Rabu, 16 Januari 2008

Bertandang ke Sumba Barat

Induk dan anak menjerit air (1)

Oleh: Alfons Nedabang

MOBIL land cruiser hitam metalik bermesin turbo berhenti di pinggir jalan yang membela tanah hamparan di Kadu, Desa Kadipada, Kecamatan Wewewa Barat, Minggu (23/9/2007) sore, setelah sebelumnya melaju dari Waikabubak dan menyinggahi Weetabula. Berhenti di belakang mobil milik Aming itu, mobil Suzuki EPV kepunyaan Sun.

Pemilik sekaligus pengemudi dan rombongan tim DPRD NTT, diantaranya anggota Dewan Drs. John Umbu Deta, Kepala Sub Dinas Cipta Karya Kimpraswil NTT, Frans Pangalinan, dan staf sekretariat DPRD NTT, Hendrik Riwu, S.Sos, turun dari mobil. Melihat lokasi pembangunan perkantoran pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya adalah tujuannya.

Sementara asyik menatap hamparan tanah datar yang masih kosong itu, merapatlah warga Kadu. Jumlah mereka belasan orang. Terdiri dari tua muda, besar kecil dan laki perempuan. Tidak ketinggalan anak-anak. Mereka bergerak secara spontan.

Penampilan? Hem....masih jauh dari bersih. Berikut ini gambarannya. Wajah kusut. Rambut tidak tersisir. Baju kumal. Bertelanjang kaki dan dada. Pada muka, badan, kaki dan tangan, menempel daki tebal. Bentuknya menyerupai pulau-pulau kecil. Sudah begitu, beberapa anak kecil mengisap jari, sementara ada yang lain menggigit ujung baju. Bahaya penyakit akibat tubuh kotor, sepertinya mereka lupakan.

"Daerah ini memang sulit air bersih. Ada beberapa daerah lagi yang juga sangat sulit air bersih. Untuk makan, minum dan mandi, warga menggunakan air yang disadap dari batang pisang. Sehingga anak-anak terlihat seperti ini (kotor)," ujar John Umbu Deta.

Untuk kebutuhan sehari-harinya, warga Kadu bertahan dengan membeli air yang didstribusi mobil tangki. Satu tangki berkapasitas 5.000 liter harganya berkisar Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu. Bagi mereka, harga air itu mahal. Namun karena tidak ada pilihan lain sehingga terpaksa merogoh kocek.

Mahalnya harga air membuat warga harus mengatur pola pemakaian. Pilihan jatuh ke irit! Yang diprioritaskan adalah untuk keperluan makan dan minum. Jadi, tidak heran kalau banyak dijumpai warga, umumnya anak-anak, dengan tubuh kotor di tempat itu.

Tanda-tanda kesulitan air bersih sebenarnya sudah terasa dari Kota Waikabubak. Di Hotel Monalisa, tempat tim DPRD NTT menginap, misalnya, setiap hari terlihat mobil tangki selalu memasok air bersih.

Di daerah pinggiran Waikabubak, tepatnya di Wee Kanesa, warga juga membeli air walau hanya dengan drum. Satu drum bekas aspal seharga Rp 4.000. Drum diletakkan di tepi jalan sehingga mobil tangki mudah mengisinya. Selanjutnya, dengan menggunakan jerigen dan ember, air dipindahkan ke wadah penampung yang ada di rumah. Mahalnya harga air juga terasa di Weetabula, Kodi dan beberapa daerah lainnya.

***
SAMA seperti daerah lainnya di NTT, kesulitan air di Sumba Barat dirasakan dari tahun ke tahun. Meski sudah berkali-kali daerah itu berganti bupati, masalah tersebut belum juga teratasi secara baik. Tidak heran kalau akhirnya menurun ke Kabupaten Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya, yang baru saja dimekarkan dari Sumba Barat. Dosa siapa?

Permasalahan air ternyata bukan semata-mata terletak pada ketersediaan sumber air. Di Sumba Barat, misalnya, ada begitu banyak sumber air yang berpotensi, tapi tidak dilakukan eksploitasi. Beberapa diantaranya adalah Loko Kadipuka (Waikabubak), Teramos di Baloledo, Kecamatan Loli, Wee Maliti di Kecamatan Wewewa Timur, Er Tanasa di Kecamatan Wewewa Timur dan Wee Kanessa di Kecamatan Wewewa Barat.

Sumber air Teramos, menurut anggota Dewan, David Beko, bisa dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Waikabubak dan sekitarnya. Dia menyarankan, sebelum dimanfaatkan hendaknya diawali survei yang akurat.

Kesulitan air juga terjadi sebagai dampak dari lemahnya sistem pengelolaan air. Hal itu terjadi di pusat di Waikelo Sawah. Pusat pengolahan air di Waikelo Sawah dibangun tahun 2005 dengan sumber dana APBN. Proyek itu dikerjakan dengan maksud untuk menyuplai kebutuhan air bagi warga Waikabubak dan sekitarnya. Selesai dikerjakan, dilakukan uji coba pengoperasian. Namun dalam perjalanan, pada tahun 2006 berhenti beroperasi karena ketiadaan biaya untuk membeli bahan bakar, meski proyek itu sudah diserahkan kepada pemerintah daerah.

"Kita mengharapkan agar Pemda mengatasi persoalan biaya operasional agar pengolahan air di Waikelo Sawah bisa berfungsi," ujar Umbu Deta usai meninjau lokasi itu.

Tentang kesulitan air yang dialami warga juga diakui oleh Bupati Sumba Barat, Drs. Julianus Pote Leba. Kepada tim DPRD NTT di ruang kerjanya, Senin (24/9/2007), Pote Leba mengatakan, pemerintah daerah telah berupaya diantaranya melakukan pengadaan mobil tangki untuk pendistribusian air pada beberapa daerah yang sulit air serta pembangunan sumber air dengan menggunakan teknologi hidrant pump.

"Kita akan bangun bertahap. Kalau ada sumber air yang lebih murah harus diikuti juga dengan organisasi masyarakat bagus sehingga tidak jadi soal," ujarnya.

Lebih dari itu, hal terpenting lainnya yang juga harus didorong adalah sikap mental masyarakat untuk menjaga lingkungan. Masyarakat hendaknya dibuat sadar untuk tidak merusak hutan. Jika kesadaran itu punah, maka sangat mungkin sumber air yang sampai saat ini belum tereksploitasi dengan baik debitnya berkurang bahkan hilang.

"Pada tahun 1970, ketika saya masih SPG, di daerah Wee Kanesa itu air keluar di mana-mana. Tapi sekarang, tidak ada. Ini karena daerah tangkapan sudah habis. Jadi, selain masyarakat, kehutanan juga punya sikap yang tegas untuk menjaga hutan," kata Umbu Deta. (bersambung)

Membuang anak, hal biasa... (2)

Oleh: Alfons Nedabang

LAHIR dan dibaptis dengan nama Margaretha Hola. Setelah berpindah tangan dari orangtuanya, saat usianya beranjak 1,5 tahun, nama belakangnya ditambah Work Shop. Selanjutnya, ia dipanggil Margaretha Hola Work Shop.

Mengapa nama berubah? Direktris Rumah Sakit Karitas Weetabula, Suster Sili Bouka, ADM, mengisahkan begini. Suatu hari di bulan Agustus 2006, saat sedang jalan-jalan ke Kodi, secara kebetulan dia bertemu seorang nenek. Si nenek secara spontan menyampaikan agar dirinya mengambil dan memelihara cucunya, Margaretha Hola. Alasannya, dia sudah tidak bisa memberi makan dan minum.

Di Sumba Barat, anak diasuh nenek adalah hal biasa. Bahkan ada yang diasuh kakak-kakaknya yang juga masih kecil. Sementara orangtua anak lebih memilih bekerja di ladang atau 'menghilang' begitu saja. Habis melahirkan, lepas tanggung jawab. Kira-kira begitu!

Kembali ke cerita Suster Sili. Keduanya sepakat bertemu kembali saat Suster Sili menghadiri kegiatan Work Shop di Kodi, beberapa hari setelah pertemuan sebelumnya. Sampai waktunya, datanglah si nenek. Kali itu dengan membawa Margaretha.

"Dia langsung serahkan cucunya ke saya. Saya tanya, saya harus buat atau kasih apa? Dia jawab kasih uang bayar angkutan. Akhirnya, saya kasih uang 20 ribu untuk ongkosnya dia pulang kampung. Karena dikasih saat kegiatan Work Shop, jadi saya kasih dia nama Margaretha Work Shop," jelas Suster Sili ketika meperlihatkan Margaretha kepada rombongan Tim DPRD NTT yang mengunjungi rumah sakit itu, Senin (24/9/2007), sembari terseyum.

"Jika ada bapak-bapak dan ibu-ibu berniat memelihara dia, silakan ambil sudah," ujar Suster Sili kepada tamunya.

Saat ditemui, Margaretha duduk di tempat tidur box dari besi, berukuran sekitar 1 x 1 meter. Walau sudah 1,5 tahun, kakinya belum bisa menopang tubuhnya. Sejak enam bulan yang lalu dirawat, perkembangannya mengalami kemajuan. Berat badannya sudah 17,7 kg.

Permasalahan ditinggal orangtua bukan hanya terjadi pada Margaretha. Sudah banyak anak-anak di Sumba Barat mengalami hal ini akibat orang tua tidak bertanggung jawab.
Menurut Suster Sili, Rumah Sakit Karitas sudah merawat ratusan anak yang bernasib malang seperti Margaretha.

"Ada seorang anak, setelah dirawat dan kondisinya baik, diangkat dan dipelihara Dokter Dedi," katanya.

Pengambilan atau pengangkatan anak tidak rumit. Jika ada yang berniat, langsung mengambil di rumah sakit. Hanya lewat pendekatan kekeluargaan dengan orangtua anak, yang difasilitasi pihak rumah sakit. Namun jika orangtua si anak tidak jelas keberadaanya, maka cukup memberitahukan kepada pihak rumah sakit.

***
SELAIN Margaretha, di rumah sakit itu, setidaknya ketika kami datang, ada sejumlah balita seusianya yang mengalami gangguan kesehatan. Jenis penyakit beragam, TBC, cacingan, malaria, diare, dan campak. Ada yang menderita gizi buruk.

Yang terakhir ini kini menjadi masalah pelik. Kaitannya dengan ekonomi rumah tangga. Musim kering berkepanjangan, minimnya pengetahuan pola asuh yang benar, juga kondisi rumah yang tidak sehat, kian memperparah busung lapar.

Masyarakat Sumba Barat sebagian besar adalah petani tadah hujan yang miskin. Saat musim kemarau panjang tiba dan gagal panen melanda, mereka bertahan hidup hanya dengan mengonsumsi jagung serta singkong.

Kabarnya, kekeringan yang lebih parah dialami masyarakat Kodi. Sebagian besar warga kecamatan yang berada di daerah pesisir pantai hidup di bawah garis kemiskinan. Rumah tempat mereka tinggal juga punya kontribusi besar terhadap kondisi kesehatan penghuninya.
Warga lebih memilih tinggal di rumah panggung yang disebut 'umma'. Ukurannya pun kebanyakan tidak luas. Umumnya, tidak punya sirkulasi udara yang memadai. Umma, seperti terlihat di kampung adat Desa Elu, terdiri dari tiga 'lantai'. Lantai tempat pelihara ternak. Panggung kedua tempat tinggal dan panggung di atasnya dijadikan lumbung.

Ironisnya, dalam keterbatasan perekonomian mereka, masyarakat Sumba masih sangat menjunjung adat. Bagi mereka, lebih baik tidak makan, asal ritual adat yang sebetulnya berbiaya mahal, tidak terlewatkan. Bahkan tak jarang, demi adat dan gengsi, warga Sumba Barat berhutang ternak seperti kerbau, kuda, dan babi, kepada tetangga dan kerabatnya, meski akhirnya tak sanggup membayar kembali. Anak-anak mereka pun jadi korban.

Bupati Sumba Barat, Drs. Julianus Pote Leba, M. Si, mengatakan, persoalan gizi buruk dan kurang gizi bukan persoalan kekurangan pangan semata-mata, tetapi lebih dipengaruhi oleh pola makan dan orientasi hidup masyarakat.

"Ada suami istri yang badan bagus. Kulit mengkilap. Tapi, anak kurang gizi. Uang lebih banyak dipakai untuk kesenangan orangtua. Ini yang salah asuh. Di daerah Kodi, banyak warga panen mete, tapi tetap ada gizi buruk," ujar Pote Leba.

Tentang kesalahan pola asuh juga diakui Pote Leba. Menurutnya, banyak anak-anak diasuh oleh nenek-nenek.

"Nenek dipercayakan untuk urus anak. Ada juga satu orang tiga empat istri, anak belasan orang. Ini budaya. Jadi, butuh waktu untuk mengubahnya," katanya. (habis)

Tidak ada komentar: