Jumat, 05 Juni 2009

Tradisi Menangkap Ikan Paus


WATO KOTEKLEMA -- Saya bersama Maha Adi (bertopi), wartawan Majalan Tempo, melihat ritual adat yang dilaksanakan tuan tanah suku Fujon di Wato Koteklema - batu yang menyerupai ikan paus, di Dusun Lamanu, Desa Lamalera, Jumat (1/5/2009).


Memanggil Roh Ikan (1)


Oleh Alfons Nedabang

BATAR. Demikian suku Fujon menamai tempat itu. Berada di bukit sekitar 1,5 Km dari perkampungan Lamalera. Untuk mencapai batar dengan berjalan kaki, butuh waktu sekitar dua jam. Waktu tempuh cukup lama karena jalannya mendaki, melintasi beberapa bukit.

Batar diyakini sebagai tempat tinggal nenek moyang suku Fujon, tuan tanah di Desa Lamalera.
Dari sinilah ritual adat penangkapan ikan paus dimulai. Tempat itu diberi sesajen, diantaranya membakar tembakau, tuang tuak, menabur beras jagung giling serta memecah telur ayam. Syair adat juga mulai dikumandangkan dari tempat ini, sembari membunyikan gong.

Peserta ritual adat enam orang, dipimpin Agustinus Olak Fujon. Agus adalah generasi ketujuh suku Fujon. Lima lainnya adalah Yeremias Bala, Arnoldus Gesi, Alexander Manu, Gaspar Boli dan Marsianus Dua. Mereka adalah adik dan anak Agus Olak.

Dari lima peserta itu, dua diantaranya memegang tombak, dan dua lainnya menenteng gong. Kepala mereka dimahkotai dedaunan. Setiap mereka memakai singlet dengan bawaannya novi (kain sarung).

Dari batar, tuan tanah berjalan satu-satu menuruni bukit, lalu berhenti di Wato Koteklema. Wato Koteklema adalah batu yang bentuknya menyerupai ikan paus. Warnanya hitam. Panjang batu itu sekitar 10 meter, dengan lebar dua meter dan tinggi sekitar 1,5 meter. Sama seperti di batar, di Wato Koteklema juga dibuat sesajen.

Perjalanan dilanjutkan menuju laut. Setiap kali perjalanan, syaratnya tidak boleh menoleh atau melihat ke belakang. Syair adat pun tetap dirapalkan Agus Olak dan disahut lainnya.
Sebelum sampai di laut, mereka berhenti di empat tempat, dua tempat diantaranya adalah rumah adat suku Fujon di Dusun Lamanu, Desa Lamalera A dan lango kelake, rumah milik suku Bataona di Desa Lamalera B, sekitar 50 meter dari pantai.

Menurut Agustinus Olak, beberapa tempat persinggahan itu merupakan tempat peristirahatan nenek moyang karena hidup mereka selalu berpindah-pindah tempat (nomaden). Di setiap tempat persinggahan, mereka makan sirih pinang sembari menenggak tuak.

Setelah sampai di pantai, empat orang menceburkan diri ke laut, sebagai ritual memanggil ikan. Sementara dua orang pemegang tombak menanti di pantai. Upacara berakhir ketika empat orang itu keluar dari laut dan berkumpul di depan Kapela Santo Petrus dan Paulus yang ada di pantai.

Seremoni adat dengan tujuan memanggil roh ikan paus, yang diselenggarakan Jumat (1/5/2009) dari pagi hingga siang itu, dikenal dengan sebutan iyegerek. Ritual ini dimulai dari gunung karena masyarakat Lamelera meyakini bahwa ikan paus sesungguhnya berasal dari gunung. Paus adalah perwujudan dari nenek moyang yang memberikan diri sebagai makanan.

Sebelumnya, Kamis (30/4/2009), juga dilaksanakan seremoni adat di lango kelake. Tujuannya untuk perdamaian. Kalau ada tutur kata, sikap dan perbuatan yang salah, termasuk perbedaan pendapat soal konservasi, diselesaikan. Permasalahan harus diselesaikan sebelum dimulainya misa arwah dan misa lefa.

Pihak-pihak yang terlibat adalah tuan tanah suku Fujon dan suku Tufan serta lika telo yang meliputi suku Bataona, Blikololong dan Lewotukan. Meski yang hadir suku Fujon dan suku Bataona, ritual adat tetap dilaksanakan, diakhiri dengan minum darah ayam.

Bagi masyarakat Lamalera, perdamaian harus terjadi sebelum dimulai penangkapan ikan paus. Jika tidak, maka akan berpengaruh pada hasil tangkapan di laut. Ada ceritra, beberapa waktu lalu, pernah terjadi perselisihan antara tuan tanah dan lika telo. Akibatnya, selama tiga tahun nelayan tidak menangkap ikan paus. Namun, setelah berdamai, hasil tangakap banyak.
Ini menandakan masyarakat Lamalera meyakini bahwa hubungan antara yang di darat dan di laut merupakan hubungan sebab akibat. Keduanya saling mendukung dan saling menentukan. Oleh karena itu, harmoni harus tercipta sebelum memasuki musim lefa atau olanua.

Prosesi ritual tradisi sebelum musim lefa ini menjadi menarik karena mendapat bentuk baru dengan upaya inkulturasi dari gereja Katolik. Setelah upacara iyegerek, digelar misa arwah di Kapela Santo Petrus dan Paulus di pantai pada Jumat (1/5/2009) sore. Jauh sebelumnya, selama tiga hari berturut-turut (27-29 April 2009) telah dilaksanakan sembayang. Masyarakat menyebutnya dengan Tridum.

Misa lefa dipimpin Rm. Bartolomeus Na Helan, Pr, pastor pembantu, dengan ujud mendoakan para nelayan yang telah meninggal. Selesai upacara ekaristi, Romo Bartol mengarahkan umat menghadap ke laut sambil memegang lilin bernyala di tangan. Bersamaan dengan itu, dibacakan nama-nama nelayan yang meninggal di laut. Perayaan misa arwah ditutup dengan penaburan bunga di laut dan pemasangan lilin. Masyarakat Lamalera percaya, jika orang yang sudah meninggal tidak diperhatikan maka arwahnya akan marah.

Di hari pelaksanaan misa arwah, masyarakat Lamalera tidak melaut. Bunyi-bunyian juga tidak terdengar. Desa Lamalera A dan Lamalera B yang terletak di kaki bukit gopo, bedilolo dan bukit kapasono, itu sunyi.

"Masyarakat menyakini bahwa saat itu arwah nenek moyang datang. Tanda-tanda kedatangan arwah tercium lewat bau terumbu karang," kata Dion Bediona.

Keesokan harinya, Sabtu (2/5/2009) pagi, bertempat di kapela, digelar misa lefa dipimpin Rm. Yacobus Adobala Dawan, Pr, pastor paroki. Misa lefa menandai memulai musim turun ke laut. Upacara berlanjut dengan pemberkatan laut dan peledang (perahu yang digunakan untuk menangkap ikan paus). Pastor memercikkan air pada peledang Praso Sapang. Usai diberkat, Praso Sapang didorong ke laut dan berlayar menangkap ikan paus. Sebelum Praso Sapang melaut, air laut dianggap 'steril'. Satu kejadian di hari misa lefa, sebuah speed boat yang mengangkut turis hendak menepi tapi diusir masyarakat yang dimotori Kepala Desa Lamalera A, Hendrikus Keraf. Speed boat memutar haluan, lalu bergerak menjauh meninggalkan laut Lamalera.

Hal lainnya yang dilarang adalah ikan paus yang muncul pada hari misa arwah dan waktu misa lefa, tidak ditangkap. Bagi masyarakat Lamalera, kemunculan ikan paus pada saat-saat itu pertanda baik.

Selanjutnya, Romo Yakobus memberkati satu per satu peledang yang tertambat di rumah peledang (naje). Ada 37 naje di pantai sepanjang sekitar 150 meter itu. Sembilanbelas naje dibangun di sisi kiri kapela dan sisanya di sisi kanan. Peledang-peledang itu bisa melaut setelah peledang Praso Sapang pulang.

Misa lefa merupakan upacara puncak penangkapan ikan paus. Setelah misa lefa, masyarakat Lamalera selama tiga bulan ke depan (Mei-Oktober) mengawasi Laut Sawu. Apabila melihat semburan paus, maka masyarakat akan berteriak bersahut-sahutan "baleo..., baleo..., baleo..." Peledang pun segera didorong ke laut untuk mengejar ikan paus.*


Puasa Hubungan Suami Istri (2)


PLEDANG bukan perahu biasa, sebagaimana kebanyakan perahu milik nelayan lainnya di sejumlah daerah. Setidaknya, hal ini diketahui dari proses pembuatannya hingga tata cara pemanfaatannya.

Pledang terbuat dari kayu krapa, sejenis kayu besi. Dikerjakan orang khusus, atamola. Pledang tidak dibuat sembarang, termasuk sambungan kayu atau papan dan pemasangan ketilo. Hal yang dilarang adalah ketilo tidak boleh sebaris, tapi harus selang-seling. Sebelum pledang dicat, atamola harus dipanggil kembali untuk memastikan tidak ada yang salah dalam proses pembuatannya.

Jika pledang dibuat salah atau keliru, maka akan membawa dampak buruk terhadap proses penangkapan. Kesalahan itu akan ditunjuk oleh ikan paus dengan 'mengetuk' pledang. Dalam konteks ini, paus dianggap sebagai cermin. Setelah itu, nanti sampai di darat baru atamola dipanggil untuk memperbaiki pledang.

"Kesalahan pledang akan ditunjuk paus. Paus pukul pledang. Setelah pulang baru diperbaiki. Paus sebagai cermin besar. Kalau tidak ada kesalahan, maka pledang dianggap lulus ujian," kata Frans Kedang, matros (anak buah) pledang Tite Keri.

Untuk menyelesaikan satu pledang, memakan waktu lebih dari satu bulan. Meski demikian, setiap tahun belum tentu ada pledang baru. Panjang pledang sekitar 10 meter. Kru pledang berkisar sembilan sampai 13 orang. Setiap pledang dibagi untuk tempat duduk juragan, matros dan tempat lamafa.

Pledang bukan satu-satunya peralatan tradisional yang digunakan. Peralatan lainnya adalah layar, tali yang dibuat dari benang kapas, daun gebang dan serat kulit pohon waru. Ada juga kafe yaitu tempuling atau harpoon, galah terbuat dari bambu sebagai tempat menancapkan harpoon untuk menombak. Alat untuk menggayung air, gentong air, maupun faye (alat untuk mendayung). Semua perlengkapan ini disiapkan dan diletakkan dalam pledang, di tempatnya masing-masing. Dalam satu pledang terdapat enam tempuling dan satu kenate. Tempuling untuk menikam paus, sedangkan kenate untuk menarik paus merapat ke pledang.

Pemilik pledang adalah suku. Umumnya satu suku satu pledang. Ada juga suku yang memiliki lebih dari satu pledang. Sebaliknya, ada suku yang tidak punya pledang.
Untuk pledang baru, sebelum beroperasi harus dibuat seremoni dengan memberi makan masyarakat satu kampung.

Martinus Lelaona mengatakan, setiap orang yang makan bagian di pledang, seperti lamafa, juragan dan matros, masing-masing menanggung bahan makanan, diantaranya tuak, nasi dan jagung titi serta binatang. Suku pemilik pledang juga menyiapkan makanan. Tidak selesai di sini. Pledang baru bersama pledang lain akan diberkati oleh pastor pada upacara misa lefa.
Selanjutnya, saat ada baleo....,pledang bergerak ke tengah laut, ke arah semburan ikan paus. Lamafa bersiap di depan. Semakin dekat, orang pledang sudah bisa menetapkan di mana keberadaan kelompok paus tersebut. Para nelayan sudah bisa mengetahui paus yang akan ditikam.

Kalau sampai di tempat yang ditandai, kelompok ikan paus tersebut tiba-tiba menghilang ditelan laut, itu artinya rezeki belum datang. Atau, pada saat lamafa akan menghujamkan tempuling, paus mengangkat ekornya, maka lamafa akan urung melompat menikam paus tersebut. Orang pledang meyakini paus menolak untuk ditikam.

Namun, apabila paus menyerahkan diri, maka dengan sigap lamafa menghujamkan tempuling ke tubuh paus. "Serentak di dalam perahu bersorak. Hirkae, lefo hirkae. Sorakan ini akan mengecilkan nyali paus," kata Martinus.

Ketika paus sudah tidak berdaya, para nelayan mengikat hidungnya dengan kenate yang tersambung tali plastik. Kemudian, paus itu diseret ke pantai. Dalam perjalanan pulang, demikian Martinus, para nelayan bernyanyi bersahutan, sora tarre bala (raksasa bertanduk gading), dan dijawab, tala lefo rae tai (mari kita masuk kampung).

Sepanjang musim lefa, pledang tidak mendapat hasil apa pun kalau di suku ada anak gadis hamil atau pemuda menghamili gadis di luar nikah. Pantangan lainnya adalah orang pledang termasuk lamafa harus puasa seks.

"Selama musim lefa, kami tidak melakukan hubungan suami istri. Ini pantangannya. Kalau dilanggar maka akan ada dampaknya saat proses penangkapan," ujar Aloysius Genesa Tapaona, lamafa.

Selain terikat pada tradisi dan tata cara adat yang mencakup pembuatan pledang, penyiapan peralatan perahu, alat penangkap ikan, proses turun ke laut serta pantangan-pantangan yang harus dihindari, nelayan Lamalera juga memberlakukan tata cara adat pada pembagian hasil tangkapan ikan paus. Seluruh hasil tangkapan ikan, pertama-tama diperuntukkan bagi para janda, fakir miskin, dan para yatim piatu. Mereka mendapat tempat utama dalam seluruh proses perburuan ikan. Selanjutnya dibagikan kepada tuan tanah, lamafa, rumah adat, matros, dan pemilik perahu sesuai bagian-bagian ikan paus yang ditetapkan. Misalnya, sebagaimana diungkap Stefanus Fotu dari pledang Java Tena, bagian mata dan rahang milik tuan tanah. Juru tikam dapat nova’k (bagian leher). Ikan paus juga dibagikan kepada sejumlah warga.
Dalam proses pembagiannya tidak ada kecurangan.

Selain untuk makan, ikan paus juga digunakan sebagai alat transaksi. Ikan dibarter dengan hasil-hasil pertanian yang dibawa masyarakat dari gunung. Begitu tersiar kabar paus ditangkap, berbondong-bondong orang gunung yang pekerjaannya bertani turun ke pantai. Mereka membawa hasil pertanian seperti jagung, ubi dan kacang untuk ditukar dengan daging paus. Misalnya, tiga lempeng dendeng ikan paus seharga satu piring jagung yang sudah dipipil. Transaksi dilakukan tidak ada tawar menawar.

Kulit ikan paus juga dimakan. Sementara minyaknya bisa untuk minyak goreng dan pengganti minyak tanah. Satu-satunya bagian yang sampai sekarang belum dimanfaatkan optimal adalah tulang ikan paus. Kebanyakan tulang ikan paus dibuang, bahkan ada yang menjadikannya pagar rumah.

Masyarakat Lamalera meyakini bahwa dengan menangkap ikan paus, dapat menghidupkan seluruh masyarakat Lamalera. Dengan ikan paus, masyarakat Lamalera dapat menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Lebih dari itu, dalam nama kulit, darah, daging, dan minyak ikan paus, setiap orang di Lamalera dan sekitarnya bersatu.*


Agar Tidak Tinggal Cerita (3)

NELAYAN Lamalera dikenal sebagai penangkap ikan paus yang tangguh. Mereka lebih memilih paus yang dalam bahasa Lamalera disebut Koteklema. Dalam ilmu perikanan, Koteklema sering disebut paus jenis sperm atau Physeter macrocephalus.

Nelayan Lamalera tidak menikam paus jenis Seguni (Killer Whale atau orca) dan Klaru (paus biru atau Balaenoptera musculus) yang juga lalu lalang di perairan Laut Sawu, di depan perkampungan Lamalera. Jenis Klaru justru ditikam oleh nelayan Lamakera di Pulau Solor.

Dari literatur, Koteklema dikenal sangat kuat. Dia sanggup menyelam hingga lebih 1.000 meter. Ukuran tubuh dewasa mencapai 19 meter (jantan) dan 12 meter (betina). Bobotnya mencapai 30 ton hingga 60 ton. Koteklema juga terkenal dengan ganasnya. Tidak mengherankan, sebagaimana diungkap beberapa nelayan, ketika ditikam Koteklema mengamuk membuat peledang terbalik.

"Kadang nelayan pulang bawa dengan mayat," kata kepala Desa Lamalera A, Hendrikus Keraf.

Namun, jika dibandingkan dengan Paus Biru, Koteklema kurang kuat. Paus biru dianggap sebagai binatang terbesar. Beratnya mencapai 130 ton -- hampir sama dengan 30 ekor gajah atau 1.600 manusia. Panjangnya bisa mencapai lebih dari 30 meter.

Meski kadang bermigrasi sama-sama di Laut Sawu, nelayan Lamalera bisa membedakan paus biru dengan Koteklema. Perbedaan terletak pada model semburannya. Kalau paus biru semburannya lurus ke atas, sedangkan Koteklema tidak. Hal lainnya yang membedakan adalah paus biru memiliki jumbai-jumbai rambut, sedangkan Koteklema tidak.

Hendrikus Keraf mengatakan, Paus Biru tidak boleh dibunuh karena menurut cerita orang tua, dia penolong nenek moyang suku Soge Paga dari Kabupaten Sikka ke Lamalera. "Klaru (Paus Biru) pengantar leluhur kami ke Lamalera. Sedangkan jenis Seguni tidak dipilih karena Suku Ebonna di Lamalera tidak memakannya. Orang tua meminta kami untuk tidak menangkap Klaru dan Seguni," kata Keraf.

Nelayan Lamalera juga bisa membedakan mana Koteklema betina dan jantan. Betina yang hamil, apalagi. Namun, itu hanya bisa dilakukan orang tua zaman dulu. Dengan demikian, Koteklema betina maupun betina yang hamil tidak boleh ditangkap.

Menurut Keraf, generasi sekarang sangat sulit membedakan betina dan jantan, serta mana betina yang sedang hamil, karena menikam saat ikan ada di dalam air. Untuk membedakan jantan dan betina, orang tua melihat sirip atas.

"Sangat sulit untuk membedakan paus yang jantan dan betina, begitu juga yang hamil atau tidak. Kalau dulu zamannya nenek moyang bisa bedakan. Nelayan selalu dapat betina dengan anaknya yang di dalam. Masalahnya, kita kurang mengenal," aku Keraf.

Satu hal yang masih bisa dikenali nelayan Lamalera generasi sekarang adalah Koteklema betina yang sedang menyusui. Untuk kategori ini, tidak ditikam nelayan. Karena, nelayan paham ikan yang sedang menyusui paling ganas.

Tentang betina yang hamil tertangkap, diketahui pada Jumat (1/5/2009). Beberapa nelayan menjaring ikan belelang, jenis ikan pari. Ternyata, setelah dibelah ada anak pari. Meski dalam kondisi hidup, anak pari tidak dilepas. Karena, diyakini membawa rezeki. "Ini rezeki. Kalau lepas maka perahu tidak tikam lagi. Dari dulu orang tua tidak lepas," ujar Keraf.

Perlakuan terhadap anak ikan, termasuk anak ikan pari, tidak sembarang. Seorang turis yang sempat memegang ekor anak pari langsung ditegur. "Tidak boleh raba di situ (ekor, Red). Dia ini tidak boleh diperlakukan sembarang. Diletakkan sembarang juga tidak boleh. Keramat sekali. Begitu juga anak ikan paus," katanya.

Nah, bagi nelayan Lamalera, pengetahuan tentang jenis ikan paus yang ditangkap dan mana yang tidak ditangkap, sudah berlangsung lama, sama dengan mereka telah melaksanakan konservasi secara alami. Makanya tidak heran jika mereka menolak pelaksanaan konservasi dengan versi pemerintah dan LSM. Bagi masyarakat Lamalera, konservasi yang dilaksanakan pemerintah dianggap sebagai upaya untuk membatasi 'ruang gerak' nelayan.

Lebih dari itu, konservasi dengan pelarangan penangkapan ikan paus sama saja dengan menghentikan mata pencaharian masyarakat Lamalera. Sama dengan melarang masyarakat Lamalera untuk berhubungan dengan nenek moyangnya karena ikan paus diyakini sebagai nenek moyang yang menyerahkan dirinya untuk generasi sekarang.

Tidak mengherankan ketika Agus Dermawan, Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi dan Taman Laut Nasional pada Departemen Kelautan dan Perikanan, membuat pernyataan tentang Konservasi di Zona II Laut Sawu (Lembata, Alor dan Solor), memicu kemarahan masyarakat Lamalera.

Kemarahan semakin menjadi tatkala WWF (World Wildlife Fund) lewat orang-orangnya menginformasikan bahwa masyarakat Lamalera akan 'beralih profesi'.

"Kami stop tangkap lalu suruh kerja lain. Kami tanam apa? Kami sekolahkan anak dari ikan paus. Kami menolak konservasi," kata Stefanus Fotu.

"Penolakan konservasi ini merupakan yang pertama di Indonesia," kata Maha Adi, wartawan Majalah Tempo yang kini sedang studi pasca serjana bidang lingkungan, saat berkunjung bersama saya di Lamalera. Maha Adi kini menjadi staf Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Laut (Tim PP KKL) Laut Sawu - Solor - Lembata - Alor (SOLAR).

Karena reaksi penolakan terus muncul, dalam perjalanan Depertemen Kelautan dan Perikanan (DKP) 'melunak'. Agus Dermawan menyatakan Deklarasi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu di Word Ocean Conference (WOC) bulan Mei 2009 tidak memasukkan perairan Laut Lambata dan sekitarnya sehingga KKPN Laut Sawu hanya mencakup perairan Selat Sumba dan sekitarnya, serta wilayah perairan Pulau Sabu, Rote, Timor, Batek dan sekitarnya seluas 3,5 juta hektar.

Keputusan ini permanen? Jangan-jangan taktik DKP untuk meredam emosi masyarakat saat menjelang penyelenggaraan Word Ocean Conference (WOC) di Manado. Terbesit ada kekhawatiran Indonesia tidak mau kehilangan muka di hadapan peserta WOC dari luar negeri hanya karena penolakan.

Dugaan ini beralasan, apalagi jauh sebelumnya, KKPN Laut Sawu sudah ditetapkan dan menjadi satu kesatuan, termasuk perairan Solor, Lembata, Alor dan Rote (SOLAR).

Terkait dengan konservasi ini, memang penting untuk memberikan pengertian kepada masyarakat untuk melestarikan paus. Masyarakat perlu diingatkan untuk mewaspadai masa paceklik paus. Jangan sampai budaya memburu paus ini nanti hanya akan tinggal cerita. Sebalikya, pemerintah juga dingatkan bukan karena atas nama konservasi lantas menghilangkan tradisi menangkap ikan paus oleh nelayan Lamalera.

Persoalan ini mesti dilihat secara arif dan bijaksana. MUngkin, salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah membolehkan nelayan Lamalera menangkap ikan paus tapi jumlah tangkapan setiap tahun harus dibatasi. Untuk hal ini, pemerintah melalui pihak terkait, termasuk Tim Konservasi Laut Sawu harus bisa memastikan berapa banyak Koteklema yang bermigrasi di laut Sawu dalam satu musim. Dari data ini, disarankan berapa yang ditangkap nelayan. Beriktunya, yang ditangkap adalah koteklema jantan, bukan betina atau yang sedang menyusui.

Kotaro Kojima, orang Jepang yang mendalami tentang tradisi penagkapan ikan paus, mengatakan, "Memang laut harus konservasi. Tidak boleh sembarang dan seenaknya. Tapi Lamalera itu warisan kebudayaan manusia. Jadi, tradisi ini tidak boleh hilang." (pk edisi 1, 2, 3 juni 2009, hal 1)