Senin, 01 September 2008

Meretas Harapan pada Pemilu 2009

Oleh : J Kristiadi

PEMILU sebagai pesta demokrasi tahun 2009 dibayang-bayangi kegamangan masyarakat yang meragukan hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan. Rakyat memang telah merasakan kebebasan, tetapi hal itu tidak serta-merta diikuti tingkat kesejahteraan.

Kesangsian publik itu dapat dicermati lewat kecenderungan semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan lembaga perwakilan rakyat yang dinilai makin oligarkis, korup, tidak etis, dan oportunistis.

Tidak mengherankan kalau ancaman golput semakin hari semakin nyaring. Kinerja Komisi Pemilihan Umum yang tidak maksimal dan terkesan kedodoran dalam manajemen semakin membuat masyarakat skeptis bahwa kualitas Pemilu 2009 akan lebih baik dari pemilu sebelumnya.

Kegamangan masyarakat tersebut beralasan karena perilaku elite politik dalam berburu kekuasaan, kekayaan, dan kenikmatan duniawi telah melampaui batas-batas toleransi dan imajinasi masyarakat. Sebutlah, misalnya, kasus korupsi politik Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, dugaan skandal penyuapan pemilihan deputi gubernur senior BI, dan berbagai kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota lembaga negara.

Pelita harapan

Namun, benarkah demokrasi di Indonesia telah mengalami kejumudan—beku, statis, suram, dan tanpa harapan? Pencermatan dalam perspektif lain tampaknya tidak demikian. Beberapa perkembangan dapat dijadikan pelita untuk menuntun melewati lorong gelap menuju sebuah harapan kehidupan demokrasi yang lebih terkonsolidasi.

Pertama, upaya membangun konstruksi ketatanegaraan dengan menata lembaga-lembaga negara agar dapat saling kontrol—sehingga tidak ada superbody—sudah mulai berfungsi dan bergerak menuju ke arah bekerjanya mekanisme checks and balances. Pergerakan ke arah itu antara lain dalam bentuk pengajuan revisi oleh masyarakat terhadap berbagai undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi relatif telah berfungsi sebagai institusi dan sarana rakyat mengontrol Dewan Perwakilan Rakyat.

Kedua, ideologi partai politik cenderung semakin inklusif (”ke tengah”). Partai-partai nasionalis mulai membuka akses terhadap kelompok keagamaan, misalnya PDI-P dengan membentuk sayap organisasi bernama Baitul Muslimin Indonesia. Partai Keadilan Sejahtera mulai mewacanakan kemungkinan menjadi partai terbuka serta menjaring calon pemimpin lintas ikatan-ikatan primordial. Partai Kebangkitan Bangsa bahkan mempunyai pengurus dan calon anggota legislatif non-Muslim.

Dalam perspektif ini, budaya multikultur yang berkembang dalam masyarakat telah secara sehat masuk dalam domain politik. Terpilihnya ”Ahok” Purnama sebagai Bupati Belitung Timur di salah satu basis Partai Bulan Bintang (PBB) membuktikan bahwa tingkat toleransi dan nilai pluralitas telah berkembang dalam masyarakat.

Ketiga, rakyat mulai biasa memilih para pemimpinnya, antara lain lewat pemilihan kepala daerah yang dalam tiga tahun telah ratusan kali dilakukan tanpa gejolak sosial yang berarti. Itu berarti rakyat mulai biasa mengoreksi kesalahan sendiri.

Kalaupun pilihannya keliru, hal itu diperbaiki dengan mekanisme demokratik tanpa harus menggunakan peluru dan kekerasan.

Keempat, betapa pun buruknya persepsi masyarakat terhadap parpol, lembaga perwakilan, dan birokrasi, tetap selalu ada unsur-unsur dalam lembaga tersebut yang masih mau mendengarkan suara hati nuraninya. Kasus pengakuan Agus Condro, anggota DPR dari PDI-P, merupakan salah satu contoh yang pantas dikemukakan.

Kelima, kebebasan media massa telah menjadikan perpolitikan Indonesia dalam gelas kaca yang transparan sehingga selalu dapat diikuti, dicermati, dan dikontrol oleh publik. Ibaratnya, tiada tempat persembunyian bagi mereka yang melakukan ”perselingkuhan politik”.

Media massa dengan kelebihan dan kekurangannya dapat mengungkapkan peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan publik serta membangun opini yang menjadi kekuatan penekan.

Beberapa hal yang diutarakan itu barulah tahap sangat awal bekerjanya mesin demokrasi. Dinamika tersebut dapat memberikan sinar terang dalam hiruk-pikuk proses demokrasi dewasa ini.

Namun, membangun peradaban demokrasi berarti memenangi pertarungan abadi antara mereka yang menginginkan kekuasaan untuk kemaslahatan umat dan mereka yang memburu kekuasaan untuk melampiaskan dahaga keangkaramurkaan.

Oleh karena itu, dalam bulan suci Ramadhan yang penuh berkah dan rahmat ini, sebaiknya semua komponen bangsa, terutama mereka yang telah mendapatkan kepercayaan rakyat duduk dalam lembaga terhormat, lebih tafakur dan mempergunakan kesempatan emas ini untuk memperbaiki perilaku.

Pergunakanlah kekuasaan yang telah dipercayakan rakyat untuk membuat kebijakan publik yang memihak kepada kepentingan kaum miskin dan marjinal. (Kompas, 2 September 2009)

Tidak ada komentar: