Rabu, 16 Januari 2008

Masih Banyak yang Tidak Sehat

Oleh : Alfons Nedabang

KAMIS, 20 Desember kemarin, NTT genap berusia 49 tahun. Sepuluh tahun terakhir dari usia itu, biduk NTT dinahkodai Piet A Tallo, SH. Selama itu pula kita melaksanakan program Tiga Pilar Pembangunan, sebelumnya pada lima tahun pertama memimpin dikenal dengan program Tiga Batu Tungku. Sebagaimana telah diketahui bahwa tiga pilar pembangunan yang terdiri dari peningkatan kualitas SDM, pemberdayaan ekonomi rakyat dan penegakan hukum, dengan prinsip dasar pelaksanaannya adalah Mulailah membangun dari apa yang dimiliki rakyat dan apa yang ada pada rakyat.

Kesehatan dan pendidikan tercakup dalam pilar SDM. Bagaimana tingkat kesehatan masyarakat NTT? Memprihatinkan. Setidaknya terbaca lewat data berikut ini. NTT punya 497.577 balita. Sejak Januari sampai 1 Desember 2007 diketahui, 10 balita meninggal karena gizi buruk. Sebanyak 12.340 balita menderita gizi buruk tanpa kelainan klinis dan 167 balita marasmus, sementara yang gizi kurang 68.873 balita.

Kasus gizi buruk bukan merupakan masalah baru. Hal serupa hampir terjadi saban tahun. Sepanjang masalah itu masih muncul, menandakan penanganan gizi buruk yang katanya dari hulu hilir, belum berjalan dengan baik.

Itu baru kasus gizi buruk. Penyakit lainnya yang senantiasa dekat bersama masyarakat adalah demam berdarah, diare dan malaria. Juga, masih banyak masalah kesehatan yang melilit masyarakat NTT. Yang kini menjadi momok kian menakutkan adalah penyakit HIV/AIDS. NTT kini menjadi daerah dengan tingkat penyebaran yang tergolong cepat. Belum lagi penyakit lepas dan ancaman virus flu burung. Mengerikan memang. Sementara pelayanan kesehatan bagi masyarakat masih memprihatinkan.

Secara jujur harus diakui bahwa ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab utama masih rendahnya pelayanan kesehatan. Sebagai misal, biaya, tenaga kesehatan, sarana dan prasarana penjunjang. Kalau dirinci lebih detail, setidaknya ada lima kendala utama yang menyebabkan rendahnya pelayanan kesehatan.

Faktor geogrfis dan topografis daerah yang kurang kondusif. Geografis NTT yang terdiri dari pulau-pulau yang letaknya berjauhan satu sama lain menyulitkan petugas kesehatan memberi pelayanan. Selain itu, faktor topografis NTT yang terdiri dari pebukitan, lembah dan gunung-gunung makin menyempurnakan kendala tersebut. Masyarakat di daerah yang sulit dijangkau kendaraan bermotor, kerapkali kurang --bahkan-- tidak tersentuh layanan kesehatan. Itu karena sulitnya akses ke daerah-daerah tersebut.

Rendahnya layanan kesehatan bagi masyarakat juga disebabkan oleh terbatasnya sistem transformasi informasi di daerah-derah miskin. Faktor geografis dan topografis menjadi penyebab rendahnya arus informasi dari pusat ke daerah atau sebaliknya dari daerah ke pusat. Hal ini terkait erat dengan layanan kesehatan yang semestinya diterima oleh masyarakat, khususnya di daerah-daerah terpencil.

Aspek lainnya adalah terbatasnya dana operasional. Optimalisasi layanan kesehatan bagi masyarakat tidak akan pernah tejadi jika masalah yang satu ini tidak segera diatasi. Masalah ini terasa klasik di bumi NTT, walaupun pemeritah sudah mengalokasikan dana khusus untuk pelayan kesehatan bagi masyarakat miskin.

Masalah lainnya adalah minimnya sarana dan prasarana penunjang kesehatan. Hal ini bisa dipahami karena minimnya pendanaan yang dialokasikan untuk menunjang pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Hal serupa juga terjadi pada penyediaan alat-alat kesehatan dan tenaga medis.

Faktor lain yang juga turut menyebabkan rendahnya pelayanan kesehatan bagi masayarakat miskin di NTT adalah faktor sosial budaya. Pola hidup masyarakat yang kurang atau bahkan tidak mengindahkan faktor-faktor kesehatan turut memperpanjang masalah pelayanan kesehatan di propinsi ini.

Data yang diperoleh dari website BKPMD NTT, diketahui bahwa NTT punya 24 rumah sakit. Sebanyak 13 diantaranya adalah rumah sakit pemerintah. Sisanya 2 rumah sakit milik TNI/Polri dan delapan buah rumah sakit swasta. Sementara jumlah puskesmas di NTT sebanyak 264 puskesmas (data tahun 2006). Jumlah puskesmas ini meningkat jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2005 yang hanya 242 unit dan tahun 2004 sebanyak 229. Ini menandakan bahwa sarana dan prasarana ada peningkatan.

Peningkatan jumlah sarana prasarana kesehatan ternyata tidak memberi pengaruh signifikan kepada tingkat kesehatan masyarakat. Kendala lainnya yang dihadapi adalah soal SDM kesehatan. Tenaga kesehatan di NTT masih kurang. Dokter umum misalnya, perbandingan 19,2 : 100.000. Artinya, 19,2 dokter umum melayani 100.000 penduduk. Sementara di pada tingkat nasional perbandingannya 40 : 100.000. Dokter spesialis yang ada di NTT 1,9 : 100.000, sementara ditingkat nasional 6 : 100.000. Tenaga perawat 73,6 : 100.000, sementara tingkat nasional 117 : 100.000. Bidan 51,6 : 100.000, sementara tingkat nasional sudah 100 : 100.000. NTT yang sering mengalami masalah gizi buruk hanya ada 5,4 ahli gisi untuk melayani 100.000 penduduk. Padahal ditingkat nasional sudah 40 : 100.000. Dari data ini menunjukkan bahwa kita jauh dari daerah lain. Tidak heran kalau masyarakat senantiasa mengeluh tentang pelayanan yang lamban.

Aspek anggaran juga seret. Meski menjadikan kesehatan sebagai sektor prioritas namun tidak didukung dengan kebijakan anggaran yang memadai. Kecilnya alokasi anggaran dalam APBD NTT diakui Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT, dr. Stef Bria Seran.

"Dialokasikan kecil karena uang kecil," katanya.

Bira seran mengungkapkan, pada tahun 2006, persentase anggaran untuk fungsi kesehatan hanya 12,04 persen dari pagu anggaran kesehatan pada APBD senilai Rp 86,6 miliar. Pada tahun 2007, dari total alokasi APBD Rp 98,2 persen, hanya 10,36 persen untuk fungsi kesehatan. (Pos Kupang edisi 21 Desember 2007)

Tidak ada komentar: