Sabtu, 30 Agustus 2008

Yang Sisa dari Pasien

Bisa Untuk Kehidupan (1)

Oleh : Alfons Nedabang

PIPA 1 dim dengan panjang 1 meter tegak berdiri di salah satu sisi bak. Pangkal pipa tertanam dalam tanah. Ujungnya tanpa kran. Ada pengatup tapi dibuat longgar sehingga ada jalan air. Air keluar terpencar setengah lingkaran, jatuh tertampung di bak permanen dengan panjang 1,5 m, lebar 1 meter dan tinggi 1 meter.

Dari bak yang dinding-dindingnya ditumbuhi lumut itu, air dialirkan dengan pipa masuk ke bak permanen lainnya, yang ditanam dalam tanah. Jarak antara kedua bak itu sekitar 1 meter. Selanjutnya dengan bantuan dua unit mesin, air dipompa untuk dialirkan ke 'dalam kota.' Entah ke mana!

Pipa beserta bak-bak itu adalah bagian akhir dari instalasi pengolahan limbah (IPAL) yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Tjak Cerneli Hillers atau TC Hillers, Maumere, Kabupaten Sikka. IPAL yang dimiliki rumah sakit tipe C ini dikenal dengan sebutan waste water treatment plant (WWTP).

Lokasi yang menjadi pusat pengolahan limbah terletak di kiri belakang rumah sakit, berdekatan dengan kamar mayat dan jejeran rumah dokter. Tidak susah untuk menemukannya. Untuk mengenalinya juga mudah nian. Pagar kawat mengintarinya, dengan satu pintu masuk. Selain dua bak tadi, di lokasi itu, ada bangunan 2 x 2 meter, tempat mesin pompa; juga dua unit tabung berukuran seperti tangki mobil air, berwarna hijau mencolok. Canopy menutupi kedua tabung.

Ada lagi bak equlasi dengan ukuran panjang 8 meter, lebar 4 meter dan dalamnya sekitar 6 meter. Bagian dalamnya dipetak- petak membentuk bak dengan ukuran yang lebih kecil. Setiap bak dan tabung memiliki fungsi yang berbeda. Semuanya menjadi satu-kesatuan yang utuh dari instalasi pengolahan limbah.

Pemandangan ini terekam ketika saya mendatangi lokasi itu, Rabu, 3 Juli 2008, 'ditemani' Kepala Tata Usaha RSUD dr. TC Hillers, dr. Harlin Hutaurut dan Fransiskus Palle, staf sanitasi.

Sebelumnya, Senin, 30 Juni 2008, lokasi itu juga didatangi Tim DPRD Propinsi NTT. Rombongan berjumlah 10 orang, dipimpin anggota Dewan, John Dekresano, M. A.

"Ini merupakan satu-satunya rumah sakit di NTT yang memiliki instalasi pengolahan limbah cair," kata John Dekresano, anggota Dewan dari Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), waktu itu.

Berada di tempat itu, Anda pasti terperangah, kaget, karena mengetahui limbah cair yang dihasilkan rumah sakit mengandung bahan-bahan infeksius dari pasien -- sumbernya adalah air cucian, darah, obat-obatan, laboratorium yang umumnya banyak mengandung bakteri, virus, senyawa kimia yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat -- dapat diolah menjadi air.

Air yang dihasilkan juga memiliki ciri-ciri seperti air yang kita pakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, untuk minum, mencuci dan mandi. Bening, tidak berbau dan berwarna.

Untuk meyakinkan Pos Kupang bahwa air hasil olahan limbah tidak berbahaya, Harlin dan Palle membasahi tangan mereka. "Apa si takutnya?" ujar Harlin, pria berbadan subur sembari menjulurkan tangannya.
***
TEKNOLOGI pengolahan limbah ini dikabarkan menggunakan metode ozonisasi. Melalui proses oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai macam mikroorganisma seperti bakteri Escherichia coli serta berbagai mikroorganisma patogen lainnya.

Proses kerjanya dapat dijelaskan sebagai berikut. Mula-mula limbah cair yang berasal dari berbagai kegiatan, seperti kegiatan laboratorium, dapur, laundry (cuci dan mandi), toilet, dan sebagainya, dari setiap ruangan yang ada di rumah sakit dialirkan lewat saluran bawah tanah ke bak equalisasi. Bak equalasi terdiri dari beberapa bak kecil, diantaranya bak awal, bak kontrol, bak aerasi dan bak pengendapan akhir. Di bak pengendapan terjadi pemisahan limbah padat dengan limbah cair. Limbah padat dapat diangkat setiap dua minggu. Sedangkan limbah cair dipompakan ke tabung reaktor (tangki I, berwarna hijau) untuk dicampurkan dengan gas ozon. Gas ozon yang masuk dalam tangki reaktor bereaksi mengoksidasi senyawa organik dan membunuh bakteri patogen pada limbah cair.

Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan ke tabung koagulasi (tangki II) untuk dicampurkan koagulan. Terjadi pula proses penyaringan dan proses absorpsi. Absorpsi adalah proses penyerapan zat-zat polutan yang terlewatkan pada proses koagulasi. Zat-sat polutan akan dihilangkan permukaan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh atau tidak mampu lagi menyerap maka proses penyerapan akan berhenti. Karbon aktif harus diganti. Pada tangki II ini juga terjadi proses sedimentasi, dimana polutan mikro, logam berat dan lain-lain sisa hasil proses oksidasi dalam tangki reaktor dapat diendapkan.

Dengan menggunakan sistem ini, air yang keluar dari filter karbon aktif selanjutnya dapat dibuang dengan aman. Lebih dari itu, juga akan dapat menggunakan kembali air limbah yang telah terproses (daur ulang).

"Air hasil olahan limbah ini kita pakai untuk menyiram tanaman. Dulu ada ikan dalam bak air, tapi dicuri orang," ujar Palle, menambahkan.

Tidak berbahayanya air olahan limbah rumah sakit setidaknya juga terpantau dari tanaman yang tumbuh di lokasi pengolahan limbah. Rumput-rumputan tumbuh subur hingga menjalar ke pagar. Ubi kayu juga tumbuh subur. Batang besar dan daunnya hijau nian. Pohon pepaya dan lombok berbuah lebat. Seakan memberi pesan, "Kami sehat meski disiram air hasil olahan limbah."

Menurut Palle, selain digunakan untuk menyiram tanaman, air hasil pengolahan limbah cair dibuang. "Hasil olahan limbah sebenarnya bisa digunakan manusia cuma karena faktor psikoligis semata. Orang mengingat limbah bercampur dengan darah dan zat kimia. Ini yang membuat orang tidak menggunakannya," ujar Palle. (bersambung)

Jangan Diabaikan (2)

SATU tempat tidur mampu memproduksi sampah padat sebanyak 3,2 kg per hari. Sedangkan limbah cair 416,8 liter per tempat tidur per hari. Rata-rata produksi sampah per tempat tidur per hari ini merupakan hasil kajian terhadap 100 rumah sakit (RS) di Pulau Jawa dan Bali.

Dengan demikian diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius sebesar 23,2 persen.

Data ini terungkap dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan (1997), sebagaimana dilansir www.pdpersi.co.id. Data ini memberi gambaran tentang produksi sampah medik oleh rumah sakit, termasuk yang ada di NTT.

Direktur RSUD dr. TC Hillers Maumere, dr. Asep Purnama, misalnya, mengaku belum tahu berapa banyak sampah medik yang dihasilkan rumah sakit pemerintah itu. "Waduh.....," ujar Asep ketika ditanya produksi sampah padat dan limbah cair.

"Itu mesti melalui penelitian. Sejauh ini belum ada yang melakukan penelitian tentang itu," kata Direktris RSU Prof WZ Johannes Kupang, dr. Yovita Mitak kepada Reddy Ngera dari Pos Kupang, baru-baru ini.

Jika merujuk pada hasil kajian itu, maka 13 rumah sakit yang tersebar di kabupaten/kota di NTT menghasilkan sampah padat sebanyak 41,6 kg per hari atau setara semen satu sak. Sedangkan limbah cair sebanyak 5.418,4 liter per hari setara satu tanki mobil air. Bayangkanlah!

Jumlah ini belum termasuk sampah medik yang dihasilkan dua rumah sakit milik TNI/POLRI dan rumah sakit swasta. Tidak termasuk juga sampah medik yang dihasilkan rumah bersalin, puskesmas, laboratorium kesehatan dan klinik yang jumlahnya kian banyak pula. Dapat dibayangkan betapa banyaknya sampah medik yang dihasilkan per hari, per minggu, bulan bahkan per tahun.

Limbah yang dihasilkan rumah sakit dalam jumlah besar itu ternyata berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungannya karena mengandung zat-zat yang berbahaya. Selain mencemari udara, air dan tanah, juga berkemungkinan menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit bagi para petugas, penderita maupun masyarakat sekitar rumah sakit.

Meski berbahaya, pengelolaan limbah rumah sakit masih dipandang sebelah mata oleh pengelola rumah sakit dan pemerintah daerah. Ini dibuktikan dengan belum adanya instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan insenerator (alat pembakar limbah padat) yang dimiliki rumah sakit. Kalaupun ada, peralatannya masih jauh dari harapan.

Tengok saja di RSUD dr. TC Hillers Maumere. Meski sudah memiliki IPAL, tapi kapasitasnya sangat kecil. Peralatan yang dibeli senilai Rp 573 juta bersumber dari dana dekonsentrasi tugas pembantuan, hanya mampu mengolah limbah cair yang dihasilkan 80 tempat tidur dari total 197 tempat tidur. Artinya, limbah cair yang dihasilkan 117 tempat tidur dibuang begitu saja tanpa diolah.

Rumah sakit yang menjadi rujukan di wilayah Flores ini juga memiliki insenerator. Tapi bukan dibeli dengan dana APBD II, tapi hasil pemberian pemerintah Jerman. Sayangnya, alat itu sudah setahun lebih tidak beroperasi karena rusak pada bagian kompor. Gudang tempat insenerator dengan cerobong asap setinggi 10 meter itu pun digembok.

"Sekarang sedang diperbaiki. Jika berjalan normal, dapat menghasilkan panas mencapai 9.000 cc sehingga dapat membakar kuman sekecil apa pun," ungkap Fransiskus Palle, staf sanitasi RSUD dr. TC Hillers. Untuk menangani sampah padat, RSUD TC Hillers menggunakan septik tank yang diketahui memiliki banyak kelemahannya.

Mestinya, karena berbahaya, limbah medik yang berasal dari bangsal-bangsal, dapur, kamar operasi dan sebagainya perlu dikelola sebaik-baiknya sehingga kesehatan petugas, penderita dan masyarakat di sekitar rumah sakit terhindar dari kemungkinan-kemungkinan dampak pencemaran limbah rumah sakit tersebut.

Pengelola dan pemerintah daerah mestinya menyadari bahwa rumah sakit merupakan sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan. Sementara lingkungan rumah sakit sendiri tidak sehat. Ironis!

Berbagai faktor melatarbelakangi kondisi ini, diantaranya kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan lingkungan rumah sakit. Selain itu kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran. Karenanya, sering kita dengar pengelola maupun pemerintah daerah mau melakukan pengadaan alat pengolalaan limbah dengan berdalih peralatannya cukup mahal.

Persoalan ini dapat diatasi jika pengelola dan pemerintah daerah memiliki komitmen yang kuat untuk mengatasi masalah lingkungan dan kesehatan manusia. Sebagai bukti banyak rumah sakit yang tidak dilengkapi fasilitas pengelolaan limbah. Sampah medik berceceran di mana-mana. Bau menyeruak dari setiap sudut ruang rumah sakit. Sungguh sangat mengganggu. Haruskah menunggu sampai ada korban baru kesadaran kita terusik untuk bertindak serius mengatasi sampah medik? (Pos Kupang edisi 20-21/8/2008)

Tidak ada komentar: