Senin, 13 Oktober 2008

Kenapa Suka Jelekkan Diri Sendiri?


NAMANYA Matsui Kazuhisa. Berkebangsaan Jepang. Mulai bergaul dengan Indonesia sejak tahun 1985. Selama itu pula ia mempelajari tentang kondisi sosial masyarakat di Indonesia. Kajian tentang politik di Indonesia yang ditekuninya membuatnya mengenal banyak sisi kehidupan lokal masyarakat Indonesia.

Dalam diskusi terbatas di Kupang tentang "Membangun Kemandirian Masyarakat NTT", pada tanggal 10 September 2008, Matzuhita yang tampil sebagai salah satu pembicara banyak menungkapkan nilai-nilai lokal di Indonesia yang bisa dikembangkan. Dia boleh dibilang banyak memiliki/mengetahui nilai-nilai lokal, hal-hal yang remeh temeh yang sudah diabaikan, dilupakan, tetapi sebetulnya sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kekuatan untuk memajukan ekonomi.

Kini Matsui bekerja sebagai penasehat pembangunan daerah wilayah Sulawesi. Kedatangannya ke Indonesia pada awalnya sebagai mahasiswa Program Pasca Sarjana di Universitas Indonesia pada tahun 1985. Selama 23 tahun, pria ini mempelajari tentang Indonesia.

Ada satu nilai yang disampaikan oleh Matzui yakni kecintaan pada produk lokal. Sejauh ini masyarakat Indonesia masih beranggapan bahan makanan impor adalah makanan mewah, lebih baik, lebih bergizi dan karena itu membanggakan. Lalu terbentuk anggapan bahwa produk luar negeri, makanan pabrik lebih baik, lebih "bergengsi" ketimbang makanan lokal.

Berbeda dengan masyarakat Jepang yang lebih memilih produk lokal karena sudah mengetahui proses produksi jenis makanan tersebut. Padi, sayuran dan buah yang ditanam petani lokal dari jenis terbaik dan tanpa pupuk organik, diutamakan untuk makan sendiri. Sisanya baru dijual.
Bagaimana pandangannya tentang Indonesia, tentang nilai-nilai lokal dan bagaimana harus menggunakannya untuk memajukan ekonomi, berikut petikan wawancara Pos Kupang dengan tamu kita yang satu ini, beberapa waktu lalu.

Anda sepertinya tertarik tinggal di Indonesia. Apa pendapat Anda tentang Indonesia?

Itu sebenarnya bukan menarik tapi, saya sendiri sejak tahun 1985 bekerja sebagai peneliti tentang Indonesia di suatu lembaga kajian di Jepang, sampai bulan Maret lalu. Jadi selama 23 tahun tugas saya adalah melakukan kajian tentang Indonesia. Dan, pernah dua tahun di Jakarta sebagai mahasiswa S-2 di UI. Pada tahun 1995-2001 pernah bekerja sebagai expert JICA di Makassar, dan sejak bulan April lalu expert JICA di Makassar lagi.

Keahlian saya sendiri adalah ekonomi dan politik tapi terutama setelah tahun 1999 saya lebih fokus pada pembangunan daerah, otonomi daerah dan desentralisasi. Pernah saya tinggal kos di rumah orang Jawa di Jakarta dan sejak itu suka bergaul dengan semua orang, baik dengan aparat pemerintah, swasta maupun LSM. Jadi sehari- hari saya senang bergaul dengan teman-teman di sini. Akhirnya segala macam (tentang Indonesia) saya tertarik.
Jepang setelah kalah Perang Dunia Kedua tahun 1945 baru mulai membangun. Indonesia juga baru merdeka tahun 1945. Artinya dua negara ini sama-sama mulai membangun pada tahun yang sama. Tapi kenapa Jepang saat ini menjadi negara maju, sementara Indonesia masih sebagai negara berkembang?

Ini sebenarnya saya tidak maksud membedakan mana yang lebih bagus dan mana yang lebih jelek. Indonesia juga harus berani belajar juga dari Jepang. Jepang juga harus banyak belajar dari Indonesia. Tapi kalau pertumbuhan ekonomi sangat berbeda. Misalnya Jepang saat Perang Dunia II habis semua, jadi mereka membangun dari minus dengan sangat menyesal dengan mulainya Perang Dunia II. Jadi mereka menyatakan tidak mau lagi perang. Maka, mereka setengah mati berusaha terus agar anak cucunya lebih maju lagi daripada generasi dahulu dan tidak melakukan kesalahan seperti dulu. Sedangkan, Indonesia ini kaya sekali dengan sumber daya alamnya. Memang Indonesia juga sangat menderita setelah Perang Dunia II dan masih ada kesulitan. Tapi mereka menikmati kekayaan sumber daya alam. Jepang tidak ada sumber daya alam yang bagus, semuanya harus impor dari luar negeri. Karena itu, Jepang berpikir untuk memanfaatkan sumber daya alam seefisien mungkin. Kalau di Indonesia sumber daya alam sangat banyak sekali, maka tidak perlu berpikir untuk demikian. Di Indonesia kayaknya tidak kerja pun bisa hidup. Sebenarnya Jepang dulu merindukan daerah tropis sebagai paradiso yang enak, dianggap surga, karena di sana tidak perlu kerja keras dan setiap hari santai dan bisa hidup. Ini salah satu alasan sentimentalis mengapa Jepang tertarik ke daerah tropis untuk mendapat sumber daya alam yang kaya ini.

Anda begitu lama di Indonesia. Menurut Anda, mengapa Indonesia sulit sekali bergerak maju?

Mungkin pertanyaan agak filosofis adalah untuk apa kita maju. Dengan kemajuan maunya mencapai apa? Apakah Indonesia maunya seperti Jepang atau Singapura? Sebenarnya bahagia itu apa? Apakah kehidupan modern seperti di Jepang itu pasti menjanjikan kebahagiaan? Banyak orang Jepang, biarpun merasa sudah maju, belum tentu merasa bahagia. Mengapa jumlah orang bunuh diri bertambah terus di Jepang? Teman-teman orang jepang yang datang ke Indonesia sangat terkesan dengan negara ini, biar pun di sini secara ekonomis kelihatannya tidak begitu kaya tapi kebanyakan orang terlihat bahagia sekali. Anak-anaknya suka lari dan main sambil ketawa dan keluarganya saling membantu. Hal-hal biasa ini terkesan oleh orang Jepang. Memang ada orang Jepang yang merasa Indonesia itu jelek kotor dan lain-lain. Tapi saya berpikir kenapa orang Indonesia suka menjelekkan diri sendiri. Sebenarnya orang Indonesia bisa mendapatkan atau meningkatkan kepercayaan diri, maka akan membanggakan apa yang mereka miliki.

Jepang sebagai negara maju, tapi masih kuat dengan akar budaya. Komentar Anda?

Itu perbedaannya. Begini, kalau di Jepang mereka terima saja budaya dari luar, tapi tidak menghilangkan budayanya sendiri. Jadi dua-duanya. Ada budaya tradisional Jepang bisa bertahan tapi dari luar juga diterima atau bisa kombinasikan antara keduanya. Sedangkan di Indonesia, kalau menerima budaya dari luar, kayaknya mereka langsung menghilangkan budaya asli mereka. Saya tidak bisa mengerti mengapa orang Indonesia membuang apa yang mereka punya setelah mendapat hal-hal yang baru dari luar. Ini sebenarnya bisa memanfaatkan dua-duanya dengan kombinasi dan paduan dengan yang lain. Mungkin orang Indonesia punya kecenderungan yang dapat dari luar itu lebih bagus dari pada apa yang mereka punya sehingga mereka menyesal dan menjelekkan dirinya, dan dibuang. Akhirnya jati dirinya juga hilang.

Indonesia selalu lebih bangga bila mengkonsumsi hasil-hasil pertanian atau hasil industri dari luar. Sementara di Jepang, masyarakat lebih menyukai produk lokal sehingga terkesan pemerintah Jepang memproteksi produk lokal dari serbuan produk luar. Bagaimana Anda melihat ini?

Sebenarnya itu tidak benar. Memang di Jepang tekanannya tinggi untuk bebas perdagangan, banyak sekali hasil pertanian hasil impor masuk. Tapi masyarakat Jepang tetap senang hasil pertanian domestik yang enak dan berkualitas. Jadi bukan proteksi, bukan melindungi. Konsumen Jepang bebas memilih dan hasil pilihannya demikian dan tidak ada maksud dari pemerintah Jepang. Justru pemerintah Jepang maunya agar konsumen Jepang lebih banyak mengkonsumsi produk impor. Bagaimana di Indonesia? Apakah kalangan atas selalu memilih produk Indonesia atau produk impor? Ini masalah pilihan konsumen. Orang Jepang tetap suka beras domestik daripada beras impor karena sudah jelas siapa membuat beras ini dan dihasilkan dari daerah mana. Kalau beras impor, tidak jelas siapa yang buat, kondisinya bagaimana, apakah pakai pestisida, dan sebagainya. Orang Jepang cukup memperhatikan keamanan makanan dan memilih beras yang aman tanpa memakai pestisida. Ini masalah pilihan konsumen.

Kemajuan Jepang tidak terlepas dari pendidikan. Bagaimana anda melihat pola pendidikan di Jepang dan Indonesia?

Saya kira isu pendidikan tidak terlalu berbeda, cuman mungkin kalau di sini banyak anak-anak diminta ikut saja instruksi guru. Kayaknya tidak boleh kritik, atau tidak boleh menyampaikan pandangan berbeda dengan yang disampaikan oleh guru, sehingga ada keseragaman. Guru juga tidak memberikan toleransi untuk hal-hal yang berbeda dengan apa yang diminta diajarkan dari pusat. Sedangkan di Jepang, umumnya mereka harus menghormati perbedaan pendapat. Di dalam sekolah juga kami diberikan kesempatan untuk menyampaikan apa saja yang berbeda dengan yang lain dan itu tidak mungkin dipukul atau dimarahi kalau pandangannya berbeda dengan guru. Selain itu, pendidikan belum tentu mengajarkan keadilan. Misalnya, untuk muridnya mendapat nilai yang baik, saya pernah dengar, ada telepon langsung dari orangtua kepada guru atau kepala sekolah. Hal-hal ketidakadilan seperti itu muncul di pendidikan sekolah dan itu dilihat dan dipelajari oleh anak-anaknya.

Menurut Anda, apa potensi yang bisa dikembangkan di sini?

Sebenarnya banyak sekali potensi lokal yang kami bisa tunjuk di sini, tapi orang di sini hanya ikut-ikutan saja. Mengapa tidak mencari sendiri duluan saja? Potensi di sini dimiliki oleh orang di sini. Mengapa tidak koreksi tanpa perdebatan apa-apa setelah ditunjuk oleh orang luar? Bisa saja potensi yang ditunjuk oleh orang luar diprotes juga dengan kata kenapa harus ini, bukan itu. Makanya orang di sini cari potensi lokal dulu. Jika produk lokal dimiliki atau diambilalih oleh orang luar, orang di sini baru menyadari dan merasa tertipu atau dipermainkan. Dengan itu, kiranya sudah terlambat.

Anda sebagai penasehat pembangunan di Sulawesi. Apa saja yang Anda kerjakan?

Saya bertugas untuk memberikan berbagai informasi dan pikiran baru terhadap kebijakan pembangunan daerah se-Sulawesi, dan mencoba memfasilitasi untuk mewujudkan kerjasama antardaerah di Sulawesi.

Apa kesan yang paling mendalam selama Anda berada di Indonesia?

Kesannya banyak sekali. Tapi saya merasa selalu diberikan semangat oleh berbagai teman, kenalan, dan keindahan pemandangan di Indonesia. Saya selalu ingin membalas sesuatu yang baik.

Sedangkan pengalaman yang paling tidak menyenangkan?

Waktu pertama kali tiba di Bandara Sorkarno-Hatta, Jakarta pada Agustus 1985, saya dimintai uang oleh aparat imigrasi untuk masuk Indonesia. Untung sekali, saya tidak benci Indonesia sesudah itu.

Menurut Anda, apakah nilai-nilai setiap daerah di Indonesia bisa menjadi kekuatan untuk membangun ekonomi nasional?

Coba ingat waktu krisis moneter. Jawa mengalami kemunduran ekonomi sangat besar. Namun, sebagian Sulawesi menikmati harga komoditi ekspor yang naik dan ekonominya tidak menjadi begitu lesu. Keanekaragaman ini justru memperkuat negara secara total. Menikmati perbedaan dengan saling menghormati. (alfred dama/PK edisi MInggu 12 Oktober 2008 hal 3)

Biodata

Nama : Matsui Kazuhisa
Bekerja sebagai Penasehat Pembangunan Daerah Wilayah Sulawesi.
Istri : Matsui Junko
Anak : Matsui Midori

Tidak ada komentar: