Selasa, 02 September 2008

Perubahan Paket UU Politik

Partai lokal, pentingkah? (1)

PARTNERSHIP dan Koalisi NGO (Non Goverment Organisation) bekerja sama dengan Sloka Institute menggelar kegiatan bertajuk Konsultasi Publik tentang Gagasan Perubahan Paket Undang-undang Politik 2007, di Nusa Penida Room, Santika Resort, Kuta, Bali, Sabtu - Minggu (19-20/5/2007). Paket UU Politik 2007 yang direvisi itu terdiri dari UU Partai Politik, UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan UU Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD dan DPRD. Kegiatan ini diikuti 30 peserta yang berasal dari Bali dan NTT. Latar belakang peserta beragam, aktivis LSM, politisi, KPUD, mantan anggota Panwas Pemilu, anggota Panwas Pilkada, akademisi dan wartawan. Berikut catatan wartawan Pos Kupang, Alfons Nedabang yang mengikuti kegiatan itu.


PEMILU 2009, tinggal dua tahun lagi. Kemunculan partai politik (parpol) baru menjelang Pemilu 2009 kian marak. Hingga awal Mei 2007, jumlah partai baru yang terdaftar di Departemen Hukum dan HAM sudah mencapai 52 partai. Di luar daftar itu, masih banyak parpol yang menunggu, tercermin dari deklarasi dan konsolidasi yang tidak kunjung surut.

Di antara parpol yang sudah mendeklarasikan diri, ada yang benar-benar baru walau dengan orang-orang lama. Ada parpol baru dengan tokoh yang juga belum dikenal publik secara luas. Ada juga parpol gabungan dari sejumlah parpol yang tidak lolos dalam pemilu sebelumnya. Dari ketiga kategori ini, beberapadiantaranya sudah mendeklarasikan kehadirannya di NTT, seperti adalah Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Perubahan Nasional (Papernas), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Demokrasi Indonesia Pembaharuan (PDI Pembaharuan) dan Partai Republiku.

Kemunculan partai menjelang Pemilu 2009, bukanlah fenomena baru. Pada Pemilu 1955, parpol membiak sedemikian banyak, tercatat 178 parpol sebagai peserta pemilu, termasuk calon perorangan. Jumlah itu kemudian menyusut (disusutkan) pada Pemilu 1977, tinggal dua parpol (PDI dan PPP) dan Golongan Karya (Golkar).

Era reformasi membuka kembali kesempatan bagi siapa pun untuk mengartikulasikan kepentingannya lewat parpol. Jadilah kemudian, parpol terus bertumbuh sampai sekarang, bak jamur di musim hujan. Pada Pemilu 1999 sebanyak 48 parpol. Sedangkan Pemilu 2004, diikuti 24 parpol. Maka, lahirlah sistem multipartai!

Dalam perjalanan, sistem multipartai dianggap membawa masalah. Sistem kenegaraan menjadi tidak stabil. Sistem presidensil yang diamanatkan konstitusi cenderung bergeser ke sistem parlementer. Tidak mengherankan jika jagat perpolitikan kita, dari pusat sampai daerah, hingar bingar dan kacau balau.

Menyadari itu, pemerintah berkeinginan "menyederhanakan" sistem dimaksud. Tujuannya untuk memperkuat sistem presidensil yang kita anut. Selain itu untuk mempermudah teknis penyelenggaraan pemilu. Pengetatan syarat pembentukan parpol, adalah salah satu solusi. Jumlah pendiri, jumlah pengurus dan sebarannya dibatasi.

Syarat pembentukan parpol memang telah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Parpol. Diantaranya, parpoldidirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris. Parpol mempunyai kepengurusan sekurang-kurang 50 persen dari jumlah propinsi, 50 persen dari jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi dan 25 persen dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota.

Meski demikian, syarat ini dinilai terlalu mudah. Maka, dibuat syarat lain. Dalam draf RUU Partai Politik yang dibuat Depdagri, dinyatakan, pendiri parpol berjumlah 50 sampai 100 orang, kepengurusan parpol 50 sampai 66,6 persen di tingkat provinsi, 75 persen ditingkat kabupaten/kota, 25 sampai 50 persen ditingkat kecamatan. Namun, syarat ini dinilai sangat berat dan dipandangan sudah mengebiri hak politik warga untuk mendirikan parpol. Karenanya, disepakati pembentukan parpol tetap mengacu pada syarat dalam UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Parpol.

Gagasan lainnya adalah tentang keterwakilan perempuan. Diusulkan, perlu ditetapkan kuota 30 persen untuk perempuan dalam komposisi kepengurusan parpol di semua tingkatan. Upaya ini untuk memberi akses dan ruang politik kepada perempuan, terlepas dari ada tidaknya kemauan dan kemampuan kaum perempuan.

Hal lain yang disoroti adalah tentang keuangan parpol. Selama ini yang kita tahu, sumber keuangan parpol dari iuran anggota dan bantuan pemerintah. Iuran anggota tetap dianjurkan sementara bantuan dari pemerintah diminta untuk dihentikan. Alasannya, laporan pertanggungjawaban parpol tentang keuangan itu sangat tidak jelas. Padahal, dana bantuan itu dihitung berdasarkan banyaknya suara pemilih dan diberikan kepada parpol yang mempunyai wakil di DPR (D). Dengan demikian, dana tersebut harus dimanfaatkan untuk masyarakat,misalnya pendidikan politik. Tapi fungsi ini tidak dilaksanakan parpol. Sebaliknya, dana itu justru dinikmati elite-elite parpol. Di beberapa daerah, dana bantuan pemerintah menjadi sumber persoalan karena pengurus saling rebutan.

Alasan lain penghapusan adalah untuk menciptakan kemandirian partai. Logika politik, membangun partai untuk mengabdi kepada rakyat, bangsa dan negara. Karenanya, pemberian bantuan sebagai bentuk pemanjaan pemerintah terhadap parpol.

"Adanya bantuan itu sebagai upaya pemanjaan pemerintah terhadap parpol. Apakah parpol tidak mau melakukan usaha yang lain? Rata-rata partai tidak melakukan hal itu. Jika partai bisa empati kepada rakyat, justru rakyat siap membantu partai," kata I Wayan ‘Gendo’ Suardana dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia Wilayah Bali.

Penghapusan bantuan pemerintah, diharapkan membuka peluang bagi partai untuk bebas berusaha, diantaranya dengan mendirikan Badan Usaha Milik Partai (BUMP). Sayangnya, dalam draf Depdagri, BUMP sudah dihilangkan karena untuk konteks Indonesia dianggap belum cocok.

Berikutnya, adalah gagasan tentang partai lokal. Tentunya, kita belajar dari kasus Aceh. "Ketimbang ketidakpuasan disalurkan dengan kekerasan lebih baik dengan partai politik, energi untuk memberontak dialihkan ke ruang-ruang politik," kata Bivitri Susanti, fasilitator PSHK.

Peran partai lokal tentunya terbatas, hanya untuk masalah lokal, misalnya pemilihan gubernur, bupati/walikota dan DPRD. Meski demikian, partai lokal boleh berafiliasi dengan partai nasional asal "nyaman" dalam hal ideologis. Secara individual, pengurus/anggota partai lokal juga diperbolehkan menjadianggota partai nasional. Lebih dari itu, kehadiran partai lokal dianggap sebagai faktor pendorong agar partai nasional bisa berbenah diri.

Dari sisi lain, partai lokal dianggap sebagai bibit separatisme. Partai lokal melemahkan semangat nasionalisme. "Kita ini negara kesatuan. Jika ada partai lokal maka mereka yang tidak mampu berbicara di tingkat nasional akan membentuk partai lokal. Dan, ini bibit separatisme. Kalau diberikan ruang, akan ada berapa partai lokal? Isu SARA akan mengemuka. Saya kuatirkan, munculnya partikel-partikel kecil contohnya di Bali akan muncul partai pasek/soroh yang dapat memecah belah negara," kata Drs. Made Suantina, M.Si dari Partai Golkar Bali.

Gagasan partai lokal memang belum masuk dalam draf RUU Parpol yang dibuat Depdagri. Namun, wacana partai lokal terus dikembangkan. Partai lokal, pentingkah? (bersambung)

Proporsional terbuka lebih afdol (2)

KEJADIAN pada Pemilu 2004 sulit dilupakan YL. Mimpi duduk di kursi DPRD Sikka harusnya menjadi kenyataan setelah tahu perolehan suara untuknya terbanyak. Tapi lantaran berada di nomor buntut, kursi pun melayang ke orang lain.

Singkat cerita, YL adalah calon legislatif dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada daerah pemilihan (DP) IV Kabupaten Sikka. DP IV Sikka meliputi kecamatan Talibura, Waigete dan Kecamatan Bola. Dalam daftar calon tetap, dia berada di nomor urut dua. Nomor urut pertama ditempati PNT, Ketua DPC PKS Kabupaten Sikka. Benih percekcokan muncul tatkala hasil penghitungan suara diumumkan. Satu dari delapan kursi yang diperebutkan di DP IV diperoleh PKS. Kontribusi terbesar suara PKS (1.000 lebih) dari YL.

Menyadari mendapat suara terbanyak, YL tidak tinggal diam. Kepada PNT, diminta dibuat kesepakatan win-win solution. Membagi masa tugas: fifity-fifity. PNT bertugas 2,5 tahun pertama dan 2,5 tahun kedua untuk dirinya. Upaya ini gagal. Selanjutnya, YL menggugat PNT ke pengadilan. Sayang, hasil yang didapat tetap nihil. PNT melenggang di DPRD Sikka.

Kasus yang dialami YL hanya sekadar contoh. Diyakini, kasus serupa dialami calon legislatif lainnya, hampir di semua daerah. Karenanya, tidak ada niat sedikit pun untuk mempertentangkan kedua belah pihak.

Secara jujur harus diakui, kasus YL merupakan dampak dari penerapan sistem proporsional dengan daftar calon tertutup pada Pemilu 2004. Sistem yang menonjolkan hegemoni parpol ini memunculkan kekecewaan dan rasa sakit hati calon legislatifyang mendapat suara terbanyak, tapi duduk di nomor urut buntut. Tentunya, kondisi ini tidak sejalan dengan semangat menumbuhkan iklim demokrasi. Karenanya, sistem proporsional dengan daftar calon tertutup perlu diganti.

Sebagai pengganti, diterapkan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Sistem ini dianggap paling afdol. Tanpa mengutamakan nomor urut dalam pencalonan anggota legislatif. Anggota legislatif ditetapkan berdasarkan ranking perolehan suara. Sistem ini juga akan memacu partai mengubah manajemen. Sistem ini sejalan dengan keinginan untuk membangun kesadaran politik masyarakat. Selain itu, juga mengatasi permasalahan perdagangan nomor urut, sebagaimana yang dipraktekan elite parpol. Ide sistem proporsional dengan daftar calon terbuka ini diusulkan untuk menjadi konten UU Pemilu.

Berikutnya tentang peserta pemilu. UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD mengatur, untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, partai politik peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3 persen jumlah kursi DPR. Atau, memperoleh sekurang-kurangnya 4 persen jumlah kursi DPRD propinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah propinsi seluruh Indonesia atau memperoleh sekurang-kurangnya 4 persen jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar di 1/2 jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Dengan merujuk pada regulasi ini, artinya dari 24 parpol peserta pemilu 2004 yang berhak mengikuti pemilu 2009 sekitar tujuh partai karena memenuhi ketentuan pencapaian ambang batas minimal atau electoral threshold (ET).

Sementara parpol peserta pemilu yang tidak memenuhi ETdapat mengikuti pemilu apabila bergabung dengan parpol peserta pemilu yang memenuhi ET. Juga, bisa bergabung dengan parpol yang tidak memenuhi ET dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu parpol yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi, atau bergabung dengan parpol yang tidak memenuhi ET dengan membentuk parpol baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.

Selanjutnya, untuk menjadi peserta pemilu, parpol harus memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari seluruh jumlah propinsi. Selain itu, memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di setiap propinsi dan memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau sekurang-kurangnya 1/1.000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik.

Syarat ini dinilai masih mampu menumbuhkan parpol dalam jumlah banyak. Makanya ditingkatkan, misalnya jumlah pengurus 2/3 sampai 100 persen di propinsi; 2/3 sampai 75 persen di kabupaten/kota dan jumlah anggota 1/1.000 penduduk. Untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, ET parpol dinaikkan lebih dari 3 persen, merujuk pada pemilu 2004 hanya dengan 2 persen, telah menurunkan jumlah peserta pemilu. Lebih dari itu, juga diwacanakan penerapan sistem parliamentarian threshold (PT) 1 persen. Apa PT diterapkan di tingkat nasional atau lokal? Belum jelas! Tapi harus disadari bahwa sebuah partai tidak mencapai PT di semua tingkatan. Ada banyak partai berbasis lokal. Jika diterapkan seragam, maka akan memunculkan pertentangan dari parpol berbasis lokal. Syarat lainnya adalah setiap parpol punya deposito senilai Rp 5 miliar. Berat nian meski ide ini dianggap melukai prinsipdemokrasi, yakni kebebasan.

Gagasan lain yang dimasukkan untuk revisi UU Pemilu adalah menerapkan 25 - 50 persen BPP dari daerah pemilihan (DP). Untuk tingkat propinsi 30-40 persen BPP, sedangkan kabupaten/kota sekitar 60 persen.

Alokasi kursi dewan juga mau direvisi. Ada gagasan untuk meningkatkan jumlah DPR, dari 550 sampai 600 kursi. Alasan penambahan adalah karena terjadi pemekaran wilayah propinsi dan kabupaten/kota. Padahal, konsep pemekaran wilayah dilakukan bukan atas dasar jumlah penduduk, tetapi pendekatan pelayanan kepada masyarakat. Lebih dari itu, gagasan penambahan kursi tidak sejalan dengan semangat efisiensi. Di sisi lain, ada upaya untuk menurunkan jumlah kursi DPRD. Di propinsi, semula berkisar 35 - 100 diturunkan berkisar 30 sampai 90 kursi. Sedangkan tingkat kabupaten/kota dari semula 20 - 45 diturunkan menjadi 15 sampai 40 kursi.

"Ada dua pola pengaturan terkait alokasi kursi dewan. Pertama, jumlah kursi ditambahkan dengan propinsi pemekaran. Artinya, dengan adanya pemekaraan, maka propinsi baru itu akan mendapat tambahan kursi. Kedua, terkait dengan alokasi kursi DPRD, terkait dengan jumlah DP. Dari segi representasi penambahan ini akan cukup terbantu, tapi dari segi teknis akan menimbulkan masalah baru dalam penyelenggaraan," kata Yohanes Depa, anggota KPU Propinsi NTT.

Guna meminimalisir persoalan, maka untuk kursi DPR menggunakan pendekatan DP propinsi atau bagian dari propinsi. Sedangkan untuk DPRD propinsi/kabupaten mengunakan rasio jumlah penduduk.

Bicara jumlah kursi erat kaitannya dengan daerah pemilihan. Dan, DP erat kaitannya dengan jumlah propinsi, kabupaten,kota dan kecamatan. Ada gagasan untuk memperbanyak DP dengan memperkecil magnitudo atau besaran DP. Selain itu, pemerintah juga menggagas DP DPRD dibagi berdasarkan kab/kota dan kecamatan-kecamatan, tanpa penggabungan-

penggabungan. Setiap kab/kota/kec dialokasikan 1 kursi, kemudian sisa kursi didistribusikan secara proporsional berdasarkan kepadatan penduduk.

Logikanya, semakin kecil DP maka tingkat keterwakilan akan semakin riil. Dari segi politik akan semakin menguntungkan partai yang mengakar untuk mendapatkan kursi. Dampak lainnya adalah dekatnya wakil rakyat dengan konstituen sehingga memudahkan komunikasi politik. Artinya, keuntungan politik terpenuhi. Sebaliknya, semakin kecil DP, teknis penyelenggaraan pemilu akan semakin ruwet, misalnya dalam hal pencetakan surat suara dan pendistribusiannya.

Karenanya, model pertama lebih cocok untuk tingkat pusat, sedangkan pola kedua untuk DPRD propinsi dan kabupaten/kota.

Lebih dari itu, keterwakilan perempuan juga diatur dalam UU Pemilu. Gagasan pencalonan minimal 30 persen perempuan per DP tetap dipertahankan. UU Pemilu juga diharapkan mengatur lebih tegas tentang keuangan kampanye. Besaran sumbangan dana kampanye individu tidak boleh melebihi 100 juta dan badan hukum swasta tidak boleh lebih dari 750 juta. Jumlah sumbangan perorangan lebih dari lima juta wajib dilaporkan. Dana kampanye harus dilaporkan kepada publik setelah parpol menerima hasil audit.

Sementara mengenai penyelesaian sengketa dan pelanggaran, menjadi otoritas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan tingkat di bawahnya, sebagaimana yang telah diatur dalam UUNomor 22 Tahun 2007.

Tidak ada komentar: