potensi pangan lokal. Andai saja kita fokus, maka pasti ada makanan khas daerah yang dihasilkan dan menjadi produk unggulan.

"Saya mau tanya, Gubernur NTT makan beras apa? Siapa yang bikin? Sayurnya itu siapa yang bikin? Kenapa saya mengatakan begitu, karena apa pun yang petani bikin, dikonsumsi oleh gubernur bukanlah hal yang begitu besar. Berarti petani dianggap teladan yang menghasilkan beras yang bagus karena bisa diterima oleh gubernur. Ini sangat bermanfaat dan mendorong semangat petani. Yang terpenting dari makan adalah kita membahagiakan masyarakat," kata Matzui.

Sementara Romo Maxi Un Bria memperkenalkan gagasan pembangunan mulai dari minum, dengan bercermin dari kisah kemandiran masyarakat Desa As Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Belu.

Desa As Manulea berada di dataran tinggi. Masyarakatnya mengalami kesulitan air bersih sejak ratusan tahun. Di sekitar daerah itu, memang ada sumber air, tetapi letaknya berada di dataran rendah yang jarak jangkauan dari rumah penduduk 2-5 km. Anak-anak sekolah dasar, kaum perempuan termasuk para ibu hamil, harus menghabiskan 2 sampai 6 jam setiap hari untuk mengambil air dari sumber air di dataran rendah menuju tempat pemukiman yang semuanya berada di dataran tinggi. Air itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masak dan minum. Sudah pasti mereka yang malas tidak turun ke dataran rendah, mereka cukup membasuh wajah dengan embun atau air hujan yang kebetulan ditampung. Kekurangan air bersih turut membuat anak-anak sekampung merasa minder jika ada tamu yang datang ke desa itu. Tubuh mereka kotor karena tidak mandi.

Kesulitan air mendorong masyarakat As Manulea untuk mengatasinya. Muncul inisiatif yang ditindaklanjuti dengan membentuk wadah sebagai forum urun rembuk warga. Bagaimana menghadirkan air bagi masyarakat As Manulea? "Kami sepakat bahwa masyarakat harus mulai dari diri sendiri. Bergerak membangun secara swadaya. Panitia bersinergi dengan gereja, masyarakat adat dan pemerintah. Masyarakat termotivasi dan akhirnya secara swadaya masing-masing kepala keluarga menyumbangkan dana Rp 250 ribu. Dari 640 KK masyarakat 4 desa, terhimpunlah dana sebesar Rp 160 juta," kata Romo Maxi.

Inisiatif masyarakat As Manulea direspons pemerintah kabupaten dengan memberi bantuan stimulan berupa 1 genset listrik. Semenjak itu masyarakat secara swadaya membangun rumah genset, membeli pipa dan membangun bak penampung utama.

Para tua adat mengawali pengerjaan penarikan air bersih mulai dari pembersihan lokasi sumber air masyarakat adat, pemindahan alur sungai sampai selesainya pekerjaan dengan menggunakan ritus-ritus adat. Banyak pihak juga mulai ikut berpartisipasi, hingga selesai dan diresmikan pada tanggal 13 Januari 2005.

Sejak hadirnya air -- sekarang sudah tiga tahun -- masyarakat Desa As Manulea mengalami perubahan pola hidup. Pembangunan rumah-rumah dilengkapi langsung dengan toilet. Anak-anak sudah lebih ceria dan bersih. Ada cukup waktu bagi anak-anak untuk bermain dan belajar, tidak harus membuang banyak waktu untuk mengambil air. Kaum perempuan juga dapat menggunakan waktu secara produktif untuk menenun dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain. Air juga dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Pekarangan ditata dan ditanami tanaman penghasil pangan sehingga jarang terdengar kabar masyarakat As Manulea rawan pangan.

Kisah kemandirian masyarakat As Manulea dalam mendekatkan air dari dataran rendah ke dataran tinggi telah menggugah sebagian orang untuk datang dan belajar di Desa As Manulea.

"Ternyata kita bisa membangun desa mulai dari makan dan minum. Apa yang kita makan dan minum? Menaman tanaman tidak untuk mendapatkan uang dan membeli makanan. Tetapi menghasilkan makanan untuk kita makan. Ini menjadi penting untuk pembelajaran. Berpikir untuk maju satu langkah. Kembali ke dasar, bukan berarti kembali ke belakang," kata Farry Francis, moderator dikusi.

Tanpa Pendampingan, Percuma! (3)

NAMA
lengkapnya Bertolomeus Metkono. Dipanggil Pak Berto. Dia seorang petani tambak di Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang. Perjuangannya menjadi seorang petani tambak dikisahkan oleh Justen Lalan, petani tambak lainnya dari Desa Bipolo dalam diskusi tentang Membangun Kemandirian Masyarakat NTT di ruang Redaksi Harian Pos Kupang, Rabu (10/9/2008).

Pada suatu hari Pak Berto memperhatikan pembuangan air yang mengalir sia-sia ke hamparan lahan tidur di desanya. Timbul dalam benaknya keinginan untuk memanfaatkan lahan itu. Mau dijadikan sawah tentu tidak cocok, sebab lahan tersebut dekat dengan pantai. Pasti airnya payau. Mau ditanami palawija atau kelapa juga tidak cocok karena tanahnya terlalu basah. Dia akhirnya tertantang untuk membangun tambak ikan bandeng.

Itu pada tahun 1986, setelah Pak Berto menonton teknik pembuatan tambak bandeng di televisi. Dia mulai dengan membuat tambak sendiri. Dan, untungnya pada tahun yang sama Pak Berto mendapat kesempatan mengikuti pelatihan tentang pengelolaan tambak bandeng di Bali. Atas rekomendasi Dinas Pertanian Kabupaten Kupang.

Sepulang dari Bali, Pak Berto mulai berani mengajak teman- temannya dalam kelompok tani (102 orang) untuk membuka tambak bandeng dengan memanfaatkan lahan tidur tadi. Mereka sepakat setiap petani menggarap 0,25 sampai 1 hektar lahan.

Namun pada tahun 1987 kepala desa setempat mempersoalkan pemanfaatan lahan itu karena dianggap liar (tanpa izin). Banyak petani tambak mengundurkan diri. Yang bertahan hanya 15 orang, termasuk Pak Berto sendiri.

Masalah tidak habis. Pada tahun 1989 banjir menyapu bersih kawasan pertambakan itu. Kejadian ini membuat kelompok tani bubar. Hanya Pak Berto sendiri yang bertahan dan setia pada cita-citanya. Pak Berto ingin membuktikan bahwa apa yang diyakininya pada suatu saat akan membuahkan hasil.

Pada tahun 1990, apa yang diimpikannya menjadi kenyataan ketika ia mulai memanen hasil tambaknya sebanyak 25 kg bandeng. Masyarakat pun melihat hasil kerja dan keuntungan yang diperoleh dari usaha tambak bandeng itu. Pak Berto mengajak kembali teman-temannya untuk menggeluti usaha tambak. Alhasil, 15 orang bersedia ikut kembali dan membentuk kelompok yang diberi nama Tunas Baru.

Tapi, begitu mulai lagi, mereka langsung berhadapan dengan kesulitan dana untuk memperbaiki tambak yang rusak disapu banjir sebelumnya. Lalu mereka membangun kerja sama dengan seorang pengusaha bernama Abu Hera. Namun, karena sistem bagi hasil dan bagi tanah dianggap merugikan mereka, maka kerja sama tersebut tidak berlangsugn lama.

Pada tahun 1997, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Herman Musakabe, berkunjung dan melihat langsung keberhasilan usaha tambak bandeng mereka. Gubernur memberikan bantuan modal usaha sebesar Rp 18.000.000 dan perbaikan jalan sepanjang tiga kilometer atas keberhasilan kelompok ini mengelola tambak bandeng.

Dalam perjalanan selanjutnya, tantangan tetap mereka hadapi sampai Pak Berto ditahan polisi selama tiga hari. Namun, mereka tetap semangat untuk melanjutkan usahanya karena banyak juga yang tetap mendukung mereka. Kepercayaan masyarakat Bipolo terhadap usaha ini pun makin besar. Pada tahun 2000, Yayasan Alfa Omega (YAO) juga mulai melakukan pendampingan. Meskipun pada tahun 2003 musibah banjir kembali melanda Desa Bipolo, namun berkat pendampingan perlahan-lahan semangat mereka pulih kembali.

Kini bukan hanya Pak Berto dan kelompoknya yang membuka usaha tambak bandeng, tetapi beberapa kelompok baru pun sudah bermunculan, baik di Desa Bipolo sendiri maupun di desa tetangga, seperti Nunkurus, Oeteta dan Pariti. Mereka berguru dan belajar dari pengalaman Pak Berto.

***
KISAH perjuangan masyarakat Bipolo, sebagaimana juga kisah perjuangan masyarakat As Manulea, sengaja diangkat dalam diskusi ini sebagai contoh kemandirian lokal. Cerita ini hanya mau menegaskan bahwa masyarakat desa bisa bertahan dan berkembang dari kemampuannya sendiri dalam kelompok. Mereka juga bisa belajar dari pengalaman kegagalan dan keberhasilan mereka sendiri untuk semakin maju. Tanpa bantuan dari luar mereka bisa mengatasi sendiri masalahnya.

Menurut Justen Lalan, pengembangan mata pencaharian alternatif bukanlah hal yang luar biasa bagi masyarakat desa.

"Kalau kita bicara tentang perubahan pola pikir masyarakat, itu kita bicara tentang perubahan satu gerenarasi. Masyarakat tidak trauma. Mereka berulang-ulang mengatasi hambatan yang ada," kata Yusten.

Cerita yang hampir sama disampaikan Jonathan Lassa, peserta dari Forum Akademia NTT (FAN). Ketika jalan-jalan ke Palue baru-baru ini, Jonathan menemukan sekitar 75 persen gereja stasi Nara dibangun menggunakan air dari batang pisang. Bahkan untuk minum dan cuci, masyarakat di sana menggunakan air dari batang pisang. Bagaimana hal itu mungkin, masyarakat yang tahu. Buktinya mereka bertahan.

Melianus Toy, tokoh masyarakat Oelnasi, Kabupaten Kupang, melihat bahwa kita sekarang hanya mengandalkan ilmu yang kita peroleh. Kita melupakan budaya dan adat-istiadat kita.
Dia memberi contoh proyek bendungan Tilong yang dibangun dengan teknologi tinggi. Tapi, dalam kenyataan tetap saja ada persoalan yang tidak bisa diatasi dengan teknologi tinggi.

"Mereka (kontraktor proyek Tilong) datangi saya. Saya katakan bahwa bapak mengandalkan ilmu. Alam tidak bisa dikuasai dengan ilmu. Saya orang desa yang tahu bagaimana desa itu," kata Melianus. Akhirnya dia membuat ritual menurut budaya setempat, maka bendungan Tilong pun bertahan sampai saat ini.

"Nenek moyang kita dulu cuma dengan ritual adat dapat mengatasi persoalan alam," tambah Melianus.

Namun beberapa kisah kemandirian di atasi mungkin menjadi kisah yang langka saat ini. Belum tentu kita bisa menemukan kisah yang sama di desa-desa lain. Dulu semangat gotong royong masyarakat kita sangat tinggi. Tanpa uang masyarakat bisa membangun berbagai fasilitas umum.

Apakah semangat itu masih ada di desa-desa saat ini. Kita harus katakan bahwa masyarakat sudah menjadi manja oleh berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah. Masyarakat kita berubah orientasi menjadi mental proyek. Merka tidak lagi mau kerja kalau tidak dibayar dengan uang atau beras. Padahal apa yang mereka kerjakan manfaatnya untuk mereka sendiri.

Apa yang disebut partisipasi saat ini menjadi sangat mahal. Ini menjadi refleksi bagi pemerintah, LSM dan lembaga-lembaga apa pun yang selama ini membantu masyarakat dengan uang atau beras. Ternyata bantuan-bantuan itu tidak untuk meningkatkan kemandirian, malah melemahkan dan memupuk mental ketergantungan.

Forum diskusi sepakat dengan kecenderungan ini. Tetapi forum juga tidak ingin hanya sebatas omong-omong lalu selesai. Forum ini harus bisa membuat aksi nyata sebagai tindak lanjut.

Matzui Kazuhisa mengajak kita untuk mencari apa yang ada di daerah kita. Tetapi untuk menemukan apa yang kita cari, tidak semuanya kita sendiri mampu. Kehadiran orang luar bisa menyadarkan kita akan ketidaktahuan kita. Dengan kehadiran orang luar kita pun bisa belajar dan mendapat temuan-temuan baru.

Dengan kata lain, masyarakat kita perlu pendampingan, sebagaimana dilakukan Yayasan Alfa Omega terhadap masyarakat Bipolo. Pendamping membantu masyarakat menemukan persoalan dan solusi atas persoalan.

"Sepanjang pendamping tidak ada, percuma jadi orang pintar, tapi tidak tahu masyarakatnya butuh apa," kata Raymundus Lema. (habis/Pos Kupang edisi 22-24 September 2008 hal 1) Selanjutnya...