Minggu, 06 Maret 2011

Perspektif Pemerintahan Sony Libing


ZET Sony Libing meraih gelar doktor ilmu pemerintahan di Universitas Padjajaran Bandung, pada usia 39 tahun. Ia merupakan satu dari sedikit putra-putri NTT yang menggapai doktor pada usia yang masih tergolong muda. Disertasinya tentang perilaku pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di NTT, studi kasus di beberapa kabupaten, diantaranya Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), Alor dan Kabupaten Rote Ndao.

"Waktu kecil saya hanya bermimpi menjadi sarjana. Namun, Tuhan menuntun saya sampai doktor. Menjadi doktor adalah berkat Tuhan. Oleh karena itu, harus menjadi saluran bagi sesama," ujarnya.

Saat ditemui di rumahnya di Kelurahan Liliba, Kota Kupang, pekan lalu, Sony menjelaskan tentang perilaku pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tentang aktivitasnya sebagai PNS, konsultan pemerintah daerah dan dosen. Ia menceritrakan mengenai keluarganya serta kegemarannya, membaca dan joging. Selain itu, ia juga mengutarakan tentang obsesinya. Berikut ini petikan wawancara wartawan Pos Kupang, Alfons Nedabang dengan DR. Zet Sony Libing, M.Si.


Mengapa tertarik dengan ilmu pemerintahan?

Pemerintahan itu suatu organisasi formal yang punya visi mulia. Ia satu-satunya organisasi yang diserahi kewenangan oleh negara untuk mengelolah negara, sambil membangun kerja sama dengan komponen lain. Ia variabel determinan dari negara, dan mendapat kepercayaan menjalankan tugas negara. Kedua, banyak orang yang bekerja dalam lapangan pemerintahan tetapi terlalu sedikit yang mengerti pemerintahan. Karena visi mulia pemerintahan dan juga karena praktek-praktek pemerintahan itu banyak terjadi pengingkaran terhadap visi mulia itu. Maka, saya merasa tertarik untuk melakukan studi ilmu kepemerintahan.
Selain itu, ayah saya seorang kepala kampung. Setelah itu menjadi kepala desa hampir 30 tahun. Kakek saya, juga kepala desa. Mungkin itu yang mengalir dalam diri saya.

Dari studi mengenai praktek penyelenggaraan pemerintah daerah, apa yang Anda temukan?

Ada tiga persoalan besar. Pertama, birokrasi pemerintahan yang punya peran yang begitu besar dalam menjalankan kebijakan pembangunan itu, masih pada posisi dimana kemampuan untuk mengidetifikasi masalah yang tepat tentang kebutuhan dan permasalahan rakyat, belum sempurna. Kedua, kemampuan merumuskan kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan yang berkaitan dengan masalah riil rakyat, belum optimal. Hal ketiga, kemampuan untuk menjalankan program-program, juga belum optimal di lapangan. Sebenarnya, ada satu hal lagi, yaitu jiwa besar dalam melakukan asesmen atau penilaian terhadap program yang dijalankan, itu pun belum profesional. Tidak punya jiwa besar untuk mengatakan kinerjanya rendah atau belum optimal.

Apa penyebabnya?

Good will dan political will serta komitmen dari disesenmaker untuk menempatkan birokrat tepat pada tempatnya. Artinya, profesionalitas birokrasi pemerintrahan ditempatkan pada posisi yang tepat sesuai kealihannya, kadang terabaikan. Pada saat yang bersamaan, pada tataran birokrasi pemerintah itu sendiri, menemukan persoalan profesionalitas, komitment, perilaku, mentalitas, mid zet, mengapa dia menjadi biokrat, apa tugasnya dan bagaimana dia mengerjakan tugasnya. Tetapi, pada saat yang bersaman juga pemerintah itu tidak bisa berubah sendirinya jikalau tanpa ada sosial control dari rakyat, dari civil society, pers, LSM berkewajiban mengontrol sehingga pemerintah bekerja sesuai aturan dan mekanisme yang ada, dan sesuai dengan visi pemerintahan itu sendiri.

Itu artinya, reformasi pemerintahan belum berjalan. Pendapat Anda?

Menurut saya, dalam kapasitas orang yang melakukan studi kepemerintahan, sebenarnya bukan reformasi birokrasi yang dilakukan menjadi tren perubahan tetapi reformasi pemerintahan. Ia berkaitan reformasi dengan lembaga legislatif dan eksekutif, kepala daerah di dalamnya juga berkaitan dengan birokrasi. Sebab, birokrasi kepemerintahan itu bukan disesten maker, dia menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang ditetapkan oleh kepala daerah dan juga DPRD. Jadi menurut saya, birokrasi yang kita anut di Indonesia, belum dapat ditempatkan untuk secara profesional sebab ia dibawah sub ordinat politik. Undang-undang mengatakan netralitas PNS tapi pada saat yang bersamaan pembina PNS adalah kepala daerah yang adalah pejabat politik sehingga sulit untuk ia dapat bertindak profesional kecuali komitmen dan good will serta political will kepala daerah untuk melakukan restrukturisasi birokrasi, penempatan profesional birokrat pada tempat dan menilai kinerja birokrat.

Upaya mewujudkan good goverment dan good governance dapat terwujud?

Saya melihat bahwa ada semangat untuk melakukan pembaharuan. Spirit ke arah menciptakan pemerintahan yang baik sehingga menjalankan tugas dengan baik, sehingga bisa memberikan kebaghagian dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Semangat ke arah itu ada. Ada perbaikan-perbaikan. Bagaimana pemerintah mengajak perbagai komeponen yang lain untuk bersama-sama merumuskan menjalankan kebijakan publik. Jadi, ada semangat ke arah itu untuk menjalankan program yang baik untuk masyarakat. Demikan juga dalam hal bagaimana meningkatan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Sudah dilaksanakan anggaran berbasis kinerja. Itu program pusat tapi dijalankan pemerintah daerah. Saya melihat upaya itu sudah dan sedang dilakukan ke arah perbaikan. Bahwa dalam pelaksanaannya, ada problem yang menyertainya, itu wajar. Kata orang, tidak ada satu pelayaran itu aman. Aman jika dia sudah sampai di pelabuhan/dermaga.

Kerap terdengar masyarakat mengeluh tentang praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pencermatan Anda?

Itu memang nyata terjadi. Pada tataran publik itu, birokrasi pemerintahan belum memberi pelayanan yang baik. Ada satu hal penting yang kadang terabaikan dalam pelayanan pemerintahan yaitu, soal pengendalian program dan pengawasan terhadap pelaksanaan program oleh pimpinan, kadang terabaikan. Itu yang saya melihat. Saya melihat sangat jarang, birokrasi pemerintah turun ke rakyat untuk melihat dari dekat pelayanan publik yang diberikan oleh staf. Mungkin ini otokritik. Dahulu, kepala daerah turun ke masyarakat, berdiskusi dan lego-lego (tarian adat Alor). Mereka berhari-hari dengan rakyat di desa.
Dalam teori pemerintahan, apapun persoalan yang dihadapi masyarakat, jika pemerintah mampu menjelaskan mengapa persoalan itu terjadi dan mengapa pemerintah harus mengambil kebijakan itu, rakyat bisa menerima.
Persoalan yang kita hadapi terkadang kita tidak mampu merasionalisasikan persoalan dan kebijakan yang diambil dihadapan rakyat. Padahal, pemerintah bekerja untuk rakyat. Andai dijelaskan secara rasional kepada rakyat, rakyat bisa menerimanya walau kebijakan itu merugikan rakyat.

Berarti, komunikasi kepala daerah dengan rakyat sangat formal?

Iya. Kemampuan untuk melakukan komunikasi dengan rakyat, belum berjalan baik, yang terjadi sangat formal. Misalnya, kalau rakyat mengundang untuk turun meresmikan gereja, masjid dan jembatan. Jika tidak diundang maka tidak hadir.
Sesungguhnya, 80 persen keberadaan kepala daerah di tengah rakyat. Sisanya, 20 persen untuk kegiatan administrasi di kantor. Karena tugas administrasi kepemerintahan itu sebagian besar sudah dilaksanakan oleh kepala administrasi kepemerintahan yaitu, sekda. Terkadang, tugas-tugas administrasi pemerintahan diambil alih oleh kepala daerah. Tugas kepala daerah sesungguhnya adalah turun untuk hidup bersama rakyat. Jadi, 80 persen harus bersama rakyat. Untuk melihat program, apakah bermasalah, bermanfaat bagi rakyat atau tidak. Sekaligus memberi dan mendengar masukan dari rakyat. Seorang kepala daerah, walaupun dia memiliki legitimasi politik yang tinggi oleh rakyat dalam proses politik, belum memberi jaminan baginya untuk menjalankan tugas-tugas pemerintah secara tepat.
Kepala daerah memiliki good will, political will dan komitmet yang kuat untuk melakukan restrukturisasi organisasi sehingga organisasi itu ramping. Kemudian, memiliki good will, political will dan komitmen untuk menempatkan orang di bidangnya. Memiliki good will, political will dan komitmen melalukan reward dan punishment secara tegas. Kemudian, melakukan evaluasi kinerja. Melakukan pengendalian program dan juga kontrol yang ketat terhadap pelaksanan program di tingkat rakyat, setiap saat.

Apa kendalanya?

Pertama, soal pengetahuan berpemerintahan. Kedua, soal good will, political will dan juga soal komitmen untuk berkarya bagi rakyat. Menjadi kepala daerah bukan tujuan. Ia hanya sarana untuk memenuhi tujuan utama yakni kesejahteraan rakyat. Ada beberapa kepala daerah yang mungkin alpa dalam memandang bahwa tujuan politik sebenarnya adalah kesejahteraan rakyat. Kadang, ada yang saya lihat bersyukur kepada Tuhan karena saya telah menjadi kepala daerah. Tujuan sudah tercapai, karena saya sudah menjadi kepala daerah. Menurut saya, bersyukur kepada Tuhan itu pada akhir masa jabatan. Terima kasih kepada Tuhan karena Tuhan telah memberi hikmat akal budi sehingga saya bisa memimpin rakyat dengan baik. Pengucapan syukur dilakukan pada akhir masa jabatan. Kalau tidak mencapainya maka berdoa kepada Tuhan mohon ampun karena saya tidak bisa menjalankannya dengan baik.

Indikasi rendahnya pengetahuan berpemerintahan?

Tidak demikian. Tidak semua kepala daerah datang dengan latar belakang pemerintahan. Walapun ia memiliki legitimasi rakyat yang tinggi tapi ia memiliki good will, political will, meski ia tidak bisa belajar tentang pemerintahan, bisa saja.
Sekarang, dengan sistim politik yang terbuka, siapa saja bisa dipilih rakyat. Kalau saja seorang kepala daerah itu baru saja menduduki jabatan, ia sendiri datang dari latar belakang yang sangat berbeda dengan pemerintahan, ia bisa menggunakan staf ahli. Ia bisa menggunakan orang-orang yang pintar dalam bidangnya, untuk memberikan advis dalam berbagai bidang. Ahli dalam bidang pemerintahan, ahli dalam bidang ekonomi, ahli dalam bidang hukum. Ahli dalam bidang tata kota. Menggunakan ahli-ahli itu memberi masukan setiap saat. Jadi, staf ahli yang saya maksud itu adalah di luar dari staf ahli dalam struktur pemerintah. Bisa diambil dari perguruan tinggi. Sebenarnya, ahli-ahli di perguruan tinggi itu bisa diminta untuk duduk dalam jabatan struktural. Fadel Mohammad sewaktu menjadi gubernur Gorontalo, menggunakan profesor dari Universitas Hasanuddin. Aturan memungkinkan untuk itu.

Apakah ada teori pemerintahan yang menginspirasi Anda?

Iya, saya terinspirasi pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel bagimana menempatkan birokrasi pemerintahan yang bekerja profesional bagi rakyat. Saya juga terinspirasi dengan teori Ryaas Rasyid, yang memandang pemerintah itu adalah amanah bagi rakyat. Pemeritntah bertugas untuk melayani supaya rakyat mendapat keadilan. Pemerintah bertugas memberdayakan rakyatnya, supaya rakyat mandiri. Pemerintah menjalankan program pembangunan supaya rakyat sejahtera. Saya juga terinspirasi dengan teorinya John Stuart Mill Jr tentang goverment repsentatif. Suatu pemerintahan yang di dalam struktur pemerintahan itu tergambar berbagai etnis. Representatif etnis dan golongan ada di dalam pemerintahan sehingga rakyat merasa sense of belonging terhadap pemerintahan, karena semua kepentingannya itu tergambar dalam struktur pemerintahan. Kata kunci di dalam itu, profesional. Teori-teori itu sangat luar biasa.

Selain sebagai PNS, punya aktivitas lain?

Saya mengajar di Fisip Unwira, ilmu pemerintahan sejak tahun 2009. Kemudian di Fisip Undana, mata kuliah pengantar ilmu politik, ilmu pemerintahan, politik lokal dan otonomi daerah, juga sejak 2009. Saya mengajar setiap hari Kamis dan Sabtu. Saya meminta jadwal pas jam istirahat kantor. Satu jam untuk mengajar.
Saya juga konsultan pemerintahan Kabupaten Teluk Bindama, Kabupaten Teluk Bitumi dan Kabupaten Sorong Selatan, Propinsi Papua Barat. Tiga kabupaten itu merupakan daerah pemekaran. Jika ada waktu, saya terbang ke sana.

Bisa ceritrakan awal mula menjadi konsultan?

Ketika saya studi di Jakarta, punya teman-teman orang Papua. Pulang ke sana, dan mereka menceritrakan kepada bupati mereka. Setelah itu, bupati mereka menghubungi saya, kami berkomunikasi. Saat diminta, saya menyatakan siap memberikan pikiran-pikiran tentang bagaimana membangun daerah yang baru terbentuk. Saya beri pemikiran tentang bagaimana mengelola pemerintahan yang baik, bagimaana menjalankan pemerintahan itu sehingga memberikan manfat bagi masyarakat. Dan, saya melihat, ketiga kabupaten itu berkembang dengna baik.
Saya senjadi konsultan sejak tahun 2005, saat saya studi doktor. Jadi, sambil saya studi sampai dengan sekarang ini, saya diminta memberi pikiran.

Seberapa intens advis yang Anda berikan?

Kalau saya punya waktu, saya ke sana (Papua). Kalau tidak, kami bertemu di Jakarta. Sekarang jaman teknologi, jadi komunikasi juga bisa lewat e-mail dan telepon. Terakhir kami komunikasi tentang penanganan banjir Wasior, Kabupaten Teluk Mindana.

Terhadap semua pencapaian yang diraih, apa maknanya bagi Anda?

Inilah jalan Tuhan yang terindah dalam hidup saya. Sebab apa yang saya capai sekarang ini, walaupun belum sempurna, bagi saya sangat luar biasa jika dibandingkan dengan saya hanya seorang anak petani. Saya sekolah dengan susah payah, tinggal dengan orang, mencari kayu api, mencuci dan menyapu halaman, ternyata saya mencapai hal seperti ini, yang tidak pernah terlintas dalam pikiran saya jauh sebelumnya. Waktu itu, saya bercita-cita sebagai seorang sarjana, ternyata Tuhan memberi berkat bagi saya sebagai seorang doktor. Ini suatu berkat Tuhan yang terindah dalam hidup saya. Dan tugas saya membagi berkat bagi sesama.

Apa obsesi Anda?

Ya, cita-cita saya bagaimana menjadi saluran berkat bagi sesama. Saya menerapkan ilmu saya, supaya menjadi kemaslahatan bagi umat. Ilmu itu bukan untuk diri tapi harus bermanfaat bagi orang lain. Karena studi saya adalah studi pemerintahan maka saya juga berkeinginan, jika suatu saat nanti, rakyat di suatu tempat mempercayakan dalam jabatan pemerintahan dalam posisi top manjemen maka saya siap melaksanakan/menjalani. Kalau rakyat menghendaki dan Tuhan berkehendak, maka dengan ilmu yang saya miliki ini saya bersedia membagikannya. Bagaimana mengelola pemerintahan secara profesional sehingga bermanfaat bagi rakyat. Kehadiran pemerintah sebagai solusi bagi masalahnya rakyat. (*)


Bergumul Mencari Pendamping

SONY Libing berasal dari keluarga petani. Ia anak kedelapan dari 13 bersaudara. Setelah tamat SD GMIT Pantar pada tahun 1982, ia hengkang ke Kabupaten Sikka mengikuti kakaknya, dan sekolah di SMP Renya Rosari Kewapante dan SMA Negeri Maumere. Setelah tamat, ia melanjutkan studi ke Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Kupang, dan selesai tahun 1990. Selanjutnya, diangkat menjadi pegawai negeri dan memulai karier bekerja di Wolojita, Kabupaten Ende.

Dalam perjalanan, Sony ditarik menjadi instruktur pada Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Bandung, kemudian menyelesaikan pendidikan S1 pada Institut Ilmu Pemerintahan di Jakarta. Pada tahun 1999, ia melanjutkan studi S2 Ilmu Pemerintahan di Universitas Padjajaran, Bandung, selesai tahun 2001. Tahun 2003, ia studi doktor, juga di Universitas Padjajaran.

"Saya mendapat beasiswa pemda, mulai dari APDN sampai studi doktor. Saya berhutang kepada daerah. Saya berhutang kepada masyarakat karena dari hasil jual sirih pinang dan jagung, membiayai saya sekolah. Saya memiliki tanggung jawab untuk daerah dan masyarakat," ujar Sony yang mengidolakan Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI Jakarta), Jack Jobo (mantan Bupati Alor) dan Piet A Tallo, SH (mantan Gubernur NTT) ini.

"Saya berhutang kepada daerah dan rakyat. Saya harus membagi berkat yang saya miliki untuk NTT. Salah satu bentuknya, saya membagi ilmu setelah menjadi konsultan. Saya membagi ilmu kepada mahasiswa saya di Fisip Unwira dan Fisip Undana, sehingga suatu saat mereka menjadi birokrat, mereka menerapkan ilmu yang saya berikan," tutur Sony.

Sony menikah dengan pujaan hatinya, Yanti Lisda Silfana Libing Manafe pada tahun 1999. Namun, pada Maret 2009, istrinya meninggal, beberapa saat setelah ia menyelesaikan studi doktor.

Sony menyadari bahwa kesibukannya semakin tinggi. Oleh karena itu, ia harus mencari pendamping agar bisa mengatur dan memperhatikan dirinya, termasuk mengurus rumahnya yang tergolong luas, dibangun di atas lahan berukuran 40 x 60 meter. Ia juga memiliki dua mobil, jenis Nissan Terano dan sedan Corona.

"Saya sedang bergumul, bisa mendapatkan pengganti seperti almarhumah. Saya berdoa memohon kepada Tuhan mengganti istri saya," ujar pria yang suka joging ini.

Sony gemar membaca. "Saya dosen, jadi harus membaca. Kalau tidak di rumah, saya baca di kantor. Saya suka buku pemerintahan dan juga buku-buku praktis kepemimpinan. Sekarang membaca buku Barack Obama," tutur Sony.

Ia mengaku punya perpustakaan pribadi, dengan 750 buku. Buku-buku itu ia beli sendiri, sejak masih sekolah di APDN. "Setiap saya pergi tugas saya harus membeli buku, minimal dua buku," katanya.

Sony juga sering diundang untuk berdiskusi dan berceramah. Topik diskusi seputar permasalahan pemerintahan. Beberapa waktu lalu, ia menghadiri diskusi di Jakarta, diselenggarakan UNDP, tentang apakah gubernur dipilih rakyat atau DPRD atau ditunjuk oleh pusat. (aca)

Biodata

Nama : DR. Zet Sony Libing, M.Si
TTL : Alor, 13 Juli 1968
Istri : Yanti Lisda Silfana Libing Manafe, SH (almh)

Pendidikan
- SD GMIT Pantar (1982)
- SMP Renya Rosari Kewapante, Sikka
- SMA Negeri Maumare (1988)
- APDN Kupang (1990)
- Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Jakarta (1997)
- S2 Universitas Padjajaran, Bandung (2001)
- S3 Universitas Padjajaran, Bandung (2009)

Orang tua
Ayah : Petrus Masi Libing (alm)
Ibu : Mariam Blegur (almh)

Krier/Pekerjaan
- Pegawai di Wolojita, Kabupaten Ende (1990-1993)
- Instruktur pada STPDNBandung (1993-1995)
- Staf Biro Pemerintahan Setda NTT (1997-1999)
- Staf Biro Organisasi dan Penyusunan Program Setda NTT (2001-2003)
- Kepala Sub Bidang Data dan Analisis Perencanaan Pembangunan Daerah pada Bappeda Propinsi NTT
- Kepala Bidang Pengembangan Investasi pada BPMD NTT
- Konsultan pemerintahan daerah di Papua Barat
- Dosen Fisip Undana
- Dosen Fisip Unwira

Tidak ada komentar: