Kamis, 29 Januari 2009

Lonto Leok Masih Bisakah Diharapkan?

PERISTIWA perang tanding memperebutkan tanah persawahan Rapi Dho, Desa Tal, Kecamatan Satar Mese yang menewaskan 3 orang warga Kampung Torok, Desa Papang, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Jumat 23 Januari 2009 menyisahkan sejumlah tanya.

Betapa tidak, persoalan tanah tersebut telah berlangsung lama dan terkesan dibiarkan terkatung-katung, kendati sudah ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap berupa putusan Mahkamah Agung (MA). Namun, keputusan MA yang seharusnya dihormati tidak diterima baik oleh warga yang kalah oleh putusan MA tersebut.

Warga menolak karena memang dasar hukum (bukti) yang dipegang oleh para pihak semuanya lengkap dan dapat dibuktikan. Bukti-bukti yang dimiliki para pihak itu antara lain adanya Surat Keputusan (SK) Gubernur NTT tahun 1960. Fatalnya, SK Gubernur yang memuat nama-nama pemilik tanah tersebut berbeda dengan kesepakatan masyarakat setempat yang tertuang dalam Buku Induk Organisasi setempat yang dibuat jauh sebelum terbitnya SK Gubernur.

Persoalan ini semakin memanas manakala pada tahun 2003 pemerintah menggalakkan sertifikasi tanah-tanah tersebut lewat Proyek Nasional Agraria (Prona). Warga yang tidak diakomodir dalam Prona ini terus melancarkan aksi ketidakpuasan sampai dengan meletusnya tragedi 23 Januari 2009 itu. Di sinilah rumitnya masalah tanah yang disengketakan warga Kampung Torok dan Kolang di Kecamatan Satar Mese tersebut.

Dari urutan peristiwa tersebut, jelas terbaca kalau persoalan tanah antara warga Kampung Torok dan Kolang itu terjadi karena tumpang tindihnya bukti yang dipegang masyarakat. Di satu sisi, warga mengklaim sebagai pemilik karena namanya tercantum dalam SK Gubernur tahun 1960. Tetapi di sisi lain ada warga yang mengklaim sebagai pemilik tanah karena namanya termuat dalam Buku Induk Organisasi yang lahir jauh sebelum SK Gubernur terbit.

Lantas, apa yang dasar pijakan dari keluarnya SK Gubernur tahun 1960 tersebut? Masih adakah pijakan lain di luar Buku Induk Organisasi, sehingga gubernur menerbitkan SK tersebut?

Oleh karena begitu peliknya persoalan yang melingkupi sengketa tanah itu, maka kita mengharapkan agar Pemkab Manggarai dapat menjadi penengah persoalan tersebut dengan mengedepankan budaya setempat. Kita yakin orang Manggarai masih sangat menghormati budaya dan adat istiadatnya.

Selain itu, kita menyerukan kepada para pihak untuk mengakui secara jujur tentang kepemilikan tanah tersebut. Sebab, mengklaim tanah orang lain sebagai tanah sendiri itu di dalam adat orang Manggarai merupakan sesuatu yang sangat memalukan. Kalau kejujuran sudah tidak dapat diharapkan lagi, maka pemkab harus bisa mencari tokoh adat yang mengetahui seluk-beluk tentang sejarah tanah tersebut. Peran tokoh adat di sini dimaksudkan untuk mengonfirmasi soal kepemilikan sah tanah tersebut. Dengan demikian, orang atau para pihak yang tidak jujur mengungkapkan soal kepemilikan sah tanah tersebut atau mengklaim tanah tersebut sebagai pemilik sah dapat dihukum/didenda secara adat karena dilakukan secara terbuka di depan warga masyarakat lainnya.

Selain itu, pemkab juga bisa menawarkan kepada pihak yang kalah atau tidak menghormati putusan MA supaya ditransmigrasikan ke tempat lain di wilayah Manggarai, misalnya ke Buntal, Kabupaten Manggarai Timur. Komunikasi antara Pemkab Manggarai dan Manggarai Timur sangat penting untuk dapat merelakan sebagian tanahnya kepada warga yang bertikai.

Tidak mudah memang mengurai persoalan kepemilikan tanah yang telah berlangsung puluhan tahun ini, tetapi kita pun tetap mendorong Pemkab Manggarai untuk sesegera mungkin mencari penyelesaiannya. Pemkab Manggarai harus bercermin pada persoalan-persoalan tanah sebelumnya seperti masalah tanah warga Dalo-Lao, Ditong-Ngawut dan sejumlah masalah tanah lainnya. Sebab, jika inti persoalan ini tidak segera dituntaskan Pemkab Manggarai, maka menuai persoalan ikutannya di kemudian hari.

Kita tentunya tidak mau persoalan tanah di mana pun di Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat akan kembali membara dan memakan korban. Oleh karena itu, keseriusan Pemkab Manggarai menuntaskan dan mengurai inti persoalan ini dengan menggelar lonto leok dengan semua pihak harus secepatnya dilakukan. Kita tidak ingin darah kembali mengalir di areal-areal tanah yang sedang bermasalah dan meninggalkan duka yang mendalam kepada mereka yang ditinggalkan. * (pk edisi 30 januari 2009 hal 14)

Tidak ada komentar: