Senin, 20 Oktober 2008

Jangan Tunggu Rakyat Minta Dulu


DILANTIK -- Yohanes Samping Aoh (tiga dari kanan) dan Paulus Kadju (kedua dari kanan) saat dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Nagekeo, Selasa (20/10/2008).


GUBERNUR Nusa Tenggara Timur, Drs. Frans Lebu Raya mengingatkan Bupati Nagekeo, Drs. Yohanes Samping Aoh dan wakilnya, Drs. Paulus Kadju agar jangan menunggu rakyat meminta dulu baru melakukan sesuatu. Bupati dan wakil bupati harus proaktif memenuhi harapan warga sebelum warga menuntut.

Gubernur Lebu Raya mengatakan itu saat melantik Yohanes Samping Aoh (Nani Aoh) dan Paulus Kadju menjadi Bupati dan Wabup Nagekeo masa jabatan 2008-2013. Pelantikan berlangsung di Pondok SVD Danga-Mbay, Senin (20/10/2008).

Nani Aoh dan Paulus Kadju terpilih dalam Pilkada Nagekeo yang dilaksanakan 11 Agustus 2008. Keduanya ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Ngada karena memperoleh suara terbanyak (21.869 suara sah), dituangkan dalam berita acara rapat pleno KPUD Ngada Nomor: 20/BA/KPUD-NGD/VIII/2008 Tentang Penetapan dan Pengumuman Pasangan Calon Terpilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Nagekeo Tahun 2008.

Nani Aoh-Kadju (paket Halus) unggul atas pasangan calon lainnya, yaitu Servasius Podhi-Frans Ere Tonga (paket Vifa) meraih 12.807 suara, pasangan Lukas A Tonga- Bu'u Bruno meraih 10.265 suara, pasangan Yohanes Don Bosco Do-Theofilus Woghe (paket Oke) memperoleh 11.952 suara dan pasangan Aloysius Dengi Dando-Firmus Madhu Dengi(paket Alfa) meraih 6.358 suara.

Gubernur mengatakan, Bupati dan Wakil Bupati Nagekeo dituntut berperan sebagai abdi, pelayan, pengayom, pengarah bagi rakyat yang secara sensitif, responsif dan akomodatif memenuhi kebutuhan rakyat, sebelum rakyat meminta atau menuntut. Hanya dengan begitu legitimasi dan kepercayaan rakyat terhadap bupati dan wakil bupati selalu terjaga dan hubungan pemerintahan menjadi lestari. Sebab kebutuhan masyarakat selalu dipenuhi oleh pemerintah. Pencermatan terhadap kepercayaan rakyat, katanya, harus dimaknai sebagai suatu tanggung jawab konstitusional dan moral yang patut diwujudkan dalam proses pemerintahan.

"Kedepankan kepemimpinan yang berkarakter kerakyatan sehingga benar-benar dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis," pesan Gubernur Lebu Raya.

Sebagai daerah otonomi baru, katanya, Negekeo masih diperhadapkan pada berbagai keterbatasan dan masalah, seperti kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan kerja, mutu pendidikan, derajat kesehatan dan produktivitas ekonomi. Semua ini membutuhkan penanganan secara rasional dan komprehensif.

"Ini tugas yang tidak mudah. Sangat diharapkan bupati dan wakil bupati menaruh perhatian serius dan mencurahkan segala sumber daya yang ada guna peningkatan kualitas penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan baik itu pelayanan, pemberdayaan maupun pembangunan," katanya.

Potensi sumber daya alam yang melimpah di Nagekeo, katanya, apabila dikelola secara optimal dan profesional pasti memberikan nilai tambah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Untuk itu, dengan mencermati visi pemerintah kabupaten nagekeo 2008-2013 yakni terwujudnya masyarakat nagekeo yang sejahtera berdasarkan rasa kebersamaan dan solidaritas yang tinggi, berkeadilan dan berkelanjutan, rakyat percaya bahwa dalam lima tahun yang akan datang, ada perubahan, peningkatan, perbaikan dan pengembangan yang signifikan dalam kerangka pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan di Nagekeo.

Acara pelantikan berlangsung dalam sidang paripurna istimewa DPRD Nagekeo yang dipimpin ketua DPRD Nagekeo, Paul Nuva Veto.

Dalam sambutannya, Paul Nuwa Veto berharap agar Bupati dan Wabup Negekeo bisa mengabdikan diri untuk kepentingan masyarakat Nagekeo. Dia juga menyampaikan terima kasih kepada Penjabat Bupati Nagekeo, Drs. Elias Djo yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik, termasuk mengantar masyarakat memilih bupati dan wabup definitip.
Usai pelantikan dilakukan serah terima dokumen pemerintah dari penjabat bupati ke bupati definitif. (ris/pk edisi Selasa 21 Oktober 2008 hal 1)
Selanjutnya...

Sabtu, 18 Oktober 2008

Wangge-Mochdar, Bupati dan Wakil Bupati Ende Terpilih

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Ende, Sabtu (18/10/2008), menggelar rapat pleno penghitungan suara calon bupati dan wakil bupati Ende. Pasangan calon, Drs. Don Bosco Wangge M.Si-Drs. Achmad Mochdar (paket Doa) ditetapkan sebagai Bupati dan Wakil Bupati Ende terpilih dengan mengantongi 55.074 suara atau 41,94 persen.

Sedangkan perolehan suara enam pasangan lainnya adalah Silvester Djuma-Djafar H.Achmad (paket Mawar) meraih 22.459 suara atau 17,10 persen, Petrus Lengo-Paulus Pase (paket Lengo Pase) 14.443 suara atau 11,00 persen, Wilhelmus Wolo-Albert Magnus Bhoka (paket Wolo-Bhoka) 12.953 suara atau 9,86 persen, Drs. Siprianus Reda Lio-Titus M. Tibo (paket Setia) 11.588 suara atau 8,82 persen, Marselinus Y.W Petu-Stefanus Tani Temu (paket Petani) 11.435 suara atau 8,71 persen, dan Yucundianus Lepa-Nur Aini Rodja (paket Dian) 3.368 suara atau 2,56 persen.

Selesai rekapitulasi yang berlangsung di aula Paroki Onekore, dilanjutkan dengan penandatanganan berita acara pleno penghitungan suara. Berita acara tersebut hanya ditandatangani dua saksi, masing-masing dari paket Doa dan saksi paket Mawar. Meski hadir bersama saksi paket Mawar dan paket Doa, saksi dari paket Wolobhoka tidak tanda tangan. Saksi lainnya dari empat paket tidak tanda tangan karena tidak hadir dalam rapat pleno.

Marsel Regu, saksi dari paket Wolobhoka mengatakan, tidak ditandatanganinya berita acara sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap kinerja KPUD Kabupaten Ende yang dinilanya tidak konsisten dalam menetapkan satu keputusan.

"Sebelumnya KPUD Kabupaten Ende pada saat sosialisasi mengatakan bahwa proses pencoblosan simetris dinyatakan rusak, namun ketika dalam pelaksanaan pencoblosan terjadi hal tersebut KPUD menyatakan bahwa hal itu sah. Ini yang kami protes," ujarnya.

Tentang sikap selanjutnya yang akan dilakukan oleh paket Wolobhoka terhadap keputusan KPUD, Marsel mengatakan bahwa pihaknya terlebih dahulu melakukan evaluasi baru menentukan langkah-langkah selanjutnya.

Ketua KPUD Kabupaten Ende, Fransiskus R. Senda dalam kesempatan itu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pencoblosan simetris, apabila pelaksanaan pencoblosan mengenai tanda gambar calon lain, maka hal itu dinyatakan tidak sah. Namun yang terjadi, pada saat proses pencoblosan tembus hingga bagian belakang, maka itu tetap sah.

"Yang dinyatakan tidak sah apabila coblos mengenai tanda gambar dari calon lain, namun yang terjadi tidak tembus hingga ke paket lain, maka hal itu tetap dianggap sah," kata Fransiskus.
Mengenai keengganan lima saksi untuk menandatangani berita acara, Senda mengatakan bahwa hal itu tidak akan mempengaruhi proses Pilkada Kabupaten Ende karena penandatanganan dan kehadiran para saksi tidak substansial.

"Hadir juga tidak apa-apa dan tidak hadir juga tidak apa-apa, toh tidak ada regulasi yang mengatur bahwa pleno KPUD wajib dihadiri oleh saksi dari paket calon," katanya.

Tentang kemungkinan adanya paket calon yang mengajukan protes atas hasil pleno KPUD Kabupaten Ende, Senda mengatakan bahwa kesempatan diberikan selama tiga hari ke depan atau 3 x 24 jam. Protes ditujukan ke MA melalui Pengadilan Tinggi di Kupang.

Namun dia mengingatkan bahwa paket calon yang berhak mengajukan protes apabila merasa memiliki bukti-bukti kuat bahwa perolehan hasil suaranya melebihi perolehan dari paket calon yang menang dalam Pilkada berdasarkan hasil pleno KPUD Kabupaten Ende.

"Kalau ada paket yang merasa memiliki bukti bahwa mereka mengungguli paket Doa, maka silakan mengajukan protes ke MA," ujar Senda.

Pelaksanaan pleno KPUD atas Pilkada Kabupaten Ende berlangsung aman meskipun tidak dihadiri oleh para saksi dari empat paket.

Bupati Ende Drs Paulinus Domi dalam sambutanya yang dibacakan oleh Asisten 1, Drs Hendrikus Seni mengatakan, pelaksanaan Pilkada Kabupaten Ende sebagai sarana demokrasi telah menggambarkan pelaksanaan kedaulatan rakyat menurut sistem yang dianut, berlangsung aman, tertib dan lancar. Pemilih memberikan suara tanpa intimidasi dan paksaan.

"Saya percaya, proses demikian akan memberi legitimasi yang kuat kepada kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dalam menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintahan di daerah. Kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya pelaksanaan Pilkada Ende yang demokratis, saya mengucapkan terima kasih," kata Domi.

Total pemilih Pilkada Ende 157.061 jiwa. Yang ikut memilih 135.322 orang atau 83,60 persen, sementara yang tidak ikut memilih 21.846 orang. Sedangkan suara tidak sah sebanyak 4.002 suara. (rom/mar/PK edisi Minggu 19 Oktober 2008 hal 10)
Selanjutnya...

Asam Timor, Potensi yang Terlupakan

BERBAGAI potensi dimiliki Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Salah satunya sektor pertanian yang menjadi kebanggaan kabupaten ini. Di sektor ini TTS mempunyai jagung, padi hingga tanaman tumpang sari. Aneka tanaman ini telah membudaya untuk mencukupi kebutuhan pangan warga.

Tetapi TTS tidak cuma punya jagung, padi dan tanaman tumpang sari. Sudah sejak dulu Kabupaten Cendana Wangi ini memiliki asam. Asam sesungguhnya sangat prospektif. Sayang, sejauh ini pemerintah masih menganaktirikan asam. Rakyat dibiarkan sendiri memburu asam di hutan. Memburu, karena pohon asam di hutan tidak punya pemilik. Siapa saja bebas memetik dan atau memungut buahnya yang jatuh ke tanah.

Menjelang musim panen, yakni Agustus, September dan Oktober warga ramai-ramai masuk keluar hutan memburu asam. Saking banyaknya, jangan pernah menyangka bahwa warga akan naik ke pohon lalu menjatuhkan buahnya. Tidak. Mereka lebih memungut buah yang sudah jatuh ke tanah. Buah itu lalu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung untuk dijual kepada pengepul.

Siklus mencari, mengumpul dan menjual asam ke pengepul sudah jadi tradisi. Sudah lazim dan berjalan setiap tahun. Meski sudah lazim dan dilakonkan ramai-ramai oleh warga di desa dan kampung, hal itu belum berhasil memberi inspirasi kepada pemerintah dan wakil rakyat untuk mengembangkan asam menjadi komoditas primadona. Beruntung, pohon asam tidak rewel seperti tanaman yang lain. Di hutan-hutan pohon asam tumbuh alamiah. Kokoh berdiri. Tidak perlu dirawat.

Tetapi melihat potensi dan prospeknya yang lumayan, mestinya pemerintah bisa memikirkan untuk melipatgandakan fungsi asam sehingga lebib berdaya guna. Harganya memang terbilang murah. Cuma Rp 600,00 hingga Rp 1.000,00/kg. Tetapi kalau pemerintah bisa menjadikan asam sebagai komoditas massal dan diusahakan secara massal, tak sulit menghitung berapa duit yang diraup warga. Apalagi, asam bukan cuma daging buahnya yang bermanfaat. Biji asam juga dicari untuk diolah menjadi zat pewarna untuk industri tekstil.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan TTS, Drs. Daniel Dede, yang saat diwawancarai masih menjabat, mengatakan, setiap tahun TTS dapat memproduksi asam sebanyak 2.000 hingga 3.000 ton. Bila warga menjual asam ke pengusaha di Kota SoE, maka akan mendapatkan harga setiap kilogramnya Rp 1.000,00 hingga Rp 2.000,00. Sementara bila biji asam diolah menjadi tepung bisa dihargai dengan Rp 7.000,00/kg.

Kendati demikian, kata Dede, untuk mengubah biji asam menjadi tepung dibutuhkan teknologi mesin pengolahnya. Selain itu, sebelum dipasarkan ke perusahaan tekstil tepung itu harus memenuhi standar mutu internasional. Dede menegaskan mutu tepung biji asam dari TTS memiliki kualitas paling baik.

Konon, biji dan daging buah asam dari Timor memiliki kualitas yang unggul dibandingkan dengan asam lainnya di Indonesia. Di pasaran, pengusaha besar di Jawa lebih memilih asam daratan Timor untuk diolah menjadi makanan ringan, minuman ringan dan bahan komestik.

"Tepung yang terbuat dari biji asam saat ini sangat dicari perusahaan tekstil untuk pewarna kain. Untuk Indonesia, tepung biji asam masih didatangkan dari India lantaran ketiadaan tepung biji asam di tanah air. Makanya, bila TTS dapat menyuplai setidaknya sepuluh ton tepung biji asam, maka kabupaten ini akan kebanjiran investor perusahaan tekstil. Dan tentunya industri ini akan memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat TTS," kata Dede.

Untuk merancang ke arah industri rumah tangga, lanjut Dede, pihaknya terlebih dahulu akan mengoptimalkan bantuan mesin pengolah biji asam menjadi tepung tahun ini. Bila berhasil, tahun berikutnya Disperindag akan melakukan pengadaan biji asam dan sekaligus mesin pengelolaanya.

Tak beda dengan Dede, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan TTS, Drs. Urias Sanam, yang dikonfirmasi melalui Kasi Rehabilitasi dan Pengkayaan Hutan, Chris Koenunu, S.Hut mengatakan pohon asam bisa berbuah dalam usia lima tahun. Selain mudah membudidayakannya, menanam pohon asam tidak memerlukan perawatan ekstra layaknya tanaman lainnya. Ibarat tinggal menabur bijinya saja, maka tanaman itu bisa tumbuh hingga besar.

Dalam catatan Dishutbun TTS, produksi asam tujuh tahun terakhir mengalami pasang surut. Tahun 2001, produksi asam isi sebanyak 792 ton, tahun 2002, 487,5 ton, tahun 2003 sebanyak 4.635 ton, tahun 2004, 3.261 ton, tahun 2005, 3.174 ton, tahun 2006, 3.287 ton dan tahun 2007 sebanyak 5.535 ton.

Menurut Koenunu hampir seluruh daratan di TTS ditumbuhi pohon asam. Namun pohon asam itu tumbuh dengan sendirinya tanpa adanya unsur kesengajaan pemilik tanah menanamnya. Koenunu menyebutkan daerah penghasil asam terbesar berada di Kecamatan Kualin, Kolbano, Boking, Toianas, Amanuban Selatan, Mollo Utara, Mollo Tengah dan Mollo Barat.

Nah, tidak ada salahnya bila asam timor dapat dijadikan sebagai aset yang paling berharga untuk menambah pendapatan warga. Bila saja pemerintah memprogramkan penanaman asam secara massal, maka di saat musim kemarau warga tak lagi gigit jari menunggu berbagai bantuan pangan dari pihak luar lantaran kekurangan pangan. Terlebih lagi, bila pemerintah serius, maka dengan sentuhan teknologi perkebunan dan pertanian dapat memungkinkan satu pohon asam berbuah dua hingga tiga kali dalam setahun. Alhasil, warga pemilik pohon asam pun dapat berbesar hati. Rupiah pun dapat diraup warga saat musim panen tiba. Dan, untuk menghindari gejolak turunnya harga pada saat musim panen maka sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk membeli asam milik masyarakat.

Timor Tengah Selatan pernah berjaya karena cendana. Kini secara ekonomis, cendana telah punah. Kabupaten ini juga pernah harum namanya karena buah apel. Kini, apel SoE tenggelam dan nyaris tidak terdengar lagi. Kabupaten dingin ini juga punya nama besar karena jeruk keproknya. Tetapi TTS tidak hanya punya itu. Dia punya asam dengan kualitas sangat baik. Cepat atau lambat, asam akan melambungkan nama Timor Tengah Selatan. * (
Muhlis al Alawi/PK edisi Minggu 19 Oktober 2008) Selanjutnya...

Jumat, 17 Oktober 2008

Dicari, 'Gudang Ternak' Sapi di Pulau Timor


DUA
atau tiga dasawarsa yang lalu, Pulau Timor dikenal dengan julukan 'Gudang Ternak Sapi' di Indonesia. Di pulau yang didominasi padang sabana ini, berkembang biak ternak sapi dengan sangat baiknya, oleh usaha peternakan rakyat. Setiap bulan, 700 - 1000 ekor sapi yang diantarpulaukan dari Pelabuhan Atapupu (Belu), Pelabuhan Wini (TTU) dan Pelabuhan Tenau (Kupang). Belasan kapal pengangkut ternak sapi milik saudagar hewan dari Surabaya dan Jakarta hilir-mudik setiap hari di laut Timor menuju Pulau Jawa. Bahkan sapi-sapi dari Timor diekspor hingga Singapura, Hongkong dan Taiwan.

Tetapi itu romantisme masa lalu. Sekarang jumlah ternak sapi yang diantarpulaukan ke Jawa hanya sekitar 800 ekor per triwulan. Bahkan jumlahnya diperkirakan terus berkurang, termasuk kualitasnya. Julukan yang diberikan almarhum Presiden Soeharto bahwa 'Timor adalah Gudang Ternak Sapi' di Indonesia, kini hanya akan jadi dongeng untuk anak cucu. Sekarang, gelar itu sudah direbut oleh Sulawesi. Di sana ternak sapi dikembangkan secara serius di ranch-ranch modern. Mereka membangun ratusan Breeding Centre Ranch dan Fattening Centre Ranch di hampir seluruh wilayah Sulawesi, terlebih di Gorontalo.

Di Kalimantan dan Sumatera (Medan) usaha ternak sapi yang modern kini sedang digalakkan. Pulau Bali pun kini sedang menggeliat. Sejak dahulu, sapi sudah begitu lekat bahkan menjadi bagian dari kebudayaan Bali. Bahkan jenis Sapi Bali (Bos Sondaicus) ditetapkan sebagai salah satu plasma nutfah dunia. Kendati populasi sapi di Bali tidak besar, Pemprov Bali sangat serius memperhatikan perkembangan mutu genetika Sapi Bali. Mereka membuat perda melarang pengeluaran sapi pejantan dan betina unggulan. Sanksinya sangat berat bila tertangkap petugas. Bahkan di Kabupaten Jembrana, Gubernur Bali memberi bantuan kapal patroli untuk mengejar penyelundup bibit Sapi Bali melalui laut.

Lalu bagaimana pengembangan ternak sapi di Pulau Timor? Mengapa sejak tahun 1980-an, populasi ternak sapi di Timor menurun drastis? Lalu bagaimana solusinya? Tulisan ini tidak bermaksud mengulas secara detail. Paparan ini hanyalah sumbang saran, urun ide sederhana bagi petani peternak, pengusaha ternak bahkan peneliti yang peduli pada usaha pengembangan ternak sapi di Pulau Timor.

Ada beberapa jenis ternak sapi yang dikembangkan, yaitu Sapi Bali (Bos Sondaicus), Sapi Grati, Sapi Madura dan sapi peranakan Ongole (keturunan hasil persilangan antara sapi Ongole jantan dan sapi betina Jawa). Namun sejak dulu, yang dikembangkan secara besar-besaran di Pulau Timor adalah Sapi Bali (Bos Sondaicus).

Bos Sondaicus, bukan hewan atau ternak asli di Pulau Timor kendati ia diklaim sebagai ternak asli Indonesia. Ia berasal dari hasil domestikasi terus menerus banteng liar Bos Sondaicus (Bos Banteng). Banyak peneliti telah berusaha mencari tahu sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor? Siapa yang membawa Sapi Bali ke Pulau Timor? Penelusuran sejarah ini perlu saya paparkan di sini sebab ini terkait dengan penjelasan kenapa populasi Sapi Bali di Timor menurun drastis. Bahkan kualitasnya memprihatinkan.

Tidak ada satu pun bahan pustaka yang ditulis seorang insinyiur peternakan, yang membahas sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor, dan bagaimana perkembangan ternak ini. Namun ada seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Kepala Kantor Goegrafi Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) bernama F.J. Ormeling, menulis beberapa catatan kecil, hasil pengamatannya terhadap orang-orang, tumbuhan dan ternak Pulau Timor. Catatan kecil Omerling itu, dijadikan buku oleh J.B. Wolters dengan judul "The Timor Problem: A Geographical Interpretation of An Underdeveloped Island" dan diterbitkan oleh Djakarta and Groningen pada tahun 1956. Seorang kurator terkenal dari NTT, Drs. Wilfridus Silab, menyelamatkan buku tua ini dan membuat terjemahannya setebal 200 halaman.

Ormeling mencatat, Sapi Bali didatangkan Pemerintah Hindia Belanda pertama kali ke Pulau Timor pada tahun 1912. Sepanjang tahun 1912, tercatat 2.700 ekor ternak dimuat di atas Kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM/Kapal Barang) dibawa ke Pulau Timor. Rinciannya, 1.000 ekor sapi, sisanya kerbau, kuda dan kambing.

Pada tahun 1919, Burgerlijke Veerartsenij Kundige Diensa (BVD/Jawatan Kehewanan Sipil Hindia Belanda) mengambil alih 'impor' Sapi Bali ke Pulau Timor. Upaya ini terpaksa dilakukan untuk membendung sapi impor dari India dan Australia, yang didatangkan beberapa pedagang Cina dan India. Menurut catatan Omerling, pada tahun 1920 jumlah ternak sapi yang masuk ke Pulau Timor menjadi 138.000 ekor. Catatan terakhir Omerling, menyebutkan sepanjang tahun 1952, ada 108.000 ekor Sapi Bali, 40.000 ekor kerbau dan 64.000 ekor kuda yang diangkut oleh beberapa kapal barang ke Pulau Timor. Ternak ini diturunkan di Pelabuhan Tenau di Kupang, Pelabuhan Wini di TTU dan Pelabuhan Atapupu di Belu.

Ada catatan menarik yang dibuat oleh Omerling. Ketika mengirim ternak ke Pulau Timor, pemerintah Hindia Belanda juga mengirim bibit tanaman Jatropha Gussypifolia (lantana cemara), dalam bentuk ribuan stek dan ratusan ribu biji dalam kemasan belasan karung. Tanaman ini, menurut Omerling adalah makanan khas Sapi Bali, bahkan pakan terbaik ternak Sapi Bali. Peternak sapi di TTU, khususnya di Noemuti, menyebut tanaman lantana cemara dengan sebutan Suf Molo (bunga kuning). Sedangkan bagi peternak sapi di Miomaffo dan Insana, menyebut tanaman untuk sapi ini dengan istilah 'Pankase'. Di TTS, Camplong dan Amarasi, tanaman unik ini disebut dengan istilah Haukopas.

Ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia ini diserahkan Belanda kepada para raja di Timor untuk dikembangbiakkan. Para raja kemudian memerintahkan para kepala suku dan rakyatnya untuk mengembangkan ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia. Sapi dan tanaman ini pun dikembangkan secara luas di Amarasi, Camplong dan Amfoang (Kupang), Amanatun, Amanuban dan Molo (TTS), Miomaffo, Insana dan Biboki (TTU) dan di Belu Utara dan Selatan. Akhirnya, sapi dan dagingnya menjadi bagian dan simbol dari urusan adat di Timor, seperti denda adat, mahar kawin, pesta adat dan sebagainya. Bahkan perdagangan sistem barter di pedalaman Pulau Timor, dilakukan dengan cara menukar sapi dengan kain dan benang yang dibawa oleh saudagar asal Cina dan India.

Pada tahun 1970 hingga 1982, ternak Sapi Bali di Timor memasuki masa-masa emas. Namun ketika memasuki tahun 1983, populasi ternak sapi di Timor mulai menurun drastis. Banyak faktor penyebabnya. Salah satunya, tanaman Jatropha Gussypifolia, yang merupakan sumber pakan terbaik Sapi Bali di Timor, terdesak oleh ekspansi tanaman gulma Cromolaena Odorata (bunga putih). Orang Timor menyebut dengan istilah Suf Muti. Ekspansi tanaman gulma ini sangat cepat, menutupi padang rumput. Padahal rumput di padang sabana adalah pakan alternatif terbanyak selain Jatropha Gussypifolia. Daun tanaman gulma ini tidak disentuh oleh ternak besar maupun ternak kecil.

Kebiasaan tebas bakar untuk membuka ladang juga penyebab lain tanaman Jatropha Gussypifolia menghilang dari hutan-hutan di Pulau Timor. Tebas bakar juga menyebabkan sumber air mengering, yang sangat dibutuhkan ternak saat musim kemarau. Selain itu, sejak tahun 1980, adanya pengembangan tanaman jambu mente besar-besaran di Pulau Timor. Dalam satu dasawarsa saja, tercatat 28.000 hektar padang sabana, yang merupakan padang penggemabalaan sapi di beberapa tempat di TTS, TTU dan Belu 'menghilang' diganti dengan tanaman jambu mente. Dan kini padang sabana juga sudah dijejali dengan tanaman jarak pagar.

"Sejak dahulu, Belanda telah melihat Pulau Timor sebagai tempat paling pas untuk mengembangkan ternak. Sedangkan Flores adalah tempat paling pas untuk mengembangkan tanaman perkebunan. Tapi sekarang tanaman perkebunan menjejali padang penggembalaan di Pulau Timor. Intervensi program ini benar-benar berdampak buruk bagi jumlah populasi ternak sapi di Pulau Timor," jelas Thomas Hartanto, salah satu saudagar hewan di Kefamenanu.

Pada tahun 1970-an Hartanto sering mengirim sapi ke Pulau Jawa.

"Tapi sekarang saya sudah beralih profesi sebagai kontraktor bangunan. Bisnis sapi sudah tidak cerah lagi. Dapat 50 ekor sapi dengan kualitas terbaik dalam satu bulan adalah mukjizat. Lebih baik saya dagang yang lain saja," jelas Hartanto dalam suatu kesempatan diskusi.

Hartanto juga melihat lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pengeluaran sapi ke Pulau Jawa. Ribuan sapi antan unggulan dan betina produktif diantarpulaukan sejak tahun 1970.

"Seleksi negatif dalam perdagangan sapi antarpulau yang berlangsung lama menyebabkan mutu genetika Sapi Bali di Timor terdegradasi. Sapi jantan paron kualitas terbaik diantarpulaukan dan tinggal sapi jantan inferior berkembang biak di padang penggembalaan. Maka jangan heran kalau dengar orang melecehkan kita. Mereka bilang sapi dari Pulau Timor seperti 'kakaknya kambing'," jelas Hartanto.

Lalu bagaimana solusinya? Perlu dipikirkan membuat program budidaya tanaman pakan untuk ternak Sapi Bali di Pulau Timor. Sekarang ada upaya dari pemerintah untuk membudidayakan tanaman king grass (Pennisetum Purpureophoides), turi (Sesbania Glandiflora) dan lamtoro (Laucaena Leucocephala), yang ditumpangkan pada ladang para petani. Tapi usaha ini tidak berjalan maksimal. Selain itu, tanaman lamtoro juga tidak tahan hama atau riskan diserang hama kutu loncat. Mungkin kita perlu membudidayakan tanaman Jatropha Gussypifolia, yang kini terancam punah. Daunnya selain paling suka dimakan sapi, kulit batangnya juga paling disukai kambing. Daunnya juga sangat menyuburkan tanah. Tumbuhnya mudah dan pintar beradaptasi dengan jenis tanah mana pun di kawasan tropis. Jika pemerintah melalui lembaga pendidikan tinggi mengembangbiakan tanaman ini, saya kira secara tidak langsung sumber pakan ini membantu mendongkrak populasi ternak sapi.

Berikutnya, perlu dipikirkan suatu cara pengembangan atau perbaikan padang rumput alam yang moderat ditinjau dari aspek teknis dan ekonomis, yakni cara kultivasi parsial. Artinya vegetasi asli padang rumput alam tetap dipertahankan, namun perlu juga disisipi tanaman pakan budidaya maupun legum yang memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan sekitar.

Selain itu, di Pulau Timor, sedikitnya terdapat 21 jenis tanaman yang tumbuh di hutan, yang bisa dijadikan sumber pakan alternatif bagi ternak sapi. Orang Timor mengidentifikasi tanaman itu antara lain busi, metani, bubuk, niko, nun me (beringin), palelo, lilfui (orang Kupang menyebut: Dilak), name, nun tani, klole, kaliandra, kabena, bafkenu, fekfeku, nuntili, nuk bai, loam, hau sisi, feub, timo dan kium. Perguruan tinggi di NTT bisa melakukan penelitian untuk mengembangkan secara besar-besaran menjadi sumber pakan alternatif bagi ternak sapi.

Para peternak sapi di NTT, lebih khusus di Timor, perlu belajar dari Provinsi Bali. Di Pulau Dewata, Kantor UPTD Peternakan menghimpun 12 pejantan sapi unggulan dari enam kabupaten se-Bali. Pada usia usia 2,5 tahun sampai masa produksinya 8 tahunan, petugas mengambil simen. Pengambilan simen atau spermanya dilakukan dua kali sepekan oleh tenaga terlatih. Sebelum diproses, simen segar dievaluasi terlebih dulu kualitasnya. Evaluasi secara makroskopis meliputi kebersihan, warna, bau dan volume. Sedangkan sisi mikroskopisnya dilihat menggunakan sperm analyzer -sperm vision dan alat penghitung konsentrasi spermatozoa (spektrofotometer) - spermacue SDM5. Dengan alat tersebut diketahui tingkat motilitas, gerakan, morfologis dan konsentrasi. Hanya simen segar yang memenuhi standar dengan angka progresive motilitas lebih dari 70 persen dan konsentrasi 1 milyar, akan diproses lebih lanjut.

Simen kemudian dikemas dalam mini strow berukuran 0,25 ml menggunakan alat pengemas khusus. Simen sapi tersebut dengan penyimpanan khusus pada suhu minus 196 bisa bertahan bertahun-tahun. Dan hanya simen yang bagus akan dijual ke peternak. Dengan begitu kelak didapat mutu genetika Sapi Bali yang bagus dan bersaing. Beberapa upaya yang digambarkan di atas, bukan tidak mungkin kelak bisa mengembalikan pamor Pulau Timor sebagai 'Gudang Ternak' Sapi di Indonesia. Semoga ! (julius akoit/PK edisi Sabtu 18/10/2008 hal 1)
Selanjutnya...

Senin, 13 Oktober 2008

Kenapa Suka Jelekkan Diri Sendiri?


NAMANYA Matsui Kazuhisa. Berkebangsaan Jepang. Mulai bergaul dengan Indonesia sejak tahun 1985. Selama itu pula ia mempelajari tentang kondisi sosial masyarakat di Indonesia. Kajian tentang politik di Indonesia yang ditekuninya membuatnya mengenal banyak sisi kehidupan lokal masyarakat Indonesia.

Dalam diskusi terbatas di Kupang tentang "Membangun Kemandirian Masyarakat NTT", pada tanggal 10 September 2008, Matzuhita yang tampil sebagai salah satu pembicara banyak menungkapkan nilai-nilai lokal di Indonesia yang bisa dikembangkan. Dia boleh dibilang banyak memiliki/mengetahui nilai-nilai lokal, hal-hal yang remeh temeh yang sudah diabaikan, dilupakan, tetapi sebetulnya sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kekuatan untuk memajukan ekonomi.

Kini Matsui bekerja sebagai penasehat pembangunan daerah wilayah Sulawesi. Kedatangannya ke Indonesia pada awalnya sebagai mahasiswa Program Pasca Sarjana di Universitas Indonesia pada tahun 1985. Selama 23 tahun, pria ini mempelajari tentang Indonesia.

Ada satu nilai yang disampaikan oleh Matzui yakni kecintaan pada produk lokal. Sejauh ini masyarakat Indonesia masih beranggapan bahan makanan impor adalah makanan mewah, lebih baik, lebih bergizi dan karena itu membanggakan. Lalu terbentuk anggapan bahwa produk luar negeri, makanan pabrik lebih baik, lebih "bergengsi" ketimbang makanan lokal.

Berbeda dengan masyarakat Jepang yang lebih memilih produk lokal karena sudah mengetahui proses produksi jenis makanan tersebut. Padi, sayuran dan buah yang ditanam petani lokal dari jenis terbaik dan tanpa pupuk organik, diutamakan untuk makan sendiri. Sisanya baru dijual.
Bagaimana pandangannya tentang Indonesia, tentang nilai-nilai lokal dan bagaimana harus menggunakannya untuk memajukan ekonomi, berikut petikan wawancara Pos Kupang dengan tamu kita yang satu ini, beberapa waktu lalu.

Anda sepertinya tertarik tinggal di Indonesia. Apa pendapat Anda tentang Indonesia?

Itu sebenarnya bukan menarik tapi, saya sendiri sejak tahun 1985 bekerja sebagai peneliti tentang Indonesia di suatu lembaga kajian di Jepang, sampai bulan Maret lalu. Jadi selama 23 tahun tugas saya adalah melakukan kajian tentang Indonesia. Dan, pernah dua tahun di Jakarta sebagai mahasiswa S-2 di UI. Pada tahun 1995-2001 pernah bekerja sebagai expert JICA di Makassar, dan sejak bulan April lalu expert JICA di Makassar lagi.

Keahlian saya sendiri adalah ekonomi dan politik tapi terutama setelah tahun 1999 saya lebih fokus pada pembangunan daerah, otonomi daerah dan desentralisasi. Pernah saya tinggal kos di rumah orang Jawa di Jakarta dan sejak itu suka bergaul dengan semua orang, baik dengan aparat pemerintah, swasta maupun LSM. Jadi sehari- hari saya senang bergaul dengan teman-teman di sini. Akhirnya segala macam (tentang Indonesia) saya tertarik.
Jepang setelah kalah Perang Dunia Kedua tahun 1945 baru mulai membangun. Indonesia juga baru merdeka tahun 1945. Artinya dua negara ini sama-sama mulai membangun pada tahun yang sama. Tapi kenapa Jepang saat ini menjadi negara maju, sementara Indonesia masih sebagai negara berkembang?

Ini sebenarnya saya tidak maksud membedakan mana yang lebih bagus dan mana yang lebih jelek. Indonesia juga harus berani belajar juga dari Jepang. Jepang juga harus banyak belajar dari Indonesia. Tapi kalau pertumbuhan ekonomi sangat berbeda. Misalnya Jepang saat Perang Dunia II habis semua, jadi mereka membangun dari minus dengan sangat menyesal dengan mulainya Perang Dunia II. Jadi mereka menyatakan tidak mau lagi perang. Maka, mereka setengah mati berusaha terus agar anak cucunya lebih maju lagi daripada generasi dahulu dan tidak melakukan kesalahan seperti dulu. Sedangkan, Indonesia ini kaya sekali dengan sumber daya alamnya. Memang Indonesia juga sangat menderita setelah Perang Dunia II dan masih ada kesulitan. Tapi mereka menikmati kekayaan sumber daya alam. Jepang tidak ada sumber daya alam yang bagus, semuanya harus impor dari luar negeri. Karena itu, Jepang berpikir untuk memanfaatkan sumber daya alam seefisien mungkin. Kalau di Indonesia sumber daya alam sangat banyak sekali, maka tidak perlu berpikir untuk demikian. Di Indonesia kayaknya tidak kerja pun bisa hidup. Sebenarnya Jepang dulu merindukan daerah tropis sebagai paradiso yang enak, dianggap surga, karena di sana tidak perlu kerja keras dan setiap hari santai dan bisa hidup. Ini salah satu alasan sentimentalis mengapa Jepang tertarik ke daerah tropis untuk mendapat sumber daya alam yang kaya ini.

Anda begitu lama di Indonesia. Menurut Anda, mengapa Indonesia sulit sekali bergerak maju?

Mungkin pertanyaan agak filosofis adalah untuk apa kita maju. Dengan kemajuan maunya mencapai apa? Apakah Indonesia maunya seperti Jepang atau Singapura? Sebenarnya bahagia itu apa? Apakah kehidupan modern seperti di Jepang itu pasti menjanjikan kebahagiaan? Banyak orang Jepang, biarpun merasa sudah maju, belum tentu merasa bahagia. Mengapa jumlah orang bunuh diri bertambah terus di Jepang? Teman-teman orang jepang yang datang ke Indonesia sangat terkesan dengan negara ini, biar pun di sini secara ekonomis kelihatannya tidak begitu kaya tapi kebanyakan orang terlihat bahagia sekali. Anak-anaknya suka lari dan main sambil ketawa dan keluarganya saling membantu. Hal-hal biasa ini terkesan oleh orang Jepang. Memang ada orang Jepang yang merasa Indonesia itu jelek kotor dan lain-lain. Tapi saya berpikir kenapa orang Indonesia suka menjelekkan diri sendiri. Sebenarnya orang Indonesia bisa mendapatkan atau meningkatkan kepercayaan diri, maka akan membanggakan apa yang mereka miliki.

Jepang sebagai negara maju, tapi masih kuat dengan akar budaya. Komentar Anda?

Itu perbedaannya. Begini, kalau di Jepang mereka terima saja budaya dari luar, tapi tidak menghilangkan budayanya sendiri. Jadi dua-duanya. Ada budaya tradisional Jepang bisa bertahan tapi dari luar juga diterima atau bisa kombinasikan antara keduanya. Sedangkan di Indonesia, kalau menerima budaya dari luar, kayaknya mereka langsung menghilangkan budaya asli mereka. Saya tidak bisa mengerti mengapa orang Indonesia membuang apa yang mereka punya setelah mendapat hal-hal yang baru dari luar. Ini sebenarnya bisa memanfaatkan dua-duanya dengan kombinasi dan paduan dengan yang lain. Mungkin orang Indonesia punya kecenderungan yang dapat dari luar itu lebih bagus dari pada apa yang mereka punya sehingga mereka menyesal dan menjelekkan dirinya, dan dibuang. Akhirnya jati dirinya juga hilang.

Indonesia selalu lebih bangga bila mengkonsumsi hasil-hasil pertanian atau hasil industri dari luar. Sementara di Jepang, masyarakat lebih menyukai produk lokal sehingga terkesan pemerintah Jepang memproteksi produk lokal dari serbuan produk luar. Bagaimana Anda melihat ini?

Sebenarnya itu tidak benar. Memang di Jepang tekanannya tinggi untuk bebas perdagangan, banyak sekali hasil pertanian hasil impor masuk. Tapi masyarakat Jepang tetap senang hasil pertanian domestik yang enak dan berkualitas. Jadi bukan proteksi, bukan melindungi. Konsumen Jepang bebas memilih dan hasil pilihannya demikian dan tidak ada maksud dari pemerintah Jepang. Justru pemerintah Jepang maunya agar konsumen Jepang lebih banyak mengkonsumsi produk impor. Bagaimana di Indonesia? Apakah kalangan atas selalu memilih produk Indonesia atau produk impor? Ini masalah pilihan konsumen. Orang Jepang tetap suka beras domestik daripada beras impor karena sudah jelas siapa membuat beras ini dan dihasilkan dari daerah mana. Kalau beras impor, tidak jelas siapa yang buat, kondisinya bagaimana, apakah pakai pestisida, dan sebagainya. Orang Jepang cukup memperhatikan keamanan makanan dan memilih beras yang aman tanpa memakai pestisida. Ini masalah pilihan konsumen.

Kemajuan Jepang tidak terlepas dari pendidikan. Bagaimana anda melihat pola pendidikan di Jepang dan Indonesia?

Saya kira isu pendidikan tidak terlalu berbeda, cuman mungkin kalau di sini banyak anak-anak diminta ikut saja instruksi guru. Kayaknya tidak boleh kritik, atau tidak boleh menyampaikan pandangan berbeda dengan yang disampaikan oleh guru, sehingga ada keseragaman. Guru juga tidak memberikan toleransi untuk hal-hal yang berbeda dengan apa yang diminta diajarkan dari pusat. Sedangkan di Jepang, umumnya mereka harus menghormati perbedaan pendapat. Di dalam sekolah juga kami diberikan kesempatan untuk menyampaikan apa saja yang berbeda dengan yang lain dan itu tidak mungkin dipukul atau dimarahi kalau pandangannya berbeda dengan guru. Selain itu, pendidikan belum tentu mengajarkan keadilan. Misalnya, untuk muridnya mendapat nilai yang baik, saya pernah dengar, ada telepon langsung dari orangtua kepada guru atau kepala sekolah. Hal-hal ketidakadilan seperti itu muncul di pendidikan sekolah dan itu dilihat dan dipelajari oleh anak-anaknya.

Menurut Anda, apa potensi yang bisa dikembangkan di sini?

Sebenarnya banyak sekali potensi lokal yang kami bisa tunjuk di sini, tapi orang di sini hanya ikut-ikutan saja. Mengapa tidak mencari sendiri duluan saja? Potensi di sini dimiliki oleh orang di sini. Mengapa tidak koreksi tanpa perdebatan apa-apa setelah ditunjuk oleh orang luar? Bisa saja potensi yang ditunjuk oleh orang luar diprotes juga dengan kata kenapa harus ini, bukan itu. Makanya orang di sini cari potensi lokal dulu. Jika produk lokal dimiliki atau diambilalih oleh orang luar, orang di sini baru menyadari dan merasa tertipu atau dipermainkan. Dengan itu, kiranya sudah terlambat.

Anda sebagai penasehat pembangunan di Sulawesi. Apa saja yang Anda kerjakan?

Saya bertugas untuk memberikan berbagai informasi dan pikiran baru terhadap kebijakan pembangunan daerah se-Sulawesi, dan mencoba memfasilitasi untuk mewujudkan kerjasama antardaerah di Sulawesi.

Apa kesan yang paling mendalam selama Anda berada di Indonesia?

Kesannya banyak sekali. Tapi saya merasa selalu diberikan semangat oleh berbagai teman, kenalan, dan keindahan pemandangan di Indonesia. Saya selalu ingin membalas sesuatu yang baik.

Sedangkan pengalaman yang paling tidak menyenangkan?

Waktu pertama kali tiba di Bandara Sorkarno-Hatta, Jakarta pada Agustus 1985, saya dimintai uang oleh aparat imigrasi untuk masuk Indonesia. Untung sekali, saya tidak benci Indonesia sesudah itu.

Menurut Anda, apakah nilai-nilai setiap daerah di Indonesia bisa menjadi kekuatan untuk membangun ekonomi nasional?

Coba ingat waktu krisis moneter. Jawa mengalami kemunduran ekonomi sangat besar. Namun, sebagian Sulawesi menikmati harga komoditi ekspor yang naik dan ekonominya tidak menjadi begitu lesu. Keanekaragaman ini justru memperkuat negara secara total. Menikmati perbedaan dengan saling menghormati. (alfred dama/PK edisi MInggu 12 Oktober 2008 hal 3)

Biodata

Nama : Matsui Kazuhisa
Bekerja sebagai Penasehat Pembangunan Daerah Wilayah Sulawesi.
Istri : Matsui Junko
Anak : Matsui Midori
Selanjutnya...

Pen Bete dan Laok Tunu

LIBURAN Idul Fitri yang baru berlalu membawa berkah bagi saya. Setelah sekian lama tidak pernah mengunjungi kampung halaman di Timor Tengah Selatan (TTS), saya berkesempatan untuk berlibur ke sana. Ada beberapa daerah yang saya kunjungi. Namun, kenangan masa kecil di Bikium lebih menggoda untuk dikenang.
Bikium, kampung kecil di Desa Biloto, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten TTS (sekitar 7 km arah utara Kota SoE), memang tidak begitu terkenal. Dia tidak setenar Boti, Bu'at atau kampung lain di TTS yang masuk dalam peta pariwisata.

Tapi, yang membuat Bikium beda dengan kampung lainnya adalah karena dia pernah menjadi pusat pemerintahan kevetoran (usif/raja) Mella yang meliputi wilayah Mollo Selatan. Statusnya sama dengan Ajaobaki (Mollo Utara/kevetoran Oematan), Niki-Niki (Amanuban Tengah/kevetoran Nope) dan sebagainya.

Di Bikium terdapat sebuah sekolah dasar, yakni SD GMIT Biloto yang didirikan 1 Oktober 1946 oleh Yayasan Usaha Pendidikan Kristen (Yupenkris) TTS. Saat itu atap sekolah dari alang-alang, dinding dari bambu yang dibelah (gedek) dan berlantai tanah. Meski demikian, dia menjadi satu-satunya sekolah di daerah yang sudah dimekarkan menjadi empat desa. Anak-anak dari Kesetnana, Siso, Bisene dan Salmel, harus rela menempuh jarak puluhan kilometer untuk mencapai SD GMIT Biloto dengan berjalan kaki. Mungkin dari kebiasaan berjalan kaki naik turun gunung inilah sehingga daerah itu melahirkan atlet atletik nasional, Welmince Sonbay yang pernah mengharumkan nama Indonesia di pentas internasional.

Yang membuat saya masih terkesan hingga saat ini adalah kebiasaan para murid membawa bekal makanan ke sekolah. Karena harus menempuh perjalanan jauh ke sekolah, maka murid-murid dianjurkan gurunya membawa makanan. Ada banyak jenis mulai dari jagung, ubi-ubian yang dibakar (laok tunu) dan nasi. Minuman mulai dari air putih hingga susu sapi yang disimpan dalam tuke --wadah dari bambu. Saat itu hampir semua warga memiliki sapi lebih dari lima ekor yang kini tinggal kenangan karena mulai punah.

Mereka yang membawa bekal nasi sangat sedikit. Kala itu, yang biasa makan nasi hanya guru, kepala desa ataupun usif. Kalaupun masyarakat kebanyakan punya beras, mereka akan mengatakan tidak kenyang karena belum makan jagung. Nasi biasanya berasal dari beras merah yang ditumbuk dan diisi dalam wadah yang dalam bahasa daerah setempat disebut snipi (keranjang tertutup yang terbuat dari anyaman daun lontar atau gewang). Lauknya daging sapi yang sudah diasapi (daging se'i) ditambah sedikit sambal. Daging se'i ini biasanya awet disimpan sampai berbulan-bulan bahkan ada yang lebih dari satu tahun.

Tapi sama seperti orang Timor kebanyakan, makanan favorit para murid adalah jagung. Yang unik, jagung tersebut tidak dimasak atau direbus tapi digoreng atau biasa disebut pen seka/pen bete (jagung goreng). Jagung goreng ini akan disimpan dalam botol yang diisi air ditambah sedikit garam.

Menurut kebiasaan warga setempat -- mungkin juga di daerah lain di TTS -- jagung goreng yang disimpan seperti ini lebih awet ketimbang jagung yang direbus lalu disimpan dalam rantang. Pen bete, meski disimpan hingga dua hari, masih tetap layak dikonsumsi. Selain itu, dengan makan jagung goreng mereka bisa tahan lapar meski hanya sekali makan dalam sehari.

Ada satu nilai lebih yang bisa dipetik oleh generasi sekarang dari kenangan masa kecil ini. Dengan berjalan kaki hingga puluhan kilometer, makan pen bete dan laok tunu, anak-anak zaman dulu tetap disiplin ke sekolah. Buktinya dari SD GMIT Biloto banyak lahir sarjana yang sudah teruji kualitasnya baik itu sebagai politisi, pegawai pemerintahan maupun pengusaha.

Kini, Bikium yang berada di pinggiran Kota SoE berubah. Gedung SD GMIT Biloto pun tidak lagi beratap alang-alang, berdinding bambu dan berlantai tanah, tapi sudah dibangun permanen. Murid-muridnya pun tak perlu berjalan kaki telanjang ke sekolah, karena jalanannya sudah diaspal mulus yang dilayani angkutan kota dan puluhan ojek sepeda motor.

Mereka juga tak perlu membawa botol yang diisi pen bete atau snipi yang diisi laok tunu dan nasi beras tumbuk. Nasi kini bukan lagi makanan mewah. Jarak rumah ke sekolah pun sudah makin dekat. Di Kesetnana, Siso, Bisene, dan Salmel juga sudah memiliki sekolah sendiri.

Yang tidak dijumpai lagi di sana adalah anak-anak yang membawa susu sapi untuk meminumnya di sekolah. Sapi kini sudah hampir punah. Daging se'i pun harus dibeli di toko. Hamparan padang kini hanya ditumbuhi ilalang kering yang mudah terbakar di musim kemarau, tanpa sapi yang merumput bebas. Kebanggaan masa silam bila minum susu sapi di sekolah kini sudah digantikan oleh air mineral atau minuman bersoda seperti Coca Cola dan lain-lain.

Semua memang ingin perubahan. Semua tentu ingin tidak mau dikatakan kolot hanya karena masih suka bawa pen bete dan laok tunu ke sekolah. Namun, perubahan saat ini hendaknya jangan membuat kita lupa bahwa ada kenangan masa silam yang akan menjadi kebanggaan bila dimodifikasi untuk membangun kampung halaman tercinta. (sipri seko/PK edisi Sabtu 11 Oktober 2008 hal 10)
Selanjutnya...

Sakoseng Yang Telah Memudar

OA mbele oa nara, nara mbele oa le..oa le...

Syair lagu ini sering terdengar pada musim persiapan tanam seperti sekarang ini. Dinyanyikan oleh kelompok kerja yang anggotanya antara 20 sampai 40 orang di bawah terik mentari. Syair lagu diikuti hentakan cangkul itu biasa dinyanyikan dalam empat suara berbentuk koor disusul dua suara solo. "Nara odo wine, wine na gajon tua, tua reta lou korak ha hama-hama...."

Kita yang mendengar dari kejauhan mengira ada yang sedang berlatih koor, lagu daerah yang penuh semangat. Ternyata tidak. Ini adalah sakoseng di wilayah Kangae, sako jung di wilayah Kewapante dan papapoa di wilayah Lio. Sejak dahulu kala, petani di Kabupaten Sikka biasa bekerja bergotong-royong mengolah tanah secara bergilir. Hari ini di kebunnya si A, besok di kebun si B, lusa di kebun si C, dan seterusnya, sampai semua anggota kelompok mendapat giliran. Pemilik kebun tidak membayar, cukup siapkan makan minum seperlunya, seperti lele segor, ara maling wuek, ubi bakar, pisang bakar, rumpu rampe, i'an du'ur dan selalu dilengkapi dengan tua gahu (moke plasu ha, plasu rua).

Kenapa mereka harus menyanyi? "Bukankah dengan menyanyi mereka akan tambah capai ? Petrus Pelem (56), warga RT 13 RW 05, Dusun Baoloka, Desa Langir, Kecamatan Kangae, didampingi Fernades Epa (43) dan Blasius Nenong (59), menjelaskan, kalau tidak nyanyi justru cepat capai. Kalau menyanyi selalu membangkitkan semangat dan lahan yang dicangkul bisa mencapai 1 sampai 1,5 ha, dalam waktu satu hari. Bahkan dalam waktu sehari, mereka bisa mencangkul kebun milik dua sampai tiga orang anggota kelompok.

Petrus dan Fernandes yang ditemui di Langir, Rabu (8/10/2008), menjelaskan, sakoseng berarti kebersamaan dalam bekerja. Semangat sakoseng itu diwariskan oleh nenek moyang mereka yang berasal dari Bekorbira. Sakoseng atau gotong royong dalam bekerja diawali dengan membangun rumah tinggal kemudian dikembangkan ke cangkul kebun. Nenek moyang mereka, kata Petrus, menyadari betapa pentingnya bekerja sama atau gotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan. Dengan sakoseng atau semangat gotong royong pekerjaan yang berat menjadi ringan.

Sakoseng atau bekerja bersama-sama juga dipraktikkan dalam membuka jalan, membangun sekolah, membangun gereja atau fasilitas publik lainnya. Semua itu dilakukan tanpa pamrih, tanpa upah demi kebaikan bersama, demi kesejahteraan bersama.

"Dulu kalau membuka jalan, bangun sekolah, gereja atau sarana publik lainnya, kami selalu bekerja bersama-sama tanpa upah. Semua warga dikerahkan hanya dengan pengumuman kepala dusun pada malam sebelum jadwal bekerja dimulai. Dengan semangat sakoseng atau gotong royong, kami bisa membuka jalan puluhan kilometer, membangun gedung sekolah, balai pengobatan, gereja dan lain-lain. Kami menyadari bahwa sarana dan prasarana itu bermanfaat bagi kami. Sekarang anak-anak muda susah diminta bekerja bersama membangun sarana dan prasarana umum. Kalau bekerja, mereka selalau meminta upah, karena mereka menganggap pekerjaan seperti itu proyek pemerintah yang sudah ada anggarannya. Ini yang kami sebagai orangtua sesalkan," kata Petrus.

Kembali ke sakoseng membersihkan kebun, menyiapkan lahan menghadapi musim tanam. Petrus menjelaskan, sakoseng selalu diiringi dengan lagu sehingga anggota kelompok selalu bersemangat dalam mencangkul. Syair lagu oa mbele, oa nara seperti dirigen atau palumat yang mengatur sentakan cangkul. Cangkul diangkat bersama dan dijatuhkan juga secara bersama-sama. Sakoseng biasa dilakukan untuk sako karit, karena hasil cangkulan tidak dalam. Jika ada anggota kelompok yang membuka lahan baru, perlu dilakukan sako magang, anggota yang terlibat harus betul-betul tangguh, karena cangkulnya harus dalam.

Sakoseng juga melibatkan kaum perempuan, bahkan anak-anak bisa mengikutinya. Sakoseng tidak diskriminatif, semua orang, laki-laki, perempuan, tua muda bahkan anak-anak terlibat dalam kelompok sakoseng itu.

Organisasi sakoseng juga sederhana. Strukturnya hanya ketua. Tidak ada wakil ketua, sekretaris dan bendahara, karena kelompok sakoseng hanya membutuhkan seorang pemimpin yang bisa menggerakkan anggotanya, tidak ada surat-menyurat, tidak ada uang yang perlu dikelola oleh bendahara. Sifatnya juga musiman. Sakoseng dihidupkan pada saat persiapan lahan seperti bulan Oktober saat ini. Jika volume pekerjaan sudah ringan, kelompok sakoseng bubar dan mengurus kebun sendiri-sendiri. Untuk mendapat giliran, tidak dilakukan lotre, tapi siapa yang pertama melakukan 'sako tadan' (mencangkul pertama) pada kebun milik anggota yang mendapat giliran pada hari itu, dia yang mendapat giliran besoknya. Dengan demikian, kata Petrus, anggota sakoseng berebutan melaklukkan sako tadan. Bahkan ada yang sako tadan dini hari, jika dia sangat membutuhkan gilirannya.

Sakoseng juga sebagai wahana menjalin persatuan dan kesatuan, mempererat tali persaudaraan dan merekatkan keharmonisan hidup bertetangga, karena umumnya anggota kelompok sakoseng adalah warga dalam satu dusun atau satu RT. Mereka juga selalu bersama-sama menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan, saling membantu dalam suka dan duka. Sakoseng, kata Petrus, betul-betul bermanfaat dalam ua uma kare tua, ia na umat naha ihin, ihin daa rua witi, tua naha dolo mosa (Sakoseng betul-betul bermanfaat dalam bekerja kebun dan mengiris tuak sehingga panennya berlimpah dan mokenya tidak pernah kering). Dengan demikian, anggota kelompok sakoseng tak pernah kelaparan, tak pernah kekurangan pangan dan tak pernah menderita gizi kurang atau gizi buruk. Anak-anak anggota kelompok sakoseng selalu sehat karena stok pangan tak pernah kurang.

Di wilayah Lio Utara, warganya juga selalu berkeja bersama-sama, bergotong royong menyiapkan kebun. Menurut bahasa setempat, sakoseng disebut papapao. Papapao selalu diiiringi dengan syair lagu, "manung go, o raso manung go". Fransiskus Sambi (49), Ketua Kelompok Sinar Tani, Rategulu, Desa Magepanda, Kecamatan Magepanda, yang ditemui Kamis (9/10/2008), mengatakan papapo membangkitkan semangat bekerja (mencangkul), karena dilakukan secara bergotong royong. Biar siang bolong, semangat kerja tak pernah pudar. Mereka selalu semangat dalam bekerja. Semangat kerja kelompok papapo sangat tinggi sehingga sehari untuk cangkul balik bias mencapai 1/4 ha dan untuk karit atau garuk bisa 1 ha, dengan jumlah anggota 20 orang. Kerjanya bergilir selama enam hari. Pemilik kebun hanya menyiapkan konsumsi sesuai kemampuan. Selain mengerjakan kebun, kelompok ini juga selalu berpartisipasi jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia, atau sakit.

Hubungan sosial kemasyarakatan juga berjalan bagus sehingga dirasakan sangat bermanfaat. Menurut Frans, kelompok mereka biasa diminta mengerjakan fasilitas umum tapi tidak diupah. Semua itu dilakukan untuk kepentingan bersama masyarakat. Jika ada anggaran untuk upah, dananya digunakan untuk dana kelompok yang sesekali dimanfaatkan untuk membantu anggota kelompok yang kesulitan. "Jadi kami selalu bekerja bersama-sama atau bergotong royong dalam suka dan duka," kata Frans.

Namun sakoseng atau gotong royong mulai pudar seiring dengan bertumbuh suburnya sikap individual, kemajuan teknologi (hadirnya traktor) dan kemerosotan hubungan sosial kemasyarakatan. Orang lebih mengutamakan diri sendiri ketimbang membantu sesama atau orang lain. Bahkan sikap individual itu terus bertumbuh subur sehingga syair lagu oa mbele, oa nara, nara mbele oa le sudah jarang terdengar di siang bolong. Tidak ada lagi tokoh panutuan yang menggerakkan dan menghidupkan kembali sakoseng dan berbagai pekerjaan seperti dahulu kalah.

"Dulu saat Gubernur NTT dijabat Pak El Tari, dia pernah turun dari mobilnya dan jalan kaki masuk kebun, melihat para petani di Brai yang sedang sakoseng, yang nyanyiannya mengusik telinganya.. Beliau tampak sangat bahagia hingga duduk lebih dari 40 menit dan mau mencicipi ubi bakar dan moke putih yang disuguhkan petani," kata Petrus.

Petrus mengharapkan lahir El Tari baru di masa emas ini, sehingga program menjadikan NTT sebagai lumbung jagung yang dicanangkan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, bisa sukses . Apalagi jagung merupakan makanan pokok yang dikenal sejak nenek moyang kita. (Geradus Manyela, PK edisi 12 Oktober 2008 hal 1)
Selanjutnya...

Mengakhiri Rawan Pangan

Oleh Alfons Nedabang

HASIL analisis Badan Bimas Ketahanan Pangan (B2KP) Propinsi NTT tentang risiko rawan pangan di NTT-- keadaan sampai dengan 13 Agustus 2008--, menarik dikemukakan untuk disimak.

Terdapat tujuh kabupaten yang mengalami tingkat risiko rawan pangan tinggi, yaitu Belu, Lembata, Flores Timur, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao dan Sumba Barat Daya. Sebanyak 101 desa risiko rawan pangan, dengan 10.406 kepala keluarga (KK) atau 42.953. Jumlah desa yang memiliki tingkat risiko rawan pangan tinggi terbanyak adalah Sumba Timur dengan 22 desa.

Ada sembilan kabupaten, yaitu TTU, Belu, Alor, Lembata, Flores Timur, Ngada, Manggarai Barat, Nagekeo dan Sumba Barat Daya yang memiliki tingkat risiko rawan pangan sedang. Jumlah desa risiko rawan pangan sebanyak 387 desa, dengan 31.128 KK atau 108.516 jiwa. Yang terbanyak memiliki desa dengan tingkat risiko rawan pangan adalah Flores Timur dengan 145 desa.

Sedangkan yang memiliki tingkat risiko ringan ada 11 kabupaten, yaitu Alor, Belu, TTU, Lembata, Flores Timur, Ngada, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, Nagekeo dan Sumba Barat Daya. Jumlah desa, kepala keluarga dan jiwa risiko rawan pangan, masing-masing adalah 380 desa, 17.662 KK dan 67.272 jiwa. Kabupaten Alor mempunyai jumlah desa terbanyak yang memiliki tingkat risiko rawan pangan ringan yakni 123 desa.

Analisa berdasarkan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) ini dilakukan dengan melihat kerusakan komoditi pertanian akibat bencana alam, khususnya komoditi tanaman padi, jagung, ubi-ubian dan kacang-kacangan. Indikatornya adalah persentase luas tanaman dari luar rencana tanam, persentase luas panen dari luas tanam, persentase luas puso/kerusakan dan persentase penurunan produktivitas.

Hasil analisis ini memang masih bisa diperdebatkan. Namun terlepas dari itu, data ini memberi gambaran tentang kondisi pangan masyarakat. Bahwa saat ini ada rakyat di beberapa daerah sedang kesulitan makanan.

Rawan pangan bukan baru kali ini terjadi. Pada tahun 1960-an, rawan pangan meletus di Sikka. Ratusan warga meninggal. Tahun 2005 ada 190.626 KK atau 828.712 jiwa menderita ketiadaan pangan, tersebar di 1.331 desa yang ada di 15 kabupaten/kota. Pada tahun 2006 dan 2007 juga terjadi hal yang sama, dengan jumlah daerah dan penderita bervariasi.

Rawan pangan juga disebabkan kekeringan. Ada daerah yang mengalami hampir setiap tahun, cenderung lebih awal dari biasanya yaitu pada bulan Maret-April. Kondisi lebih parah selama Mei sampai Oktober.

Yang menarik, faktor kekeringan kadang dijadikan sebagai alasan utama pihak-pihak tertentu, termasuk pemerintah, untuk berlindung jika ada kasus kelaparan. Padahal kita tahu bahwa secara umum memang NTT adalah daerah yang beriklim agak kering dengan total rata-rata curah hujan 800-1.000 milimeter per tahun. Maka, semestinya kekeringan bukan sebagai alasan utama yang dibesar-besarkan.

Rawan pangan yang terus berlanjut, membuat NTT mendapat stigma propinsi rawan pangan. Atas nama kemanusiaan, banyak bantuan digelontorkan. Sadar atau tidak, kita sedang bergantung pada daerah dan orang lain, termasuk dalam hal makanan. Beberapa jenis komoditi pangan, seperti beras, jagung, kacang-kacangan dan telur ayam hasil produksi lokal tidak cukup memenuhi kebutuhan penduduk NTT. Akibatnya, jenis-jenis pangan itu dipasok dari daerah lain.

Data yang diperoleh dari B2KP NTT diketahui, pada Agustus 2008, beras yang masuk ke NTT sebanyak 15.631 ton. Jumlah ini membentuk stok beras selama bulan Agustus sebanyak 201.041 ton. Beras yang bersumber dari produksi lokal hanya 2.297 ton untuk stok pangan bulan itu. Data ini juga memberi gambaran bahwa tingkat konsumsi beras dalam sebulan oleh masyarakat NTT tergolong tinggi. Kita mengandalkan beras sebagai pangan pokok, sementara produksi beras lokal sangat terbatas.

Di bulan Agustus juga, jagung yang dibawah masuk ke NTT sebanyak 7 ton, kacang- kacangan 26 ton dan telur ayam 16 ton. Jenis-jenis komoditi untuk membentuk stok pangan pokok ini diantarpulaukan dari Propinsi Jawa Timur, NTB, Sulawesi dan Bali. Sumber pemasukan terbesar dari Jawa Timur, menyusul Sulawesi, Bali dan NTB. Pangan hasil antarpulau tidak langsung ke masyarakat tapi dikuasai oleh distributor.

Kondisi ini seharusnya membuat kita malu. Mengapa? Karena NTT adalah daerah pertanian. Dari total luas wilayah NTT 47.349,9 km, potensi lahan basahnya 127.271 hektare (ha), sementara lahan kering 1.528.306 ha. Potensi dimiliki daerah ini di sektor peternakan, perkebunan, perikanan dan kelautan dan lain-lain.

Dulu, beberapa daerah di NTT terkenal sebagai daerah penghasil beras untuk menyanggah kebutuhan daerah sendiri dan sekitarnya. Sebut saja Lembor di Manggarai, Bena di TTS, Oesao dan Noelbaki di Kabupaten Kupang, Konga di Flores Timur, Mbay di Ngada/Nagekeo dan beberapa daerah di Sumba.

Timor dikenal sebagai penghasil sapi. Saking prospeknya, Soeharto menjadikan Timor sebagai gudang ternak. Daerah Flores juga terkenal sebagai penghasil kelapa. Selain membuat kopra, kelapa dimasak untuk diambilkan minyaknya. Semua kejayaan itu, kini hanya tinggal cerita. Sekarang terbalik, mau makan daging ayam kita harus beli daging ayam yang didatangkan dari Surabaya, minyak kelapa berganti bimoli dan lain sebagainya. Jagung diganti dengan mie instan.

Sumber daya manusia kita juga tidak kalah jika dibandingkan dengan daerah lain. Sekitar 80 persen lebih warga bekerja di sektor pertanian. Yang berlatar belakang pendidikan pertanian juga banyak. Ada 39 perguruan tinggi negeri dan swasta di NTT.  Beberapa di antaranya memiliki fakultas pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan/perkebunan.

Universitas Nusa Cendana (Undana), misalnya, pada dies natalis ke-46, barusan, melepas 582 wisudawan, 67 orangnya adalah sarjana pertanian. Kita berasumsi, jika sekali wisuda 67 orang, setahun dua kali wisuda, maka pada tahun 2008 Undana mencetak 134 orang sarjana pertanian. Berarti selama 46 tahun Undana telah mencetak 6.164 sarjana pertanian. Jumlah ini tidak termasuk sarjana pertanian dari lembaga pendidikan tinggi lainnya, dalam dan luar NTT. Juga belum termasuk sarjana lainnya. Daerah ini juga telah dipimpin delapan kepala daerah.

Herannya, selama 50 tahun kita bermasalah dalam hal pangan. Semua kita tahu bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar dan menjadi hak asasi manusia yang harus dipenuhi. Dengan adanya pangan, kita dapat makan. Dengan makan kita bisa bekerja produktif. Karena terpenuhinya kebutuhan gizi, maka kita bisa mengembangkan diri dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat. Sebaliknya kita tahu bahwa orang- orang lapar cenderung destruktif. Karena laparlah, maka orang bisa bermata gelap dan tidak bisa menghasilkan karya apa-apa.

Oleh karenanya, pemerintah berkewajiban menjamin agar ketersediaan bahan pangan tersebut dapat terjangkau oleh setiap anggota masyarakat. Untuk mengatasi kerawanan pangan di NTT harus dilakukan program yang sistematis guna menghindarkan terjadinya kemungkinan kelaparan walaupun kekeringan akan selalu datang pada musimnya. Untuk itu, diperlukan program pembangunan pertanian berkelanjutan untuk daerah kering. Sektor pertanian harus mendapat perhatian lebih karena dia sumber makanan. Potensi pangan lokal kita terkandung di sektor primer ini.

Oleh karena itu, kita mesti fokus sehingga ada makanan khas daerah yang dihasilkan dan menjadi produk unggulan. Makanya, sistem pertanian yang dibangun harus berkelanjutan yang bersifat khas setempat. Perlu ada program yang menyeluruh mulai dari perencanaan, pengadaan sarana produksi, pengadaan modal, pelatihan, penyuluhan, dan pembangunan sistem monitoring dan evaluasi yang baik.

Dengan begitu, sangat mungkin daerah seperti Lembor di Manggarai, Bena di TTS, Oesao dan Noelbaki di Kabupaten Kupang, Konga di Flores Timur, Mbay di Ngada/Nagekeo dan beberapa daerah di Sumba, sebagai penghasil beras untuk menyuplai kebutuhan masyarakat setempat dan sekitarnya.

Timor dan Sumba dijadikan sebagai penghasil ternak sehingga kita tidak beli daging yang didatangkan dari Jawa. Kita mengembalikan Flores sebagai penghasil kelapa sehingga tidak lagi membeli minyak bimoli tapi mencintai produk lokal minyak kelapa.
Matzui Kashisa, ahli kemandirian lokal dari Jepang, mengajarkan kepada kita untuk membangun mulai dari makan.

"Karena makan merupakan kegiatan manusia yang paling pokok. Manusia harus makan untuk hidup dan sehat. Makanan yang sehat menciptakan manusia yang sehat. Selanjutnya, daerah yang sehat menciptakan makanan yang sehat. Dan, negara menjadi sehat jika daerahnya sehat," kata Matzui. (PK edisi Sabtu 11 Oktober 2008 hal 1)
Selanjutnya...

Minggu, 05 Oktober 2008

Pertamina Pindahkan Aset Depot Mokantarak

PT PERTAMINA memindahkan semua asetnya menyusut ditutupnya Depot Pertamina Mokantarak di Kabupaten Flores Timur (Flotim). Aset-aset diantarpulaukan dengan tujuan Depot Tanjung Wangi, Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, dan Depot Sanggaran di Denpasar Provinsi Bali. Proses pemindahan aset sejak awal September 2008.

Tangki utama penampung bahan bakar minyak (BBM) di Depot Mokantarak mulai dikeringkan. Pemindahan aset dilakukan delapan karyawan Depot Mokantarak karena PT Pertamina menilai Pemkab Flotim tidak serius menerima alih kelola BBM Depot Mokantarak. Terbukti sejak dilakukan penandatanganan nota kesepahaman antara PT Pertamina dan Bupati Flotim, Drs. Simon Hayon, atas nama Pemkab Flotim pada Mei 2008 sampai saat ini tidak ada tindaklanjutnya.

"Pemkab Flotim belum pernah turun melihat dari dekat atau memantau aset Pertamina di Depot Pertamina Mokantarak sampai saat ini," kata Ande Kerans, pegawai Depot Pertamina Mokantarak, saat ditemui di Mokantarak, Sabtu (27/9/2008).

Sejumlah peralatan penting yang telah diangkut dari Depot Mokantarak, antara lain, slick bar (pukat minyak) dan alat penetral limbah minyak yang tumpah di laut, serta sebuah speed boad khusus. Dengan diangkutnya sejumlah aset penting maka Depot Pertamina Mokantarak telah off (berhenti) beroperasi total.

Ande mengatakan, kini jumlah pegawai Pertamina yang masih menjaga Depot Mokantarak delapan orang, termasuk pimpinan operasional, Wem Labina. Delapan pegawai sedang menunggu surat keputusan (SK) dari pimpinan untuk ditempatkan di depot Pertamina di seluruh wilayah Indonesia.

Terkait alih keloloa Depot Pertamina MOkantarak, Asisten Tata Praja Setda Kabupaten Flotim, Dominikus Demon, S.H, saat ditemui di ruang kerja, Senin (29/9/2008), mengatakan, Pemkab Flotim minta Pertamina diskusikan kembali kesepakatan yang sudah ada. Pasalnya, akan menimbulkan konsekuensi pengeluaran keuangan yang cukup besar oleh Pemkab Flotim dalam operasionalisasi depot.

"Setiap tahun Pemkab Flotim harus mengeluarkan uang Rp 7 miliar lebih untuk kepentingan penampungan BBM di tangki Depot Mokantarak, operasional depot dan distribusi BBM. Hal ini cukup berat," kata Demon.

Sebagai solusi, kata Demon, apakah kerjasama tentang alih kelolah depot Mokantarak jadi atau tidak maka Pemkab Flotim masih mempertimbangkan, dan akan ajukan ke DPRD Flotim dalam sidang perubahan anggaran TA 2008 terkait operasional Depot Mokantarak Rp 7 miliar lebih per tahun.

Menurut Demon, Pemkab Flotim tidak khawatir terjadi kelangkaan BBM di Flotim di waktu mendatang karena Pertamina sudah menjamin tetap suplai BBM dengan harga subsidi setiap hari ke SPBU Lamawalang dan SPBU Gege di Kelurahan Pukentobi Wangibao. "Tidak ada Depot Pertamina di Mokantarak tidak ada pengaruh karena suplai BBM tetap lancar masuk Flotim," kata Demon.

Di dua dua SPBU di Larantuka sejak Pertamina tutup Depot Mokantarak Juni 2008, suplai dua jenis BBM solar dan premium di SPBU selalu terlambat sehingga terjadi antrean panjang.

Solar dan premium baru ada di dua SPBU pukul 10.00 - 15.00 Wita. Sedangkan disepanjang jalan umum tetap tersedia solar dan premium eceran yang dijual pedagang eceran Rp 10.000 - Rp 15.000/botol aqua besar. Masyarakat mengeluhkan kondisi ini karena BBM subsidi dijual bebas lalu pedagang menjual kembali dengan harga mahal. Sementara harga minyak tanah terus melambung dari Rp 2.500,00/liter menjadi Rp 3.750,00/liter. (art/PK edisi minggu 5 September 2008)
Selanjutnya...

Jumat, 03 Oktober 2008

Di Ende, Anjing Menyusui Anak Kucing


MENYUSUI -- Seekor anak kucing sedang menyusu pada seekor anjing bernama Dogi di rumah Daniel Ola warga Lorong Dewata RT 03/RW O6 Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah-Kota Ende, Senin (29/9/2008).

Oleh Maxi Marho

DI dunia ini tidak ada yang serba kebetulan. Semua bisa saja terjadi jika ada kemauan dan jika ada relasi. Itu bukan cuma terjadi pada manusia, tapi juga terjadi pada binatang. Pepatah yang mengatakan hidup seperti anjing dengan kucing yang mengumpamakan hidup seseorang selalu bermusuhan dengan orang lain ternyata tidak semuanya tepat.

Buktinya, di wilayah RT 03/RW O6, Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah, Kabupaten Ende, seekor anjing betina dewasa setiap hari menyusui seekor anak kucing. Keunikan itu sudah berlangsung selama dua bulan lebih.

Apakah ini sebuah tanda zaman? Ataukah anjing salah mengenal anak kucing sehingga mengira anak kucing yang disusui dan dirawatnya adalah seekor anak anjing? Adakah pesan yang terkandung dalam perilaku hidup anjing dan kucing kepada manusia? Semua orang bisa berpendapat tentang perilaku induk anjing yang menyusui anak kucing tersebut.

Daniel Ola dan Wiwit, istrinya saat ditemui wartawan di kediaman mereka di Lorong Dewata, RT 03/RW O6, Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah-Kota Ende, Senin (29/9/2008) sore, menceritakan, mereka memiliki seekor anjing betina yang diberi nama Dogi.

Anjing tersebut mereka pelihara sejak dua tahun lalu, dan pernah sekali beranak tapi ketika mengandung ang kedua kalinya tiga bulan lalu, anjing bernama itu mengalami keguguran.
Sebulan kemudian, anjing Dogi secara tak sengaja bertemu dua ekor anak kucing di sebuah got, atau saluran drainase di depan Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Kabupaten Ende, di Jalan El Tari-Ende, sekitar 100 meter dari rumah Daniel Ola.

Dua anak kucing itu sedang mengeong mencari induknya. Mungkin karena merasa kasihan, Dogi mengambil seekor anak kucing berwarna putih lalu membawa anak kucing itu ke rumah Daniel Ola, majikannya.

Sejak saat itu, anak kucing berwarna putih itu dirawat, dijaga dan disusui anjing Dogi seperti anaknya sendiri. "Melihat perilaku Dogi yang menyusui anak kucing ini, kami membiarkannya. Bagi kami, kenyataan ini merupakan hal yang menarik. Seekor anjing menyusui seekor anak kucing dan kenyataan ini sudah berlangsung dua bulan lebih. Kami tidak tahu, apakah sampai kucing dewasa antara anjing dan kucing ini akan terus saling menyayangi seperti saat ini, ataukah hanya terjadi saat kucing masih anak-anak. Yang pasti untuk saat ini ada fakta anjing dan kucing bisa saling menyayangi dan tidak selalu bermusuhan," kata Daniel.

Dia mengaku biasanya anjing Dogi menyusui anak kucing pada pukul 07.00 Wita, pukul 13.00 Wita dan pukul 17.00 Wita. Seperti yang terjadi pada, Senin (29/9/2008) sore, ketika lapar, anak kucing yang diberi nama Putih ini menghampiri anjing Dogi sambil berteriak 'meong meong'. Mengetahui anak kucing sedang lapar, anjing Dogi membaringkan tubuhnya di halaman rumah Daniel Ola untuk memberi kesempatan anak kucing menyusui.

Saat anjing Dogi berbaring, anak kucing mendekat lalu menyusui hingga anak kucing tertidur di perut Dogi. Sesekali kepala dan tubuh anak kucing dijilat atau dibelai anjing Dogi menggunakan lidahnya. Sebuah pemandangan yang menunjukan perilaku yang unik antara anjing dengan kucing.

Untuk membuktikan apakah benar anjing masih memiliki air susu, Wiwit, istri dari Daniel Ola mencoba memegang puting susu Dogi lalu memerasnya. Ternyata, dari puting susu Dogi keluar percikan air susu. "Kucing ini belum bisa makan jadi hanya hidup dari air susu Dogi. Begitulah kejadiannya setiap pagi, siang dan sore.

Beberapa warga sekitar sudah ada yang tahu kalau anjing Dogi milik kami menyusui anak kucing. "Bagi kami, ini bukan hal yang berhubungan dengan tanda keanehan apalagi berhubungan dengan kepercayaan akan terjadi sesuatu jika anjing berperilaku seperti ini.

Namun fakta ini hal yang menarik karena pepatah lama mengatakan, orang selalu bermusuhan sering disebut hidup seperti anjing dengan kucing. Dengan adanya kejadian seperti ini memberi pesan bahwa semua permusuhan bisa berbalik menjadi saling kasih sayang jika ada kemauan untuk hidup bersama. Binatang saja bisa seperti ini apalagi manusia," kata Daniel.

Itulah sebabnya, lanjut Daniel, dalam kehidupan rumah tangganya ia selalu berusaha hidup rukun dengan istri dan anak-anaknya. "Melihat anjing Dogi menyusui anak kucing, saya membiarkan hal itu terjadi karena memberi pesan kepada keluarga saya bahwa jika ada kemauan untuk saling menyayangi mengapa harus bermusuhan," kata Daniel. (mar/PK edisi Sabtu 4 Oktober 2008 hal 18)
Selanjutnya...

Rumah Dua Air

Oleh Paul Burin

SAYA tak tahu apakah kampung lain punya tradisi yang sama seperti di kampung saya, Puor, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata. Di sana, pada tiap hari Minggu, usai misa, seluruh warga desa masih mendengar "perintah" kepala desa di halaman gereja.

Biasanya forum ini mengevaluasi kegiatan di desa pekan lalu, menyepakati target pekerjaan seminggu ke depan dan hal-hal lain yang dianggap penting untuk dibicarakan. Waktunya tak menyita, sekitar tiga puluh menit sampai satu jam. Pertimbangannya, masyarakat butuh waktu untuk istirahat karena hari bae, hari Minggu.

Forum ini demokratis. Usai kepala desa "bertuah" warga boleh menyampaikan komentar, pendapat, kritik atau masukan-masukan konstruktif. Dan, pada kesempatan itu selalu ada kesimpulan maupun kesepakatan-kesepakatan.

Tetapi ini pengalaman saya sekitar 25 tahun lalu. Entalah, apakah nilai-nilai yang lahir dari karsa masyarakat masih ada atau tidak. Mungkin saat ini sudah banyak perubahan. Entahlah!

Ada beberapa nilai positif lain yang saya tangkap dan masih saya ingat. Pertama, ketika itu semua rumah penduduk sudah permanen. Kalaupun semi permanen bisa dihitung dengan jari tangan. Modalnya karena kegotongroyongan. Semua warga di desa tanpa kecuali membuat arisan "tenaga" membangun rumah.

Saya tak membantah peran orang dari perantauan yang tak kecil membangun kampung itu. Hanya yang ingin saya kemukakan di sini ialah nilai-nilai positif yang dikembangkan saat itu dan ia seakan menjadi panglima. Menjadi kekuatan utama.

Kepala desa saat itu, Bapak Yosef Nusa Wuwur disusul Bapak Petrus Sari Liman, Bapak Viktor Bunga Kobun (alm) dan kepala desa lainnya boleh dibilang sukses membawa warganya maju. Mereka sukses membangun kemandirian, membangun jati diri serta mengangkat martabat warganya. Sesuatu yang positif jika saya bandingkan dengan kondisi desa tetangga lainnya. Mungkin juga penilaian ini sangat subyektif karena berangkat dari pengalaman batin yang tentu saja berbeda dengan pengalaman batin orang lain.

Karena kesuksesan membangun kampungnya itu, Majalah Dian dan saya ingat Pak Thom Wignyata (alm) datang ke kampung saya. Ia menulis khusus tentang kisah Kades Pak Yoseph Nusa Wuwur ini. Dian menulis secara lugas strategi yang dilakukan Pak Yos ini. Betapa Dian menggunakan diksi "kekuatan yang tak tertandingi." Sebuah kampung yang letaknya jauh di pedalaman namun sudah mempraktikkan banyak hal positif.

Namun Dian mengkritik bahwa konstruksi semua bangunan rumah di sana dua air, ventilasi pintu dan jendela yang kecil sehingga dari segi kesehatan kurang bagus. Pada malam hari warga masih menggunakan lampu pelita dan petromaks. Sekarang sebagian sudah memiliki genset.
Untuk memperkuat tulisan itu, Dian menurunkan foto salah satu rumah penduduk meski berdinding tembok, berseng namun kontruksinya masih dinilai sederhana. Obyek fotonya adalah salah satu rumah di Dusun Mikel.

Kedua, saat itu ada kebun desa dan lumbung desa. Ada juga kuda milik desa yang digunakan kades dan siapa saja untuk kepentingan "dinas" desa. Lumbung desa itu ditempatkan di kantor desa saat ini. Produksi pertanian ketika itu limpah ruah. Siapa pun yang mengalami "paceklik" pangan dapat membelinya dengan harga yang relatif murah.

Kini, rasanya sedih ketika mendengar kabar bahkan membaca berita koran yang menyebutkan penduduk di sana mengalami kurang pangan. Apakah benar mereka lapar atau karena faktor politis semata? Bila di kampung saya warganya sudah lapar, bagaimana dengan desa lainnya? Mungkin jauh lebih parah. Saya punya alasan rasional. Kampung itu letaknya di bawah kaki Gunung Labalekan. Daerahnya sejuk dan tanaman apa saja bisa hidup. Lantas didera kelaparan? Sungguh mati menjadi bahan pertanyaan yang tak pernah habis.

Saya juga mencatat karena kemajuan dan kekompakan yang baik, desa itu beberapa kali keluar sebagai juara kebersihan tingkat Kabupaten Flores Timur (ketika itu masih bergabung, Red). Hadiahnya pun tak seberapa, sebuah tape recorder dan bola voli.

Ketiga, kegiatan olahraga begitu hidup. Di kampung, ada sebuah klub bola kaki, Spirit namanya. Kebetulan Bapa Stanis Deri-- bapa saya-- sebagai instrukturnya. Klub itu berkembang sangat bagus. Kelebihan klub ini adalah selalu fair dalam setiap pertandingan bola kaki meski masih dalam skop antardesa. Saya sering mengikuti bapa ketika memberi latihan bolakaki. Kepada para pemain beliau selalu menekankan sportivitas dalam permainan. Dan, ia juga mengajarkan kepada para pemain bola soal teknik-teknik bermain bola modern. Distribusi bola menjadi tekanan beliau. Mengapa? Karena di sana kerja sama tim belum terbina baik. Dan, begitu banyak perubahan dalam klub Spirit ini.

Saya mencatat, ketika klub ini berhadapan dengan klub lain, seperti POL (Persatuan Sepakbola Labalimut), Gempa, Kerikil Tajam dan Bintang Pagi jarang terjadi pertengkaran di tengah lapangan, apalagi sampai kekerasan fisik. Saya menangkap pesan bahwa nilai-nilai solidaritas, persabahabatan dan saling menghargai menjadi tekanan.

Yang ditekankan adalah permainan dan bukan pertandingan. "Pertandingan" lebih pada konteks meraih kemenangan dengan berbagai cara, halal dan tidak halal. Sedangkan "bermain" adalah sebuah proses melatih mental untuk fair, menekankan sportivitas dan seni bermain yang pada akhirnya bisa meraih kemenangan. Dan, menurut saya, di sanalah semangat ini dikembangkan pada klub bola ini.

Saya mendengar kini perkembangan olahraga semakin pudar bahkan tak ada lagi yang menaruh minat untuk mengembangkan olahraga ini seiring bapa saya "pensiun" sebagai pelatih. Pertanyaan lainnya apakah lumbung desa masih ada, apakah masih ada kerja kelompok di kebun/desa atau membangun rumah secara bersama-sama?

Bagi saya, kepemimpinan menjadi roh atau kekuatan untuk menggerakkan masyarakat. Ketika roh kepemimpinan pudar, ketika tak ada lagi kewibawaan, ketika pemimpin tak punya jiwa kepamongan, dan ketika semuanya sudah tak ada lagi, maka kita akan sampai pada titik nadir. Kehidupan organisasi seakan tak ada lagi. Sama dengan hidup tanpa pemimpin meski di desa sekalipun. (PK edisi Sabtu 3 Oktober 2008 hal 10)
Selanjutnya...

Tenun Ikat, Aset Budaya Bernilai Ekonomis

Oleh Alfred Dama

SUATU hari di bulan Maret 2008. Dalam sebuah acara di Desa Ipir, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, berkumpul ratusan warga desa setempat. Warga dari beberapa tetangga di Kecamatan Bola dan sekitarnya juga hadir. Sekelompok anak muda, pria dan wanita, juga tampak. Mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok menyaksikan kampanye salah satu pasangan Bupati dan Wakil Bupati Sikka periode 2008-2013.

Yang menarik, meskipun Desa Ipir berada jauh dan terpencil dari Maumere, Ibu kota Kabupaten Sikka, jarak itu tidak mengurangi niat anak muda di desa ini untuk tampil modis dan dendi. Para remaja datang mengenakan jelana jeans berbaju keluaran dan model terbaru dari toko. Gaya mereka pun mengikuti tren yang sedang berkembang. Sementara itu pada kelompok lainnya, sekelompok wanita juga datang ke tempat itu. Mereka hanya mengenakan kain sarung. Sekilas tampak kuat perbedaan penampilan antara yang kelompok orangtua dan anak muda.

Anak muda memilih pakaian-pakaian jadi yang modis, sementara orangtua masih mempertahankan tradisi dengan busana tradisional daerah setempat. Meski tampak sepele, ini sekaligus menunjukkan pergeseran budaya, dari budaya tradisional ke budaya modern dalam urusan memakai pakaian.

Pemandangan di Desa Ipir sebenarnya juga terjadi desa-desa lain di NTT. Para pemuda dan gadis desa zaman sekarang sudah mulai enggan mengenakan kain tenun ikat. Mereka lebih memilih busana jadi buatan pabrik dari bahan dan model yang trendi. Bila ini berlangsung terus, bukan tidak mungkin suatu saat tidak ada lagi yang mencintai dan karena itu mengenakan pakaian berbahan dasar tenun ikat.

Di tengah-tengah serbuan pakaian jadi buatan pabrik ke NTT, tenun ikat sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan. Bahkan, perancang busana kenamaan, Ramli, pernah memamerkan busana rancangannya berbahan tenun ikat NTT dalam acara peragaan busana di Jakarta dengan melibatkan para peragawati dan peragawan kenamaan di Jakarta. Jelas, tenun ikat juga bisa dijadikan tren mode busana di tingkat nasional. Hanya saja, menurut Ramli, bahan tenun ikat NTT, perlu diperhalus lagi.

Di dunia internasional, tenun ikat NTT khususnya para penenun tradisional dari Kecamatan Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara pernah meraih Penghargaan Pangeran Claus (Prince Claus Award) dari Pemerintah Belanda tahun 2004.

Di tingkat propinsi, warga NTT mesti berterima kasih kepada Herman Musakabe. Adalah Musakabe, yang ketika menjadi Gubernur NTT, menjadikan tenun ikat pakaian seragam para PNS. Gebrakan Musakabe ini terus bertahan hingga sekarang. Hasilnya, tenun ikat melambung pasarnya. Ibu-ibu di desa-desa menjadikan tenun ikat lebih dari sekadar keterampilan. Tenun ikat meningkat menjadi home industry.

Seperti diungkapkan penulis buku Pesona Tenun Flobamora, Erny Tallo, masing-masing daerah di NTT memiliki motif dan teknik menenun sendiri-sendiri. Teknik menenun itu bisa digolongkan ke dalam tiga cara, yaitu tenun ikat, tenun buna, dan tenun lotis. Ketiga teknik yang diwariskan secara turun-temurun ini menghasilkan jenis kain yang berbeda-beda dengan beragam motif, sesuai dengan yang berkembang di daerah asalnya.

Sayang, potensi budaya tenun ikat ini berangsur hilang. Lihat saja di desa-desa dan kampung-kampung kita. Jarang terlihat anak muda tekun menenun. Yang sibuk menenun adalah generasi senja, sementara yang muda-muda tak terlihat menenun. Mereka lebih sibuk dengan HP di tangan, ber-SMS ria, tertawa dan senyum sendiri di depan HP.

Kita butuh terobosan. Kita butuh langkah berani, terutama dari pemerintah, bagaimana menunjukkan kepada anak muda sekarang bahwa tenun ikat punya nilai ekonomis tinggi. Bagaimana caranya? Herman Musakabe sudah membuka jalan dan menetapkan hari Kamis setiap minggu menjadi hari tenun ikat untuk PNS. Sekarang era otonomi daerah. Mestinya para kepala daerah lebih leluasa mengatur ihwal pemerintahan, termasuk dalam urusan pakaian seragam. Kalau Herman Musakabe sudah berhasil dengan PNS pada hari Kamis, mengapa tidak ada kepala daerah yang mewajibkan anak sekolah tidak mengenakan seragam tenun ikat?

Tak sulit membayangkan berapa rupiah yang dapat dituai para pengrajin tenun ikat jika saja para PNS dan anak sekolah di seluruh NTT sekali seminggu mengenakan motif tenun ikat sebagai seragam. Mari kita menghitung. Saat ini jumlah PNS di NTT sekitar 22 ribu orang.

Jumlah ini belum termasuk karyawan honorer, bank dan lembaga keuangan non bank yang juga wajib mengenakan busana motif daerah NTT. Lalu, jumlah anak sekolah, dari TK hingga SLTA 250 ribu. Andaikata satu lembar kain tenun ikat harganya Rp 350 ribu. berapa duit yang dibelanjakan untuk tenun ikat? Puluhan miliar rupiah duit akan masuk ke rumah-rumah pengrajin di desa-desa dan kampung-kampung.

Bila saja pemerintah juga mencoba menambah frekuensi pemakaian motif tenun ikat dari satu hari menjadi dua hari seminggu, maka dana yang mengalir ke desa dan kampung itu menjadi berlipat-lipat. Dan, itu adalah dana riil, bukan dana proyek ini dan itu yang kadang-kadang cuma telihat plang nama proyek sementara hasil proyeknya suram-suram.

Sesama warga dari Jawa begitu fanatik dengan batik. Banyak dari kita juga telah jatuh cinta dengan batik. Sah-sah saja. Tetapi mengapa orientasi kita selalu ke luar, seolah-olah yang dari luar lebih baik dari yang ada pada kita? Mengapa yang ada pada kita cenderung kita posisikan sebagai nomor dua, kurang tren, kurang populer? Mengapa kita begitu bergairah menomorsatukan produk luar, begitu bersemangat mempopulerkan buatan luar?

Kita punya tenun ikat yang sangat unik. Setiap daerah di NTT bahkan mempunyai motif dan corak sendiri. Perbedaan ini menjadikan tenun ikat kita semakin menarik. Pesona motif dan ragam hias diciptakan melalui perenungan dan konsentrasi tinggi, mengandung nilai filosofis yang diperuntukkan bagi hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya.

Saatnya kita harus mengalihkan tenun ikat dari sekadar kerajinan individu kepada industri. Batik maju dan menembus pasar dunia karena menjadi industri. Batik telah identik dengan Jawa. Jika harus bermimpi, maka mimpi paling indah kita saat ini adalah tenun ikat NTT punya hak cipta dan punya merk dagang sendiri. (PK edisi Sabtu 4 Oktober 2008 hal 1).*
Selanjutnya...

Senin, 29 September 2008

Aneka Pangan Lembata Bergizi Tinggi


POS KUPANG/EUGENIUS MOA MAKANAN LOKAL-- Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Lembata, Ny. Margaretha Manuk (kanan) mengamati makanan lokal yang dipajang dalam perlombaan makanan lokal antardesa tingkat Kecamatan Lebatukan, di Hadakewa, Sabtu (27/9/2009).

ANEKA pangan lokal di Kabupaten Lembata memiliki kualitas dan nilai gizi yang tinggi. Lantaran pengolahan dan penyajian yang kurang tepat dan kurang kreatif menyebabkan pangan lokal hanya dikonsumsi apa adanya sehingga membosankan. Melihatnya saja tidak menimbulkan selera makan.

Pada Sabtu (27/9/2008), bertempat di Sekolah Dasar Katholik (SDK) St. Laurensius Hadekewa, Kecamatan Lebatukan diadakan lomba memasak bahan pangan lokal antar desa. Diketahui, begitu banyak pangan lokal Lembata. Namun, dibutuhkan kreatifitas pengolahan agar bahan-bahan pangan tersebut menjadi makanan sangat enak dan bergizi tinggi.

Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk dan Wakil Bupati Lembata, Drs. Andreas Nula Liliweri yang hadir dalam kegiatan tersebut memuji kreativitas para ibu yang menyediakan masakan lokal dalam acara perlombaan itu.

Ny. Mace Tukan, dan Ice Kaona, asal Desa Lamatuka meraih juara pertama dalam lomba ini cukup kreatif mengolah bahan pangan lokal. Tanpa campuran bahan makanan pabrikan, Mace dan Ice mampu memberi kreasi yang lain pada bahan pangan lokal yang dibuat menjadikan citarasa cukup enak. Pengolahan daging siput laut menjadi sate. Pengolahannya relatif sederhana.

Kerang siput dibuka diambil dagingnya dan dibersihkan, dipotong-potong kemudian diberi bumbu secukupnya lalu dibakar. Ketika matang diberi kecap dan daun jeruk sitrum, nilai rasanya tak kalah dengan sate dari hewani lainnya. Daging sate siput karya Mace dan Ive diberi nama sate hawu blaa.

"Kebiasaan masyarakat di desa kalau dapat siput laut dilawar mentah. Atau dijemur kering untuk konsumi sehari-hari. Kami coba ramu daging siput menjadi sate. Kami belajar dari buku resep masakan," kata Mace.

Kedua ibu rumah tangga ini juga kreatif meramu daun singkong dicampur santan, dan beberapa bumbu lokal menjadikan daun ubi berasa bumbu daging rendang yang diberi nama sayur baigopa. Selain itu, snack lewura dari campuran buah singkong direbus kemudian di mol diberi gula merah menjadi makanan enak sehabis konsumsi panganan utama.

Ketua Tim Penggerak PKK Lembata, Ny. Margaretha Manuk memuji kreativitas pengeolahan makan yang diramu kaum ibu di pedesaan. Juara pertama tingkat desa akan tampil pada lomba masak makanan lokal antarkecamatan menjelang peringatan HUT Otonomi Lembata.

Label masakan lokal lain asal Desa Lamatuka, yakni bubur waepiri terbuat dari biji jawewut. Masakan ini mengandung karbohidrat juga cocok untuk pengobatan penderita luka dalam. "Bahan dasar dihasilkan di kebun dan di laut kalau diolah dengan baik rasanya sangat enak. Yang harus didorong kreativitas para ibu untuk memenuhi kebutuhan konsumi di rumah tangga," kata Ny. Margaretha.

Bupati Lembata, Andreas Duli Manuk memuji pertisipasi Dinas Pertanian Tanaman, Plan Lembata dan Tim Penggerak PPK Lembata yang memprakarasi perlombaan yang langsung menyentuh langsung dengan aktivitas dan kebutuhan masyarakat. Menurutnya potensi bahan pangan lokal bila dikelola bervariasi terasa sangat enak.

Ia berharap kaum ibu memiliki ketrampilan dan pengetahuan bisa mempraktekannya di rumah tangga dan menyediakan panganan bagi kebutuhan makan sehari-hari.

"Di Lembata hanya satu anak gizi buruk, itupun karena penyakit bawaan sejak lahir. Lebih banyak kurang gizi. Kita bisa atasi dengan panganan lokal. Kreativitas ibu-ibu harus didorong agar mampu menyediakan makanan yang berkualitas kepada keluarga," ujar Ande Manuk. (ius/Pos Kupang edisi Selasa 18 September 2008 hal 18)
Selanjutnya...

Mesin Pengering Kacang Mete di Ile Padung Mubazir

SATU unit mesin pengering kadar air kacang jambu mete bantuan Dinas Perkebunan Propinsi NTT tahun anggaran 1995/1996 untuk Kelompok Tani Puna Liput, di Desa Ile Padung, Kecamatan Lewolema (dahulu Tanjung Bunga, Red), kini mubazir. Hingga saat ini peralatan tersebut tidak bisa digunakan karena di Desa Ile Padung belum ada listrik PLN.

Genzet (generator zet) yang dimiliki kelompok masyarakat setempat kekuatan/dayanya sangat kecil sehingga tidak mampu mengoperasikan peralatan itu.

Pembantu Sekretaris Puna Liput (kelompok pengelola kacang mete, Red) di Desa Ile Padung, Aloysius Maran, didampingi anggota kelompok, Ny.Lusia Kelen (53), mengakui hal ini saat ditemui di sela-sela kegiatan mengupas kacang mete di gedung Puna Liput, Jumat (27/9/2008).

Maran menjelaskan, pada TA 1995/1996 kelompok Puna Liput beranggotakan 12 orang mendapat bantuan paket peralatan penunjang kerja mengelola kacang mete. Misalnya, enam meja dilengkapi alat pemecah, menggunting kulit luar biji mete, juga alat mencungkil kacang dari kulit, termasuk alat/mesin pengering kadar air kacang mete yang telah dikupas dan dibersihkan kulit arinya.

"Dari paket bantuan Dinas Perkebunan NTT hanya satu peralatan belum kami manfaatkan, yakni mesin oven pengering kadar air kacang mete untuk siap diekspor," ujar Maran.

Mesin pengering kadar air kacang mete merk Memmert buatan Jerman hanya dipajang. Dalam mesin disimpan alat bongkar pasang seperti pemukul, pencabut paku, pisau, parang, gergaji dan obeng. Peralatan mesin senilai ratusan juta itu hanya dimanfaatkan sebagai lemari untuk simpan perkas kelompok kacang mete Puna Liput di Ile Padung.

Maran mengatakan, peralatan itu tidak digunakan untuk pres kadar air kacang mete karena selama ini kelompok Puna Liput hanya andalkan sinar matahari sebagai kekuatan alami untuk kurangi kadar air dengan cara kacang mete yang telah dipisahkan dari kulit luarnya dijemur dibawah terik matahari. Namun kelompok ini kesulitan saat musim hujan sehingga mengurang produksi karena keterbatasan tenaga untuk menjemur serta cuaca mendung sehingga kacang mete lama kering.

Ia mengharapkan bantuan Pemkab Flotim menghadirkan jaringan listrik PLN di Desa Ile Padung, Sinarhading dan Belogili agar ke depan bisa membantu produksi pengolahan kacang mete asal Flotim yang lebih berkualitas menggunakan mesin pres kadar air kacang mete.

"Kacang mete yang hendak diekspor kualitasnya harus tetap terjamin dan kadar airnya hanya 10 persen. Lebih dari itu tergolong kualitas buruk," katanya sembari menambahkan harga kacang mete utuh yang diproduksi kelompok Tuna Liput Ile Padung Rp 80.000/kg dan kacang mete yang tidak utuh/pecah Rp 50.000/kg. (art/Pos Kupang edisi Selasa 30 September 2008 hal 16)
Selanjutnya...

Calon Sementara Anggota DPRD NTT 1.088 Orang


POS KUPANG/REDDY NGERA
KOMPOSISI BARU -- Komisi Pemilihan Umum Propinsi NTT dengan komposisi keanggotaan yang baru. Dari kiri ke kanan, Drs. Djidon de Haan, M.Si, Yoseph Dasi Djawa, S. H, Drs. Johanes Depa, M.Si (ketua) dan Drs. Gasim, saat memberi penjelasan kepada pimpinan parpol di Sekretariat KPUD, Sabtu (27/9/2008). Mariyati Luturmas Adoe, S.E, M.Si tidak hadir.


SEBANYAK 1.088 calon anggota legislatif (caleg) DPRD Propinsi NTT ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD) NTT masuk dalam daftar calon sementara (DCS). Sedangkan caleg yang dinyatakan gugur karena tidak memenuhi syarat sebanyak 122 orang.

Demikian data yang diterima dari Kelompok Kerja (Pokja) Pencalonan pada KPUD NTT, Senin (29/9/2008). Senin kemarin, KPUD NTT telah mengumumkan DCS yang terdiri dari nama caleg dan partai pengusung per daerah pemilihan, diantaranya dengan menempelkan pada papan informasi yang ada di sekretariat KPUD NTT dan pengumuman lewat media massa. Pada DCS itu tidak disertakan dengan foto caleg.

Jumlah caleg yang masuk DCS lebih sedikit dari target caleg yang ditetapkan yaitu 120 persen per alokasi kursi setiap daerah pemilihan atau setara secara keseluruhan berjumlah 2.508 orang. Pada masa pendaftaran, caleg yang didaftar 38 parpol sebanyak 1.396 orang. Pada masa perbaikan, yang memasukkan berkas sebanyak 1.210 caleg. Dari jumlah itu yang memenuhi syarat 1.088 orang, dengan rincian 750 laki-laki (68,93 persen) dan 338 perempuan (31,07 persen).

Ketua KPU Provinsi NTT, Drs. Johanes Depa, M.Si mengatakan, caleg yang lolos memenuhi delapan hal prinsip, diantaranya semua dokumen caleg yang masuk harus lengkap dan bobot hukumnya sama. Yang berstatus PNS harus membuat surat pernyataan pengunduran diri dan surat pernyataan bahwa surat pengunduran diri sedang dalam proses. Dokumen yang difotokopi yaitu ijazah legalisir basah ditambah 2 fotokopi ijazah yang dilegalisir basah, serta SKCK harus sesuai dengan tempat domisili.

Berbeda dengan KPUD NTT, KPUD Timor Tengah Selatan hingga kemarin belum mengumumkan daftar nama-nama caleg. Belum ditetapkannya DCS terjadi lantaran masih terdapat partai yang belum memberikan paraf pada daftar caleg yang ada serta masih ada kesalahan penulisan nama caleg.

Anggota KPUD TTS, Ir. Rambu Mella yang dikonfirmasi di SoE, Senin (29/9/2008) membenarkan hal tersebut. Rambu mengakui sejak Jumat (26/9/2008) KPUD TTS sudah menghubungi pengurus partai untuk memparaf daftar nama dan urutan caleg.

"Hingga kini ada tiga partai yang belum memparaf daftar nama dan urutan calegnya. Ketiga partai itu yakni, Partai Pelopor, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Pemuda Indonesia. Kami sudah menghubungi pengurus ketiga partai tersebut namun sampai sekarang belum ada yang datang," ujar Rambu.

Untuk kesalahan penulisan nama, lanjut Rambu, KPUD TTS memutuskan nama yang dipakai sesuai dengan yang ada diijazah masing-masing caleg. Pasalnya ijazah dapat dijadikan sebagai patokan kebenaran penulisan nama seseorang.

Tentang jumlah DCS yang akan diumumkan, Rambu mengatakan sesuai hasil verifikasi KPUD TTS sebanyak 789 caleg sementara dari 37 partai akan diumumkan ke publik. Jumlah angka itu didapatkan setelah menyeleksi 798 berkas caleg yang masuk ke KPUD TTS.

Rambu merincikan dari 789 itu terdiri dari 562 caleg pria dan sisanya, 227 caleg perempuan. Dengan demikian total keterwakilan perempuan untuk sementara dalam pemilu 2009 sebesar 28,77 persen. Sementara bila dilihat dari masing-masing partai hanya 19 partai saja yang memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen. (aca/aly/Pos Kupang edisi Selasa 30 September 2008)
Selanjutnya...

Minggu, 28 September 2008

4 Parpol Tidak Penuhi Keterwakilan Caleg Perempuan

KOMISI Pemilihan Umum mengumumkan sebanyak empat partai politik tidak berhasil memenuhi sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara anggota DPR.

"Keempat partai tersebut adalah Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Patriot," kata anggota KPU Endang Sulastri, di Jakarta, Minggu (28/9/2008).

Setelah melaksanakan verifikasi berkas bakal calon anggota DPR yang diajukan 38 partai politik nasional peserta pemilu, keempat partai tersebut dinyatakan tidak memenuhi keterwakilan caleg perempuan.

Bakal calon anggota DPR dari Partai Peduli Rakyat Nasional cerjumlah 288 orang, yang jumlah bakal caleg perempuan yaitu 77 orang atau 27 persen. Sementara, calon anggota DPR dari Partai Gerindra berjumlah 397 orang dengan jumlah caleg perempuan 106 calon atau 27 persen.

Jumlah bakal caleg perempuan Partai Persatuan Pembangunan yakni 124 calon atau 27 persen dari total caleg yang memenuhi syarat yaitu 452 orang.

Sedangkan jumlah bakal caleg perempuan Partai Patriot yaitu 23 calon atau 19 persen dari 118 caleg.

Endang mengatakan sebagian besar caleg perempuan yang gugur disebabkan tidak memenuhi persyaratan.

Dalam proses verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, maka KPU juga melakukan verifikasi terhadap terpenuhinya sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan.

Apabila tidak terpenuhi, maka KPU memberikan kesempatan pada parpol untuk memperbaiki daftar bakal calon. Perbaikan tersebut dilakukan sebelum KPU menetapkan Daftar Calon Sementara anggota DPR.

Jika tetap tidak dapat memenuhi keterwakilan perempuan, maka KPU mengumumkan nama partai yang tidak berhasil memenuhi kuota caleg perempuan.

Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2008 tentang pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dalam pemilu 2009 pasal 27 huruf d menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan secara luas melalui media cetak dan media elektronik nama-nama partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30 persen dalan DCS.

Sementara itu, partai-partai yang telah memenuhi persentase keterwakilan bakal caleg perempuan diantaranya adalah Partai Amanat Nasional 31 persen, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 35 persen, dan Partai Golongan Karya 31 persen.

Selain itu, Partai Kebangkitan Bangsa 34 persen, Partai Keadilan Sejahtera 37 persen, dan Partai Demokrat 33 persen.

Sejumlah partai politik berhasil memenuhi keterwakilan perempuan diatas 40 persen dari jumlah calon sementara anggota DPR, diantaranya adalah Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia 48 persen keterwakilan perempuan, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah 47 persen, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 45 persen. (LKBN Antara)
Selanjutnya...