Senin, 01 September 2008

Anggaran Pembangunan NTT

Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape

Tambah uang, tambah miskin? (1)

NTT selalu dipelesetkan dengan Nasib Tidak Tentu. Pelesetan lainnya adalah Nanti Tuhan Tolong. Siapa yang mempelesetkan, rasanya tidak penting. Tapi, setidaknya pelesetan ini terinspirasi oleh kondisi NTT yang tidak kunjung berubah dari tahun ke tahun.

Kalaupun ada perubahan dan kemajuan, sangat tidak signifikan. Pelayanan publik dan infrastruktur yang semula dibayangkan akan bertambah baik, justru jauh dari kenyataan. Bahkan keluhan masyarakat semakin nyaring terdengar.

Berbicara tentang pembangunan tidak bisa lepas dari anggaran. Entah itu yang bersumber dari APBD, APBN maupun dari sumber lainnya. Simak data anggaran berikut ini. APBD NTT tahun anggaran 2007 sebesar Rp 1,036 triliun, setelah perubahan.

Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan dengan APBD tahun anggaran 2008 yang sudah ditetapkan DPRD NTT dengan Perda Nomor 23 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yakni Rp 1,052 triliun. Angka tersebut terdiri dari pendapatan senilai Rp 930 miliar lebih dan belanja Rp 1,052 triliun lebih. Karena belanja lebih besar dari pendapatan, maka APBD kita mengalami defisit sebesar Rp 122,61 miliar lebih. Kabarnya, defisit akan ditutup dengan dana SILPA (sisa lebih perhitungan anggaran) tahun 2007 sebesar Rp 100 miliar lebih.

Dari Rp 1,052 triliun, untuk belanja tidak langsung dialokasikan Rp 508,64 miliar lebih. Untuk belanja langsung senilai Rp 543,97 miliar lebih, terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal.

APBD NTT hampir seluruhnya merupakan subsidi dari pusat karena DAU dan DAK untuk NTT. Tingginya ketergantungan NTT pada DAU itu karena kontribusi dari pendapatan asli daerah (PAD) hanya Rp 204,244 miliar lebih, dana perimbangan Rp 711,76 miliar lebih dan lain-lain pendapatan daerah yang sah Rp 14 miliar.Dari keseluruhan APBD NTT senilai Rp 1,052 tilirun itu, sekitar 75 persen di antaranya terserap untuk biaya rutin. Sisanya untuk biaya pembangunan.

UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah serta UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah membawa implikasi pada perubahan alokasi anggaran dalam APBD sehingga banyak rancangan pembangunan belum bisa direalisasikan mengingat terbatasnya anggaran. Anda bisa bayangkan? Karena dana yang bersumber dari APBD tidak cukup dan adanya tuntutan memajukan pembangunan di seluruh pelosok daerah, pembiayaan pembangunan ditopang dengan dana APBN yang dikucurkan pemerintah pusat.

Tahun 2008 nilainya mencapai 10,7 triliun yang daftar isian pelaksanaan anggarannya (DIPA) sudah ada. Dana itu dialokir untuk tugas pembantuan, dekonsentrasi, kantor daerah dan kantor pusat. Jumlah ini mengalami kenaikan 20,88 persen dari nilai DIPA tahun anggaran 2007 yaitu Rp 9,2 triliun.

Total nilai tersebut merupakan akumulasi DIPA untuk instansi vertikal kementerian/lembaga di daerah senilai Rp 2,98 miliar, DIPA tugas pembantuan untuk satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di propinsi/kabupaten/kota Rp 435,81 miliar dan DIPA dekonsentrasi untuk SKPD propinsi dengan nilai Rp 699,99 miliar. Sisanya adalah DIPA dana alokasi umum (DAU) Rp 5.576.348.163.000 dan DIPA dana alokasi khusus (DAK) Rp 1.008.974.000.000.

"Jika dibandingkan dengan DIPA 2007, maka total DIPA TA 2008 mengalami penurunan dari 508 DIPA menjadi 501 DIPA, namun nilainya bertambah sebesar Rp 20,88 persen. Peningkatan terbesar terdapat pada DIPA tugas pembantuan yakni sebesar 41,70 persen.

DIPA untuk instansi vertikal naik sebesar 24,30 persen, sementara DIPA dekonsentrasi turun sebesar 0,001 persen," jelas Kepala Kanwil XXII Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kupang, Drs. Teddy Rukmana, M.Sos. Sc, pada acara penyerahkan DIPA di Aula El Tari, Jumat (4/1/2008). NTT juga diguyur dana pihak ketiga yang dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ada sebanyak 221 LSM lokal (tercatat di Sekretariat Bersama Bappeda NTT) dan beberapa badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berkiprah di wilayah NTT.

Sejak Januari hingga September 2007, diketahui bahwa jumlah dana bantuan luar negeri yang dikucurkan untuk masyarakat NTT, pengelolaannya oleh LSM-LSM, mencapai Rp 139.478.387.205. Dana tersebut digunakan untuk kegiatan sektor pariwisata, pendidikan, pertanian, kelautan, kesehatan, pemerintahan, dan pemberdayaan masyarakat.

Jumlah itu berbeda dengan dana yang diterima tahun anggaran 2006, khususnya bantuan luar negeri yang disalurkan melalui badan PBB, organisasi pemerintah luar negeri melalui kerja sama antarpemerintah, organisasi non pemerintah luar negeri, dan LSM untuk NTT mencapai Rp 379,03 miliar lebih.

Terjadi peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan bantuan luar negeri pada dua tahun sebelumnya yakni sebesar Rp 125,2 miliar lebih pada tahun 2005 dan Rp129,89 miliar lebih pada tahun 2004.

Nah, dengan data anggaran yang dibeberkan di atas, Anda dapat menghitung berapa besar dana yang masuk ke NTT. Untuk tahun 2007, misalnya, dari APBD Rp 1,036 triliun, APBN Rp 9,2 triliun dan yang dikelola LSM Rp 139,47 miliar, sehingga jumlahnya Rp 10 triliun lebih. Untuk tahun 2008, sekitar Rp 11 triliun lebih.

Jumlah ini belum termasuk dana-dana yang disalurkan oleh BUMN yang memiliki kantor cabang di NTT. Belum juga termasuk dengan dana-dana yang disalurkan bank-bank. Kalau ditotalkan, dana yang beredar di NTT sangat besar. Besarnya dana yang masuk ke NTT juga diakui oleh pemerintah daerah. Namun, dalam setiap kesempatan, pemerintah juga selalu berdalih bahwa dana untuk pembangunan masih kurang. Sangat tidak memadai jika dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat. Ironisnya, dana banyak mengalir, tapi NTT masih tetap dianggap sebagai daerah tertinggal.

Angka kemiskinan semakin meningkat. Data yang dikeluarkan BPS tahun 2006 diketahui dari total 952.508 rumah tangga di NTT sebanyak 623.137 atau 65,42 persen terkategori rumah tangga miskin. Atau, sekitar 2.787.000 jiwa penduduk miskin dari 4 juta penduduk NTT.

Aspek lainnya, pelayanan publik dan infrastruktur yang semula dibayangkan akan bertambah baik justru jauh dari kenyataan. Bahkan keluhan masyarakat semakin nyaring terdengar. (bersambung)


Tinggal Manfaat Juga Susah (2)

BESARNYA dana yang mengalir ke NTT, ternyata berkorelasi terbalik dengan tingkat penyerapannya. Daya serap anggaran masih belum menunjukkan trend yang baik. Kita dapat menyimak dari catatan Biro Bina Penyusunan Program Setda NTT tentang evaluasi pelaksanaan APBN, APBD propinsi dan kabupaten/kota se-NTT tahun anggaran 2007.

Dana pembangunan yang bersumber dari APBN (meliputi dana dekonsentrasi, tugas pembantuan, kantor daerah dan kantor pusat) selama Januari sampai November 2007. Dari total alokasi dana Rp 3,2 triliun lebih, penyerapannya Rp 2,1 triliun lebih atau 65,63 persen, sementara pelaksanaan fisik 69,33 persen.

Khusus dana dekonsentrasi, dari total dana Rp 695,88 miliar lebih, penyerapannya Rp 543,81 miliar lebih atau 67,09 persen. Sementara realisasi fisik 80,99 persen. Tingkat penyerapan tahun 2007 sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2006. Pada tahun 2006, dari total Rp 709,08 miliar lebih, penyerapannya Rp 719,72 miliar lebih atau 67,09 persen dengan persentase pelaksanaan fisik 70,75 persen.

Tingkat penyerapan APBD Propinsi NTT? Hem....ternyata tidak jauh berbeda dengan dana APBN. Dalam tahun 2007, khusus pos belanja langsung, dari total alokasi dana Rp 575 miliar lebih, penyerapannya Rp 306 miliar atau 53,26 persen, dan pelaksanaan fisik 71,10 persen.

Sekadar tahu, penyerapan APBD kabupaten/kota lebih seret lagi. Secara umum, khusus pos belanja langsung, dari total alokasi dana Rp 3,26 triliun lebih, penyerapannya Rp 1,4 triliun lebih atau 44,29 persen dan pelaksanaan fisik 56,68 persen. Evaluasi APBD kabupaten/kota mengacu pada tujuh kabupaten yang memberi laporan November dan sembilan kabupaten memasukkan laporan per Oktober.

Komposisi berubah pada akhir tahun anggaran, yakni Desember. Meski tidak mencapai 100 persen, realisasi APBN dan APBD propinsi dan kabupaten/kota baik fisik maupun keuangan mengalami kenaikan. Itu artinya, tingkat penyerapan terbesar terjadi pada akhir tahun anggaran. Logikanya, pengeluaran keuangan menumpuk pada akhir tahun anggaran. Padahal, pemerintah telah menetapkan kebijakan pengeluaran anggaran per triwulan. "Suatu kondisi yang sangat tidak sehat," demikian Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya.
***

Penyerapan APBN dan APBD propinsi yang rendah bukan pertama kali terjadi dalam tahun anggaran 2007. Tahun-tahun sebelumnya juga demikian, bahkan kondisinya lebih memprihatinkan. Anehnya, semua merasa aman dan nyaman. Padahal, hal itu merugikan masyarakat. Selain uang yang beredar di masyarakat sedikit, pembangunan tersendat. Kalau sudah begitu, so pasti masyarakat tidak menikmati dampak dari pembangunan.

Kepala Biro Penyusunan Program Setda NTT, Ir. Andreas W Koreh mengatakan, sumber daya manusia (SDM) yang belum siap, ketat dan sering berubahnya regulasi serta tidak adanya kreativitas sehingga tidak bisa menggunakan anggaran secara taat asas, taat aturan dan tepat sasaran, merupakan penyebab rendahnya penyerapan APBN/APBD.

"Aspek perencanaan juga tidak matang sehingga terkesan banyak dana yang tidak terserap," kata Andre Koreh.

Anggota Fraksi Partai Golkar DPRD NTT, Ince Sayuna, S. H, M.Hum, juga memiliki argumen yang sama. Menurutnya, rendahnya penyerapan dana karena adanya inkonsistensi kebijakan dan perbedaan persepsi terhadap peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan program/kegiatan yang dibiayai dana APBN. "Hal tersebut berdampak pada pengadministrasian pelaksanana kegiatan yang tidak tertib," katanya.

Alasan lainnya, demikian Ince, karena proses pengadaan barang/jasa selalu dilakukan terlambat dan memakan waktu yang agak lama termasuk di dalamnya kegiatan yang melibatkan pihak ketiga. Sanggahan-sanggahan banding dalam proses tender cukup menghambat pelaksanaan kegiatan. Lemahnya koordinasi antara pusat, propinsi dan kabupaten juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi rendahnya penyerapan dana.

Kalau dicermati lebih jauh, setidaknya ada tiga titik krusial yang berkait yang menjadi penyebab lambatnya penyerapan APBD. Tiga titik krusial tersebut adalah proses perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan APBN dan APBD. Adalah benar sinyalemen bahwa lambatnya penyerapan APBD itu terkait adanya hambatan dalam pengesahan APBD. Setidaknya, dengan mengetahui mekanisme perumusan APBD, bisa dipetakan pada titik dan proses mana terjadi hambatan, bagaimana hambatan tersebut terjadi, dan oleh siapa.

Lazimnya, penyusunan APBD dimulai dari musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di tingkat desa hingga kabupaten, interaksi antara Bappeda dan unit-unit SKPD (satuan kerja perangkat daerah) dan interaksi antara eksekutif dan DPRD. Meski demikian, hasil musrenbang dan program yang dibuat SKPD sering kali tidak sinkron. Apa yang digali lewat musrenbang, yaitu usulan program dari bawah, banyak yang "hilang" ketika dalam pembahasan di tingkat instansi. Hal ini akan berlanjut dalam proses berikutnya, yakni dalam proses rancangan kebijakan umum anggaran, penetapan plafon anggaran, dan seterusnya sampai pengesahan APBD oleh legislatif. Ketika digelar rapat dengan Panitia Anggaran DPRD, usulan program tersebut harus digeser karena DPRD dan eksekutif mempunyai usulan program sendiri. Tarik-menarik kepentingan antara DPRD dan eksekutif juga berlangsung relatif lama dan terkadang deadlock. Dari sini kita bisa melihat bahwa lambatnya pengesahan APBD terjadi sejak awal.

Pelaksanaan APBD juga tidak kalah krusialnya. Kebiasaan yang sudah berlangsung lama ialah menunda pekerjaan yang terkait dengan APBD tahun berjalan sehingga birokrat berpeluang lebih besar menyalahgunakan APBD, karena ada kebiasaan anggaran harus dihabiskan akhir tahun, meski kenyatannya tidak habis 100 persen. Banyak orang menengarai lambatnya penyerapan anggaran ini akibat pemberantasan korupsi, sehingga harus hati-hati dalam melakukan tender proyek. Penalaran ini harusnya dibalik.

Bahwa, korupsi yang sudah berlangsung lama yang menghinggapi birokrasi di daerah, inilah yang menyebabkan lambatnya penyerapan anggaran. Terkesan, ada kesengajaan untuk memperlambat penyerapan anggaran karena sejatinya jika semua kegiatan pembangunan menumpuk di akhir tahun anggaran dan anggaran harus dihabiskan, akan tercipta peluang korupsi. Jika benar semangat ini yang dominan, maka sangatlah mungkin kesejahteraan semakin jauh dari rakyat NTT. (bersambung)

Harus Cermat Dalam Mengelola (3)

TAHUN 2008 menjadi awal yang baik bagi NTT. Karena, APBD ditetapkan lebih awal. Penyerahan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang bersumber dari APBN, senilai Rp 10,7 triliun lebih juga terbilang lebih cepat. Ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang cenderung terlambat sampai pada pertengahan tahun anggaran. Meski itu karena tuntutan regulasi, kita mesti memberi apresiasi kepada wakil rakyat dan eksekutif. Mereka telah berhasil menjalankan amanat regulasi yang mensyaratkan penyelesaian pembahasan rancangan APBD sebelum memasuki tahun 2008.

Apakah pelaksanaan APBD 2008 juga akan lebih cepat? Apakah itu sudah menjawab berbagai persoalan mendasar pembangunan di NTT? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul, setelah penetapan APBD dan penyerahan DIPA. Dan, itu wajar. Bukannya pesimistis, namun mestinya dilihat sebagai pelecut dan memberi semangat agar segera memulai langkah pelaksanaan kegiatan yang telah diprogramkan dalam melaksanakan tugas pemerintah dalam pelayanan publik dan pembangunan.

Faktor ketepatan waktu sangat mutlak agar tidak ada alasan bagi siapa saja untuk tidak menjalankan program pembangunan yang sudah direncanakan dengan baik dan matang. Tidak ada lagi alasan kegiatan tidak terlaksana karena anggaran belum turun. Anggaran yang sudah ditetapkan itu segera diserap sesuai dengan peruntukannya dari awal sehingga pemanfaatan yang ngebut di akhir tahun tidak terulang. Situasi itu perlu diperbaiki. Kepada seluruh pengguna dan pengelola anggaran diminta agar tidak menunda dan menunggu pelaksanaan anggaran hingga bulan-bulan terakhir setiap tahun.

Selain penetapan lebih awal, tahun ini juga ada perubahan mekanisme anggaran. Nomenklatur dan mekanisme penyaluran anggaran ke daerah diubah. Yakni, dari belanja ke daerah menjadi transfer ke daerah dengan mekanisme penyaluran menggunakan sistem transfer dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah.

"Pemberian dana kepada daerah akan dilakukan melalui proses transfer ke rekening masingmasing daerah. Artinya, daerah tidak perlu lagi melakukan proses pencairan anggaran ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) seperti yang terjadi selama ini. Kebijakan yang diambil pemerintah ini untuk mempermudah dan memperlancar pembayaran kepada daerah," kata Kepala Kanwil XXII Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kupang, Drs. Teddy Rukmana, M.Sos. Sc, pada acara penyerahan DIPA di Aula El Tari, 4 Januari 2008 lalu.

Itu artinya, kepala daerah tidak perlu lagi mengajukan permintaan dari daerah ke pusat. Cukup cek rekening, apakah dananya sudah masuk rekening atau belum. Adapun semangat dari perubahan mekanisme itu, untuk mencegah para kepala daerah terlalu sering berada di Jakarta dengan alasan mengurus pencairan anggaran.

Untuk masalah ini, para pejabat di NTT paling jago. Kita sering mendengar bahkan mengetahui kepala daerah atau pejabat lainnya bepergian berhari-hari di Jakarta untuk urusan rapat dan sebagainya. Seminggu bisa dua tiga kali melakukan perjalanan dinas. Padahal hasil dari perjalanan itu masih patut dipertanyakan.

Perubahan mekanisme anggaran ini diharapkan juga diikuti dengan upaya konkret untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan. Tentunya dilakukan oleh kepala satuan kerja selaku kuasa pengguna anggaran yang memiliki kewajiban untuk melaporkan pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur pada suatu periode pelaporan dalam pelaksanaan APBN atau APBD. Kepala Biro Penyusunan Program Setda NTT, Ir. Andre W Koreh mengungkapkan, ada keengganan pejabat untuk ditunjuk sebagai pejabat pengelola anggaran setelah gencarnya langkah-langkah pemberantasan korupsi. Mereka takut salah dan khawatir sewaktu-waktu diperiksa. Bukan saja oleh aparat pengawasan, tetapi juga oleh aparat penegak hukum.

Semestinya kekhawatiran seperti itu tidak perlu ada, apalagi berlebihan jika dapat memenuhi segala aturan, mekanisme dan prosedur. Lebih dari itu, aparatur pengawas dan penegak hukum agar bersikap objektif, tidak gegabah dalam menindaklanjuti laporan masyarakat, apalagi kalau barus sebatas rumor dan surat kaleng. Semua langkah pengawasan dan tindakan hukum wajib dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Pelaksanaannya wajib pula dilakukan dengan hati-hati dan terkoordinasi serta tetap menghormati asas praduga tak bersalah, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Bagaimana aspek pengawasan? Semestinya konsistensi pelaksanaan sistem dan pengawasan juga perlu ditegakkan. Segala bentuk penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran, terutama yang berbau KKN, dapat segera ditinggalkan. Untuk melakukan pengawasan dan tindakan tegas, seluruh aparatur penyelenggara pemerintahan negara, termasuk aparatur pengawasan dan aparatur penegak hukum, haruslah memiliki pemahaman yang sama terhadap aturan, mekanisme, dan prosedur yang berlaku agar terhindar dari sikap subjektif dalam mengambil suatu tindakan.

Tentang pengawasan ini, anggota DPRD NTT, Ince DP Sayuna, punya pandangan. Politisi Partai Golkar itu mengatakan, ada sebuah kesulitan yang dihadapi Dewan dalam mengontrol dana dekonsentrasi, dana kantor daerah, dan dana tugas pembantuan untuk satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di propinsi/kabupaten/kota dan dana kantor pusat. Karena dana dekonsentrasi tidak masuk dalam struktur APBD dan informasinya selalu datang terlambat setelah penetapan APBD propinsi sehingga yang dikhawatirkan ada over lapping/pendobelan perencanaan program atau kegiatan. Disamping itu syering dana APBD propinsi untuk dana dekonsentrasi juga tidak jelas besarnya. Sangat tergantung pada usulan SKPD sehingga syeringnya menjadi bervariasi antar- SKPD.

Ince mengatakan, sungguh pun demikian DPRD dalam kunjungan kerja melakukan evaluasi kegiatan di daerah juga meminta pemerintah propinsi agar melampirkan laporan pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi, tugas pembantuan, kantor daerah dan kantor pusat dalam laporan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk diteruskan kepada pemerintah pusat.

Mengingat sulitnya pengontrolan terhadap dana dekonsentrasi, maka pernah ada pikiran untuk mengusulkan kepada pemerintah pusat agar dana dekonsentrasi yang membiayai urusan pemerintah daerah dialihkan menjadi DAK sehingga dapat masuk dalam dokumen APBD kabupaten. Dengan demikian dapat dikontrol dengan baik oleh pengambil kebijakan tingkat daerah, dan pertanggungjawaban bisa dilakukan oleh bupati kepala daerah sehingga lebih simpel.

Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya mengingatkan agar SKPD dan penguasa pengguna anggaran tidak secara sembrono menggunakan anggaran. Tetapi, dengan besarnya dana APBN yang mengalir ke daerah hendaknya pemda menggunakannya secara efisien.

"Anggaran yang bertambah besar itu tidak akan banyak artinya jika pelaksanaan seluruh program tidak didukung oleh pengambil keputusan dan birokrasi yang cakap dan tidak bekerja dengan sungguh- sungguh. Seluruh dana itu, sekali lagi, akan sia-sia jika digunakan secara sembrono, tanpa perhitungan yang matang," kata Lebu Raya. (Pos Kupang edisi 2, 4 dan 5 Febaruari 2008)

Tidak ada komentar: