Rabu, 16 Januari 2008

Dana Pemilu Gubernur NTT

Pundi-pundi anggota KPUD? (1)

Oleh : Alfons Nedabang

KOMISI Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Propinsi NTT mengusulkan anggaran untuk pemilu gubernur dan wakil gubernur NTT senilai Rp 92,86 miliar lebih. Angka ini belum termasuk anggaran untuk panitia pengawas (panwas) dan keamanan. Jika dihitung dengan keduanya, maka total anggaran mencapai Rp 100 miliar. Wouw ....!!!

Angka 100 miliar pertama kali dimunculkan Pemprop NTT melalui Kepala Biro Tata Pemerintahan (Tatapem) Setda NTT, Jhon Hawula saat rapat dengan Komisi A DPRD NTT, Rabu (18/7/2007) lalu. Itu merupakan angka kedua yang disampaikan pemerintah kepada Dewan. Sebelumnya, Biro Tatapem pernah menyampaikan kepada Komisi A, bahwa kebutuhan dana pemilu gubernur dan wakil gubernur atau pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (sebelumnya dikenal dengan sebutan pilkada langsung. Perubahan nomenklatur ini merujuk pada UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu) senilai Rp 63 miliar.

Meski pembahasan belum final, terkesan Pemprop mengamini usulan KPUD. Setidaknya, hal itu terlihat dalam kebijakan umum anggaran (KUA) Pemprop NTT tahun 2008. Dalam rapat anggaran, Kamis (26/7) lalu, kala itu eksekutif dihadiri Kepala Bappeda, Jamin Habib (kini Sekda NTT), menekankan beberapa hal prioritas dalam KUA. Salah satunya adalah pengalokasikan dana senilai Rp 100 miliar untuk pemilu gubernur.

Dalam rapat itu, beberapa anggota Dewan protes KUA yang lebih memfokuskan kepada pemilu gubernur. Ince Sayuna dari Fraksi Partai Golkar, misalnya, mempertanyakan kenapa KUA memprioritaskan pemilu gubernur dan pemekaran kabupaten. "Kenapa tidak pada tiga pilar (ekonomi, pendidikan dan kesehatan) yang dicanangkan gubernur dan wakil gubernur," tanya Ince.

Yan Sehandi, anggota Fraksi PDIP mengatakan, semestinya kebijakan anggaran lebih fokus pada upaya pengentasan kemiskinan. Sehandi membeberkan data kemiskinan yang dikeluarkan BPS tahun 2006. Dari total 952.508 rumah tangga di NTT, sebanyak 623.137 atau 65,42 persen terkategori rumah tangga miskin. Atau, sekitar 2.787.000 jiwa penduduk miskin dari 4 juta penduduk NTT.

"KUA harus bertolak dari kemiskinan. Semestinya, anggaran dialokasikan untuk pengetasan kemiskinan, diantaranya pemberdayaan ekonomi rakyat," tegas Sehandi.

Bukan cuma anggota Dewan, orang di luar gedung DPRD juga ikut bersuara. Diantaranya Koordinator PIAR NTT, Ir. Sarah Lery Mboeik. "Biaya demokrasi itu memang mahal. Tapi bukan berarti dimahal-mahalin. Dana pilgub jika dibandingkan dengan dana kemiskinan, itu luar biasa. Ini super heboh lawan super minim. Orang miskin dapat minim, pilkada dapat heboh," kritik Lery Mboeik.

Seratus miliar bukanlah nilai yang sedikit. Apalagi untuk ukuran NTT, yang PAD-nya tidak tau naik-naik alias jongkok terus (tahun 2006 PAD NTT Rp 150 miliar). Yang semua kabupatennya daerah tertinggal. Dan, yang saban tahun rakyatnya selalu didera bencana gizi buruk dan rawan pangan.

Kenapa mesti sampai 100 miliar? Dan, apa saja item/komponen pembiayaannya? Setelah menguliknya (mengusut atau menyelidiki), berikut ini jawabannya.

***
DALAM rencana kerja dan anggaran (RKA) yang ditandatangai Ketua KPUD NTT, Ir. Robinson Ratu Kore, dana pemilu gubernur yang diusulkan senilai Rp 92,86 miliar lebih itu, terdiri dari empat komponen utama yaitu belanja pegawai, belanja barang/jasa, belanja operasional dan belanja kontijensi.

Komponen dengan kebutuhan dana terbesar adalah belanja operasional senilai Rp 39,9 miliar lebih. Belanja operasional meliputi sebelas item yaitu keperluan perkantoran KPUD propinsi sampai KPPS; pembentukan PPK, PPS, dan KPPS; pengamanan percetakan, penyimpangan an pendistribusian; persiapan pemungutan suara; penerangan/penyuluhan/sosialisasi; untuk rapat kerja/pelatihan. Selain itu, juga untuk advokasi hukum (litigasi dan non litigasi); perjalan dinas luar/dalam daerah; pencalonan; kampanye; proses perhitungan suara dan biaya untuk akuntan publik (audit dana kampanye pasangan calon).

Dari sebelas item itu, dana terbesar tersedot untuk perjalanan dinas luar/dalam daerah anggota KPUD. Tujuannya beragam, diantaranya dalam rangka konsultasi dan koordinasi, rapat kerja dengan KPUD kabupaten/kota dan supervisi dan monitoring.

Pembentukan 262 PPK, 1.886 PPS dan 7.906 PPK adalah pos lainnya yang menyedot dana terbesar kedua. Sementara yang menyedot dana terkecil pada pos advokasi hukum dan akuntan publik, masing-masing Rp 420 juta dan 150 juta.

Berikutnya adalah komponen belanja pegawai yang menyedot dana terbesar kedua setelah belanja operasional. Dana yang dibutuhkan senilai Rp 33,16 miliar.

Belanja pegawai meliputi honorarium anggota KPUD beserta tingkatan dibawahnya sampai anggota KPPS. Besarnya honor juga tidak tanggung-tanggung. Untuk ketua KPUD propinsi Rp 2 juta/bulan dan anggota Rp 1,5 juta/bulan. Ketua KPUD kabupaten/kota Rp 1,5 juta/bulan dan tiap-tiap anggota Rp 1 juta/bulan.

Honor yang diterima ketua dan anggota KPUD sangat berbeda dengan yang diterima PPK, PPS dan KPPS. Bagaikan langit dan bumi. Ketua PPK Rp 400 ribu/bulan dan anggota Rp 350 ribu. Ketua PPS Rp 250 ribu dan anggota Rp 200 ribu. Ketua KPPS terima Rp 150 ribu, anggota Rp 100 ribu dan tenaga Linmas Rp 100 ribu.

Lain lagi dengan honor sekretaris dan staf sekertariat. Sekretaris KPUD propinsi dan kabupaten/kota masing-masing terima Rp 600 ribu/bulan dan Rp 500 ribu/bulan. Sekertaris PPK dan sekretaris PPS masing-masing terima Rp 200 ribu. Sementara honor staf sekertariat berkisar Rp 500 ribu sampai Rp 150 ribu. Staf sekertariat juga menerima uang lembur. Hari lembur ditetapkan maximal 10 hari.

Perbedaan juga pada waktu pembayaran. Untuk honorarium anggota KPUD dan staf sekretariat dihitung selama enam bulan (Pebruari - Juli 2008). PPK dan PPS selama Maret - Juli. Sementara ketua, anggota KPPS dan Linmas pembayarannya 1 bulan yaitu pada Mei.

Anggota KPUD juga menerima honor kelompok kerja (pokja). Di KPUD propinsi, terkait tugas pemilu gubernur, dibentuk delapan pokja. Beberapa diantaranya adalah pokja penetapan pemilih, pokja logistik, pokja kampanye, pokja pemungutan dan penghitungan suara serta pokja penetapan pasangan calon terpilih. Sementara di KPUD kabupaten/kota, ada lima pokja.

Anggota pokja? Jangan tanya ini. Karena akan diisi oleh anggota KPUD dan staf sekretariat. Satu pokja anggotanya berkisar 10 sampai 15 orang. Dimungkinkan satu orang menjadi anggota semua pokja. Masa kerja pokja 1-2 bulan dengan besarnya honor Rp 350 ribu/orang/bulan (untuk di KPUD propinsi) dan Rp 250 ribu ditingkat kabupaten/kota.

Nah...dengan data-data di atas, Anda dapat menghitung berapa besar uang yang diterima ketua dan anggota KPUD pada masa pemilu gubernur. Dapat dipastikan, pundi-pundi anggota KPUD bertambah dipenghujung masa tugas. Apalagi, jumlah itu belum termasuk uang kehormatan (gaji) anggota KPUD yang bersumber dari APBN. Belum termasuk uang perjalanan dinas dan biaya BBM kendaraan yang masuk dalam komponen belanja barang (kendaraan roda empat Rp 67.500.000 untuk 25 unit dan roda dua 23 unit senilai Rp 18.630.000).

Komponen ketiga adalah belanja barang/jasa senilai Rp 14,3 miliar lebih. Digunakan untuk belanja barang cetakan dan penggandaan formulir. Pengadaan perlengkapan TPS/KPS, publikasi, biaya pengangkutan dan pendropingan, pemeliharaan gedung/kantor inventaris KPU provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan komponen terakhir dari dana pemilu gubernur adalah belanja kontijensi senilai Rp 5,49 miliar lebih.

Penyusunan anggaran pemilu gubernur oleh KPUD NTT mengacu pada Permendagri Nomor 12 junto Permendagri 21/2005 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Belanja Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Namun dalam perjalanan Permendagri 12 dan 21/2005 sudah tidak berlaku menyusul munculnya Permendagri No 44/2007 tentang Belanja Pilkada. Regulasi terbaru ini memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menentukan/menetapkan besarnya pembiayaan, diantaranya besarnya honorarium.

Nah...dengan kewenangan itu diharapkan pemda menetapkan anggaran pemilu gubernur sesuai dengan kondisi keuangan daerah. (bersambung)

Prinsip efisien dan efektif (2)

Oleh : Alfons Nedabang

ANGGARAN pemilu gubernur disusun dengan dasar pijak Permendagri Nomor 12 junto Permendagri 21/2005 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Belanja Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Perhitungannya dengan menggunakan variabel, diantaranya jumlah penduduk/jumlah pemilih dan luas wilayah.

Berikut ini data dasar yang digunakan KPUD NTT dalam penyusunan anggaran. Jumlah penduduk mengacu pada jumlah penduduk tahun 2004 yaitu sebesar 4.188.774 jiwa. Dengan asumsi pertumbuhan penduduk dalam setahun 1,79 persen maka penduduk NTT sampai Desember 2007 menjadi 4.413.711 jiwa.

Pemilih tahun 2008 diprediksi 2.676.634,03 orang. Kalkulasi jumlah pemilih mengacu pada jumlah pemilih Pilpres II tahun 2004 sebanyak 2.540.224 jiwa. Sementara persentase jumlah pemilih per jumlah penduduk 60,64 persen. Artinya, rata-rata kenaikan jumlah pemilih pada tahun 2008 136,410 orang.

Luas wilayah NTT 47.349,90 Km2. Secara administratif pemerintahan terbagi dalam 20 kabupaten/kota (jika Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Nagekeo dan Manggarai Timur tidak dihitung mengikuti kabupaten induk), 229 kecamatan dan 2.741 desa/kelurahan.

Dari jumlah penduduk, pemilih dan luas wilayah, diperhitungkan tempat pemungutan suara (TPS). Hasilnya ada 7.906 TPS pemilu gubernur dengan rata-rata pemilih per TPS 339 orang. Jumlah TPS ini lebih sedikit 30 persen dari jumlah TPS Pilpres II yaitu 11.292. Jumlah TPS sebagai unit komponen terkecil dan terdepan, menjadi dasar perhitungan kebutuhan biaya. Maka dana pemilu gubernur menjadi Rp 92,86 miliar lebih. Nominal itu membuat kita tercengang dan berujar, "Lho...kenapa besar sekali."

Anggota KPUD NTT, Yoseph Dasi Djawa mengatakan, tingginya dana pemilu gubernur dipicu adanya pembebanan tugas dan kewenangan baru KPUD, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007.

Menurutnya, regulasi itu memberi peluang penambahan item pembiayaan, setidaknya dengan tiga alasan. Pertama berkaitan dengan pemutakiran data pemilih. Kalau rujukan aturan yang lalu, pendataan pemilih merupakan tugas dan kewenangan dinas kependudukan, sekarang menjadi tugas dan kewenangan KPUD.

Kedua, berkaitan dengan sosialisasi. Aturan lama, sosialisasi menjadi tugas dan tanggungjawab desk pilkada. Sementara aturan baru mengatur, sosialisasi dilaksanakan penyelenggara pilkada di semua tingkatan. Ketiga, berkaitan dengan masa jabatan PPK dan PPS. Ketentuan baru, masa jabatan PPK dan PPS enam bulan sebelum penyelengaraan pilkada dan dua bulan setelah penyelengaraan.

"Dengan peraturan seperti ini berpengaruh pada alokasi waktu untuk kepentingan pelaksanaan jadwal pelaksanaan pilkada," demikian Jos Dasi, Kamis (19/7/2007) lalu.

Tapi dengan munculnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 44 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, otomatis mementahkan Permendagri 12 dan 21/2005. Dengan demikian, rencana kerja dan anggaran pemilu gubernur perlu disusun ulang oleh KPUD NTT.

***
PEMILU gubernur NTT semakin menarik menyusul diwacanakan, disatukan dengan pemilu bupati di empat kabupaten baru yakni Nagekeo, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah dan Manggarai Timur. Rencanya, ikut juga disatukan pemilu bupati di tujuh kabupaten lainnya yaitu Rote Ndao, Timor Tengah Selatan (TTS), Sikka dan Belu yang secara normatif akan melaksanakan sebelum Juni 2008 dan Kabupaten Alor, Ende dan Kabupaten Kupang setelah jadwal pemilu gubernur NTT.

Wacana ini sudah disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri. Semangat yang diusung adalah efisiensi biaya dan efektifitas.

Hajatan politik pemilihan kepala daerah, sudah berulang kali dilaksanakan. Kali ini sedikit berbeda. Yang membuat beda adalah, kalau sebelumnya kepala daerah dipilih wakil rakyat maka kali ini dipilih langsung oleh rakyat. Makanya itu kembali menjadi hal yang baru. Karenanya, pengalaman propinsi lain yang sudah melaksanakan pemilu gubernur, menjadi contoh dan diadopsi. Termasuk dalam aspek perencanaan anggaran pemilu. Propinsi Sumatera Utara, misalnya, melaksanakan pemilu gubernur dengan dana hanya Rp 33 miliar. Padahal penduduknya jauh lebih banyak ketimbang penduduk NTT. Propinsi Kalimantan Selatan dengan Rp 32 miliar. Dan, Propinsi Kepulauan Riau sekitar Rp 30-an miliar.

Dari sisi luas wilayah, NTT memang lebih luas. Tapi dari sisi pendapatan, NTT justru berada di bawah tiga propinsi itu. Dengan PAD yang tinggi, seharusnya ketiganya bisa mengalokasikan dana pemilu berapapun besarnya. Itu tidak dilakukan. Sementara NTT yang PAD hanya Rp 150 miliar, mengalokasikan dana pemilu gubernur Rp 100 miliar.

Sebagai acuan, hal yang wajib diperhatikan dalam pengalokasian dan pengelolaan anggaran. Komponen biaya yang dianggap 'kurang penting' bisa dihilangkan. KPUD mestinya tidak segan-segan menghilangkan pos pembiayaan yang tidak kontekstual dan tidak relevan dengan prioritas kebutuhan pemilu kepada daerah.

Selain itu, KPUD hendaknya menentukan prioritas pengeluaran. Artinya, KPUD harus mampu menentukan komponen yang memang lebih penting untuk didahulukan dari pada komponen lain. Penentuan tersebut harus disertai dengan komitmen. Tanpa adanya komitmen, prioritas tidak punya arti apa pun.

Memang demokrasi itu mahal. Maka dari itu, anggaran pemilu kepala daerah perlu disusun efektif dan efisien. Sangat tidak bijak, apabila mengajukan anggaran tidak mengindahkan skala efektif dan efisien dengan beban APBD. Memang cukup memberatkan manakala pos APBD miliaran rupiah tersedot hanya pada satu sektor saja, yaitu pemilu kepala daerah. Sementara kegiatan untuk sektor lain terpaksa ditunda. Di sinilah perlunya komitmen dari semua komponen, KPUD-pemerintah daerah- DPRD dan masyarakat untuk mampu memahami bahwa pilkada memang perlu, tetapi tidak perlu dengan anggaran yang berlebihan.
Intinya, pemilu gubernur tetap harus berjalan, kepentingan publik tidak terganggu, walaupun volume sedikit berkurang. (habis)

Tidak ada komentar: